Sumimasen, saia author baru di fandom ini ^^
Dan ini fic pertama saia di fandom DGM ini,
jadi mohon bantuannya
m(_ _)m
ngomong-ngomong, belakangan ini fandom DGM sepi banget, ya?
Awalnya mau saia satuin jadi oneshot, tapi berhubung rada kepanjangan, atas saran Acchan Lawliet saia bagi jadi two-shot. Jadi fic ini memang double-chap ^_^
Fic ini keinspirasi dengan nistanya abis saia dengerin lagu "Katayoku no Tori". Ada yang tahu OST dari anime apa itu? Yang bisa tebak boleh bawa pulang salah satu cowok bishie dari DGM deh! *ditendang*
Selain Acchan, yang lain tebak ya! Kenapa? Karena dia udah terlanjur saia kasih tau...
Udah ah, pokoknya selamat menikmati fic ini...
DISCLAIMER: as usual, you-know-who *lirik-lirik Hoshino Katsura-sensei*
"Katayoku no Tori" punya Shikata Akiko
WARNING: (Slightly) Bloody&Gore, songfic (maybe), aneh, gajhe, ga nyambung dll
Crimson Rose Score
Il giudizio finale sta per essere emesso
Nessuno può emendarsi dal peccato che scorre nelle vene
"Shishou!"
Aku berlari menghampiri rumahku yang kini diselimuti bara merah yang terus menggerogoti dengan rakus setiap inchi bagiannya. Gumpalan awan hitam seolah membumbung tanpa henti dari setiap bagian yang tak luput dari jilatan bunga neraka tersebut. Angin malam yang bertiup kencang malam itu sama sekali tidak membantu.
Aku tak peduli dengan kerumunan orang-orang yang berusaha memadamkan api dan mencegahku untuk nekat menerobos masuk ke dalam. Aku tidak peduli dengan itu semua. Yang kutahu dan kukhawatirkan, Shishou-ku masih ada di dalam rumah.
"SHISHOU!" teriakku putus asa.
Tak kupedulikan semua itu, aku nekat berlari ke sana. Menembus kobaran merah membara yang membakar, memenuhi ruang penglihatanku. Asap kelabu memaksa butir-butir bening keluar menggenang, membasahi mata dan pipiku, berharap butiran itu tidak menghapus harapan kosongku yang mengambang di tengah huru-hara itu…
Aku hanya berharap Shishou tidak berada di dalam sana.
Merah.
…All of them are crimson red…
Uminari no shirabe ni kurokumo wa sora e tsudou
Arashi wo yobu kaze wa takaraka ni
Nazomeku koto no ha ni majoutachi wa fukumiwarau
Ibitsu na yoru no utage wa kurikaesu
(Sperare) Naraku e to ochita
(è peccato?) Kin-iro no chou wa
Ikutsu no tsumi ni hane wo nurashite yuku no?
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-
"Allen! Ayo cepat, nanti kita terlambat!"
"Iya-iya, sebentar! Aku mau merapikan seragamku dulu, Lenalee bawel!" seruku sambil merapikan dasiku. Segera kusambar tas sekolahku dan aku berlari menghampiri gadis berkuncir dua yang sedari tadi mengetok pintuku dengan tidak sabaran.
Sudah nyaris setahun sejak insiden mengerikan yang menimpaku dan Shishou. Kebakaran hebat tengah melanda rumah mungil kami, satu-satunya tempat aku merasa 'diterima' dalam hidupku setelah kematian ayah angkatku, Mana. Dialah satu-satunya orang yang mau menerimaku yang dijauhi dan dibuang semua orang karena cacat di tangan kiriku sejak lahir. Setelah kematian Mana, aku diasuh oleh Cross Marian—Shishou-ku—seorang jenius musik sahabat Mana. Pria 'bengis' pemabuk dan perokok, womanizer, 'ringan tangan', namun anehnya kami bisa begitu dekat satu sama lain. Meskipun seringkali kesal dengan sikapnya yang menyebalkan dan selalu seenaknya, entah mengapa aku tak pernah bisa membencinya. Mungkin karena dialah orang yang bisa memberiku 'rumah' setelah Mana, tempat aku bisa pulang dan bersikap layaknya anak-anak lainnya.
Namun kini semuanya menghilang, kembali ke nol lagi. Kebakaran misterius membakar rumah kami. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang, Shishou menelpon dan memarahiku via telepon karena pulang terlambat. Saat itu, di sela-sela percakapan (baca: pertengkaran) kami, aku seperti mendengar alunan musik yang aneh. Waktu kutanyakan padanya, dia bilang seseorang mengiriminya partitur lagu dengan tinta merah. Lalu mendadak dari ujung sana aku mendengar suara ledakan, dan…
Warna merah menyambutku…
Warna keberanian.
Warna gairah.
