Bagian 1
Jeon Wonwoo bukan membenci sejarah, dia hanya tidak suka bagaimana masyarakat Korea terlalu mengelu-elukan Kim Mingyu sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya membebaskan Juseon dari Penjajahan Jepang. Tidak apa jika dia hanya masuk dalam daftar salah satu pahlawan dalam urutan 50 besar atau mungkin 100. Yang membuat wonwoo tidak nyaman adalah, ketika orang-orang mulai menyamakan Kim Mingyu dengan Kim Yushin, Jendral termashyur dari Dinasti Silla.
Wonwoo tidak menampik jika Kim Mingyu sangatlah berjasa. Tapi jika untuk di bandingkan dengan Kim Yushin, Kim Mingyu masih jauh di bawahnya. Satu-satunya hal yang menguntungkan Kim Mingyu adalah pangkatnya sebagai Raja. Dalam hal kepemimpinan, Wonwoo yakin Laksamana Yi Shunsin yang berada di zaman yang sama dengan Kim Mingyu jauh lebih bijaksana dan berwibawa.
Sejauh ini, tidak ada hal lain yang Wonwoo dengar dari Kim Mingyu selain ketampanannya dan kebaikkan hatinya. Tidak ada yang patut di puji berlebihan dari sosok Kim Mingyu. Melindungi Kerajaannya dan mengusir penjajah dari tanah Korea memang sudah menjadi tugasnya sebagai seorang Raja, bukan? Tapi sayangnya, Yoo Saem, Guru Sejarahnya ini tidak akan pernah bisa menerima cara pandangnya. Guru wanita itu terlalu mengagumi Kim Mingyu, bahkan mengunggulkan ketampanannya di setiap bahasannya tentang Kim Mingyu dan Dinasti Juseon.
Sama seperti hari ini, terhitung ini menjadi ke 5 kalinya Wonwoo berdebat dan selisih cara pandang tentang Kim Mingyu dengan Gurunya itu. Sebagai murid, ego Wonwoo cukup besar. Dia tidak mau di salahkan dan yakin jika pendapatnya itu benar. Yoo Saem juga sama, harga dirinya di pertaruhkan sebagai seorang Guru. Tidak mungkin beliau memilih diam dan mengalah saat murid-nya coba berdebat di depan murid-murid lainnya.
"Sejarah itu seperti karangan. 70% cerita, dan sisanya adalah real. Bagaimana bisa Saem mempatokkan Raja Kim Mingyu dari buku-buku sejarah selama ini? Tidak ada yang bisa membuktikan jika Kim Mingyu pantas di setarakan dengan Jendral Kim Yushin"
Wonwoo bangun dari tempat duduknya. Dia mengeluarkan pendapatnya dengan semangat dan berapi-api. Di sisi lain, Gurunya pun tidak mau kalah. Beliau merasa pengetahuannya tentang Sejarah sangatlah jauh dari Jeon Wonwoo. Pangkatnya sebagai seorang Guru lah yang membuktikan itu semua. Tapi Jeon Wonwoo ini selalu tidak sopan, sudah tidak terhitung lagi berapa kali anak didiknya ini mematahkan perkataannya.
"Jeon Wonwoo, kau selalu mengagungkan Samguk yusa vol. 1 milik Jendral Kim Yushin, apakah kau yakin itu benar-benar tulisannya? Apakah kau telah lahir di zaman Dinasti Silla? —" Yoo Saem memutari mejanya, duduk sedikit diatas mejanya, bersidekap dada dan menatap kesal pada Jeon Wonwoo "—Kita semua tidak ada yang lahir di zaman Dinasti Silla ataupun Joseon. Keakuratan Sejarah tidak seharunya kau pertanyakan. Para sejarahwan bahkan menyelidiknya bertahun-tahun lewat catatan-catatan yang di tulis oleh orang-orang yang terlibat pada masa itu. Kau meragukan Sejarah, maka kau meragukan negara ini."
Wonwoo mendengus. Gurunya ini terlihat sekali tidak ingin kalah dari ucapannya. Harga diri beliau terlalu tinggi, dan Wonwoo membenci mereka orang-orang dewasa yang selalu merasa benar dan tidak ingin di kritik. Baru saja ia akan membalas perkataan Gurunya kembali, Wanita itu sudah mengangkat tangannya, menyuruhnya diam dan kembali duduk.
