Disclaimer:
Danball Senki series © Level-5
Warning:
OOC, typo, plot hole, etc.
Dunia ini sudah semakin rusak.
Ketika orang-orang licik lagi serakah memegang kekuasaan, maka hanya kehancuran lah yang akan menunggu di masa depan. Sistem politik yang begitu kental dengan tradisi nepotisme pun membuat segalanya menjadi semakin sulit untuk diperbaiki. Pada akhirnya, kesengsaraan menjadi jawat para rakyat kecil, sementara para wakil rakyat hanya sibuk memperkaya diri—demi jaminan masa depan, katanya.
Keterbatasan sumber daya alam sudah menjadi masalah klasik yang dihadapi oleh setiap negara. Semakin kaya sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara, maka semakin terbuka lebar pintu kesejahteraan bagi negara tersebut—logikanya memang seperti itu, namun lagi-lagi permainan politik yang busuk membolak-balikkan itu semua. Kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara tak (lagi) menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semuanya bergantung pada seberapa kuat kekuatan militer yang dimiliki oleh negara tersebut.
Singkat kata, hukum rimba yang semula hanya berlaku di hutan kini mulai merambah secara global. Seluruhnya diputuskan berdasarkan adu kekuatan. Mereka yang kuat akan bertahan hidup, sementara mereka yang lemah—
(Clak…clak…clak…)
—akan mati dan membusuk bersama sampah dan bangkai lainnya.
Kriegsführung
—wafrare, conduct of war—
Kubersihkan noda darah yang mengotori tanganku dengan botol air mineral yang kubawa. Jika kau bertanya mengapa aku tidak membersihkannya dengan air keran atau apa, well, jawabannya adalah karena saat ini aku dan rekan-rekanku sedang menyergap sebuah bangunan tua yang kini digunakan sebagai gudang penyelundupan ilegal. Kalau kau mau bertanya benda-benda apa saja yang disembunyikan di sini, well, aku tidak bertanggung jawab jika kalian merasa jijik atau apa setelah mendengarnya.
Sebelum ini aku sempat menemukan beberapa tong berisi usus dua belas jari (yang diawetkan, tentu saja), ginjal, liver, jantung, bahkan—aah, sudahlah. Setelah kusebutkan sebagian barang yang diamankan di tempat ini, kalian pasti sudah bisa menyimpulkan tempat apa ini.
Yupe.
Gudang penyimpanan organ manusia yang nantinya akan dijual di pasar gelap. Namun pada kenyataannya, banyak organisasi penelitian dan rumah sakit raksasa yang memesan organ-organ tersebut dalam jumlah besar.
Alasannya uang, tentu saja.
Jadi jangan langsung percaya begitu saja jika ada yang mengatakan bahwa ia (atau siapa pun itu) akan menggunakan organ-organ tersebut untuk menyelamatkan jiwa manusia. Semua itu omong kosong belaka, sebab aku sudah pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri seperti apa mereka memperlakukan pasien mereka. Pada awalnya, mereka akan melayani dan merawat pasiennya bak orang-orang berhati mulia. Namun, setelah mereka menyisipkan optima, organ artifisial yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara prima di tubuh pasien mereka, wujud asli mereka sebagai lintah darat mulai tampak keluar. Para pasien (yang sebagian besar adalah orang-orang berduit) akan rela mengeluarkan uang sebanyak apapun demi kelestarian hidup mereka. Bahkan seorang kakek berusia 90 tahun saja bisa kembali terlihat muda kembali dengan organ artifisial tersebut.
Tapi, peduli setan dari mana mereka mendapatkan organ-organ tersebut. Selama stok persediaan masih terjamin, mereka tak akan merasa stress karena sumber uang mereka tetap aman.
Pun jika organ-organ tersebut berasal dari mayat-mayat yang sengaja dibunuh secara massal—atau human livestock, bahasa tidak manusiawinya—untuk diambil bagian dan bahkan ceceran tubuh yang masih bisa dijual di pasar gelap. Inilah kengerian dari sistem kapitalis, sebuah sistem yang hanya berfokus pada keuntungan dan keuntungan sehingga nyawa manusia seolah-olah sudah tak lagi ada harganya.
