Ruangan itu gelap. Tidak ada cahaya. Udara agak lembab, kayu reyot mengeluarkan bau tak sedap. Mungkin orang akan berpikir ini kuil tak berpenghuni. Nyatanya ada gadis buta yang terpaksa tinggal di sana. Kalau dihitung, sudah tujuh belas tahun lamanya ia tinggal di sini.

Malam mulai menjemput. Seharusnya hari ini bulan purnama akan hadir menghibur malam. Ah, ia lupa. Ia bahkan tak bisa melihat apa yang mereka sebut dengan cahaya, mimpi besar kalau ia berharap melihat bulan. Hyuuga Hinata bukannya tidak tahu kalau ia buta. Ia sadar benar akan realita itu. Hanya saja, berandai-andai kalau ia dapat melihat setidaknya betapa birunya langit atau warna oranye di senja hari, ia akan rela mati.

Sayang. Hari kematiannya sudah ditentukan sejak ia berada di dunia.

Hyuuga Hinata akan menjadi gadis persembahan bagi dewa. Dan itu adalah hari di mana ia akan mati.

Miris. Gadis buta yang dikorbankan demi kemakmuran desa. Itulah dirinya, tak kurang dan tak pernah lebih.

.

.

Menghitung Malam © Eternal Dream Chowz

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

|I don't own any chara in this fanfict. This is an unprofitable fanwork. |

Pairing: [Sasuke U. x Hinata H.]

Genre: Supernatural, Romance

Rate: T

Warning: Out of Character, Typo(s), Alternate Universe, Rush Plot

.

.

Kayu lapuk yang melapisi kuil reyot di atas bukit sepi mengeluarkan bunyi aneh saat angin datang menggerus tanpa henti. Hinata duduk tenang di tengah ruangan. Menatap hampa dengan matanya yang buta. Mengetuk lantai dengan jemarinya yang terasa kaku karena suhu udara kian rendah, ia nyaris menggigil. Musim dingin makin semangat menghampiri desa kecil yang sepi ini. Hinata menjatuhkan tubuhnya ke tatami, jemarinya menjangkau udara, lantas menekuk, menghitung sisa hari.

"Satu, dua, tiga, ..."

Gumaman pelan itu terhenti, lantas embusan napas panjang terdengar. Ia lelah. Tinggal tiga hari lagi. Hinata tak pernah meminta dilahirkan dengan keadaan buta lantas ditinggalkan orang tuanya di depan gerbang desa, berakhir dibesarkan menjadi korban persembahan.

Ini menyedihkan. Dan tradisi pengorbanan itu merupakan mimpi terburuk yang ada. Menyedihkan sekali orang yang akan dikorbankan. Ah, terserah sajalah.

Mungkin sebagian besar orang berbisik seperti itu saat mengetahui eksistensi Hinata. Hinata sendiri tidak takut mati, malah berharap mati. Hidup pun kalau dikurung bak hewan yang akan dijagal, apa beda dirinya dari binatang? Perlakuan yang diterimanya tak ubah bagaikan burung merak yang dipelihara untuk dijual pada pedagang untuk diawetkan jadi pajangan. Tak berarti sama sekali. Eksistensinya bernilai nol.

Suara gagak yang bersahut-sahutan di tengah malam seolah ikut mengejek. Hinata menarik napas dan mengembuskannya ke telapak tangan, berusaha menghibur diri.

Ia akan dikorbankan. Demi kemakmuran desa katanya, Hinata bahkan bukan berasal dari desa ini. Omong kosong yang menggelikan. Perut Hinata serasa diaduk dengan jarum kala para wanita desa datang dan memperlakukannya bagai barang antik, padahal di belakang punggungnya, mereka tertawa dan mengejek nasib Hinata. Mengatakan dirinya beruntung akan bertemu dewa. Padahal Hinata paham benar maksudnya. Sudah buta, juga dijadikan persembahan. Ah, sial sekali.

Hinata sudah kebal. Mau mati detik ini pun ia tak peduli. Siapa dirinya yang berharap akan diselamatkan. Itu bohong belaka. Hinata menerima nasib tanpa banyak komentar. Barangkali Tuhan akan lebih bermurah hati di kehidupan mendatang padanya.

Mata pucat Hinata mulai mengatup. Tertutup. Mengingat beberapa hari ini akan jadi saat-saat terakhirnya menikmati apa yang disebut sebagai dunia.

...

Hinata benci tangan-tangan yang menyentuh wajahnya. Membalur wajahnya dengan tepung putih, mengoles gincu di bibirnya. Terasa lengket dan menjijikkan. Rambutnya ditarik, diikat, dijepit. Entah bagaimana, Hinata tak paham. Tusuk rambut disisip agak kasar, Hinata meringis. Sebelum didandani, ia dimandikan dengan air bunga, wangi. Cukup wangi untuk mengantar kepergiannya.

Saat keluar dari kuil tua itu, Hinata mulai bisa mendengar iringan doa dan lagu tradisional. Bisik-bisik warga desa ikut meramaikan. Ah, secepat itu mereka berharap Hinata akan dilenyapkan. Gadis itu mendengar kasak-kusuk. Wanita-wanita desa sungguh berisik. Hinata risih. Gerah rasanya.

"Berikan senyum terbaikmu, Dewa akan menjemput kala hujan datang nanti."

"Jasamu pada desa ini tidak akan dilupakan."

"Kau beruntung."

Hinata ingin mendengus mendengar ucapan mereka. Namun ia hanya diam tanpa berkata apapun. Keberuntungan yang mereka sebutkan nyatanya merupakan kesialan bagi setiap orang yang bernasib seperti Hinata. Itu kebohongan yang menjijikkan.