"Ini awal tahun terakhirmu, Jeon Wonwoo. Buatlah kenangan manis dengan guru-gurumu. Jangan pernah merasa lebih pintar dari guru-gurumu. Ini terakhir kalinya aku ingin mendengar bantahan keluar dari mulutmu, tapi tidak untuk lain kali. Sebagai hukumannya, kau harus mempelajari seluruh sejarah tentang Raja Kim Mingyu di Museumnya selama sebulan ini. Aku ingin mendengar laporanmu setiap harinya, mengerti?"
Kebiasaan seorang Guru, menghindar dan menghadiahkan tugas kepada Murid untuk menghindar agar harga dirinya tidak terlalu jatuh. Mainstream sekali.
"Bahkan Museum itu juga berlebihan. Jendral Kim Yushin hanya di bangunkan patung, bukan Museum sebagai tanda penghormatan," Gerutu Wonwoo kencang yang masih dapat di dengar oleh yang lainnya.
Yoo Saem yang baru akan keluar kelas, menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Wonwoo kembali.
"Jangan coba-coba menghindar dari Tugas ini Jeon Wonwoo. Nasib kelulusanmu berada di tanganku. Dari seluruh pelajaran, hanya nilai sejarahmu yang paling memprihatinkan," ucapnya penuh penekanan lalu keluar dari kelas. Menyisakan Wonwoo dengan perasaan kesal dan muaknya.
Hal yang juga selalu di jadikan bahan untuk melindungi diri seorang Guru.
Ancaman nilai!
Kuno sekali.
"Baiklah Saem."
... Distance ...
Wonwoo bukanlah anak manis yang bisa menerima begitu saja ancaman Yoo Saem. Terbukti setelah tugas yang di berikan Yoo Saem berlalu selama 3 hari, tidak ada sedikitpun niat Wonwoo untuk mengunjungi Museum dan menyerahkan tugasnya.
Yoo Saem terus mengincarnya, mencarinya setiap jam istirahat ataupun jam pulang. Ketika jam pelajarannya tiba, Wonwoo merasa berterimakasih kepada Gong Saem, guru matematikanya, yang memintanya berlatih untuk olimpiade sains di musim mendatang. Meski sudah masuk awal semester kelas 3, Wonwoo masih di percaya mewakili sekolah dalam ajang olimpiade tingkat nasional itu.
Tapi sayangnya, hari ini Wonwoo tidak bisa menghindar lagi dari Yoo Saem. Guru wanita itu sangat cerdik dengan mendatangi Gong Saem dan mengganti jadwal latihannya. Wonwoo bahkan harus mendapatkan sedikit ceramah dari Gong Saem karena aduan berlebihan dari Guru wanita itu. Wonwoo hanya dapat mendengus kesal melihat bagaimana Guru wanita itu tersenyum puas di saat Wonwoo tidak lagi dapat menghindar.
"Kau sepertinya tidak takut dengan ancamanku, Jeon Wonwoo."
"Guru tidak seharusnya mengancam muridnya melalui nilai," sindir Wonwoo dengan jengah.
Yoo Saem tertawa kecil, menjiwir telinga Wonwoo hingga memerah. "Jangan menjawab ku lagi!" kesalnya.
Suasana ruang guru menjadi ramai dengan rintihan Wonwoo yang terus di pukuli dengan buku absen karena tidak berhenti menjawab setiap omelan Yoo Saem.
Sebenarnya Wonwoo adalah anak yang cukup manis. Dia tidak pernah bermasalah dengan guru lain, bahkan nilai-nilainya sangat memuaskan. Satu-satunya guru yang bermasalah dengannya hanyalah guru sejarah. "Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku, Jeon Wonwoo. Pergi ke Museum hari ini, atau kau akan melihat telur dalam nilai sejarah mu pada rapor bayangan!".
"Saem!"
"Tidak ada protes. Laksanakan atau kelulusanmu hanyalah angan-angan."
