NOTE : Olla, Minna-sama... Perkenalkan, Author baru di dunia fanfiction. Panggil saja Grey :) ini fanfiction pertama Grey, jadi maaf kalau masih banyak kekurangan. Yosh, tanpa basa basi lagi, silakan dibaca, Minna-sama...
DISCLAIMER : HunterxHunter selamanya hanya milik Togashi-sensei. Grey hanya punya Ellen sebagai OC dan sebagian kecil dari alur cerita.
PAIRING(S) : Pairing utamanya adalah HisokaxOC, tapi untuk chapter awal, belum ada. Dan ada unexpected pair nanti di akhir cerita :)
WARNING : Terdapat ke gaje an, beberapa typo. dan juga beberapa karakter yang OOC banget .
Rumah itu gelap, satu satunya penerangan yang ada hanyalah sinar bulan yang remang remang. Diantara kegelapan itu, tampak sosok remaja lelaki-yang bisa dikatakan cantik, mengingat rambut hitamnya tumbuh lurus memanjang melewati bahu-sedang menatap dengan iris hitamnya yang tanpa emosi tersebut ke pemandangan dihadapannya. Mayat. Tangannya yang sedang menggenggam sebuah ponsel diletakkan tepat di depan telinganya.
"Illumi. Ada masalah?" kata seseorang diseberang telepon.
"Ya,mereka sudah mati sebelum aku datang," jawab lelaki yang bernama Illumi tersebut, "apa yang harus kulakukan, Tou-san?"
Tiba tiba ia merasakan sesuatu meluncur tepat ke arah kepalanya. Dengan sigap, ia menangkap benda itu dengan tangannya yang bebas. Sebuah pisau.
Clap...clap...clap...
Illumi mengarahkan pandangannya ke arah datangnya suara tepuk tangan itu, dan melihat seorang gadis-yang tampak sedikit lebih muda darinya.
"Selamat, kau orang pertama yang bisa menangkap pisau itu." Gadis itu berkata sambil perlahan menunjukkan dirinya. Ia memiliki rambut bewarna ungu pendek, dan memakai sebuah kaus hitam dan celana pendek yang sewarna dengan kausnya. Iris matanya bewarna emas-dan bentuknya mirip dengan mata kucing-menatap tajam ke arah Illumi.
"Tou-san, nanti aku hubungi kembali." Illumi lalu menyimpan ponselnya, dan berkata kepada gadis tersebut, "siapa kau?"
Gadis itu perlahan menggelengkan kepalanya, "Akulah yang seharusnya bertanya seperti itu. Siapa kau? Dan apa urusanmu kemari?"
Illumi diam sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, "Namaku Illumi Zoldyck. Aku kemari untuk membunuh dua orang yang telah mati tersebut."
Ekspresi terkejut langsung menggantikan ekspresi tajam gadis itu. Tentu saja ia terkejut, siapa yang tidak kenal dengan Keluarga Zoldyck, keluarga pembunuh bayaran yang terkenal itu. Namun ia segera memasang kembali ekspresi tajam andalannya.
"Wow.. aku tak menyangka akan bertemu dengan anggota keluarga Zoldyck yang terkenal itu. Tapi, hal itu bukan masalah. Masalahnya sekarang adalah targetmu sudah mati. Dan sekedar informasi, akulah yang membunuh mereka. Jadi, apa yang akan kau lakukan, Illumi-san?"
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, jawab dulu pertanyaanku, mengingat aku telah menjawab pertanyaanmu. Siapa kau? Aku yakin kau bukanlah pembunuh bayaran sepertiku."
Gadis itu tertawa kecil, "kau memang menarik, Illumi-san. Well, namaku Ellen. Targetmu membeliku dari seorang penjual anak anak di pasar gelap. Mereka ingin memakaiku untuk bisnis mereka. Tapi siapa yang mau diperintah oleh orang seperti mereka?"
"Jadi karena itulah kau membunuh mereka?"
"Yahh... anggap saja begitu."
Illumi mengangkat bahunya, lalu membalikkan badan dan berjalan keluar dari rumah itu. Ellen dengan sigap melemparkan pisau ke arah Illumi, yang dengan mudah dihindarinya.
"Kau pikir kau bisa dengan semudah itu berbalik pulang ke rumahmu?"
"Jadi apa yang kau inginkan?" jawab Illumi tanpa membalikkan badannya.
