Title : You're My Angel
Writer : Takigawa Aihara
Disclaimer :
- The Prince of Tennis punya Opah Konomi yang masih kuat lanjutin serial pangeran kesayangan saya /dor
- 'Wherever You Are' milik ONE OK ROCK sekeluarga.
- 'You're My Angel' milik saya selaku penulis.
Soundtrack : ONE OK ROCK – Wherever You Are
Note : Alpha pair. AU.
Warning : Death chara. Boy x Boy, Typo, Fluff, Slash, Lemon.
Maegami
"Minna-nyaa~! Omata hee—!
Kembali lagi dengan saya yang cetar membahana badai gulung galunggung, bumi gonjang-gajing *dibuang* Aiko, de—su!
Kembali dengan cerita 21-nya di .
Kali ini, cerita murahan yang lagi-lagi mengorbankan pasangan mama-papa Rikkai terinspirasi oleh sebuah lagu dari sebuah band ternama dari sebuah negara yang menghasilkan sebuah—*plak*
Oke gue ngaco.
Kali ini terinspirasi dari lagu ONE OK ROCK yang berjudul 'Wherever You Are'. Liriknya yang simpel, namun Aiko rasa sangat menyentuh ini, dirasanya wajib menjadi sebuah fanfic lovey-dovey yang bikin ia kebelet ngetik, di sela-sela waktu nganggurnya sebagai mahasiswa yang digantung nilai ujian.
Namun, terjadi gempuran dahsyat, pembaca! Saat lagi asik-asiknya menulis, yang dibayangkan dalam kepala Aiko bukannlah pasangan SanaYuki, melainkan KaneOuji! |||OTL.
Bagi readerz-sama yang tak tahu siapa itu Kanesaki Kentarou-Yagami 'Ouji' Ren, mereka adalah dua pemeran SanaYuki, dalam musical pertama mereka di Tenimyu. (Mohon dimaklumi, karena saat mengerjakan ini, sepruh kesadarannya hilang entah ke laut karena fokus banyak bercabang)
Oke, daripada kebanyakan cincong, mending yuk, langsung di skip sebelum panci tetangga melayang.
Akhir kata, selamat menikmati, dan silahkan di hujat.
O.T.A.N.O.S.H.I.M.I.S.H.I.T.E. K.U.D.A.S.A.I
You're My Angel
"I'm tellin' you,"
Kanagawa, Awal Juni.
Semilir wangi bawang putih yang bercumbu dengan minyak panas, menggelitik indera penciumannya. Angin perlahan merayap dari balik curtain putihnya. Ada langit biru yang tersembul cantik dari sisi lain jendela-nya. Hari yang indah saat Sanada Genichirou membuka matanya.
Nyawanya mulai loading, dengan data-data yang mulai muncul dalam otaknya tentang hari apakah sekarang? Ternyata hari Minggu setelah ia jabarkan semua kejadian sebelum ia tertidur semalam. Ini tandanya pria berambut hitam tersebut bisa bebas melanjutkan mimpi yang tergangu oleh aroma bawang putih tumis barusan.
Namun perutnya bersimfoni lain, maka akhirnya Genichirou memutuskan untuk bangkit dan mengumpulkan nyawa, serta mengecek 'siapakah yang tengah menggunakan dapur-nya'. Dari posisi duduk, Genichirou memiringkan sedikit tubuhnya barang mengintip sosok yang sedang menari dengan peralatan dapurnya.
"Ah, Gen-chan? Akhirnya kau bangun juga. Kubuatkan karaage untuk sarapan kali ini. Kau, cepatlah mandi, nanti nasi-nya keburu dingin," sapa sosok tersebut saat dirinya menoleh dan mendapati Genichirou tengah memaku tatap padanya.
"Tapi hari ini libur~" gerutu Genichirou yang kembali mencumbui bantalnya dan mengubur wajah di dalamnya.
"Hee—! Dame da yo! Walau libur kau harus tetap bersih, atau kurangi jatah nasi-mu," ancam sosok tersebut—Yukimura Seiichi, sembari menata chicken karaage yang telah matang diatas piring saji.
Mendengar ancaman yang sudah nyerempet nasi—makanan pokok-nya, Genichirou tak lagi bisa berkutik macam-macam. Ia segera melangkahkan kaki dengan gontai ke arah kamar mandi.
—CLEK!
Seiichi mengulum senyum sembari menggelengkan kepala melihat kelakuan pria yang dicintainya itu. Kembali ke dapur, ia menyiapkan salad segar untuk appetizer.
"Sei-chan," terdengar suara Genichirou dari dalam kamar mandi. Begini ceritanya, ia pasti minta tolong diambilkan sesuatu, "... tolong ambilkan handukku,"
Menghela nafas sembari menggeleng, Seiichi merapal suatu hal sejenis rengutan. Walau begitu, ia tetap mengambilkan helaian tebal bernama handuk tersebut.
"Ini," ujar Seiichi setelah mengetuk pintu berlapis fiber plastik tersebut.
Pintu terbuka dan menjulurlah tangan genichirou dari balik lempengan fiber krem tersebut. Sigap, tangannya menggenggam pergelangan lengan Seiichi.
