Harvest Moon DS CUTE © Natsume Inc.
Secret and Truth © DarkFantasia
Alur datar, OOC, typos, AU dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.
.
=SecretandTruth=
Barisan penonton bersorak di sepanjang arena balapan. Bising suara ban-ban yang bergesekan dengan aspal jalanan, menjadi ciri khas di setiap pertandingan. Tidak sampai dua puluh meter lagi, mobil yang kukendalikan sudah hampir tiba di garis finish, aku bersiap menyambut kemenangan manis yang kuperjuangkan selama ini. Bibirku gemetar, bersiap meneriakkan jeritan bahagia atas kemena—
"JILL! AYO KITA MAIN LAGI!"
Tch, mobilku berubah haluan sebanyak sembilan puluh derajat dan, "BRAAK!" menabrak rival di sebelah kiri! Gagal sudah semuanya! Beberapa mobil lain yang di belakangku melewati mobilku begitu saja. Terlalu cepat merasakan kepahitan.
"AH! SIAL, AKU KALAH Di GRAND FINAL! ROCK, JANGAN HARAP KAU AKAN SELAMAT SETELAH MENGAGETKANKU SEPERTI ITU!" bentakku kesal dari dalam rumah, untung saja joystickku masih selamat dari pelampiasan amarahku. Benar-benar interupsi di saat yang tidak tepat. Mengganggu konsentrasi, menghancurkan semua kerja kerasku. Setelah mematikan PlayStationku, dangan wajah horor aku menyambut Rock yang sudah menunggu di luar.
Dan saat itu aku bersyukur ibuku belum pulang dari tempat kerjanya, meski sudah hari beranjak sore.
Bocah lelaki berambut pirang itu menautkan sepasang alisnya dan memicingkan kedua matanya, hingga dua detik kemudian cengiran konyol itu nampak di wajahnya.
"Ada apa?" tanyaku singkat, moodku rusak sudah.
Rock memutar bola menggunakan jari telunjuk kanannya, "Kan aku sudah katakan, ayo kita lanjutkan permainan yang kemarin!"
"Tch, kau ini benar-benar—tidak, aku tidak mau. Dah." Pintu kayu rumahku terdengar berderit saat aku menutupnya, meninggalkan Rock yang masih terpaku di depan sana. Kurebahkan tubuh yang masih bergetar karena menahan emosi. Siang malam aku mencuri waktu untuk menamatkan game itu, dan sekarang? Tak usah kujelaskan lagi. Maklum, aku adalah anak tunggal, dan hanya tinggal berdua bersama Ibu. Jadi aku tumbuh menjadi pribadi yang agak sedikit egois dan otoriter, karena sudah biasa dimanja.
Tok. Tok.
Terdengar suara ketukan pintu. Jemariku meremas ujung baju yang kupakai.
"ADA APA LAGI, SIH? KAN SUDAH KUBILANG A—" teriakanku terhenti saat melihat seseorang di balik pintu itu bukanlah Rock. Bisa kurasakan wajahku yang memanas karena malu.
"Maaf! Maaf! Maaf maaf maaf ma—"
"Sudah tak apa. Ini ada paket kiriman lagi." Bapak berseragam itu memberikan sebuah kotak yang terbalut kertas merah muda dan berpita berwarna senada pula. Sangat cantik dan eye catching. Manis sekali. Mataku panas, tanganku menerima kotak itu.
"Silakan tanda tangan di sini, dan di sini." Pengantar paket itu meminjamkan pulpen yang ada di kantong kemejanya padaku.
Sret. Sret.
"Ini, Pak. Terima kasih, sekali lagi maaf." Aku membungkukkan badanku, Pak Pos itu tersenyum dan berlalu.
Lagi-lagi aku menerima kiriman tanpa identitas. Aku tidak terlalu terusik untuk mencari si pengirim, karena hal ini sudah rutin sejak beberapa tahun yang lalu setiap bulannya. Selalu dikemas secara sangat-amat girlie. Uh, tak ketinggalan isinya yang juga memang dikhususkan untuk anak perempuan. Tapi tak sekalipun aku pernah menggunakan barang-barang yang kuterima itu. Seluruhnya, ya, seluruhnya kuberikan pada sahabat karibku, Claire. Dialah yang pantas mendapatkan itu semua, bukannya aku.
"Aaaaaah Jill, manisnyaaaa boneka iniii!" Itulah salah satu kalimat yang kuingat saat aku memberikannya boneka beruang besar berwarna putih. Benar-benar anak yang feminim. Dan aku hanya bisa menggumam, 'Aku hanya ingin yang asli untuk kupelihara.'
Kedua kakiku melangkah menuju kediaman Claire, yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Aku memilih jalan yang tersingkat, melalui gang-gang kecil yang sepi. Untuk apa lagi kalau bukan buat menyerahkan paket yang kuterima? Kalian tahu, kali ini adalah gaun panjang berenda berwarna violet. Seharipun aku tidak pernah menyimpan barang-barang seperti itu. Tidak akan.