Warna amarah.
Warna rambut Shishou yang menjadi kebanggaannya.
Warna bara dari rokok yang selalu dihisapnya.
Warna bunga neraka yang menghanguskan rumahku dan Shisou.
…Aku membencinya…
Nakanaide
Torawareta gensou wo kowashi
Ichidokiri no shuuen wo ageyou
Hatasenai yakusoku wa mune no oku kogetsuite
Akaku akaku hazeteku yo, nee
"Allen! Mau sampai kapan kau bengong di situ!" seru Lenalee membuyarkan lamunanku. Langkahnya terhenti saat melihatku masih dalam posisi berdiri. Perlahan ia menghampiriku dan bertanya dengan lembut, "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak, tidak apa-apa. Ayo, kita berangkat ke sekolah," jawabku sambil tersenyum—palsu. Aku tidak ingin membuat adik angkatku ini khawatir. Semenjak insiden itu, aku diasuh oleh Lee bersaudara, Komui dan Lenalee Lee. Keluarga mereka adalah teman dekat Cross Marian. Kami bertiga sama-sama yatim piatu, namun Komui yang sudah dewasa dan mencari nafkah sendiri lewat penemuan-penemuannya bersedia menjadi waliku dan Lenalee, menghidupi keluarga kecil ini dan menyekolahkan kami berdua di Black Order Musical High School sesuai dengan permintaan (terakhir) Shishou. Oleh karena itu, sebisa mungkin aku tidak ingin menyusahkan mereka—minimal aku tidak ingin membuat mereka khawatir.
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-
"Hebat! Luar biasa seperti biasanya, Walker!" seru Tiedoll-sensei sambil bertepuk tangan. Begitu juga dengan teman-teman sekelasku, bertepuk tangan sambil menatapku kagum. Aku hanya tersenyum merendah, merasa tidak melakukan sesuatu yang hebat. Aku hanya memainkan satu lagu dengan piano di depan kelas seperti yang diperintahkan Tiedoll-sensei, dan lagu yang kupilih adalah "14th Song"*, lagu yang diajarkan oleh Mana saat aku kecil. Tapi mereka tampak senang mendengarnya, dan kalau mereka senang, aku juga senang.
"Sepertinya kau harus mempertimbangkan tawaran Kepsek untuk mengambil beasiswa ke luar negeri, Allen!" kata Tiedoll-sensei sambil tertawa saat kelas usai. "Bakat langka sepertimu tidak boleh disia-siakan," kata beliau bersemangat.
"Terima kasih, Sensei, namun saya masih ingin menjalani kehidupan saya yang sederhana dan menyenangkan ini. Lagipula, saya juga tidak ingin terus-terusan menyusahkan Komui," ujarku diplomatis. Dan tak lupa, senyum.
"Alaah… bilangnya begitu, padahal kau tidak mau pisah dari kami-kami ini kan?" kata Lavi, seorang pemuda berambut merah ber-headband yang tahu-tahu sudah ada di belakangku dan merangkul akrab bahuku. "Lagipula, kau juga susah kalau Allen tidak ada kan, Yuu-chan?"
"Che! Masa bodoh dengan si kecambah itu! Dan berhenti memanggil dengan nama kecilku, Baka-Usagi!" omel seorang pemuda Jepang berambut hitam panjang sambil membereskan tas sekolahnya dan pedang mugen kesayangannya (eh, memangnya boleh bawa-bawa pedang ke sekolah? Dan kenapa dia boleh bawa-bawa begituan? Jawabannya karena dia itu ketua klub kendo di sekolah).
"Kanda! Sudah kubilang namaku Allen!" bentakku.
"Berisik! Kecambah mah kecambah aja, Mo-ya-shi pen-dek!"
Dan seperti yang bisa kalian tebak, aku dan Kanda memang lawan berantem yang unik. Kalau bukan aku, Lavi-lah yang menjadi sasaran tebasan Mugen karena seenaknya memanggil Kanda dengan nama kecilnya. Meskipun begitu, kami bertiga berteman cukup akrab sejak awal kedatanganku di sekolah ini, sesuatu yang membuatku betah bersekolah di sini.
Akhirnya setelah lelah berkejar-kejaran dengan tebasan mugen Kanda, kami menjejakkan kaki kami di kantin sekolah, tempat favorit kami bertiga (dan tentu saja, SURGA DUNIAKU DI SEKOLAH INI!). Aku dan Kanda duduk di kursi kantin, sementara Lavi yang memesankan makanan—dan dia tidak perlu bertanya dua kali apa saja yang akan kupesan!
"Hei, kau tahu 'Crimson Rose Score', tidak?"
Kupingku menegak. Ternyata gosip anak-anak perempuan yang duduk tak jauh dari tempat mereka. Sebenarnya aku malas mendengarkan ocehan mereka, tetapi kali ini sepertinya agak serius.