Pada akhirnya Wonwoo mengaku kalah. Dia keluar dari ruangan Guru dengan wajah kesal dan di tekuk. Melirik sinis siapapun yang menyapanya saat di koridor sekolah. Membayangkan duduk di dalam museum dengan segala peninggalan milik Raja Kim Mingyu saja sudah membuatnya gerah. Apalagi hal ini harus bertahan selama satu bulan. Semua ini sungguh membuatnya sesak.
... Distance ...
Ia tidak percaya pada akhirnya ia akan menginjakkan kakinya kedalam Museum besar ini. Baru satu langkah menginjak pintu masuk Museum yang cukup besar, Wonwoo sudah berdecak dan kembali mencibir pemerintah yang terlalu berlebihan mengenang jasa Raja Kim Mingyu.
Bangunan Museum ini sangat modern. Bahkan terlalu modern dengan design eropa minimalis dan dinding kaca transparan yang mendominasi. Ada taman serta air mancur dengan batu-batu alam di sekeliling Museum. Wonwoo suka tempat ini, begitupun designya. Ia hanya tidak suka fakta bahwa bangunan sebagus ini, di bangun untuk menghargai jasa seorang Raja yang hilang ketika berhasil menyelamatkan tanah kekuasaannya.
Ketika masuk kedalam, Wonwoo di sambut oleh seorang penjaga dan seorang resepsionis. Dia membayar tiket masuk Museum dan menjelaskan tujuannya datang ke Museum untuk tugas sekolah. Sang resepsionis langsung saja memberikan Wonwoo brosur dan panduan digital dengan alat berbentuk menyerupai bolpoin. Sesaat Wonwoo terlalu asik dengan panduan digital itu. Dia memencet seluruh tombol yang mengeluarkan sedikitnya 5 bahasa berbeda sebagai panduan. Beberapa kali dia juga tertawa sendiri ketika coba mengikuti gaya bahasa yang keluar dari alat panduan digital itu. Membuat sang resepsionis dan seorang penjaga, hanya mampu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir melihat Wonwoo.
Ruang pertama yang terletak di sisi pintu masuk adalah berbagai alat yang pernah di gunakan oleh Raja Kim Mingyu sehari-hari. Ada futon sutera yang indah, cerutu kecil dari kayu yang sangat kuat pada zaman itu, hingga gayung bambu yang biasa di gunakan Raja Kim ketika mandi. Wonwoo penasaran ingin merasakan selembut apa futon sutera milik seorang Raja. Karena Museum sendiri tidak di lengkapi kaca pada setiap benda-benda bersejarah sebagai pembatas, hal itu cukup memudahkan Wonwoo jika ingin menyentuh. Tapi sayangnya, penjaga lain yang sedang berkeliling menangkap niat nya, dan segera memperingatkannya.
"Kenapa kalian anak-anak sekolah susah sekali di beritahu? Jangan menyentuh apapun disini. Cukup lihat saja dan dengar penjelasannya. Tidak di batasi kaca bukan berarti kalian bisa menyentuh!"
Setidaknya itulah potongan omelan yang Wonwoo bisa ambil dari penjaga bertubuh tambun. Wonwoo membungkuk meminta maaf dan penjaga itu masih dengan gerutuan panjangnya meninggalkan Wonwoo. Merasa tidak ada yang bisa di pelajari dari barang-barang pribadi di ruangan pertama, Wonwoo beralih di ruangan kedua yang letaknya sedikit memojok melewati kolam dan air mancur buatan di tengah-tengah Museum. Wonwoo mengagumi sesaat dan mengambil beberapa foto disana sebelum kembali melanjutkan perjalanannya.
Ruangan kedua adalah ruangan yang paling Wonwoo suka ketika ia baru masuk ruangan itu. Aroma buku-buku menyapanya, dan Wonwoo bisa melihat bagaimana buku-buku kuno yang nampak usang itu masih berjejer rapih dan terawat di tempatnya. Orang zaman dahulu menjadikan kulit pohon maple yang kuat sebagai bahan untuk membuat lembaran kertas. Itulah alasan kenapa buku-buku ini masih awet dan hanya sedikit rapuh di beberapa bagian.
"Oh Gulseok vol. 1 juga ada disini."
Gulseok vol. 1 adalah salah satu peninggalan Raja Kim Mingyu. Wonwoo pernah mendengarnya beberapa kali, tapi ia tidak berniat untuk membacanya karena buku itu hanyalah ulasan dan cerita pribadi Raja Kim tentang seseorang yang di cintainya.