"Kebetulan aku ingin bertemu dengan Silva Zoldyck. Antarkan aku menemuinya, ada hal penting yang perlu kutanyakan padanya."
"Dan kenapa aku harus melakukannya?"
"Anggap sebagai bayaran karena aku telah membunuh targetmu." Jawab Ellen cuek.
"Bagaimana kalau..." Illumi lalu membalikkan badannya dan menatap Ellen dengan pandangan membunuh, "aku membunuhmu disini?"
Bukannya terintimidasi, Ellen malah membalas dengan tatapan membunuh juga, "cobalah, kalau kau bisa"
Dalam sekejap mata, Illumi melemparkan senjatanya-yang berupa jarum- kearah Ellen seharusnya berdiri. Ya, seharusnya, karena Ellen menghindari serangan cepat Illumi dan berpindah posisi ke sebelah kiri. Namun, Ellen merasakan adanya jarum lain yang mengarah tepat ke wajahnya. Tak mampu menghindar, Ellen mencoba menangkap jarum tersebut dengan menyelubungi tangannya dengan Nen. Dan jarum itu tertangkap beberapa milimeter dari wajahnya.
"Aku tak menyangka kau mampu menggunakan Nen, apalagi menangkap jarumku. Padahal aku sudah menggunakan In."
Ellen tersenyum-tepatnya menyeringai, "akan kuanggap itu sebagai pujian, Illumi-san. Tapi bukan hanya kau yang bisa menggunakan In."
Sebelum menyadari maksud perkataannya, Illumi merasakan bilah dingin menggores kulit pipinya, diikuti dengan sensasi nyeri saat perlahan luka gores tadi mulai mengeluarkan darah.
"Selanjutnya tidak akan meleset. Bawa aku menemui Silva Zoldyck."
Detik berikutnya, Illumi tertawa dengan keras, membuat Ellen mengernyitkan alisnya, merasa khawatir kalau kalau ternyata anak sulung Keluarga Zoldyck tersebut mengalami gangguan kejiwaan.
Illumi perlahan memelankan tawanya, namun ekspresi geli masih terlukiskan di wajahnya yang seharusnya tanpa ekspresi tersebut. "Berapa usiamu, Ellen?"
"Tigabelas tahun"
"Begitu, ya. Kau lebih muda 2 tahun dariku. Baiklah, kalau kau ingin menemui Tou-san, maka kau harus mengikutiku. Kalau kau lambat, maka kau akan kutinggal."
Mendengarnya, iris emas milik Ellen berbinar binar senang. Well, bagaimanapun, ia tetaplah anak anak. Pikir Illumi sambil mengulum senyum, dan berjalan keluar rumah, dengan Ellen mengekorinya.
"Jadi, aku harus membuka pintu ini untuk menemui Silva?"
Sekarang mereka telah beridiri di depan Gerbang Penguji, yang merupakan Gerbang Masuk ke Mansion Zoldyck.
"Ya. Kalau kau tak bisa membukanya, maka kau tak layak masuk kedalam." Jawab Illumi kalem. Sebenarnya, ia yakin Ellen bisa membuka paling tidak satu gerbang, mengingat ia sudah menguasai Nen. Belum lagi ditambah dengan kemampuannya yang cukup mengagumkan untuk bisa mengikuti Illumi hingga ke Gunung Kukuroo.
Mendengar perkataan Illumi, Ellen memanyunkan bibirnya, tanda ia tak senang. "Aku hanya perlu mendorongnya, kan?"
Illumi hanya mengangguk sebagai jawaban, "kau juga bisa memakai Nen kalau kau merasa kesulitan."
"Terimakasih, tapi tidak, terimakasih." Ellen lalu meletakkan telapak tangannya ke pintu batu itu, sambil menghirup nafas secara perlahan. Dan dengan sekuat tenaga, ia mendorong pintu tersebut hingga...
...pintu tersebut terbuka. Bahkan sampai pintu kedua.
Illumi yang menyaksikannya-entah kenapa-merasa gembira dan bangga disaat yang bersamaan. Lain halnya dengan Ellen yang saat ini duduk berselonjor ditanah sambil meregangkan tangannya
"Ittai... berapa sih berat pintu ini! Tanganku sampai mati rasa!"
