Anomali
A Vocaloid fanfiction by DarkAoRin
Character focused in Taito and Gakupo, the rest are OCs.
This fiction contains boyxboy relationship (Yaoi).
Read at your own risk.
Vocaloid ©Crypton ©Yamaha
I hope you enjoy!
Satu: Penguntit di Malam Hari
Di sini Akihabara, Jepang. Tahun 2230 ini entah mengapa tugasku jadi banyak. Bisa dua kali dalam sebulan aku pulang dengan senyum Mama mengembang lebar.
Ah, iya!
Namaku Taito, enam belas tahun. Itu saja. Aku nggak tahu banyak tentang diriku sendiri. Selama ini sih, aku menggunakan Kawada sebagai myoji – nama keluargaku. Kata Mama dan Papa, sih, orangtua asliku meninggal akibat kecelakaan di jalan bebas hambatan pada saat usiaku masih dua tahun. Ketika tiga tahun lalu aku bersikeras ingin tahu yang sebenarnya tentang keluargaku, aku harus mendapat tamparan hingga berdarah dulu dari Papa, hanya demi mendapatkan myoji "Shion" dari beliau. Ya, nama asliku Shion Taito. Bukannya Kawada Taito.
Ehm, ada tiga alasan super rahasia dibalik ini semua.
Satu.
Aku bukan orang baik.
Dua.
Mama dan Papa juga bukan orang baik, tapi mereka menyayangiku.
Tiga.
Aku lemah dan cengeng.
Oh, kalau kalian buka mulut soal yang ketiga, kujamin hari ini hari terakhir kalian melihat dunia. Aku serius. Dan, jangan sempat menengok ke belakang punggung kalian, ya. Aku pasti sudah akan ada di sana.
Nah, kuyakin kalian bisa jaga rahasia. Kulanjutkan kisahku, ya.
Mama, namanya Reika. Usianya tiga puluh. Jika aku disejajarkan di samping beliau, kami akan terlihat seperti kakak beradik. Tubuhnya langsing, memungkinkannya untuk bergerak segesit rubah bila sedang bertugas. Mama cantik, matanya indah berwarna violet jernih. Rambut cokelatnya hampir selalu dikuncir kuda.
Papa, namanya Kousuke. Usianya tiga puluh tiga. Seperti Mama, beliau lebih seperti kakakku. Tubuhnya agak kurus, tinggi tegap dan kuat, memungkinkannya menang di setiap perkelahian bila sedang bertugas. Papa tampan, matanya tajam berwarna cokelat. Beliau sedikit berjenggot, rambutnya pendek hitam legam.
Aku.. ah, aku sih, lemah. Meskipun aku tak sedarah dengan Mama, sepertinya aku mewarisi kelincahannya. Aku cepat 'menghilang'. Tapi sayangnya aku tak sekuat Papa. Ketika masih agak kecil dulu – aku lupa tepatnya saat umur berapa, kalian nggak akan tahu betapa sakitnya tubuhku kena tinju Papa selama seminggu penuh. Papa melatihku agar 'tahan banting', tapi selalu berakhir dengan raungan tangisku dan pembelaan Mama. Kadang aku juga jatuh pingsan. Mama bilang, suatu saat aku pasti bisa berguna meski tanpa perkelahian. Dan, ya, kubuktikan dengan hasil kerjaku tahun lalu yang luar biasa rapi. Itu juga hasil kerja pertama yang membuat Papa memelukku sambil mengatakan kalau aku hebat.
Oh ya, mata kananku tak dapat melihat. Akibat kecelakaan, aku menjadi setengah buta sejak usia lima tahun. Warna mataku ungu gelap, nyaris hitam. Kalau bertugas, aku menggunakan lensa kontak berwarna oranye terang di kedua mataku, lalu menutupinya dengan goggles, yah, sekedar jaga-jaga. Mama dan Papa juga begitu. Tapi hanya bila sedang bertugas, ya. Kami menjalani kehidupan seperti orang biasa, kok. Selain untuk menghindari endusan polisi, kami juga hanya manusia biasa.