"Oh, partitur lagu terkutuk itu ya? Aku juga pernah mendengarnya. Siapapun yang menyimpan, mendengar atau memainkannya akan diikuti kemalangan dan mati, benar kan?"
"Memangnya yang seperti itu benar-benar ada? Bukannya cuma karangan para senior kelas Noah untuk menakut-nakuti kita seperti kisah 7 legenda sekolah yang absurd itu?"
"Konon, partitur itu dulunya ditulis oleh seseorang yang mendendam pada sahabatnya dan kutukannya melekat pada partitur tersebut…"
Oke, ini memang gosip yang jelas-jelas absurd. Aku menaruh kepalaku di atas kedua tanganku yang kulipat di atas meja…
"Tapi aku dengar dan lihat sendiri, itu memang benar! Belum lama ini, kira-kira setahun yang lalu, rumah seorang pemusik jalanan terbakar secara misterius. Menurut kabar angin, rumah itu adalah tempat terakhir partitur itu ditemukan."
"Tapi aku penasaran, katanya semua yang tertulis di partitur itu berwarna merah darah. Apa tulisan di dalamnya itu benar-benar ditulis dengan tinta darah?"
Setahun yang lalu? Rumah pemusik terbakar? Partitur bertinta merah darah…?
"Allen! Yuu-chan! Ini pesanan kalian!" seru Lavi yang tiba-tiba sudah muncul dengan pesanan masing-masing: seporsi yakiniku dan pudding milik Lavi, semangkuk yakisoba punya Kanda, dan SEGUNNNUUUUUUNG masakan Jerry plus 20 tusuk mitarashi dango pesananku (Lavi, kau sungguh sahabat yang pengertian…!)
Lavi sedikit heran melihatku yang tidak langsung menyentuh makananku. Diliriknya anak-anak perempuan yang sedari tadi bergosip ria, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya, ampun! Masa kau juga sampai ikut-ikutan percaya pada gosip begituan!"
"Kau juga tahu soal Crimson-apalah itu?" tanyaku terkejut.
"Gosip seperti itu sudah tersebar lama sekali. Dari mulut ke mulut, tak satupun yang tahu dari mana partitur itu berasal, dan karena di setiap tempat ditemukannya selalu terjadi tragedi, makanya disebut-sebut sebagai partitur terkutuk," jelas Lavi panjang lebar sambil mengambil dua pasang sumpit untuknya dan Kanda.
"Ternyata jaringan informasimu luas juga, ya-" ujar Kanda sinis. "-Raja Gosip."
"Ah, tidak juga kok. Aku banyak tahu dari anak-anak perempuan sekelas dan kakak-kakak cantik dari kelas Noah yang menceritakannya padaku. Malahan aku dengar langsung dari kenalanku, cewek dari kota sebelah juga kalau partitur itu memang bertahun-tahun sering meminta korban…"
Oh well, yeah… aku lupa kalau Lavi itu playboy kelas arapaima.
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-
Sekolah usai sore itu dengan setitik kegalauan di hatiku. Entah kenapa percakapan di kantin siang itu seolah terus menggema di kepalaku. Gara-gara itu tadi aku beberapa kali melakukan kesalahan di kelas, sehingga Zokaro-sensei menghukumku dengan membersihkan ruang musik sepulang sekolah. Haaah…
Sekolah begitu lengang karena nyaris sebagian besar murid-murid sudah pulang, termasuk Lavi dan Kanda. Matahari sudah meredup kemerahan di ufuk barat, pertanda sebentar lagi gelap. Aku sudah menancapkan kunci lokerku saat kulihat sesuatu terselip di antara daun pintu lokerku.
Sesuatu seperti amplop berwarna kecoklatan, seperti dibuat dengan kertas usang yang cukup tua. Dengan tinta merah menyala, di salah satu sisi amplop itu tertulis "To: One-Winged Bird"**
Aku mengerutkan kening. Burung bersayap satu? Maksudnya aku? Memang sih sebelah tanganku tidak normal, tapi apanya dariku yang terlihat seperti burung? Apa surat ini salah alamat? Tapi setiap loker ditempeli stiker-stiker yang berbeda agar tidak saling tertukar satu sama lain, dan amplop ini jelas-jelas ada di lokerku. Apa memang ini ditujukan padaku? Ah, peduli amat, buka saja. Siapa tahu ini surat penggemar (pede mode: on).
Dengan ragu aku membuka perlahan amplop usang itu. Nafasku tertahan. Mataku membulat saat melihat apa yang ada di dalamnya.
Selembar kertas usang bertuliskan not-not balok, namun tidak berwarna hitam seperti partitur pada umumnya. Not-not itu berwarna merah seperti darah segar, dengan hiasan kelopak-kelopak mawar di setiap sudut tepiannya.