Selanjutnya perhatian Wonwoo teralih pada sebuah ikat kepala berwarna merah di sisi Gulseok vol. 1, hanya sebuah ikat kepala biasa yang banyak di gunakan oleh para bangsawan pada zaman itu, tapi yang membuat Wonwoo heran, kenapa ikatan kepala itu harus berada di ruangan dengan deretan buku-buku ini? Kenapa juga harus di samping Gulseok vol. 1? Bukankah seharusnya hal sepeti itu di letakkan di ruangan pertama?
Kembali rasa ingin tahu Wonwoo yang tinggi menghinggapinya. Dia coba menyentuh ikat kepala itu, tapi anehnya ia justru merasa gugup ketika ujung jari telunjuknya mulai menyentuh permukaan halus bahan ikat kepala itu. Wonwoo memutuskan untuk kembali menarik tangannya. Merasa tidak berani untuk menyentuh ataupun menggenggamnya.
Wonwoo menekan ujung pemandu digital pada sebuah hologram berwarna silver di sisi luar batas tempat ikat kepala itu di letakkan. Rakaman suara penjelasan tentang ikat kepala itu mulai keluar, dan perasaan Wonwoo entah mengapa jadi gelisah ketika mendengarnya.
"Gulseok Cha Byog, Raja memberi ikat kepala itu dengan nama yang artinya madu di musim semi. Ikat kepala ini peninggalan seorang prajurit terdekat Raja Kim. Raja Kim mem..."
Wonwoo menganggukan kepalanya mengerti dan membuat kesimpulan jika ikat kepala itu begitu berarti untuk Raja karena beliau memberinya nama seindah itu. Tapi yang membuat Wonwoo tidak mengerti adalah, kenapa ikat kepala itu harus di letakkan di ruangan ini bersama buku-buku?
Terlepas dari seluruh keanehan ikat kepala itu, Wonwoo kembali menyusuri ruangan lain. Kali ini letaknya ada di lantai dua. Museum ini mempunyai tangga eskalator yang membuatnya mudah untuk pindah dari lantai satu ke lantai lainnya.
Melewati ruangan 3, Wonwoo lebih tertarik masuk keruang 4. Di sana berisi alat-alat perang hingga peninggalan baju-baju perang yang pernah di pakai oleh Raja Kim. Ada juga pelindung besi yang beratnya mencapai 10kg. Segala jenis pedang berjejer dengan rapih di tempatnya. Ada juga pisau-pisau kecil, dan pemanahan besi yang cukup besar. Wonwoo membayangkan dirinya mengenakan semua itu, dan tiba-tiba ia mulai mengeluh membayangkan bagaimana nanti tubuh kurusnya akan tenggelam dengan semua alat yang beratnya berkilo-kilo gram seperti itu.
Selanjutnya perhatian Wonwoo teralihkan pada sebuah pisau kecil dengan ikat tangan sutera hitam di pergelangannya yang terletak tepat di samping jubah perang milik Raja.
Tidak ingin kembali gugup saat akan menyentuh ikat kepala tadi, Wonwoo memutuskan untuk langsung mengetahui pisau kecil dengan ikatannya itu melalui pemandu digital.
"Pisau Kerajaan turun temurun yang di berikan oleh Raja Kim kepada salah satu Prajurit terdekatnya. Biasanya pisau itu digunakan untuk menekan tawanan saat dalam jarak cukup dekat. Pisau itu juga..."
Wonwoo langsung mematikan penjelasan lebih lanjut tentang pisau itu. Kini pikirannya memikirkan tentang siapa Prajurit terdekat Raja pada masa itu? Apakah pemilik ikat kepala itu adalah Prajurit yang sama dengan Prajurit yang Raja berikan pisau kecil ini? Wonwoo mulai berpikir, kenapa dua dari peninggalan Raja Kim yang Wonwoo temukan berkaitan dengan Prajurit yang sepertinya begitu di spesialkan oleh Raja Kim? Apakah jika ia menelisik seluruh isi Museum ini akan ditemukannya banyak lagi hal-hal yang menyangkut tentang Raja Kim dan Prajuritnya itu?
