Tiga suara memohon agar mereka tak dilupakan.

.

.

.

:: outside the noises ::
©mitarafortunadow

{ disclaimer: omen series © lexie xu }

.

.

.

Dicky menyimpan setiap kemarahan di balik topeng karet. Ia menggandeng tangan Putri dan memamerkan senyuman, merasakan sedikit percikan rasa bangga ketika gadis itu balas menatapnya dengan syukur tertahan di antara bibir terkatup. Dicky menyadari eksistensinya sebagai penopang, membanggakan diri pada kenyataan bahwa jika ia tak ada, Putri akan jatuh dan remuk terinjak.

Namun ketika seseorang memanggil dan Putri melepas genggaman tangan mereka, melangkah ke dunia yang entah bagaimana Dicky tidak termasuk di dalamnya, ia melihat punggung yang menjauh dan kekuatan. Ia melihat sosok yang teguh dan perobek tiap penghalang.

Ketika momen itu datang, terus berulang-ulang, Dicky menatap langit-langit kamarnya dan bertanya-tanya.

Mungkin sejak awal Putri memang tidak membutuhkannya.


Mereka tidak pernah secara resmi 'berkenalan'. Putri tahu Dicky ada, berkeliaran di koridor sekolah dengan segerombolan kawan, menguasai khalayak dengan senyum lebar, kemampuan bela diri, dan, tentu saja, uang. Dicky tahu Putri ada, melangkah menyusuri lorong-lorong dengan gelar 'elit', menyibakkan rambut, membuat semua orang menjadi bayangan dengan kecerdasan dan keanggunan, mendorong semua orang yang menghalangi jalan dengan kata-kata sinis yang menusuk ulu hati.

Ketika mereka bersimpangan jalan, Putri akan melirik sekilas, lalu melanjutkan langkah, bersikap seolah-olah Dicky menarik perhatiannya, tapi tak cukup berharga untuk diamati lekat-lekat. Namun Dicky berhenti, menoleh ke belakang, mengawasi gadis kesepian itu membelah kerumunan begitu mudahnya.

Putri tahu Dicky ada, Dicky tahu Putri ada.

Ketika mereka bersimpangan jalan untuk yang kedua kali, tiga bulan setelah penerimaan siswa baru, Dicky menempatkan diri di hadapan Putri, memasang topeng karetnya, dan tersenyum—berusaha tampil memesona.

Tak ada perkenalan, tapi ia menunduk sedikit, menatap langsung ke mata Putri yang tidak memiliki kelembutan.

Ia menyapa, "Hai."

Dan Putri balas menyapa, tanpa senyuman, tapi membiarkan jalan mereka bertautan untuk pertama kalinya.


Orang-orang bilang bicara dengan Putri adalah siksaan. Gadis itu membuat semua orang yang berani menantangnya satu lawan satu merasa bodoh, dan membuat mereka yang main keroyokan merasa hina. Kali pertama Dicky berusaha membuat Putri bicara (benar-benar bicara), dengan struktur lengkap kalimat dan emosi nyata menyelip di tiap kata), ia nyaris melompat dari atap sekolah saking frustrasinya. Ia, yang selama ini menganggap hidupnya sempurna, tiba-tiba didera pernyataan merendahkan yang dilontarkan Putri secara bertubi-tubi.

Namun entah bagaimana, topeng karetnya masih melekat, senyumnya masih terpampang (meski agak miring ke satu sudut dan nyaris jatuh), sementara Putri memberinya tatapan penasaran.

"Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?" Satu hari, gadis itu pernah bertanya. Entah merasa terganggu dengan tindakan Dicky yang menempel padanya terus-menerus, atau merasa bingung dengan sikap baik tulus yang jarang diperolehnya. "Tidak ada seorang pun yang benar-benar peduli padaku."

Itu adalah pertama kalinya Dicky melihat kerapuhan Putri. Dan mungkin, sebagai seorang laki-laki, saat ketika ia jatuh hati pada betapa mudahnya Putri retak seperti cermin yang jatuh dari ketinggian.

Ia menangkupkan tangan di atas telapak tangan Putri, menyadari topengnya luntur sedikit demi sedikit, dan membiarkan Putri melihat ironi di balik matanya.

"Aku menyukaimu."

Waktu itu, yang dikatakannya adalah kejujuran.


Putri tidak suka disentuh, apalagi dipeluk. Ia membiarkan Dicky menggandeng tangannya beberapa kali, tapi lebih banyak tepisan lembut terjadi. Putri jarang tertawa. Dicky belajar untuk membuatnya tersenyum. Ia membawa Putri ke manapun ia pergi, memperkenalkannya pada teman-teman satu geng. Putri menganggap Lindi membuatnya tidak nyaman, dan Suzy selalu membuatnya kesal. Namun Dicky—yang tak lagi tersenyum dengan topeng karet—menyenandungkan tawa, dan membujuknya dengan pemahaman akan Putri yang kini telah ia pelajari.

"Mereka bisa jadi teman yang baik," ia berujar, "atau musuh yang sangat, sangat mengganggu. Nah, kau yang memilih mereka akan jadi apa."