"Aku sedang masak, Gen-chan. Sampai kau macam-macam, takkan ku biarkan kau sarapan sekarang," ancam Seiichi lagi, ketika mengetahui maksud genggaman tersebut bertujuan untuk menggoda dirinya.
Melengos, Genichirou melepas genggamannya.
Hari yang biasa di bilangan Kanagawa. Langit biru yang menaungi dengan bau musim semi.
"Terima kasih atas makanannya,"
Mengatupkan tangannya, Genichirou menundukkan kepala pada mangkuk kosong di hadapannya. Upacara sarapan baru saja selesai, dengan Seiichi yang langsung membereskan peralatan makan dan menaruhnya di wastafel namun tidak segera dicuci.
Tangannya mendadak gatel ingin melakukan sesuatu setelah melihat rambut lurus Genichirou yang masih menitikkan air selepas mandi. Diambilnya handuk yang masih tergolek di atas sofa, dan dihampirinya sosok yang tengah menonton atap-atap gedung bisu dari jendela lantai-5 nya.
"Walau pun hari ini anginnya banyak, kau harus benar-benar mengeringkan rambutmu, Gen-chan..." ujar Seiichi dengan tanpa permisi, membalut kepala pemuda tersebut dan menariknya sehingga Genichirou bersandar pada dada-nya, "... nanti masuk angin,"
Tangannya lihai mengusap seluruh helai rambut sekaligus memijat permukaan kulit kepalanya. Meski agak pegal karena bersandar kepada orang yang lebih pendek 10 cm darinya, Genichirou tidak protes, karena pijatannya terasa enak, dan membuat dirinya rileks sejenak.
Karena pegal melakukannya dalam keadaan berdiri, Seiichi pun berinisiatif untuk duduk di sofa dan mebiarkan akuntan muda tersebut tertidur di atas pangkuannya—meski ia tahu tidak baik untuk membaringkan tubuh selepas makan.
"Besok meeting," curhat Genichirou sembari masih menontoni langit di hadapannya—jendela apartementnya lebar sehingga ia selalu puas menikmati luas berbingkai kusen kayu mahoni tersebut.
"Mau dibangunkan jam berapa?" mengerti, Seiichi menanyakan bagian dimana dirinya bertugas membangunkan pemuda tersebut agar tak terlambat meeting.Tangannya masih mengusapi kepala Genichirou dengan handuk krem tebalnya. Sekalian mengeringkan rambut, hal sepele seperti ini pun mendekatkan mereka dengan obrolan ringan.
"Seperti biasa, jam 6. Aku ingin olahraga sebentar sebelum berangkat kerja," jawab Genichirou. Ujung jemarinya mengarah ke wajah pemuda berambut ikal tersebut. Sejenak memilin helai biru lautnya. Pelan, ditariknya rambut tersebut, dengan wajah Seiichi yang menghapus tapal batas diantara mereka. Menyesap wangi lavender yang merembes, Genichirou membawa mereka pada satu kecupan singkat.
"Hari ini pun, aku mencintaimu..."
"I softly whisper..."
Sudah hampir 2 tahun mereka menetap bersama dalam satu kamar apartemen sederhana di bilangan Sakuragi. Semenjak kelulusan mereka dari SMA yang sama.
Kanagawa, 3 tahun lalu
Siang ini terik, musim panas di daerah Kantou memang tak pernah ramah. Seiichi selalu mengeluhkannya di setiap awal musim panas karena Rikkai tidak libur semena-mena begitu musim panas menyapa Jepang.
Kelas hari ini kosong. Sebagian murid berada di luar kelas. Ada yang bermain sepak bola, ada juga yang mengecat gapura, bahkan ada yang bermain-main usil dengan selang air di pelataran taman sekolah.
Ya, persiapan matsuri musim panas sekolah mereka, sekaligus menjadi event penutup sebelum liburan musim panas dimulai. Sedang dirinya tak tahu harus berbuat apa. Menjadi panitia dokumentasi memang hanya memerlukan pekerjaan saat hari H saja.
Bosan, Seiichi melipirkan tubuhnya dari jendela kelas. Mengarahkan langkahnya menuju perpustakaan sekolah. Barang tentu mendapatkan bacaan menarik tentang kaktus, atau setidaknya semilir hembus angin dari baling-baling kipas tua di ruangan yang selalu sepi pengunjung tersebut.
Langkahnya sampai di depan ruangan bertuliskan 'harap jangan berisik' pada daun pintu-nya. Menggeser dengan kelima jari kanannya, Seiichi mendapati suasana tenang dari dalam bagian perpustakaan. Sesuai prediksi-nya; tidak ada murid yang mau mengunjungi gudang buku di hari sepanas dan sesibuk pra-event seperti ini.
Menambahkan niatnya menjadi ingin tidur, pemuda berambut biru tua ini pun melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Ada bau kayu yang semerbak tercium khas. Entah itu dari rak-rak yang terbuat dari jati, atau buku-buku yang tercetak dari serat papirus, maupun bangku-bangku yang terpahat dari batang mahoni.
Mendadak merasakan senang dalam hatinya Seiichi merenggangkan kedua tangannya, sehingga ujung kemeja-nya tertarik karena gapaian tangannya membumbung ke udara. Menghela nafas lega.