Ini aneh. Tapi Wonwoo merasa gemetar saat melihat kedua benda yang berhubungan dengan Prajurit Raja Kim itu.
"Ah sial!"
Di tengah kebingungannya, Wonwoo tersandung tali sepatunya sendiri. Tangannya bersandar pada alas kain sutera etalase besar tempat Pisau kecil tadi dan jubah Raja tersimpan. Seketika Wonwoo merasakan perih pada telapak tangannya yang mengeluarkan darah ketika tanpa sengaja menekan sesuatu yang keras dan tajam di bawah alas.
Wonwoo mengumpat. Mengambil sapu tangannya untuk membersihkan sedikit noda darah. Ia berpikir jika yang di tekannya adalah alas penyangga tempat pisau kecil itu. Maka dari itu ia membuka alasnya dengan cepat dan ingin memukul penyangganya karena telah melukai dirinya. Tetapi yang di temukannya justru adalah hal lain
Sebuah batu keras berbentuk persegi panjang dengan potongan tidak rapih pada ujungnya.
Jadi, batu ini yang membuat tangannya terluka?
Wonwoo mengambil batu itu. Menatapnya lekat dan mengutuk petugas kebersihan Museum yang tidak rapih. Ia memutuskan menyimpan batu tersebut di dalam tas sebelum membuangnya setelah keluar dari Museum ini nanti.
Merasa mulai lelah, Wonwoo mencari sandaran dan menjadikan etalase kayu yang kosong sebagai dudukan. Tidak peduli jika ada penjaga yang liat dan ia akan kembali di marahi. Ia hanya butuh sandaran untuk duduk beberapa menit sebelum kembali mengelilingi Museum besar ini.
Wonwoo berpikir etalase kayu yang tengah di dudukinya adalah sebuah etalase tua. Sedikit bergerak saja, etalase kayu ini membuat suara decitan. Karena merasa janggal, Wonwoo coba sedikit menggeser tubuhnya agar kaki etalase kayu ini sejajar. Bukannya kenyamanan yang di dapat, Wonwoo justru membuat kaki etalase menekan sesuatu hingga sebuah etalase besar di belakangnya perlahan bergerak, memutar dan menunjukan sebuah pintu besi besar yang terbuka.
Ia terkejut hingga tanpa sadar loncat dari tempatnya. Ini seperti di film, etalase berputar dan mengarahkan pada sebuah ruangan yang mungkin saja menyimpan banyak rahasia.
Wonwoo melihat sekitar. Memastikan tidak ada yang mendengar suara gerakan pergeseran etalase tadi. Dia berdiri di ambang pintu. Menimbang haruskan ia masuk atau tidak? Sesaat ia berpikir untuk mengabaikannya dan memberitahukan ini kepada petugas. Tapi sesaat kemudian rasa penasarannya menekan, memaksanya untuk masuk dan mengeksplor ruangan itu.
Saat masuk kedalam, Wonwoo merasa tidak ada yang spesial. Ternyata ini hanyalah gudang tidak terpakai. Banyak sekali barang-barang usang yang tertupi debu. Ada beberapa batu prasasti yang hanya di tutupi oleh terpal tipis, dan Wonwoo hanya meliriknya sekilas. Berada beberapa menit dalam gudang ini membuatnya sesak. Wonwoo memutuskan untuk cepat-cepat keluar sebelum petugas menemukannya. Tapi lagi-lagi sesuatu menahannya.
Ini konyol, ada sebuah cahaya dari arah kolong rak menarik perhatiannya. Wonwoo mendekat, membungkuk dan mengintip dari kolong untuk melihat cahaya itu. Namun sayangnya cahaya tersebut hilang ketika ia mencoba untuk melihatnya. Merasa penasaran, tangannya terulur ke kolong rak untuk menggapai sebuah benda yang menjadi sumber cahaya tadi.
Itu sebuah batu. Sepertinya prasati yang terpisah dari tempatnya. Tapi, kemana perginya cahaya tadi?
"Hey nak! Apa yang kau lakukan disana?"
Pada akhirnya petugas memergokinya. Buru-buru Wonwoo menyembunyikan prasasti itu dan memasukkannya kedalam tas. Saat petugas lelaki itu mendekat, Wonwoo mendadak gugup. Petugas itu menatapnya dari atas hingga bawah dan menyuruhnya untuk cepat keluar.