Hanya saja… pekerjaan dan mungkin kondisi kejiwaan kami yang tak biasa.
Tentang Mama dan Papa, mereka nggak menikah. Mereka sudah menjadi rekan kerja selama bertahun-tahun, lalu jatuh cinta. Seperti itulah. Kalau harus menikah yang artinya harus memberikan identitas resmi ke pemerintah pusat, kami bisa-bisa ketahuan polisi! Belum lagi biaya pernikahan di Jepang yang mahal luar biasa.
Oke, tadi itu sedikit tentangku dan keluargaku. Sekarang, aku harus cepat kembali ke rumah.
Aku memandang tubuh tak bernyawa di hadapanku. Cewek, umurnya dua puluhan. Aku menyuntiknya dengan cairan gula pekat barusan, karena ternyata dia punya riwayat diabetes akut. Ponselnya juga sudah kuamankan di kantongku untuk kumusnahkan di rumah nantinya. Klien muda kami mengutusku dengan alasan; cewek ini punya banyak selingkuhan. Apapun alasannya, peduli setan. Aku hanya peduli dengan lima ratus ribu yen yang dibayarnya di muka, kok. Ehehe. Yap, tugasku hari ini sudah selesai, tinggal tugas polisi untuk menemukanku. Ha! Coba saja!
Tunggu! Aku mendengar suara—
Seseorang sedang mengabadikan momen ini. Telingaku setajam kelelawar, aku bisa mendengar suara 'klik' halus agak jauh dariku. Aku menggerakan mataku secara kilat ke sebelah kanan, ekor mataku menangkap siluet. Nah, tertangkap kau. Ugh, tapi sebetulnya aku benci kalau harus lari hanya untuk menghapus barang bukti yang dimiliki orang yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Mengotori tangan saja. Tapi apa daya, aku memburu siluet itu seribu langkah.
Detik berikutnya, orang sialan yang ternyata seorang pria ini terpojok. Aku hampir kehilangannya kalau saja aku tak menyayatkan pisauku ke tangannya. Gampang banget, 'kan. Tapi, duh, benar, deh. Mengotori tanganku saja.
"Stop! Stop!" wajahnya sudah pucat ketika aku mendesaknya ke dinding beton sebuah bangunan tinggi. "Jangan ambil kameraku! Ini mahal!"
Najis, sempat-sempatnya bercanda.
Aku menempel pisauku ke lehernya. Dia mengerang, kubungkam mati-matian. Tubuhnya yang hampir setinggi Papa menyulitkanku. Ini nggak beres. Bagaimana kalau ada orang yang dengar? Polisi bisa-bisa menangkapku dengan tuduhan ganda sehingga Mama dan Papa pasti mencincangku hidup-hidup. Tapi aku salut, mata biru jernih di hadapanku ini masih menatapku lurus meskipun dia tahu sedetik saja aku sudah bisa membunuhnya.
"Hapus fotoku, atau kau sudah tahu endingnya." aku berkata tenang, kuraih kamera di tangannya yang berkeringat dingin. Aku yakin si sialan ini nggak akan kabur, oleh karena itu dengan santai aku mengambil kartu memori dari kamera itu, dan kupatahkan langsung di depan matanya. Dia pasrah, hampir saja menangis.
"Kuharap nggak ada foto pernikahanmu, keluargamu, anakmu atau semacamnya," kataku sarkastis. "Aku sudah tahu identitasmu." kuacungkan dompet yang baru saja kuambil dari saku celananya.
Eh, benar, dia menangis.
"Ambil saja." katanya, luar biasa pasrah. "Jangan habisi aku. Kau salah. Aku belum menikah, kuliahpun belum lulus, dan aku nggak tahu siapa kau, Bocah. Polisi hanya akan menganggapku berhalusinasi jika aku melaporkan kejadian malam ini."