Seseorang menepuk pundakku, "Permisi, adik tahu alamat ini?" lelaki berpostur tinggi besar, memakai jaket dan kacamata hitam, memperlihatkan kertas yang tertulis tangan tidak terlalu jelas meski masih dapat terbaca.
"Oh, alamat ini? Kalau dari sini Bapak ambil jalan ke—umph!" Tiba-tiba aku dibekap dari belakang menggunakan sapu tangan yang beraroma manis namun menusuk. Aku tidak cukup kuat untuk berontak, karena kedua tanganku dicengkram erat. Tubuhku perlahan terasa lemas dan kelopak mataku memberat.
=SecretandTruth=
Tenggorokanku tercekat, saat aku merasakan debu yang tidak sengaja terhirup.
"Uhuk! Uhuk!" Aku berusaha melegakan jalan napasku. Aku memang alergi debu, oleh sebab itu furnitur si rumahku sebagian besar berwarna putih, supaya bisa selalu dibersihkan jika terlihat sedikit kotor. Untung saja aku masih bisa bernapas. Hei, tubuhku... diikat?
Pandanganku sedikit demi sedikit beradaptasi dengan lingkungan sekitarku yang sedikit gelap. Ruangan ini sempit, dengan kardus dan kayu yang bertumpuk tidak teratur dimana-mana. Tidak ada lampu, hanya secercah cahaya yang masuk melalui jendela berjeruji. Sepertinya sudah malam, bagaimanapun caranya hari ini aku harus pulang! Aku tidak ingin membuat Ibu khawatir!
Samar-samar kulihat dua orang pria dengan gestur yang menyeramkan, sedang menghampiriku.
"Sudah bangun, Nona Kecil?" tanya seorang di antara mereka yang berambut jabrik hitam dan bersinglet putih di hadapanku. Aku hanya memandangnya tajam.
"Kau bisu? Keputusan kita benar untuk tidak menyumpal mulutnya." Pria lainnya yang botak dengan jambul yang tersisa seakan membelah kepalanya berdiri angkuh di depanku.
"Ck, kenapa aku bisa disini?" tanyaku perlahan. Seminim mungkin aku tidak akan mengeluarkan jurus bela diri yang kupelajari selama ini.
"Ah, bisa bicara juga rupanya. Kenapa? Karena memang seharusnya kau ada di sini, Nona! Muahahaha." Pria bersinglet tadi tertawa lebar-lebar.
'Tch, memang apa lucunya pertanyaanku tadi?' batinku geram.
"HEY MAKHLUK BEROTOT TANPA OTAK, KENAPA AKU BISA ADA DISINI? SIAPA KALIAN, DAN INI DIMANA?" bentakku seraya mengepalkan kedua tanganku meski terikat di belakang pinggangku. Kedua orang itu tampak kaget.
"Santai saja, melakukan hal bodoh seperti itu hanya akan membuat energimu terbuang secara sia-sia." Pria yang tadi tertawa, duduk dan meluruskan kakinya.
"Lalu tujuan kalian apa, hah?" Nada bicaraku agak turun dibandingkan yang sebelumnya. Ada benarnya juga, aku tidak boleh menggunakan energiku sia-sia, belum tentu malam ini perutku diisi. Pria berjambul pirang itu tersenyum picik ke arahku.
"Aku hanya ingin melihat Gray menderita!" Sesosok wanita paruh baya mengenakan tudung di kepalanya, menutupi sebagian besar wajahnya. Hanya bibirnya saja yang terlihat. Sepatu hitam berhaknya menginjak lantai yang kotor. Jemarinya memegang kipas lipat, yang menutupi sebagian wajahnya yang lain. Kaki jenjangnya melangkah membawanya mendekatiku.
"Gray?"
=SecretandTruth=
TO BE CONTINUED
Terima kasih sudah membaca fic ini, heh heh. Fic yang sangat singkat, eh?
Maaf kalau Jillnya OOC dan labil juga meledak-ledak, habisnya saya ga tau aslinya kayak gimana, jadi ngarang-ngarang sedikit (?). Yah, namanya juga fiksi XD
Sebelumnya saya terpikir untuk mengganti tokohnya menjadi Claire, tapi dengan berbagai pertimbangan hal itu dibatalkan! Wuahaha abaikan
Hem, kalau boleh tanya, rambut Cody warna pirang 'kan? Atau kecoklatan? Sudahlah, pirang saja. Iya 'kan? maksa
Mengenai judul, apa menurut kalian judulnya sudah pas? Jujur saja saya agak kesulitan dalam menentukan judul... Sebelumnya berjudul The Truth, diubah menjadi Truth and Secret, hingga dibalik menjadi yang seperti ini, Secret and Truth. Aduh, labilnya...
Sebenarnya fiksi adalah semacam cerpen yang saya buat dari setahun yang lalu, tapi belum—lebih tepat disebut tidak—diselesaikan, karena kemalasan saya /plak. Hanya penggantian nama dan perbaikan pola tulisan saja yang saya lakukan. Maklum, saya ceroboh dan ga sabaran =="
Dan juga maaf karena Your Sacrifice belum dilanjutkan, WB melanda -_-
Kritik, saran dan celaan membangun sangat dipersilakan di kolom review
-salam