Dengan kegugupan yang tinggi, Wonwoo mengangguk kaku, dan segera berlari keluar dari gudang. Mengembalikan pemandu digital pada receptionist dan berlari sekencang mungkin keluar dari Museum.
"Huh... huh... apa yang aku lakukan? Kenapa aku berlari?"
... Distance ...
"Ada ayam siap goreng di dalam lemari pendingin. Goreng itu saja untuk makan malam, Ibu dan Ayah akan pulang sedikit larut. Hati-hati di rumah, jangan lupa kunci pintu dan langsung tidur setelah belajar. Dari Ibumu yang cantik'
Rumahnya kosong karena kedua orang tuanya sedang pergi makan malam. Wonwoo tidak sedih karena tidak di ajak. Ini hal biasa ketika menjelang sabtu malam. Orang tuanya selalu pergi berkencan, dan ia sendiri di rumah. Nasib sebagai seorang anak tertua, tapi Wonwoo menikmati semua kehidupannya ini.
Setelah menggoreng dua potong Ayam untuk dirinya sendiri, Wonwoo bergegas masuk kedalam kamarnya untuk mandi dan mengganti baju. Ia merasa lelah pada tubuhnya dan memutuskan untuk langsung pergi tidur setelah mandi. Tetapi, apa yang terjadi tadi saat di Museum membuat rasa lelahnya pergi.
Dengan handuk yang masih menggantung di leher dan piyama yang sudah di kenakannya, Wonwoo membawa tas sekolahnya keatas single bed miliknya. Dia mengambil prasasti yang tadi di ambilnya saat di museum. Di telisiknya prasasti itu secara detail dan memutarnya kekanan dan kiri.
"Dari mana cahaya tadi berasal?" gumamnya bingung.
Sekarang prasasti itu di kocok-kocok berharap cahaya tadi kembali keluar, namun setelah beberapa saat tidak ada apapun yang terjadi. Wonwoo muak dan lelah, dengan kesal ia membanting prasasti itu di atas kasurnya. Sekarang rasa kantuknya sudah hilang, Wonwoo memutuskan untuk latihan soal-soal matematika dari Gong Saem. Saat akan mengeluarkan seluruh isi didalam tasnya, Wonwoo melihat batu yang tadi sempat melukai telapak tangan kanannya. Harusnya batu itu ia buang. Tapi ia lupa karena tadi keluar dengan terburu-buru dari Museum.
Wonwoo memperhatikan batu itu. Batu tersebut memiliki corak dan pahatan. Apakah ini potongan sebuah prasasti? jika benar, maka bentuknya mirip dengan...
"Ya Tuhan! Prasasti bercahaya itu!"
Segera Wonwoo menarik prasasti yang tidak jauh dari tempatnya. Jika di perhatikan, prasasti itu bentuknya cukup aneh, seperti ada bagian yang hilang. Begitupun dengan batu yang ternyata sebuah prasasti juga. Jika keduanya di satukan, apakah mungkin akan...
"Cocok?" Wonwoo menutup mulutnya tidak percaya.
Ternyata batu itu adalah pecahan dari prasasti bercahaya. Ini sungguh menakjubkan dan sulit di percaya. Semua seperti berjalan begitu saja dan saling berkaitan. Wonwoo memekik senang. Dia keluar dari kamar dan turun menuju gudang, mengambil alat perekat agar bisa menyatukan prasasti itu kembali. Sambil bersenandung kecil, Wonwoo menyatukan prasasti itu. Ia meperhatikan bentuk dan gambaran dari prasasti serta membaca sedikit penggalan kalimat yang terukir di prasasti.
"Zyu cha il gup pakk?"
Meski tidak mengerti, Wonwoo tetap lanjut membaca kalimat yang terukir disana. Dia mengeluh pegal pada lidahnya setelah membaca itu semua. Berniat turun untuk mengambil minum, tapi sebuah cahaya besar keluar dengan cepat dari prasasti itu.
Cahaya yang tadi dilihatnya.
Wonwoo mendekat dengan rasa penasarannya. Coba menyentuh permukaan prasasti pada cahaya itu, tapi sesuatu menariknya begitu cepat hingga Wonwoo hilang tertelan kedalam cahaya itu.