Mengunjungi rak buku-buku seni rupa, ia mencabut satu satu-persatu buku-buku tersebut dari tempatnya. Menimbulkan gesture yang berisik, namun siapa yang akan peduli?
—BRAK!
Seiichi terlonjak kaget saat mendengar bunyi dentuman yang diperkirakan berjarak tak kurang dari 50 cm dari gendang telinga-nya. Buku yang sedang dibacanya pun terjatuh dan menimbulkan bunyi gesekan kertas serta hantaman pada lantai karena bersampul hard-cover.
Menoleh pada asal suara, Seiichi mendapati sesosok pria yang sedikit lebih tinggi darinya tengah berdiri di belakangnya. Iris matanya gelap, menatap tajam kepadanya dengan alis yang berkedut kesal.
"Tolong jangan gaduh," ucapnya ketus.
Seiichi memaku sejenak untuk menetralkan kembali degup jantungnya yang tadi sempat beradu kecepatan dengan detak jarum detik jam dinding perpustakaan. Menarik kaki dan menegapkan posisi, pemuda tersebut pun berusaha kalem dengan mengatur nafas.
"Maaf... kupikir tidak ada sesiapapun tadi di sini," excuse-nya sedikit gugup.
"Walau begitu jangan mengganggu ketenangan," protes sosok tersebut sembari berlalu pergi.
Amethyst-nya berkedip dua kali. Selain membias cahaya, ia mencerna kejadian barusan. Bukan tentang protes murid tersebut, namun ia tengah menghapal 'wajah siapakah barusan?'. Karena seingat memori otaknya, dari seluruh siswa kelas 3, ia belum pernah melihat wajah pemuda tersebut sekalipun.
Penasaran dengan sosoknya, ia menyusul laki-laki tersebut yang ternyata mengambil tempat duduk di balik rak buku-buku masakan.
"Ano, sepertinya aku belum pernah melihatmu sekalipun. Apa kau siswa tahun ketiga?" tanya Seiichi dari balik tubuh bocah laki-laki berambut hitam tersebut.
"Bukan urusanmu," hanya jutek yang diberikan sebagai balasan.
"Kau kelas apa?"
Pemuda tersebut tetap melanjutkan aktifitas menulisnya tanpa menjawab ocehan Seiichi. Merasa diacuhkan, pemuda berambut ikal tersebut melongok sampai melewati tapal batas bahu bidangnya. Terlihat Seiichi di hadapan pemuda tersebut, berserakan buku-buku memasak yang nampaknya tengah dicatat laki-laki tersebut.
"Bukan maksudku memata-matai dirimu, tapi, perpustakaan ini terbilang sepi, dan baru kali ini aku menemui ada orang yang mau menulis di perpustakaan. Jadi... kita berteman?" ujar Seiichi saat selesai mengetahui hal yang tengah dilakukan pemuda berambut gelap tersebut.
Sesaat kemudian yang terdengar hanyalah suara kursi yang terdorong ke belakang. Ketika Seiichi tersadar, laki-laki tersebut telah bangkit, lalu mengambil langkah keluar perpustakaan. Merasa terganggu dengannya mungkin.
Seiichi melepas kepergian pemuda tersebut dengan kepala yang dimiringkan ke kanan dan pandnagan tak mengerti. Jika ada penjabaran lebih, sebuah tanda tanya menancap indah di ubun-ubun kepalanya. Ada apa dengan anak itu.
Mengangkat bahu sebagai simbol tak mengerti, Seiichi duduk di bangku yang baru saja murid tersebut duduki. Memeriksa sekitarnya, seketika pandangannya tertuju pada sebuah kertas kecil yang nampaknya barusan ditinggalkan oleh laki-laki tersebut.
Penasaran, diambilnya secarik benda tipis tersebut.
"Sanada Genichirou 3-A
Komite Persiapan Pesta Kembang Api"
Ah, seorang murid tahun ketiga seperti dugaannya. Namun, seingat dirinya menjalani dua tahun terakhir di SMA Rikkai, tak sekalipun ia menemukan sosoknya di sudut manapun, bahkan ketika upacara penutupan maupun pembukaan semester.
"Tonight, tonight"
"Sanada Genichirou? Ah, ia murid pindahan. Ku dengar dari Yanagi baru sekitar 2 bulan lalu, saat pembukaan semester ganjil," jelas Bunta—Marui Bunta—saat Seiichi menanyakan nama yang ditemukan pada lembaran kartu tanda panitia yang ditemuinya tadi di sela-sela dirinya (dipaksa) membantu bagian design dalam mengangkut gapura yang sudah dicat tadi siang.
"Murid pindahan? Pantas saja," gumam Seiichi.
"Kenapa tiba-tiba sekali kau menanyakannya kepadaku?" terusik, Bunta jadi penasaran juga.
"Tidak, tidak apa. Hanya saja... ia tipe orang yang jarang bicara ya," balas Seiichi.
"Ku dengar ia anak seorang yakuza, karena pernah ada beberapa anak melihatnya membawa boken kemana-mana saat di luar jam sekolah," cerita Bunta setelah meletupkan permen karet-nya yang mulai berasa pahit karena sudah lebih dari sejam ia mengunyahnya.
"Begitukah?" Seiichi jadi penasaran. Ia mengira-ngira relasi antara seorang anak yakuza dengan buku memasak yang dilihatnya siang tadi.
