Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto
Setting: selalu AU
Warning: diusahakan tidak terlalu OoC
.
.
.
~* Koi Monogatari *~
Utsukushii Koi
Cinta yang Indah
.
.
.
Hinata kembali berkutat dengan setumpuk kertas kosong dan alat menggambar lainnya. Sejak menjadi siswi sekolah menengah atas, membuat komik merupakan rutinitasnya di akhir pekan. Ia lebih memilih menjadi murid biasa yang tidak aktif dalam kegiatan klub sekolah, demi meluangkan waktu untuk menyalurkan hobinya—menuangkan imajinasinya ke dalam bentuk gambar dan tulisan.
Ada seorang pemuda yang belakangan menjadi sumber inspirasi untuk karya terbaru yang tengah dikerjakannya. Tokoh utama laki-laki dalam komiknya mirip dengan pemuda yang dikaguminya tersebut. Bahkan ia juga menempatkan dirinya sendiri sebagai pasangan sang pemuda dalam kisah berjudul Koi Monogatari yang kini digarapnya.
.
Suatu senja di musim panas, seorang bocah laki-laki menghampiri anak perempuan sebayanya yang menangis di tepi pantai.
"Kenapa kamu menangis?" tanyanya. Tetapi ia tidak mendapatkan balasan. "Hei, apa kamu seorang duyung?"
Akhirnya, untuk menghibur gadis cilik yang masih menangis itu, sang bocah memanggil kakeknya agar menceritakan kisah yang sering didengarnya menjelang tidur.
Seorang pemuda bertemu dengan gadis cantik di tepi laut, dan mereka saling jatuh cinta.
Sepasang mata gadis itu seperti lautan yang tenang—yang berbicara lebih banyak dibandingkan kata-kata. Faktanya, sang gadis adalah jelmaan duyung. Saat ia dalam wujud manusia, ia tidak bisa bicara.
Sungguh di luar kehendak mereka berdua, sang duyung harus kembali ke lautan karena para penduduk sudah mengetahui wujud aslinya.
Daripada mengucapkan selamat tinggal, keduanya lebih memilih untuk berciuman. Mereka percaya bahwa suatu hari nanti, mereka akan bertemu kembali … di tepi laut.
Sejak berpisah dengan sang duyung, pemuda itu selalu menghabiskan hari-harinya untuk memandang lautan.
Namun, sang duyung tak kunjung kembali….
Hingga suatu ketika, pada malam yang diterangi bulan purnama, sang pemuda berlayar mengarungi lautan dengan kebulatan tekad.
Dan pemuda itu tidak pernah kembali lagi….
Anak perempuan itu malah sedih mendengar cerita dari kakek si bocah berambut pirang, meskipun air matanya sudah berhenti mengalir. Ia lalu menoleh ke arah bocah laki-laki yang tersenyum lebar—yang mengepalkan tangan mungilnya di depan dada.
"Tapi aku yakin dapat menemukan dia," ujar bocah bermata biru itu dengan penuh tekad. "Jadi, angkat kepalamu dan berhentilah menangis, supaya kita bisa bertemu lagi di pantai ini."
.
Gadis berdarah Hyuuga itu menghentikan kegiatannya ketika mendengar rintik hujan. Perhatiannya direnggut oleh tetesan air yang membasahi jendela kaca kamarnya. Pandangannya menerawang setelah itu, angannya kembali berkelana ke hari dimana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan seorang pemuda yang sanggup memenuhi hati dan pikirannya dalam hitungan menit.
Waktu itu, langit juga menurunkan berkahnya….
.
.
.
Hinata melebarkan langkahnya karena langit mendadak mendung. Awan hitam berarak menyembunyikan matahari yang condong ke barat. Sekarang memang sudah memasuki musim panas, pantas saja tadi pagi ibunya menyarankan untuk membawa payung. Tetapi, ia benar-benar tidak mengira bahwa hujan akan turun hari ini, itu sebabnya seusai sarapan ia malah meninggalkan payung bening yang diletakkan ibunya di samping tas sekolahnya.
Gadis berambut panjang itu mendekap tasnya yang berisi buku dan beberapa lembar sketsa gambar. Titik-titik air mulai menghujani puncak kepala dan wajahnya. Beruntung ia sudah memasukkan sebagian bukunya ke dalam loker pribadinya di sekolah.
Langkah lebarnya berubah menjadi lari saat hujan semakin deras dengan hujaman air yang terasa menyakitkan di bagian kepala dan pundaknya. Berkali-kali ia harus menyeka air hujan yang memburamkan pandangannya, agar bisa melihat jalan yang dilaluinya.
Beberapa siswa-siswi lain berlari menyalipnya dengan menggunakan tas mereka sebagai tameng hujan. Lari Hinata memelan dan akhirnya terhenti ketika dirasakannya ada sesuatu yang menaunginya dari hujan setelah sebelah lengannya terasa ditarik.
Hinata sempat terkesiap tatkala bertemu pandang dengan sepasang mata yang tampak seperti lautan yang tenang. Seketika ia menundukkan pandangannya saat melihat senyum tipis yang disunggingkan oleh pemuda berambut pirang tersebut. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada tas sekolahnya yang basah, dan menggigil karena hujan deras telah mengguyur sekujur tubuhnya.
"Kenapa tidak berteduh?"
Dilihat dari seragam yang dikenakan, pemuda itu bukan siswa sekolahnya. Wajahnya juga masih terasa asing baginya. Atasan seragam musim panas siswa di sekolahnya memang berlengan pendek, tetapi logo di saku kemeja pemuda tersebut berbeda. Lagipula, sepertinya ini kali pertama ia berjumpa dengan pemuda berkulit tan itu.