Seperti inilah kondisi dunia sekarang. Benar-benar sudah rusak dan dipenuhi oleh orang-orang gila yang jauh lebih rusak lagi.
Dulu, aku belum benar-benar membenci dunia ini—hingga pada suatu hari, ketika satu-satunya hal yang berharga dalam hidupku dirampas begitu saja dariku.
Ayahku. Ibuku.
Orang tuaku.
Keduanya melindungiku dari maut saat sebuah robot tempur raksasa menembakkan lasernya yang mengenai rumahku dan rumah para tetanggaku.
Saat itu, tepat pada hari ulang tahunku, ketika aku sedang memanjatkan permohonan dalam hati sebelum meniup lilin kecil berbentuk angka 4 di atas kue ulang tahunku, tiba-tiba saja ibuku memelukku sebelum penglihatanku mendadak menjadi putih yang disertai dengan rasa panas yang luar biasa menusuk seluruh kulitku. Begitu aku membuka mata dalam kondisi setengah sadar, semuanya sudah berubah menjadi puing dan abu—bahkan aku tak bisa menemukan ayah dan ibuku (yang seharusnya masih memelukku) di manapun. Hanya ada bau gosong; sama sekali tak ada mayat atau apa sebab semuanya sudah menghitam secara sempurna. Secara ajaib, hanya akulah satu-satunya penduduk yang berhasil selamat dari tragedi tersebut, meskipun terjadi efek samping berupa mutasi genetik minor pada tubuhku yang membuat sebagian rambutku menjadi putih. Namun mutasi tersebut tidak membahayakan hidupku sehingga aku masih bisa hidup seperti orang normal lainnya—yah, setidaknya sampai detik ini.
Kalau boleh jujur, sampai sekarang pun aku masih sulit percaya jika aku bisa selamat dari tragedi maut tersebut. Setelah kejadian tersebut, hampir setiap hari aku selalu bertanya-tanya mengapa aku masih hidup—hingga pada suatu hari aku menemukan jawabanku sendiri atas pertanyaan tersebut.
Yakni untuk membalas dendam terhadap mereka yang telah memusnahkan kebahagianku; kepada dua negara besar yang saat ini tengah berperang satu sama lain. Rossius dan Jenock.
Untuk itulah, aku menempa diriku selama beberapa tahun, lalu tak sengaja bertemu dengan salah satu anggota NICS—sebuah organisasi independen dan tidak memihak kepada negara mana pun—hingga akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan organisasi ini. Kebanyakan anggota NICS adalah korban peperangan sepertiku, bahkan sebagian dari mereka ada yang menderita cacat fisik permanen.
Adapun misi dari organisasi ini adalah untuk (mencoba) menghentikan peperang yang tengah berkecamuk sambil menyebarkan pesan perdamaian. Terdengar sangat idealis, memang, sampai-sampai aku sendiri hampir tertawa saat pertama kali aku mendengarnya. Namun, selama aku bisa membalaskan dendamku, aku tidak merasa keberatan bergabung dengan organisasi ini. Bergerak secara sendiri untuk melawan dua negara raksasa sangatlah mustahil untuk dilakukan, oleh sebab itu aku memutuskan untuk bergabung dengan organisasi yang tidak berpihak pada Rossius maupun Jenock ini.
Tiba-tiba saja alat komunikasi yang terpasang di telingaku mengeluarkan bunyi gemerisik khas sebelum terdengar sebuah suara yang familiar bagiku.