"Jaa, Yukimura, adakah gadis yang ingin kau nyatakan pada waktu kokuhaku-time nanti?"
Bunta menoleh kepadanya, saat mereka berbelok menuju ruang penyimpanan logistik acara.
"Kokuhaku-time?" Seiichi mengulang konteks inti pertanyaan tersebut.
"Ya, saat dimana para murid menyatakan perasaan mereka kepada orang yang di sukai, tepat sebelum pesta kembang api," jelas Bunta.
"Aku? Sepertinya tidak. Lagipula aku ini panitia dokumentasi. Pasti akan sibuk saat acara—terlebih kembang api," Seiichi menggaruk pelan tengkuknya saat dirasanya ada perasaan nervous di hati.
"Tapi, walau begitu—"
—BRUKH!
Bunta menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan. Tepat di tikungan gedung sebelah, saat mereka tidak tahu pasti adakah orang yang datang karena pandangan terhalan tembok.
Kertas krep yang telah dipotong pun berhamburan, karena kardus yang mewadahi-nya terpelanting jatuh dari genggaman pemuda berambut merah marun tersebut. Seiichi terpaku sejenak saat detik terasa berhenti diantara mereka, dan menyadari sosok yang menabrak dan juga ditabrak Bunta.
Sosok berambut hitam yang masih melekat daam pikirannya.
"You're my angel..."
"Ah! Sanada-kun! Gomen!" Bunta kalang kabut meminta maaf sembari membereskan ceceran krep warna-warni yang bakal dipakai untuk hiasan gapura.
"Sanada-kun..."
Seiichi menggumamkan nama tersebut saat dilihatnya sosok tersebut berusaha membantu Bunta.
"Tidak apa! Biar aku saja," tergesa, Bunta mengumpulkan semuanya secara cepat dan asal, "Yukimura, ayo," Bunta menarik lengan kurus pemuda berambut se-biru laut Kanagawa tersebut, karena yang dipanggil masih memaku pandang pada sosok tinggi yang baru saja mereka perbincangkan beberapa meter yang lalu.
"Etto,Sanada-kun," Yukimura mengelak genggaman Bunta. Tangan kanannya merogoh saku celana panjangnya. Dikeluarkannya sehelai kertas yang tadi ditinggalkan pemuda jangkung tersebut saat diperpus barusan, "ini... kurasa ini milikmu," Seiichi menyerahkannya.
Genichirou masih diam tanpa kata. Tangannya terjulur menerima benda yang diangsurkan Seiichi.
"Jaa, Sanada-kun, sampai besok!"
Pamit Bunta menarik Seiichi sebelum terjadi percakapan lebih lanjut.
"Mengapa kau nampak menghindarinya?" Seiichi bertanya pada jarak dirasanya Genichirou mungkin takkan mendengar percakapan mereka.
"Aku tak ingin berurusan banyak dengan orang macam dia," aku Bunta, "dia terlalu pendiam,"
Seiichi mengangguk pada pernyataan teman sekelasnya itu, "tapi tadi ia berusaha menolongmu loh,"
"Dan aku bukan tipe orang yang bisa menerima bantuan dari orang yang tak ku kenal,"
愛してるよ、
"Aku mencintaimu..."
Hari Minggu sore ini, nampak cerah. Cenderung panas walau matahari sudah berdegeser 100 derajat ke ufuk barat. Seiichi melenggang malas dari kereta yang membawanya pulang dari Hakone—tempat kediaman sang Nenek. Sendirian mengunjungi orang setua itu memang akan ditumbalkan untuk menjadi teman bicara selama berjam-jam, walau pada kompensasi-nya ia akan diberikan banyak makanan.
Stasiun pemberhentian Motomachi pun nampak lengang di sore ini. Walau tak nampak sepi, namun intens kegiatan tak setinggi biasanya. Merenggangkan tubuh setelah 3 jam perjalanan, rasa lapar menghampiri dirinya. Menyambangi konbini terdekat, Seiichi berniat untuk membeli barang setangkup sandwich dan susu cokelat yang akan menjadi makan sore-nya.
Memilih susu cokelat adalah usaha yang paling berat untuk dilakukan bagi Seiichi. Lama mematung didepan chiller, ia butuh waktu untuk menetapkan hati untuk memilih susu cokelat ataukah susu cokelat dengan youghurt.
"Permisi,"
Sebuah suara menyentakkan Seiichi dari posisi jongkok di depan lemari es berkaca tersebut. Memang sekat antara chiller dan rak di hadapannya terlampau tak lebih dari 1 meter, dan itu akan menjadi sangan sempit jika ditambah dirinya yang diam di depan chiller untuk jangka waktu yang cukup untuk menghalangi orang yang akan berjalan melewati chiller.
"Ah! Ya, maaf!" Pemuda 17 tahun tersebut segera bangkit. Sembari menghadap orang yang telah dihalanginya, ia membungkuk. Pandangan mereka bertemu sesaat Seiichi mengangkat tubuhnya.
"Sanada...kun?"
Ia mengenali sosok murid kelas A tersebut.
Genichirou menatapnya sejenak dengan tatapan menginterogasi, "... kau... yang di perpustakaan itu," ujarnya mengenali.