Benang merah diikat bagaikan gelang di kedua lengan Hinata, menandakan ia sebagai persembahan. Kimono panjang yan dipakainya juga tak kalah beradu. Warna merah terang yang menyakitkan mata. Dan Hinata tidak tahu bagaimana warna itu bisa membuat matanya nyeri, melihat saja tidak bisa, jangan bercanda. Mata Hinata ditutup dengan kain, diikat untuk membatasi penglihatannya. Hal yang aneh dilakukan saat mereka tahu bahwa Hinata buta dari lahir.

Langkahnya tegas. Hinata diarahkan menuju altar. Doa-doa yang tidak ia mengerti terlantun lama sebelum ia kembali ditarik menuju iringan, dinaikkan ke atas punggung kuda. Kuda yang dinaiki Hinata dibawa iringan warga desa menuju hutan di dekat bukit. Lantas Hinata merasa ngeri, angin yang menyapa tengkuknya terasa tak bersahabat. Ia menghela napas. Mempersiapkan diri.

Perlahan warga yang mengikuti iringan itu mulai berkurang, satu per satu berdoa di tepi kuil kecil lalu pulang ke desa tanpa memalingkan kepala lagi. Terus seperti itu sampai seorang yang tersisa membantu Hinata turun menuju altar kuil lalu pergi tanpa berkata apa pun juga selain menyuruhnya duduk di tengah altar.

Sendirian. Hinata tidak mengerti apa yang harus ia lakukan.

Hinata menghitung waktu. Dari angin kering yang menyapa kulitnya mulai terganti oleh angin lembab. Dari siang hingga senja mulai menjemput. Tanpa diduga, air hujan turun. Ah, ini yang wanita desa itu tadi katakan. Saat dewa datang, hujan lebat akan turun. Dewa akan memangsanya secepat halilintar menyambar. Hinata tetap duduk tenang. Tubuhnya dingin, air terus menghujam kimono tebal yang membuatnya sulit bergerak. Hinata bersusah payah menggunakan lengan kimono untuk mengusap wjahnya yang dihiasi bedak putih. Merahnya kimono telah dinodai putihnya bedak. Hinata tidak merasa bersalah.

Ia menatap langit membiarkan dandanan wajahnya luntur. Mata ungunya memandang kosong. Ia berbisik pada dirinya sendiri, "Saatnya mati, Hinata."

Petir menyambar sekali. Suara ranting yang patah terdengar, suaranya keras. Hinata menolehkan kepala ke sumber suara. Ia buta, bukan tuli. Namun tetap saja ia kesulitan memprediksi apakah di sana ada orang atau itu hanyalah ranting yang patah karena hujan.

"Manusia."

Hinata berjengit. Suara itu terdengar persis di sebelahnya, diembuskan tepat ke telinganya. Dan suara itu sama sekali tidak terdengar manusiawi.

"S-siapa ..." bisikan Hinata pelan, teredam suara hujan.

"Manusia tidak berhak tahu siapa aku. Kau yang seharusnya mengatakan siapa dirimu."

Balasan itu terdengar seperti hardikan. Langit bergemuruh. Petir menyambar cepat. Hinata diam. Jemarinya saling mengait, entah berdoa atau berharap ini akan cepat selesai. Bahwa kematian itu akan terasa singkat.

"Namaku ... Hinata."

"Hinata."

Nama itu disebut sekali lagi.

Benang merah di tangan Hinata ditarik. Lepas. Hinata mengatupkan kedua tangannya, bekas ikatan itu terasa nyeri. Tapi rasa nyeri itu tertutup rasa ngeri. Hinata berjengit ketika jemari yang terasa dingin menyentuh wajahnya, melepas ikatan kain yang menutup matanya. Sunyi terasa ketika orang yang Hinata anggap dewa itu terdiam.

"Ah, gadis buta rupanya. Menyedihkan sekali."

Meski sakit rasanya, Hinata tetap diam. Ia memang buta, namun ia tak merasa berbuat salah.

"Apakah persembahan gadis buta ini terlalu menyedihkan bagimu?" Hinata lantang mengucapkannya.

Diam. Hinata tak mendapat balasan. Dan mata ungunya masih menatap nyalang, meskipun ia tak tahu di mana dewa itu berada. Ini semua seolah permainan, dan Hinata menjadi pion yang bebas diperlakukan seenaknya.

"Tidak buruk. Aku menyukai mata itu," nada suara itu dingin. Membuat Hinata merinding.

"!"

Hinata terkejut saat matanya ditutup dengan telapak dingin yang terasa dingin layaknya salju. Ia memekik dan meronta. Namun percuma, kesadarannya terenggut oleh kegelapan. Hal terakhir yang ia rasakan adalah, hujan telah berhenti menghujam tubuhnya. Dan samar rasanya, matanya menangkap sedikit cahaya.

Ah, apakah begini rasanya kematian?

.

.

.

To Be Continued

.

.

Sebelumnya, saya mau berterima kasih pada semua partisipan SHDL ya~~~ :*

Pengumuman pemenang novel akan dikabari via facebook saya jadi stay tune! :))

A/N: Halo, lama tak bersua. Mungkin saya sudah dilupakan juga ya, hahah~~ Saya kembali menulis. Random sih ya. Kadang OS atau MC. Tapi saya tidak janji bakal update teratur. Soalnya ini ketikan juga dibuat pas muak sama makalah ilmiah. Dan ini saya ngetik via nyolong laptop orang jadinya ga bisa sering ngetik juga sih. Tidak bisa se-produktif dulu karena masa kuliah wajib diutamakan ya~ Terima kasih sudah membaca!

Thank you for reading! ^^v

Salam,

Ether-chan