"Srrk…. Di sini juga sudah bersih, srrkk—"
"Baguslah. Dengan begini, kita sudah selesai membereskan tempat ini." Ujarku menanggapi, "Aku akan melaporkan keberhasilan misi kita ke markas pusat. Tetaplah waspada," setelah berkata demikian, aku mematikan alat komunikasinya dan bergegas meninggalkan areal gedung menuju tempat di mana aku memarkirkan LBX (Large Battle Experience) yang kukendarai. LBX adalah sebuah robot tempur yang digunakan untuk keperluan militer. LBX sendiri dibagi menjadi lima kelas dasar, yakni knight, brawler, strider, wild, dan panzer. Masing-masing kelas tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, misalnya saja tipe strider yang unggul dalam kecepatan dan tipe knight yang unggul dari segi kekuatan. LBX milikku, Triton, adalah LBX tipe knight. Kemampuan uniknya adalah mennyemprotkan lem seperti jaring laba-laba, yang kadang sangat berguna di saat-saat tertentu.
Aku menekan tombol pada sebuah alat yang kukenakan pada pergelangan tanganku. Beberapa detik kemudian, LBX berwarna dominan biru mulai tampak secara perlahan dari udara kosong bagaikan sihir. Tentu saja ini bukan sihir, duh. Fenomena barusan tak lain hanya merupakan permainan optik. Berkat bantuan alat yang kugunakan ini, aku bisa menyembunyikan LBX-ku di mana saja, sehingga aku tidak perlu lagi mencari tempat untuk menyembunyikan LBX-ku—selama tidak terjadi kontak fisik, tentu saja. Penemuan alat ini sangat membantu dan dapat lebih mengefisienkan waktu. Aku merasa salut pada tim mekanik yang berhasil menemukan alat yang membuat segalanya menjadi lebih praktis ini.
Sekarang aku sudah berada di dalam kokpit LBX-ku. Ruang pribadiku. Entah kenapa aku merasa lebih aman dan nyaman di dalam sini. Padahal sebagian besar orang justru merasa tak nyaman bila terlalu lama berada di dalam kokpit, sebab bayang-bayang kematian saat mengendalikan LBX selalu menghantui setiap pilot LBX.
Kunyalakan alat pemancar yang terpasang di dalam kokpit untuk menghubungi markas pusat NICS. Ngomong-ngomong soal markas pusat, markas kami bukanlah sebuah bangunan permanen seperti kebanyakan markas lainnya. Markas kami adalah sebuah pesawat raksasa yang berbentuk menyerupai bebek. Hal ini lebih memudahkan kami untuk mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya, sebab jika kami hanya berdiam di satu tempat maka kemungkinan kami untuk diserang oleh musuh akan lebih besar. Oleh sebab itu, berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya akan jauh lebih aman bagi kami. Selain itu, perekrutan anggota baru juga jadi lebih mudah dilakukan.
Pria yang muncul di layar kokpitku ini bernama Yagami. Dia bertanggung jawab mengepalai misi yang sedang kujalankan sekarang. Oh ya, aku belum memberti tahu mengenai misi yang baru saja kami selesaikan, ya. Baiklah, akan kujelaskan secara singkat.
Gedung tua yang dijadikan sebagai tempat menyimpan organ-organ selundupan tadi terletak di jantung atau pusat dari sebuah kawasan terpencil namun strategis yang disebut dengan Dead Valley. Areal ini merupakan sebuah lembah yang dikelilingi oleh batuan terjal, sehingga tak banyak yang sanggup menuju areal ini. Bahkan kedua negara besar sekalipun hanya mengangap areal ini sebagai wilayah buntu. Mereka sama sekali tidak tahu jika ada sebuah rute rahasia untuk menuju ke tempat ini; sehingga membuat lokasi ini menjadi tempat yang sangat amat untuk menyembunyikan diri.
Saat ini NICS memerlukan tempat persembunyian yang benar-benar aman, sebab pesawat kami memerlukan pengecekan dan perawatan mesin. Setelah membuat pertimbangan secara matang, akhirnya kami memutuskan untuk menjadikan Dead Valley sebagai lokasi persembunyian kami. Laluu, seperti yang sudah kita semua ketahui, kebetulan saja ternyata sudah ada penghuni lain yang lebih dulu menempati lokasi ini—well, karena kami pikir ini sudah saatnya bagi mereka untuk bergantian, jadi kami meminta mereka untuk pergi dari tempat itu (dengan cara yang agak kasar).