Ia tahu Putri tahu bagaimana politik bekerja. Ia tahu Putri tidak menyukai kepalsuan, tapi ia juga tahu, mau tak mau, Putri akan mempratekkannya dalam kehidupan nyata.

Di penghujung tahun ajaran, mereka menerima undangan dari The Judges, dan Dicky, terlepas dari apa kata orang-orang, tidaklah bodoh. Ia tahu ia tidak akan mampu lolos seleksi seorang diri.

"Tapi kau punya Putri," Lindi tiba-tiba berkata, "dia akan membukakan jalan untukmu."

Putri adalah seseorang untuk dilindungi. Putri adalah seseorang untuk dipuja. Putri adalah seseorang yang, bagi Dicky, memberi alasan untuk menjadi lebih kuat. Bukan pembuka jalan. Bukan orang yang dimanfaatkan.

Namun Lindi melanjutkan dengan nada mencemooh yang tersirat, "Maksudku, apa salahnya? Tanpamu, Putri Badai tidak akan jadi dia yang sekarang. Tanpamu, dia hanya akan jadi cewek pemarah dengan pamor keluarga yang sudah hancur dan mulut tajam yang memberinya banyak musuh. Namun karena ada kamu, Dicky, Putri punya begitu banyak kekuasaan yang bahkan melebihi organisasi The Judges."

Dicky membuka, hendak membantah, ingin membela Putri, tapi seluruh kata melebur jadi abu. Ia menatap Lindi, tajam. "Apa maksudmu?"

Lindi menggelengkan kepala, menampakkan senyum iba. "Yang kumaksud, Dicky, adalah Putri memanfaatkanmu."


Putri tidak punya teman, Dicky tahu. Ada Lindi, ada Suzy. Ada King, ada Jason. Ada Dicky. Namun Putri tidak punya teman. Ia hanya ada di sana, di meja tempat Dicky dan gengnya selalu berkumpul, karena sang pacar akan menariknya ke sana. Putri punya banyak musuh. Dicky juga tahu. Ada gadis-gadis populer di seberang meja yang menatap figurnya dengan iri. Ada bocah-bocah pengecut yang merasa dunia tidak adil karena Putri eksis. Ada penggemar dan pengikut Dicky yang beranggapan Putri tak layak berada di sisinya.

Ada surat-surat kaleng menumpuk di loker. Ada gosip menyebar berusaha merendahkan. Ada cercaan tajam. Ada jegalan.

Putri akan mengangkat kepala dan terus melangkah. Beberapa bulan terakhir ini, Dicky mengikuti selangkah di belakangnya, lalu melebarkan langkah untuk mengejar dan meraih tangannya, tersenyum.

"Hai," ia akan menyapa, seperti pertama kali.

Putri tidak pernah meminta dukungan. Dicky-lah yang menawarkan diri untuk menjadi rekan.

"Hai."

Seharusnya Dicky bisa percaya, karena Putri adalah sosok yang dalam gelap dan terang, selalu nampak sama. Tak ada kepalsuan.

Maka seharusnya, kata-kata Lindi adalah omong kosong belaka.


Namun Dicky tidak bisa melupakan.


Keraguannya bertumpuk, membuatnya bimbang, membuat senyumnya berubah kaku. Ia berhasil lolos seleksi. Dan seperti kata Lindi, Putri membukakan jalan. Dicky juga memperhatikan bahwa Lindi melakukan hal yang sama untuk King. Tahun kedua SMA, Putri diangkat sebagai Hakim Tertinggi. Kakak kelas memberikan kepercayaan penuh padanya. Dicky adalah orang kedua.

Putri telah mendapatkan mahkotanya. Ia bisa menyingkirkan semua lawan, tak lagi butuh dukungan.

Dicky tertinggal di belakang.


Mereka jarang pergi kencan, tapi Putri mengangkat teleponnya setiap malam. Sebagai penjemput mimpi, ada percakapan ringan selama beberapa menit. Dicky akan berusaha membuat Putri tertawa di akhir pembicaraan mereka.

Malam itu, yang tersisa di akhir kalimat hanya hening.

"…Selamat tidur." Dicky memandang cermin, menekan ponsel ke telinga. "Mimpi indah." Kekosongan dalam doa itu mengudara.

Putri menutup telepon.

Di dalam cermin, bayangan Dicky membentuk ekspresi terkhianati, perasaan lemah yang memaksanya untuk berhenti mencintai. Ketika ia mencoba menyunggingkan senyum, lengkung yang terlihat diisi oleh kemarahan.

Ia tahu ia harus mengenakan topengnya lagi.


Putri menyentuh wajahnya, menyadari ketegangan yang merambat seketika.

"Kau berubah," ia menyatakan.

Dicky menutup mulutnya, menahan jawaban yang nyaris tergelincir dari lidahnya. Tidak, aku kembali jadi aku yang dulu. Namun ia tersenyum (topengnya tersenyum), selagi jemarinya bergerak untuk mengusap alis Putri, melembutkan ekspresinya.