"—Ru-rumahku sudah dekat," jawab Hinata tanpa berani membalas tatapan lawan bicaranya.
Pemuda itu membulatkan mulutnya tanpa suara. "Bareng sama aku yuk!" ajaknya. "Rumahku juga sudah dekat, tinggal belok kiri di perempatan sana."
Sang pemuda menguatkan ucapannya dengan menunjuk perempatan terdekat. Hinata mengikuti arah yang ditunjuk, harus berbelok ke kanan untuk mencapai rumahnya.
Hinata menurut, ia menghargai niat baik pemuda yang berjalan beriringan dengannya—yang bersedia memberinya tumpangan payung. Ia masih memeluk tas sekolahnya dengan erat karena baju seragamnya yang bermodel sailor seolah melekat pada kulitnya—apalagi berwarna putih. Ia cemas, bagaimanapun yang berjalan di sebelahnya adalah seorang laki-laki, walaupun pemuda itu terus melihat ke depan.
Dipikir-pikir, jika mereka berdua bertetangga, mengapa baru kali ini Hinata melihat pemuda jangkung tersebut?
"Oh, ya, aku Uzumaki Naruto," kata pemuda itu yang seakan bisa membaca pikiran Hinata, "… warga baru di komplek ini. Aku pindah ke sini tiga hari yang lalu, dan mulai tadi pagi aku menjadi murid Shirokin Gakuen."
Shirokin Gakuen; sekolah khusus laki-laki, tidak jauh dari sekolah Hinata.
Naruto tersenyum lembut sembari menoleh ke arah gadis di sampingnya, kemudian berkata lagi, "—Kamu?"
"A-aku siswi Monshiro Koukou,"—sekolah menengah atas swasta yang ditujukan bagi mereka yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi, "… namaku Hyuuga Hinata."
Naruto terlihat berpikir keras. "Hyuuga…?" gumamnya. Tak lama kemudian ia menjentikkan jari telunjuk dari tangan yang tidak digunakannya untuk menggenggam gagang payung, bersamaan dengan mulutnya yang terbuka karena teringat oleh sesuatu.
Langkah Hinata terhenti, mengikuti Naruto. Tidak terasa sudah sampai di perempatan, mungkin karena Hinata lebih sering menunduk.
"Aa~ kamu putri dari pemilik klinik itu, ya…?"
Gadis bermata bulan itu turut melihat objek yang dipandang oleh Naruto; bangunan bercat putih dengan papan bertuliskan Hyuuga Clinic—klinik milik keluarganya yang didirikan di samping rumahnya yang berlantai dua. Ayah Hinata, Hyuuga Hiashi, adalah seorang dokter. Ia kemudian mengangguk pelan.
Naruto menganggut-anggut tanda mengerti. Berikutnya ia mengangsurkan payungnya kepada Hinata, membuat gadis itu terdiam cukup lama karena bingung.
"Tidak ada ruginya aku mengikuti saran ibuku yang cerewet untuk bawa payung," kata Naruto disertai senyum lebar, "Pakailah."
"Ta-tapi…." Hinata ragu antara menolak atau menerimanya.
Hinata masih tampak setengah sadar saat Naruto berlari menjauh darinya setelah melambaikan tangan. Hujan masih turun, meski sudah tak sederas tadi. Tangan kanan Hinata menggenggam erat gagang payung yang menyisakan kehangatan Naruto. Ia bahkan masih bisa merasakan tangan hangat Naruto yang sempat menyentuh kulitnya ketika menyerahkan payung bening tersebut.
Gadis berambut gelap itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari sosok Naruto yang semakin menjauh karena sebuah mobil yang hendak lewat di depannya. Ia menepi namun belum beranjak pulang—dengan perhatian tetap lurus ke arah perginya Naruto, walau pandangannya masih terhalangi mobil putih yang besar.
Hinata mendesah kecewa karena Naruto sudah tidak terlihat lagi setelahnya. Ia melangkahkan kakinya dengan berat menuju rumahnya yang tidak jauh dari perempatan. Sesekali ia menengok ke belakang, berharap masih bisa melihat sosok pemuda tinggi tersebut. Sayangnya yang terlihat hanya jalanan yang lengang sampai ia memasuki pagar rumahnya.
Hinata sempat berpikir bahwa pemuda itu aneh. Jika hanya sekadar memberikan tumpangan, seharusnya Naruto mengantarkannya terlebih dahulu ke rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi. Selanjutnya Naruto bisa pulang tanpa kehujanan—tanpa harus meminjamkan payungnya kepada Hinata.
Entah Naruto sengaja atau tidak. Namun … mereka berdua jadi memiliki alasan untuk bertemu kembali.
.
.
.
Lamunan Hinata buyar mendengar suara ayahnya dari balik pintu kamarnya. Ia melihat jam di meja belajarnya, sudah waktunya makan siang. Pantas saja ayahnya menyuruhnya untuk segera bergabung di meja makan.
"Baik, Otousan…," sahut Hinata seraya membereskan peralatan menggambarnya.
Di tengah kegiatannya, Hinata tersenyum sendiri karena teringat Naruto. Ia menyadari bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin ia memang naif, namun baginya cinta yang indah adalah cinta pertama.
.
.
.
~* TSUZUKU *~
.
.
.
Hanya fic pendek dan ringan yang terdiri dari sembilan chapters. Terinspirasi dari game—untuk kisah tentang duyung dan pemuda. Terima kasih untuk kalian semua yang bersedia membaca. Sampai jumpa…. ^^v