Seiichi menatap balik laki-laki tersebut. Dari yang dilihatnya, Sanada tengah menggenggam sebuah pedang kayu di tangan kirinya.
"Jadi benar..." gumam Seiichi sembari mengembalikan pandangan pada Genichirou.
"Benar apanya?" tersirat mimik tak mengerti pada si pemuda yang lebih tinggi.
"Kau seorang putra yakuza," ungkap Seiichi dengan menyipitkan matanya.
"Hee—?"
"Jadi kau bukan?" bahu Seiichi turun seiring menegak tubuhnya.
"Kalian dapat isu dari mana tentang itu?" Genichirou nampak panik.
"Ku dapat dari temanku, temanku mendapatkannya dari temanku lagi, dan temannya temanku melihatnya langsung darimu," jelas Seiichi polos.
"Cukup," Genichirou mengatur nafas.
"Jadi isu itu benar?" Seiichi memiringkan kepalanya tak mengerti.
"Tidak," jawab Genichirou singkat.
"Lalu mengapa kau membawa-bawa pedang kayu tersebut?"
"Karena aku baru pulang latihan kendo," jawabnya.
Lalu Seiichi tertawa kecil.
Melihatnya Genichirou mengernyitkan dahi, "ada yang lucu tentang itu?"
Seiichi menatap laki-laki di hadapannya sebentar, lalu kembali tertawa. Seperti halnya Genichirou sesosok badut, "kau pemalu," jelasnya singkat setelah menyelesaikan rasa lucu dalam dada.
"Pemalu bagaimana?" Genichirou tak mengerti.
"Kau tak seseram yang mereka bicarakan. Kau sempat panik, menandakan sekali kau orang yang pemalu," ujar Seiichi. Senyumnya tak bersisa.
Genichirou menunduk, tengkuknya merah entah karena apa, "itu kan hanya anggapan mereka. Wajahku begini, ya... karena memang dari dulu begini," jelasnya.
"Kau lucu," canda Seiichi lagi.
"Diam kau..."
Semburat merah tumbuh di pipinya, menjalar hingga bagian telinganya. Genichirou berlalu dari hadapan pemuda tersebut.
"Tumben sekali orang seperti-mu mampir ke konbini. Sepulang latihan pula," Seiichi mengikuti sosok tegap itu.
"Aku ingin membeli bahan makanan," jawab Genichirou singkat saat berdiri di depan rak bahan makanan mentah.
"Untuk ibu-mu?"
"Ku masak sendiri,"
"Jadi itu sebabnya kau membaca buku memasak di perpus,"
Genichirou menoleh ke belakangnya, menatap murid berambut biru tua tersebut, "kenapa kau mengetahuinya?"
"Aku melihatnya," singkat Seiichi dengan senyum yang mengatupkan matanya.
Pria berambut lurus tersebut menghela nafas, "ibu-ku sudah tiada. Jadi, aku yang mengurus makan malam,"
Seiichi berhenti menjinjitkan kaki-nya. Senyumnya pudar saat didengarnya kata-kata barusan, "ah, maaf, sudah membuat perasaanmu tak enak,"
Genichirou menggeleng, kurva tipis menghiasi sudut bibirnya, "tidak. Aku sudah terbiasa,"
Seiichi diam saja saat laki-laki itu mulai memilah barang yang akan dibelinya.
"Toh, aku tak selalu masak. Hanyak untuk kakek-ku saja dan kadang keperluan membuat bentou. Ayah dan kakak-ku mengerti semenjak kepergian ibu, terkadang mereka makan di luar ataupun membeli makan dari luar," jelas Genichirou tanpa menatap lawan bicaranya, "...ah, aku malah bercerita banyak tentangku sendiri. Maaf,"
Seiichi menggelengkan kepalanya, "yang kutahu... kau tak pernah mengungkap hatimu pada yang lain kan?"
Genichirou diam dengan pandangan ke lain arah. Tengkuknya gatal.
"Jika kau tak bisa menceritakannya pada yang lain, ceritakanlah padaku,"
二人は一つに、tonight...
Kita berdua menjadi satu, tonight...
Kanagawa, Next Day.
"Sanada-ku~n! Ohayou~!"
Baru saja melewati gerbang masuk Rikkai, sudah nampak sebentuk menyambutan heboh dari sosok yang tak asing lagi bagi dirinya, "Yukimura," desisnya.
"Ohayou~!" pemuda itu melambai-lambaikan tangannya dengan gestur enerjik yang menandakan betapa semangat ia hari ini.
Sebelum tercipta kejadian heboh lagi, Genichirou mempercepat langkahnya menuju murid kelas C tersebut, "ohayou," balasnya saat jarak mereka kurang dari 2 meter, "kau nampak bersemangat sekali," komentar Genichirou.
Seiichi mengangguk senang, "festival tinggal 2 hari lagi!" ujarnya sembari memberikan 'peace' pada sang anggota komite kedisiplinan sekolah ini.
Sanada terkekeh sejenak, tertawa meremehkan, "apa bagusnya acara tersebut,"
Sampailah mereka di hadapan jajaran besar rak-rak uwabaki pengganti alas kaki di dalam gedung sekolah.
"Kokuhaku time! Itu event yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa Rikkai!" promo Seiichi tak mau kalah.