Crimson Rose Score…!
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-
"Allen, kok tumben makannya sedikit? Masakanku kali ini tidak enak, ya?" tegur Lenalee.
Aku tersentak. Ternyata dari tadi aku bengong di meja makan sampai sup jagung dan daging asap yang dihidangkan Lenalee benar-benar dingin. Bahkan Komui pun—yang sudah terlebih dulu menyelesaikan makan malamnya—sampai menatapku dengan cemas.
"Ah, enak kok! Maaf…" aku buru-buru menciduk sup itu dengan sendok dan memakannya cepat-cepat.
"Allen, kamu sakit? Mukamu pucat sekali…" kata Komui prihatin.
"Ti-tidak apa-apa, kok! Hahaha… aku hanya sedikit kurang enak badan saja…" jawabku bohong.
"Yakin kau tidak apa-apa? Kita bisa ke dokter nanti kalau mau…"
Oke, aku sudah membuat mereka khawatir sekarang. "Tidak apa-apa… Aku hanya sedikit kecapekan, habis tidur juga nanti sembuh sendiri. Sudah ya, aku mau ke kamar duluan…" Aku meninggalkan meja makan, meninggalkan Komui dan Lenalee yang menatap punggungku keheranan.
Meski dibilang ke kamar juga sebenarnya aku sama sekali tidak bisa tidur. Dari tadi aku hanya berguling-guling gelisah, tidak mampu memejamkan mataku sedikitpun. Percakapan tentang partitur kutukan itu masih berputar-putar di kepalaku seperti kaset kusut. Dan sekarang benda terkutuk itu ada di tanganku. Perasaan takut, penasaran, dan deg-degan bercampur menjadi satu.
Diam-diam aku pergi ke gudang tua di halaman belakang saat Komui dan Lenalee sudah tertidur. Di sana terdapat sebuah piano kecil yang sudah tua, lama tak kumainkan sejak aku masuk Black Order High dan dapat memainkan alat-alat musik yang lebih bagus di sana. Aku membersihkan debu-debu yang menempel di tuts-tutsnya sebelum meletakkan partitur itu. Jemari terlatihku mulai berdansa di atasnya, mencoba memainkannya sesuai dengan not-not balok yang terasa asing bagiku.
Tu sei senza peccato?
Quanto sarà pesante il mio castigo?
Ti accorgi delle voci senza voce?
Ti accorgi dei tuoi peccati?
Aku baru memainkannya sedikit, namun keningku sudah mulai berkerut. Nada-nada dan melodi yang dihasilkan ini… entah mengapa rasanya tidak asing…
"KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Jeritan Lenalee memecah keheningan malam dan konsentrasiku. Aku bergegas berlari ke sumber suara. Beberapa detik kemudian, aku mendapati Lenalee tersungkur di dekat tangga, dengan kedua kaki bersimbah darah.
"Apa yang terjadi, Lena-chan?" tanya Komui cemas. Pergelangan kaki Lenalee tidak berhenti mengucurkan darah, dan lekukan-lekukan merah mencuat terbentuk dari tulang-tulangnya yang patah.
"A-aku terbangun untuk minum ke lantai bawah, lalu…uuh… aku seperti… mendengar suara seseorang sedang memainkan… musik dengan piano. Saat aku sadar…tahu-tahu aku terpeleset dan jatuh dari tangga… Aaaah!" ujar Lenalee sambil meringis, menahan rasa sakit yang menjalar dari setiap syaraf dan tulangnya yang patah. Ia mencoba menggerakkan kakinya, namun hanya suara gemeretak tulang yang mengerikan terdengar, memicunya untuk menangis dan menjerit lebih keras, sejadi-jadinya.
"Lenalee! Bertahanlah! Kita harus membawanya ke rumah sakit!" Komui yang panik segera mengambil kotak P3K, membalut seadanya kaki itu, dan menggendong Lenalee. Darah segar menetes saat tubuhnya terangkat dari lantai, menciptakan genangan kental yang menjijikkan. "Allen, tolong jaga rumah, ya! Biar aku yang membawanya ke rumah sakit!"
Aku masih membatu menatap kepergian mereka berdua. Tatapanku lalu berpindah ke genangan yang tersisa di hadapanku. Warna merah yang memuakkan. Kental. Anyir. Segar. Mawar crimson yang memabukkan. Dan aku sadar apa yang telah kulakukan.
Kutukan lagu itu benar-benar nyata.
Dan aku nyaris saja membahayakan nyawa Lenalee dengan lagu itu.
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-
* Tahu kan yah? "Tsunaida te ni Kiss wo", lagunya si 14th.
**Diambil dari judul lagu yang saia cantumin di sini, "Katayoku no Tori" (One-winged Bird). Iya sih, saia tahu—kesannya rada maksa banget pakai nama ini buat Allen… = ="