"The Judges mengubahku."

Kau mengubahku.


"Kau benar." Dicky menempatkan dirinya di sebelah Lindi, di bawah pohon beringin di area yang sebelumnya tak pernah ia kunjungi. "Kurasa Putri memang memanfaatkanku."

Lindi langsung menyentuh lengannya, berkata penuh simpati, "Ah, Dicky." Ia menyibakkan rambutnya ke belakang, namun angin kembali membuatnya berantakan. "Kuharap dia tidak perlu melakukan itu padamu."

"Tidak," ekspresi Dicky diselimuti tekad, "aku tidak butuh cewek yang tidak membutuhkanku."


Namun dia tidak bisa melepas Putri. Tidak. Jangan.

Belum.


Mungkin Putri menyadari lebih banyak perubahan, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sikapnya lebih relaks setelah itu, seolah ia sudah tak lagi memiliki beban. Ia membiarkan Dicky menggandeng tangannya di sebagian besar momen. Terkadang genggaman tangannya terlalu kuat, enggan lepas, dan Dicky bertanya-tanya apakah Putri sebenarnya putus asa. Namun tidak ada pernah ada kata terucap.

Mereka merencanakan kencan di akhir pecan. Dicky hafal restoran favorit Putri. Ia menelepon untuk memesan meja, menatap ponselnya dan membuka kotak masuk. Ada begitu banyak nama Lindi di sana. Banyak hal berubah. Dulu, dia bicara dengan Lindi hanya karena gadis itu diperkenalkan oleh King. Lindi tidak pernah jadi eksistensinya istimewa di matanya.

Dicky menghapus tiap pesan, khawatir Putri akan membaca dan mengetahui pengkhianatannya.

Ia belum siap kehilangan Putri.


Entah bagaimana, berita menyebar. Hanya dalam lingkupnya, tapi Dicky bisa merasakan sesak karena kecemasan.

Dimulai dengan Jason tiba-tiba menariknya ke bawah tangga usai rapat OSIS.

"Aku tidak tahu apa yang kaurencanakan," ia mendesis, "tapi sebaiknya rencanamu bagus. Atau kau mati."

Dicky menepis tangan Jason, topeng yang selalu menampilkan ekspresi ceria, merengut, "Apa yang kaubicarakan?"

Jason mendesah. "Kau berselingkuh dari Putri Badai."

Ada alasan mengapa Dicky menganggap Putri pantas berada dalam silsilah keluarga Badai. Namanya memberikan efek menyeramkan dalam benak Dicky. Seolah-olah badai tengah memporak-porandakan pikiran Dicky, menumpahkan tiap memori. Ia selalu takut ia akan mengatakan hal yang salah, membuat Putri marah dan mencabik-cabiknya seperti serigala kelaparan. Dicky memejamkan mata, tidak percaya ia pernah menganggap Putri lemah.

"Aku tidak punya rencana," ia berbisik, "tapi aku tidak akan menghentikan ini. Putri membuatku gila, Jason!" Lalu ia menunduk, mengakui dengan pahit, "Putri tidak membutuhkan orang seperti aku."

Jason tampak bersimpati ketika ia melangkah mundur, perlahan memberikan Dicky ruang untuk bernafas. "Aku akan diam," ia berjanji, lalu pergi.

Dicky bersandar pada dinding, merasa ingin mati.


Malam itu, Putri menelepon. Hanya sekali. Dicky berbaring di atas tempat tidur, menggenggam tangan Lindi dan menelan rasa bersalahnya bulat-bulat.


Sejak itu, tak pernah lagi ada rasa bersalah. Topengnya tak pernah lagi terlepas.


Ketika rahasianya terkuak, semua dusta terlepas dari kekang, topeng Dicky retak begitu ia menatap mata Putri dan tahu ia tidak akan bisa menang. Memang dia yang memegang senjata, memang Lindi yang memegang kendali. Namun sekali melihat Putri (dan anak-anak beringas lain di sekitarnya), Dicky tahu ia akan kalah.

Mata Putri menunjukkan sakit hati, kemarahan, kekuatan—Dicky menelan ludah saat tiap kenangan di masa awal hubungan mereka melintas dalam benak.

Putri menyerang Lindi. Itu adalah momen ketika Dicky kehilangan Putri.


"Aku menyukaimu."

Ia tidak tahu apakah itu telah berubah jadi kebohongan. Rasanya belum.


A/N: I put much effort in this little baby, and I don't regret it. I'm glad I can at least capture a little bit of Dicky's point of view, since, even though I hate him for what he has done, he is the proof that Putri is strong. Much stronger than I like to believe.

There are three parts in this fanfiction. First, we get Dicky, as you have read. The next will be Putri's. I think I need to put much more effort in the second part, because it's Putri and I don't want to make it disappointing.

I can't promise the next part will come out as soon as possible, 'cause you see, Putri is my favourite character and I will spend a decade just to make sure the fanfic turns out good. Not exactly a decade, but you know what I mean.

At last, thanks for reading. (I don't know if there's even one person reading this beside myself)