"Kokuhaku... time?" Genichirou mengernyitkan alisnya. Tangannya terasa jauh barang mengepas uwabaki-nya.
"Saat dimana kau mengungkapkan perasaanmu pada orang yang kau sukai," jelas Seiichi sumingrah.
Genichirou hanya manggut-manggut mengerti sebagai balasan.
"Tidakkah kau mempunyai orang yang kau sukai?"
Genichirou stunned mendadak. Tak disangka ada pertanyaan konyol semacam itu yang dilayangkan kepadanya.
"Saat ini belum ada," jawabnya setelah berdeham lebih dari tiga kali. Mendadak tenggorokannya terasa kering.
"Jaa, semoga sukses menemukan orang yang kau sukai," tepuk Seiichi pada bahu lebarnya.
Genichirou menghela nafas.
"Ah! Yabai!"
Tiba-tiba Seiichi terpekik dengan sendirinya.
Dari merasa bodoh, Genichirou jadi merasa penasaran, "kenapa, Yukimura?"
"Aku meninggalkan kamus-ku di rumah! Sedangkan hari ini pelajaran Bahasa Inggris! Aku pasti dihukum sensei..." ujarnya lemas. Seiichi terjongkok membelakangi sekat-sekat kecil penyimpanan sepatu para murid. Ada aura suram yang mengelilingi dirinya.
Tersadar pada detik berikutnya, ia tak mendengar komentar yang kemungkinan akan didapat dari Genichirou. Pemuda itu malah tak terdengar suaranya sama sekali. Dari menatap sepatunya, Seiichi mengadahkan pandangannya. Begitu terangkat, ada sebuah buku tebal yang menggantung di depannya.
"Pakai saja dulu punya-ku," ujar Genichirou kemudian.
Dan menatap buku tebal berjudul kamus tersebut, Seiichi mengadah makin ke atas guna melihat sang pemilik.
"Ini..." tanpa menerima penolakan, murid bermata black-pearl tersebut bersiap menjatuhkan benda seberat setengah kilo tersebut ke pangkuan Seiichi.
Refleks orang yang dituju itu pun membentakngkan tangan guna menangkap buku setebal 400 halaman tersebut, "...terima kasih,"
"Jaa, sampai nanti,"
Sosok itu segera berlalu menuju lorong kelas tahun ketiga.
"Ano, Sanada-kun!" Seiichi berusaha memanggil nama keluarga pemuda tersebut, "... jam istirahat nanti, bisakah kita makan siang bersama?"
゛I just say..."
"Maaf, sesi angket tambahan tadi membuat kelas-ku sedikit terlambat,"
Genichirou datang saat Seiichi sedang asyik-asyiknya mencumbui angin utara di atap sekolah.
"Sudah kuduga," jawab Seiichi sembari tersenyum. Dari memunggungi titik dimana Genichirou datang, ia kini membalikkan tubuhnya menghadap pemuda tersebut. Seiring terlemparnya sebuah benda ke arah murid kelas A tersebut.
Refleks, Genichirou menangkapnya tanpa diketahui benda apakah yang kelak diterimanya.
Ternyata sebuah roti melon yang terbungkus plastik bening, saat dibuka kedua tangannya.
"Itu, ucapan terima kasih untuk kamus, yang barusan kutitipkan pada Renji di kantin tadi," jelas Seiichi. Anak rambutnya berterbangan menciumi bagian wajahnya. Angin begitu nakal siang ini, membuat sosoknya nampak indah dengan latar biru langit Kanagawa.
Menerimanya, Genichirou mengulum senyum, "terima kasih..." ucapnya sembari berjalan menuju sosok yang tengah bersandar pada pagar pembatas atap sekolah. Memisahkan mereka dari langit bebas.
"Aku tak tahu kalau ada tempat sesunyi ini di sekolah," ujar Genichirou. Punggung-nya tersandar pada rangkaian besi yang berdiri mengelilingi mereka tersebut, sembari membuka bungkusan plastik yang melindungi makan siangnya hari ini.
Seiichi menatapnya tak yakin dengan senyum khasnya.
"... selain di perpustakaan," tambah Genichirou meralat pernyataannya.
Yang mendengar malah tertawa, "kau harus lebih banyak menjelajahi lingkungan sini," komentar Seiichi. Diseruputnya susu strawberry yang sedaritadi digenggamnya.
"Aku tak pernah merasa langit se-biru ini..."
"Wherever you're..."
Kanagawa, SMA Rikkai, Festival Hanabi H-1
"Tidakkah kau mempunyai orang yang kau sukai?"
Kata-kata Seiichi tersebut masih terngiang dalam pikirannya. Menggeleng tertawa, Genichirou berusaha menepiskan pemikiran tersebut dari dalam kepalanya.
Yang benar saja, dalam dua bulan ini ia menemukan orang yang disukai? Mungkin teman yang baik iya. Menyemai lengkung tipis di wajahnya, Genichirou melangkah menuju kelas A, setelah alas kaki-nya berganti menjadi uwabaki.
Tinggal 5 langkah menuju kelas dimana dirinya tertadaftar sebagai murid, namun Genichirou terhenti sejenak—memastikan yang sedang dilihatnya. Ia memaku diam walau detik sibuk berlalu diantaranya.