"Masing masing pintu beratnya sekitar 2 ton. Kau membuka sampai pintu ke 2, itu artinya sekitar 8 ton." Illumi berjalan masuk tanpa menghiraukan Ellen, "itu cukup hebat, untuk ukuran anak anak sepertimu."
Ellen manyun-lagi-sebelum akhirnya berdiri dan menyusul Illumi yang telah berjalan cukup jauh didepannya.
Setelah menyusuri hutan lebat-yang kata Illumi merupakan properti keluarganya-mereka tiba di depan sebuah mansion yang sangat besar. Illumi tanpa ragu masuk ke dalam, dan Ellen kembali mengekorinya. Seketika itu juga, ia langsung kagum pada keindahan mansion tersebut, dengan pilar pilar raksasa yang menyambut mereka, dan lukisan lukisan yang Ellen yakini bernilai milyaran jenny. Sempat terpikir olehnya untuk menjadi pembunuh bayaran seperti mereka, dengan harapan suatu hari ia bisa memiliki mansion sebesar ini juga.
Huh? Apa yang kupikirkan? Lagipula, siapa yang akan tinggal bersamaku nantinya? Jangan konyol, Ellen. Ucapnya dalam hati.
"Illumi, sayang. Kamu sudah kembali."
Ucapan tersebut menyadarkan Ellen dari lamuannya, dan ia melihat seorang wanita dalam gaun bergaya victoria dan sebuah topi besar yang senada dengan gaunnya. Wajah wanita itu diperban sehingga menyisakan mulutnya saja, dan matanya ditutupi dengan-Ellen tidak tahu, sejenis mesin dengan sebuah lampu kecil bewarna merah tepat ditengahnya.
"Siapa gadis dibelakangmu itu, Illumi?" kata wanita itu lagi.
Illumi melirik Ellen sekilas, dan bukannya menjawab pertanyaan wanita itu, ia malah balik bertanya, "Kaa-san, apa Kaa-san melihat Tou-san?"
"Ada apa kau mencariku?"
Terkejut dengan suara bariton tersebut membuat Ellen segera berbalik dan melihat sosok pria dengan postur tubuh yang tegap dan kekar. Pria itulah Silva Zoldyck, orang yang ingin ditemui Ellen. Silva melirik ke arah Ellen sekilas -dan Ellen bergerak mudur selangkah karenanya-sebelum menatap Illumi dengan pandangan cepat-jelaskan-apa-yang-terjadi.
Illumi lalu menceritakan apa yang terjadi saat ia pergi membunuh targetnya, dan Silva menatap Ellen dengan pandangan yang sulit dijelaskan saat mendengar bahwa ia telah membunuh kedua target Illumi.
"... karena itulah aku ingin menjadikannya bagian dari Keluarga Zoldyck." Ucap Illumi mengakhiri ceritanya.
Tidak hanya Silva dan Kikyo yang terkejut, Ellen bahkan terkejut oleh perkataan Illumi, bahkan ia sampai melongo dengan mulut terbuka dan menatap Illumi dengan pandangan pria-ini-benar-benar-gila.
Tidak mendapat respon, Illumi kembali berbicara, "aku merasa ia akan berguna bagi kita nantinya. Ia punya potensi untuk menjadi pembunuh, karena itulah aku ingin ia menjadi bagian keluarga kita. Jika kita melatihnya, ia pasti bisa memanfaatkan seluruh potensi tersebut."
"Illumi, sayang. Kenapa kamu tampak seyakin itu?" tanya Kikyo, setelah terdiam cukup lama.
"Ia membunuh targetku dengan bersih, hanya dengan sebuah pisau dapur. Ia punya tatapan pembunuh, dan tidak terintimidasi dengan tatapan pembunuhku. Ia sudah menguasai Nen walau belum sempurna. Ia dapat menangkap jarum jarumku, bahkan melukaiku." Illumi menatap Kikyo, "apa itu belum cukup, Kaa-san?"
Hening sejenak sebelum suara bariton Silva memenuhi seluruh ruangan, "Illumi, akulah yang akan memutuskan ia layak atau tidak. Bukan kau."
Dalam sekejap, Silva sudah berdiri di hadapan Ellen dengan posisi tangannya siap mencongkel jantung gadis itu.
Sejak kapan ia-?!