Oh, nggak. Kau bahkan mengataiku 'bocah'. Aku memang masih enam belas, tapi buktinya kau jadi buruanku saat ini. Selamat ting-
Ugh…
Astaga, kepalaku sakit sekali. Berdarah, pula. Maskerku yang berisi alat pengubah suara hampir lepas hingga wajahku hampir terlihat seluruhnya. Untung goggles-ku masih pada tempatnya.
HEI! KE MANA SI BRENGSEK ITU?! KENAPA HANYA ADA KARTU MEMORI KAMERA DAN DOMPETNYA?! ORANGNYA MANA?!
Astaga.
Ya ampun.
Ini buruk.
Aku hanya tinggal menunggu polisi menggebrak rumah kami entah kapan, dan semuanya akan berakhir.
AKU NGGAK MAU PULANG!
TAITO PAYAH! GOBLOK! LEMAH! NGGAK BISA BERKELAHI!
AAARGGGHHH!
Pulang ke rumah dengan tampang kacau yang tak bisa disembunyikan, Papa jelas menginterogasiku. Bau asap rokok mentolnya yang memenuhi ruangan tak membuatku risih. Lama tinggal dengan Mama dan Papa, ini seperti bau khas mereka.
"Kalau hanya jatuh di jalan, kenapa bisa sebrutal ini?"
"…namanya juga jatuh, Pa. Terpeleset."
Beliau menghela nafas.
"Mama sudah tidur, jadi kau nggak bisa menolak."
Aku bergeser, menaruh obeng yang sudah dibungkus kain tebal ke mulutku, guna meredam teriakan sementara Papa akan menjahit pelipisku yang sobek. Biasanya, soal jahit-menjahit kulit adalah keahlian Mama. Jahitannya serapi dokter spesialis, dan ajaibnya, sakitnya hanya sedikit.
Kalau Papa… Yah, teriakanku yang sekarang membuktikannya.
"Ssst. Lagian, siapa suruh pakai jatuh di jalan."
Pa, anakmu ini baru saja kehilangan buruannya. Pria berambut ungu panjang dan bermata biru jernih, tuh. Oh ya, namanya Kamui. Nama belakangnya aku lupa. Rakuto? Sakugo? Raito? Duh.
Anda saja Papaku sesabar Bunda Teresa, aku pasti sudah akan menceritakan segalanya saat ini, dan Papa pasti akan ganti menghabisi dia dalam satu kedipan mata. Sayangnya Papa sekeras Adolf Hitler.
"Sekali lagi kau hebat, Taito. Ini baru putraku."
Hah, iya, iya. Lama-kelamaan aku bosan juga mendengar pujian seperti itu.
"Ah, ya. Besok giliranmu belanja, 'kan?"
…aku lupa kalau besok sudah awal bulan. Aku ingin mati sekarang saja.
"Besok salju akan turun deras, jadi kau sebaiknya cepat. Kalau kau sakit, 'kan yang merasakan nggak enaknya kau sendiri." Papa memberi tepukan kapas beralkohol terakhir. "Sana, makan lalu tidur."
Tuh, kan, apa kubilang. Orangtua angkatku menyayangiku.
Sekalipun kami adalah keluarga pembunuh bayaran.
"Hm."
Setelah mengucap selamat malam, aku menuju kamarku di lantai atas dengan segudang perasaan was-was yang menghantui.
Besok gimana, ya..?!
a/n:
Meet Taito again~
Yey. Bikin cerita tentang Taito emang selalu asik sih. :D
Settingnya masih di Jepang, abad 23. Ceritanya, di abad ini, Jepang berubah drastis menjadi salah satu negara dengan tingkat kejahatan yang lumayan tinggi. Daerah ghetto gitulah.
Kali ini, Taito jadi remaja berumur 16 tahun yang masa lalunya nggak enak dan dirawat oleh pasangan nyentrik yang sama-sama berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Nah, karna emak-bapaknya gak bener, Taito juga jadi gak bener, deh. Hahaha.
As always, thanks for RnR, minna! See you on the next chapter!
==Rin==