Dilihatnya Seiichi sedang bercanda riang dengan seorang siswi. Entah kelas dan tahun keberapa. Tidak ada yang salah dengan pemandangan tersebut. Semuanya normal seperti pagi-pagi yang kemarin.
Sesaat kemudian Seiichi menangkap sosok dirinya yang tengah menatap ke arahnya. Ia melambaikan tangan sebagai sinyal keberadaannya. Dan Genichirou hanya mengangkat tangan kanannya ke udara sebagai balasan.
Tak perlu ditunggu, detik selanjutnya, Seiichi mengikis jarak diantara mereka. Setengah berlari, ia pun kini tepat berdiri di hadapannya.
"Yo!"
Sapanya akrab.
"Ou," ada sedikit nada lesu dalam balasan Genichirou.
"Um, untuk yang kemarin..." nampak sekali Seiichi ingin memulai satu perbincangan, namun nampaknya kali ini ia terlihat kaku.
"Ya?"
"Kita... pulang bersama," jelas Seiichi sepotong-sepotong.
"Ah ya, kenapa?" Genichirou berusaha menagkap maksud perkataan pemuda tersebut.
"Maaf, hari ini ku tak bisa..." akhirnya Seiichi menghela nafas bersalah juga.
"Ha? Kenapa?" ada rasa aneh dalam dadanya saat mendengar penolakan tersebut.
"Hari ini aku akan menemaninya," Seiichi menunjukkan ibu jari kanannya ke belakang—menunjuk gadis yang tadi diajak bicara olehnya.
"Oh ya, tentu. Silahkan..."
Entah kenapa Genichirou berasa kaku sekali—seakan tak ikhlas.
"Baiklah! Hari ini maaf!" Seiichi mengatupkan kedua tangannya.
Lalu pergi.
"... I always make you smile,"
Tonggeret bernyanyi riang.
Musim panas terasa sekali dalam perjalanan pulangnya. Terasa kosong dalam setiap langkahnya, Ia menendang-nendang setiap kerikil yang ada di ujung kakinya.
Menghela nafas sejenak, ia mengingat hal yang harus dilakukannya sepulang sekolah nanti. Mengingat sang kakek—Sanada Gen'gemon, akan menyambangi rumahnya, setidaknya ia harus menyediakan teh pahit yang kini persediaannya sudah menipis di dapur kediaman Sanada.
Membelokkan arah ke konbini terdekat, Genichirou berniat mencari barang sekotak daun teh beserta beberapa bahan makanan untuk dimasaknya nanti.
Kota sore ini tak terlalu ramai, maka itu Genichirou dapat dengan leluasa mengedarkan pandangannya dalam langkah menuju minimarket yang ditujunya. Selagi puas menelanjangi kota dengan tatapannya, sejurus ia mendapati sesosok yang mirip dengan Seiichi.
Dipicingkan penglihatannya saat sosok tersebut memasuki sebuah cafe bersama dengan seorang gadis. Ternyata itu memang sang Yukimura. Mengingat tadi pagi ia mengutarakan alasannya untuk menemani temannya. Entah untuk apa, Genichirou mengedikkan bahu. Tak ingin tahu lebih lanjut juga.
Dan diputuskannya untuk memasuki konbini yang kini berjarak 3 langkah di hadapannya.
"I'll always by your side..."
Kanagawa, Festival Hanabi SMA Rikkai
"Kau sudah memiliki siapa yang akan kau 'tembak' saat kokuhaku time nanti?"
Percakapan sejenis itu kini simpang siur bak angin lalu di pendengarannya. Festival sudah hari H, dan acara yang paling ditunggu adalah Kokuhaku Time, yang berada sebelum penghujung acara. Maka hanabi akan menjadi indah bagi mereka yang berhasil menyatakan dan diterima perasaannya.
Sebagai anggota logistik, Genichirou hanya menganggapnya hal yang tak berharga.
Tugasnya membereskan tumpukan mesiu bakal kembang api di area lapangan memang banyak dilalui orang. Jadi, ia dapat mendengar setiap percakapan sepele yang paling hanya bisa dikomentari dalam hati saja. Hari semakin sore. Maka, keadaan akan semakin ramai.
Sedari pagi ia tak bertemu dengan Seiichi. Anak itu mungkin tengah berkeliaran mencari gambar untuk diabadikan dalam kamera-nya. Memang tugasnya sebagai anggota publikasi sih. Namun entah mengapa ada sebuah lubang dalam hati Genichirou.
Hampa. Tak bertemu dengan orang yang biasa mengajaknya ngobrol.
Namun semua ditepisnya, untuk fokus menunaikan tugas sebagai bagian yang paling dibutuhkan saat acara penghujung nanti.
"Aku... aku akan menyatakan perasaanku pada Yukimura-kun..."
Sekelebat, didengarnya pernyataan tersebut. Dari sibuk menyusun rangkaian kembang api, Ia menyempatkan diri menoleh asal suara. Dan ternyata memang gadis yang kemarin berasa Seiichi.
"Kya—! Berjuang yaa!"
Sejenak dunia Genichirou berhenti bergerak. Serasa ada bagian yang terlepas dalam mekanisme sistem perputaran bola dunia-nya. Perasaan tak enak tersebut semakin menjalar dalam dada.