Pikiran gadis itu terputus saat Silva menusukkan tangannya ke arah dada sebelah kirinya. Secara refleks ia menjatuhkan dirinya kebelakang, karena ia tidak membuat persiapan untuk menghindar, seperti saat ia melawan Illumi. Namun sayangnya refleksnya kurang cepat dibandingkan dengan serangan Silva. Akibatnya, dadanya terluka walau tidak fatal namun cukup untuk membuat sekujur tubuhnya nyeri. Tak terima dikalahkan begitu saja, Ellen menggunakan sebelah kakinya untuk menendang tangan Silva tepat di sikunya secara terbalik, bermaksud membuat tangan itu patah. Tentu saja ia telah memperkuat tendangan itu dengan bantuan Nen nya. Setelah melancarkan serangan balasan, Ellen melompat ke seberang ruangan dan memasang kuda kuda bertahan.
Silva menatap gadis itu dengan takjub, tak menyangka ia bisa menghindari serangannya, bahkan sampai melancarkan serangan balik. Ia melirik tangannya yang menjadi sasaran tendangan gadis itu. Memar.
Bahkan pisau paling tajam sekalipun tak mampu melukaiku, tapi gadis itu... ia membuat tanganku memar. Aku tak menyangka ia bisa memikirkan serangan balasan disaat seperti itu. Benar kata Illumi, gadis itu punya potensi. Pikir Silva dalam hati.
Disisi lain, Ellen berusaha keras untuk menahan gemetaran tubuhnya. Ya, ia takut, tepatnya ia ketakutan. Serangan Silva membuatnya mengenal sebuah emosi baru-emosi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia sangat takut, hingga kedua tangannya tak berhenti gemetar.
Pria ini gila! Tak ada manusia yang bisa bergerak secepat itu! Dan auranya benar benar mengerikan, aku bisa merasakan nafsu membunuhnya. Dan tendanganku tadi seharusnya mematahkan tangannya! Terbuat dari apa tubuhnya itu?!
"Siapa namamu?" pertanyaan Silva membuat Ellen berjengit kaget. Dengan gugup, ia menelan ludahnya sebelum menjawab.
"N-Namaku Ellena, t-tapi aku dipanggil Ellen." Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang tergagap. Bahkan suaranya sendiri terdengar bagaikan rintihan anak kucing yang dibuang di tepi sungai.
"Begitu, ya. Mulai sekarang namamu adalah Ellena Zoldyck, kau resmi menjadi bagian dari Keluarga Zoldyck." Dan setelah mengatakannya, Silva berbalik pergi. Namun, belum sampai lima langkah, pundaknya ditepuk dengan keras, dan saat ia berbalik, ia melihat mata kucing milik Ellen menatapnya tajam.
"Apa-apaan itu?! Aku kemari bukan untuk menjadi bagian dari keluarga kalian! Aku kemari karena ada hal yang perlu kutanyakan padamu! Karena itu-"
"Aku tak akan menjawab pertanyaanmu, kalau begitu." Ucapan Silva membuat Ellen terdiam, "aku hanya akan menjawab pertanyaanmu, kalau kau bertanya sebagai Ellena Zoldyck, dan cukup kuat untuk mengalahkanku."
Dan kali ini, Silva benar benar pergi meninggalkan mereka semua. Illumi lah yang pertama kali bersuara setelahnya "Apa Kaa-san setuju Ellen menjadi bagian dari Keluarga Zoldyck?"
Tak disangka, Kikyo Zoldyck malah memberi Ellen sebuah pelukan erat, "tentu saja! Oooohhh~sudah lama aku ingin punya anak perempuan yang manis,, ditambah dengan bakat membunuh... dia sangat sempuur~na..."
"H-Hoi! Lepaskan ak-"
"Selamat Datang di Keluarga Zoldyck, Ellen-chan~" ucap Kikyo tanpa mempedulikan protes dari Ellen.
Dan Illumi yang menyaksikannya mengulum sebuah senyuman tulus-hal yang mustahil untuk dibayangkan mengingat dia selalu memasang poker face.
Selamat datang, Ellen. Sekarang, aku bisa selalu mengawasi dan melindungimu.
.
.
.
TBC (not tuberculosis #retchehbgt)
Nah,, bagaimana, Minna-sama? Apakah cerita ini layak untuk dilanjutkan? tolong kirimkan review Minna-sama sekalian. Grey akan menerima segala bentuk pujian, masukan, dan kritikan sekalipun. Sampai jumpa di chapter berikutnya...Arigatou Gozaimasu!