"Ibu!"
... Distance ...
"Sial!"
Wonwoo mengeluh saat bokongnya menyentuh sebuah batu yang tajam. Di ambilnya batu itu dan di lemparkannya asal. Kini kepalanya tersa pening dan berat. Sekarang, ada dimana dirinya? Kenapa tempat ini sangat gelap dan seperti hutan?
Hutan?
Wonwoo dengan cepat berdiri dari tempatnya. Menatap bingung sekitar dan berpikir bagaimana caranya ia bisa sampai kedalam hutan jika seingatnya tadi ia tengah berada di dalam kamarnya yang nyaman?
Membingungkan, tapi ia harus segera mencari jalan pulang sebelum Ayah dan Ibunya kembali, kemudian bingung mencari keberadaannya.
"Kemana aku harus berjalan?"
Baru akan melangkah, Wonwoo kembali mengurungkan niatnya. Tidak ada cahaya, dan hutan sangat gelap. Bagaimana caranya ia menemukan jalan pulang dengan keadaan seperti ini? Apakah ia akan berakhir di dalam hutan hingga pagi?
Menyebalkan! Kenapa hari ini nasib-nya sial sekali?
"Bagaiamana caranya aku pulang?" Keluhnya.
"Siapa disana?"
Wonwoo melihat sebuah cahaya kecil dari kejauhan. Langkah tegasnya mendekat, Wonwoo tersenyum dengan semangat. Berpikir jika itu adalah salah seorang penjaga hutan yang akan menolongnya dan mengantarkannya kembali kerumah.
"Aku!" Teriak Wonwoo mengangkat tangannya.
"Siapa?" Lagi orang itu bertanya. Langkahnya semakin dekat dan cahaya dari obor itu semakin terang.
"Aku Jeon Wonwoo, putera keluarga Jeon yang tinggal di distrik pyonggi nomer 124"
"Apa? Jeon siapa? Distrik a-apa?"
Kenapa orang itu banyak bertanya? Wonwoo mulai merasa kesal. Menurutnya orang itu sangat lamban dan sedikit tuli. Ia berteriak dengan suara nyaring tapi orang itu masih bertanya-tanya.
"Kau siapa?"
Kini orang itu sudah mendekat. Ternyata seorang lelaki dengan mata sipit dan tinggi standar tidak berbeda jauh dengannya. Lelaki itu menyorotnya dengan cahaya obor dari atas hingga bawah. Lalu mengernyit heran seakan piyama yang Wonwoo kenakan adalah suatu hal yang tidak lazim.
"Apa yang kau pakai?" Tanya lelaki itu.
Wonwoo bingung, dia ikut memandang dirinya. Dan tidak menemukan apapun yang aneh. Ia masih mengenakan piyama lengkap, bukannya tanpa pakaian. Tapi kenapa orang itu bertanya seolah-olah...
"Ya Tuhan! Apa yang kau pakai? Kau memakai pakaian kuno itu untuk berjaga hutan? Hahahah... dasar aneh."
Lebih aneh lagi lelaki itu bagi Wonwoo. Bagaimana bisa lelaki bermata sipit itu menjaga hutan dengan kostum seorang prajurit? Ini bahkan belum malam Halloween.
Konyol!
"Lupakan! Apapun yang kau pakai aku tidak peduli. Sekarang antarkan aku pulang. Ayah dan Ibu pasti mencariku."
Saat tangannya di tarik oleh Wonwoo, lelaki itu dengan cepat menangkis tangan Wonwoo hingga ia kesakitan. Mata sipitnya menatap tajam Wonwoo dan mendekatkan cahaya obor yang di bawanya kedepan wajah Wonwoo. "Siapa kau? Dari mana asalmu?"
"Sudah ku bilang, aku Jeon Wonwoo. Aku berasal dari Cheondamdong distrik pyonggi. Kau ini kenapa?" Tanya Wonwoo jengah.
"Cheondamdong? Distrik Pyonggi? Dimana itu?"
Wonwoo menautkan alisnya dengan bingung. Tidak mungkin orang ini tidak mengenal kawasan Cheondamdong dan distriknya yang terkenal. Ini aneh, begitupun dengan penampilan orang itu. Semua ini membuatnya frustasi dan semakin lelah.