Selain itu, dengan mengambil alih lokasi tersebut, secara tidak langsung kami sudah berhasil memutus mata rantai terbesar perdagangan organ ilegal internasional. Kedengaran sangat… mencengangkan, eh? Oh, entahlah. Aku sama sekali tak peduli; yang terpenting adalah setiap misi yang berhasil kuselesaikan akan selangkah mendekatkanku pada kehancuran Rossius dan Jenock.
"Srrk—Oh, begitu. Srrk—Kerja bagus," jawab Yagami dari seberang sana dengan suara yang agak terputus, sinyal di sini memang tidak bagus. "Srrk—Kami akan tiba di sana kira-kira—srrkk—satu jam lagi. Selama itu, srrk—kalian boleh istirahat. Tetap waspada,"
"Aa." Jawabku singkat. "Hati-hati."
Setelah mematikan alat pemancar, aku melemaskan seluruh tubuhku pada sandaran kursi di dalam kokpit.
"Fyuh, sekarang apa…" gumamku, tak tahu akan melakukan apa setelah ini. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk melakukan partoli di sekeliling areal gedung, memastikan bahwa tidak ada sisa jebakan yang terpasang sehingga Duck Shuttle—nama panggilan kesayangan dari pesawat kami—bisa mendarat (dan parkir) dengan selamat.
Aku turun dari kokpit, menyalakan alat untuk menyembunyikan LBX-ku, lalu mulai berjalan menyusuri semak belukar sebelum memasuki areal hutan yang jaraknya sekitar dua ratus meter saja dari tempat di mana aku memarkirkan Triton.
Setelah berkeliling sekitar tiga puluh menit dan tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku memutuskan untuk memeriksa ke arah yang berlawanan hingga tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu—bukan, bukan makhluk halus atau semacamnya, akan tetapi seperti ada yang memperhatikanku dari suatu tempat, entah dari mana. Kalau kalian bertanya mengapa aku bisa merasakannya, well; pengalaman bertahun-tahun di medan perang membuat baik indera maupun instingku menjadi lebih peka dan jeli. Sambil tetap bersikap tenang, aku menyiapkan senjataku, bersiap untuk segala kemungkinan yang akan datang.
'Deg!'
Tiba-tiba saja jantungku berdetak dengan keras saat bulu romaku merasakan kehadiran sebuah sosok dari arah belakangku. Sosok tersebut mengenakan pakaian berwarna serba putih yang menutupi kulitnya yang berwarna pucat bagaikan mayat. Rambutnya yang berwarna hitam kelam menjuntai panjang ke bawah hingga ke bagian pinggang, sedangkan sepasang matanya yang terlihat kosong tanpa cahaya tengah menatapku dengan tatapan datar.
Seluruh tubuhku tiba-tiba saja terasa kaku—jujur saja, ini pengalaman mistis pertama yang kualami seumur hidupku. Aku ingin menggerakkan kedua kakiku, namun entah kenapa seperti ada magnet kuat yang menarik kedua kakiku sehingga aku tidak bisa bergerak semili pun dari tempat itu.
Kurasakan keringat dingin mulai mengucur menuruni pelipis mataku. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa—menyebut nama tuhan? Oh, benar juga… tapi, hey, tunggu dulu! Aku bahkan bukan seorang penganut agama yang taat…!
Secara refleks, aku menutup kedua mataku, berharap jika pemandangan di hadapanku barusan cuma ilusi optik belaka—ya, ya. Benar sekali. Sosok tadi pasti cuma ilusi, dan sensasi dingin yang kurasakan menjalar di bibirku pun pasti hanya delusi—
—tunggu dulu, apa ini?
Begitu aku membuka kedua mataku, aku menemukan sosok yang kupercayai sebagai delusi tadi tengah merekatkan bibirnya pada bibirku.
(Fortsetzung folgt)