Bukan hal seperti cemburu atau bagaimana, namun untuk orang seperti Genichirou yang susah membuka diri pada orang lain, mungkin akan merasa sangat kehilangan jika teman terdekatnya itu akan meluangkan lebih banyak waktu untuk kekasihnya kelak.
"Kau ingin menyatakan perasaanmu?!"
Terdengar dari seberang—arah panggung, MC tengah mengungkit soal Kokuhaku Time kelak.
"Atau kau ingin dinyatakan perasaan?!"
"Saatnya Kokuhaku Time!"
Serentak terdengar bunyi riuh. Perasaan meluap dari setiap murid yang menanti-nantikan datangnya waktu ini. Menjual senja sebagai latar yang indah, Kokuhaku Time pun dilaksanakan di bawah lukisan langit orange yang merebak sampai ke barat.
Terdiam sejenak membiarkan semuanya menjadi riuh, Genichirou berusaha memutuskan sesuatu dalam kepalanya. Dan pada saat berikutnya, ia berlari meninggalkan area lapangan untuk mencari Seiichi.
Sialnya Rikkai itu luas. Sangat luas. Walau hanya satu putaran mengelilingi komplek SMA yang sudah dibangun sejak 56 tahun yang lalu tersebut, namun itu cukup untuk membuatmu bersimbah keringat dan memompa paru-paru ekstra.
Sosok berambut biru tersebut tak ditemukannya di manapun. Sudut kelas, lajur koridor, pelataran aula, sampai taman sekolah. Semua menjadi sepi karena para siswa memusatkan kegiatan di area lapangan menanti datangnya acara puncak.
Sudah hampir acara puncak. Namun sosok Seiichi tak kunjung ditemukannya. Lelah mencari, ia pun menyandarkan tubuh pada tembok gedung barat. Mengatur nafas sembari menurunkan panas tubuh.
"Ku kira kau ikut menonton acara Kokuhaku,"
Sebuah suara memaksanya menoleh. Adalah Seiichi yang berdiri di arah jam 10-nya.
"... ternyata kau lebih memilih sendiri," lanjutnya terkekeh.
"Yukimura!"
Tak membuang kesempatan, Genichirou segera bangkit, "walau kau memiliki kekasih nanti, walau kau bersama yang lain nanti, kumohon, jangan lupakan aku!" ujar Genichirou tanpa jeda.
Melihatnya, Seiichi terpaku. Bukan hal yang diharapkannya untuk mendapatkan pernyataan—sejenis pernyataan cinta—dari seorang Genichirou wayah Kokuhaku Time seperti ini.
"Sanada-kun kau baik-baik saja?" tanya Seiichi cemas.
"Sebenarnya tidak," Genichirou kembali tertunduk lesu, "tadi kudengar ada gadis yang mau menyatakan perasaannya kepadamu, dan kupikir kau akan menerimanya. Jadi, tak ada lagi teman untukku mengobrol atau pulang bersama," aku Genichirou blak-blakan.
Seiichi diam mencerna. Tak biasanya laki-laki kaku di depannya ini berbicara panjang lebar. Maka ini kesempatan untuk mendengarkannya, "kau... percaya itu?"
"He?" Genichirou melongo.
"Maksudku, aku akan meninggalkanmu? Ayolah, siapa lagi yang seru untuk diajak mengobrol tentang betapa menjengkelkannya pelajaran kimia itu," Seiichi berjongkok dekat Genichirou. Memainkan lily putih yang tumbuh di pinggiran konblok halaman belakang. Kameranya menggantung bisu di depan dadanya.
"Tapi... kau menerima pernyataan gadis itu kan?"
"Gadis...? Oh, yang kemarin," Seiichi tersenyum. Seperti mengingat sesuatu, "ia memang bilang suka kepadaku, tapi..." dari menebar senyum kepada bunga berkelopak putih tersebut, kini Seiichi mengadah menatap anggota logistik tersebut, "...saat ini aku sedang tak ingin menjalin hubungan cinta," senyumnya.
Ada roller-coaster yang terjun bebas dalam hatinya. Genichirou merasakan kelegaan yang sangat. Perasaan tak mengenakkan yang bersemayam dalam nadinya, kini perlahan sirna.
"Yukimura, maukah kau menjadi sahabatku?"
Seiichi tertawa, "kokuhaku time ya?" goda-nya menatap langit.
Genichirou pun ikut tertawa menyadari kebodohannya, "bukan... bukan maksudku—"
"Jaa... panggil aku Seiichi, dan aku akan memanggilmu Genichirou. Ah, tidak... Gen-chan,"
"I promise you 'forever'
right now,"
Atogami
Story-line ini dibagi 3 (rencananya), dan ini adalah part pertama. Lama nggak nulis rated M, sekalinya nulis malah abal.
Dedicated to:
Part pertama ini kupersembahakan pada kawan yang selalu menemaniku dalam melalui setiap hari di kost-an dan kini sudah berpulang pada keabadian. Hamster-ku tercinta; Hiro.
Dan untuk temanku yang sedang berusaha menumpahkan perasaannya kedalam tulisan yang lebih baik setiap harinya; Octa. Ganbarre.
Dengan hati yang masih terluka.
-Aiko