"Dimana ini?" Tanya Wonwoo pada lelaki itu.
"Ini perbatasan".
"Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan?" Tanya Wonwoo kembali.
Kini wajah lelaki itupun ikut bingung menatap Wonwoo. "Ini di perbatasan Kerajaan kami dengan Kerajaan Goguryo"
"Apa?"
Wonwoo berharap lelaki itu bercanda atau mungkin dirinya salah dengar. Tapi ia membenci bagaimana lelaki itu menatapnya dengan yakin seolah dia berkata jika dirinya tidak berbohong.
Beberapa saat Wonwoo hanya diam. Dia mengingat kembali apa yang membawanya kesini, dia mulai menyusun memori tersisa dari mulai Museum, rumah, kamar, prasasti dan... cahaya?
Mungkinkah prasasti itu yang menariknya kesini?
"Prasasti! Diamana prasasti itu?" Gumam Wonwoo panik.
"Prasasti? Kali ini apalagi yang kau bicarakan?"
Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu, Wonwoo meraba tanah-tanah di sekitarnya dengan pencahayaan yang minim. Tiba-tiba ia takut jika batu yang di lemparnya tadi adalah prasasti itu. Lelaki itupun ikut berjongkok seperti Wonwoo, memperhatikan wajah panik Wonwoo yang semakin membuatnya bingung.
"Arghhh... sakit sekali, apa ini?"
Wonwoo dengan cepat mengalihkan pandangannya pada lelaki itu. Melihat bagaimana lelaki itu meringis, dan memegang potongan prasasti yang tengah di carinya.
Tunggu...
Prasasti?
Potongan?
"Prasastinya!"
Ia merebut potongan prasasti dari tangan lelaki itu. Menggeser tubuh lelaki itu begitu saja dan panik saat prasasti yang di carinya telah pecah menjadi beberapa bagian.
Wonwoo diam. Ia ingin menangis. Entah ada di zaman apa dirinya sekarang, yang jelas ia ingin pulang dan kembali kerumahnya. Persetan dengan tugas dari Yoo Saem yang jelas ia berakhir disini, itu semua karena tugas sialan yang di berikan Yoo Saem. Jika sudah seperti ini bagaiamana caranya ia bisa pulang?
Sementara itu dari sisi lain. Lelaki itu hanya menatap bingung Wonwoo yang terlihat bingung dan akan menangis. Dia tidak mengerti dari mana Wonwoo berasal dengan pakaian anehnya. Ini perbatasan, bisa saja Wonwoo mata-mata Goguryeo atau mata-mata Kerajaan lain. Tapi dia sendiri yakin jika Wonwoo bukanlah salah satu dari mereka. Dengan semua kebingungan yang terlihat di wajahnya, tidak mungkin Wonwoo seorang mata-mata.
"Siapa namamu?" Tanya Wonwoo tiba-tiba pada lelaki itu.
"Kwon Soonyoung. Apakah kau tidak apa-apa? Kau terlihat bingung"
"Kwon Soonyoung? Hwarang Kwon Soonyoung?"
"Y-ya... bagaimana kau bisa tahu?"
Tidak mungkin!
"Raja... Apa Raja Kim Minseok yang memimpin saat ini?"
Wonwoo kembali bertanya dengan kepanikkannya. Tapi Soonyoung justru terlihat tenang dengan pandangan semakin heran kepada Wonwoo. Dia bahkan tertawa kecil mendengar pertanyaan terakhir Wonwoo.
"Raja Kim Minseok telah meninggal 4 tahun lalu. Bagaimana bisa kau lupa? Sekarang yang menjadi Raja kami adalah Yang Mu-"
"Raja Kim Mingyu dari Dinasti Joseon, turunan ke 7 Raja Kerajaan Joseon?"
Lelaki itu mengangguk. "Benar, ini adalah tahun ke-4 semenjak Raja Kim Mingyu naik tahta"
Wonwoo membulatkan mulut membentuk huruf 'o'. Takdir, dan prasasti itu sungguh-sungguh mempermainkannya.
"Tidak mungkin!"
To be Continue. . .
.
kolabrasi with tadittaaa (wttpd)
salam,
chee24 & tadittaaa
