Disclaimer: This story is based on characters and situations created and owned by JK Rowling. And Cecily von Zigesar and George R R Martin for some character's name
Pairings: Draco Malfoy/Serena Van Der Woodsen (OC)
Setting: Harry Potter and Prisoner of Azkaban (Book & Movie)
Notes:
Hallo, hallo, hallo... Welcome to The Two-Tale Heart at 3rd Class!
First of all aku mau ngucapin trima kasih buat semua yg udh pada baca, like, follow, n review The Two-Tale Heart 1 ataupun 2. Untuk Two Tale Heart kelas ketiga ini mungkin agak berkesan buat aku sendiri. Selain buku Prisoner of Azkaban dan filmnya adalah my most favorite, di kelas ketiga inilah Draco dan kawan-kawan mulai beranjak dewasa. Juga beberapa rahasia dan kegelapan yang terjadi pada saat Witch War I mulai terungkap. Seperti Sirius Black dan juga siapa sebenarnya pengkhianat dalam kelompok-kelompok.
Pasti akan sangat menarik membahasnya dari sudut pandang Draco yang notabene ortunya adalah kelompok internal Voldemort dan juga Serena yang disini aku bikin ibunya anggota Orde Phoenix.
Mudah-mudahan aku bisa buat cerita yang lebih menarik lagi selain romansanya. Dan juga menciptakan ending yang hebat kayak JK Rowling. Amin!
Oiya, bagi kalian yang belum kenal sama Fic-ku yang lain, boleh banget loh langsung nikmati cerita The Black Queen 1, 2 dan 3 (on progress). Dukung terus yah!
We love Harry Potter and it's real for us! Enjoy!
The Two-Tale Heart 3
I
SERENA
Televisi besar model terbaru pun tidak menjamin untuk menampilkan gambar yang menenangkan hati. Terutama saat pembaca berita mulai menayangkan rekaman langsung kejadian di kota pesisir pantai itu.
Entah bagaimana awalnya, mereka menyebut angin topan tersebut dengan nama angin topan Andrews. Nama tersebut sangatlah tidak pantas. Terlalu sederhana, menurut pendapat Serena, mengingat bencana ini diestimasi sebagai bencana besar selama sepuluh tahun terakhir.
Pria pembaca berita sempat mengalami kesulitan menghubungi reporter lapangan. Mereka saling memanggil sampai akhirnya si reporter lapangan menyerah. Listrik dan telepon yang sempat terputus seluruhnya saat bencana itu terjadi, masih belum bisa berjalan seperti biasa.
Serena Van Der Woodsen, seorang gadis kecil yang sebentar lagi berumur tiga belas tahun, menatap layar televisi itu tanpa berkedip. Walaupun begitu, tidak ada satu kata pun yang menempel di kepalanya. Sementara sang ayah, Nathaniel Van Der Woodsen, telah memakai kacamata bacanya. Dengan bolpoin di tangan, dia seolah berusaha mencatat semua laporan si pembaca berita ketika mereka menayangkan rekam ulang untuk mengisi kekosongan.
Penampakan ratusan bangunan yang tak beratap, kapal-kapal kecil yang berhamburan, jembatan-jembatan yang tak berbentuk, maupun jalan-jalan dengan banjir mengular, akan membuat iba siapapun yang melihatnya. Ditambah lagi barak-barak penampungan yang berada di dataran agak tinggi. Kini mereka menampilkan para sukarelawan yang berusaha mengobati atau membagi makanan.
Serena berusaha mengingat kapan dia terakhir kali ke kota itu. Mungkin lima tahunan yang lalu. Dan yang bisa dia ingat adalah pohon kelapa melambai di pantai, jalan besar penuh dengan bangunan bertingkat, kemudian pesisir pantai yang amat modern dengan dermaga dan kapal-kapal. Yang tersisa saat ini mungkin hanyalah langit biru cerahnya. Di bawah langit, semua tampak kotor. Untuk ukuran negara bagian besar di benua Amerika, mereka bahkan tidak berdaya menghadapi amukan alam...
Tapi Serena merasa bahwa dirinya mungkin telah menjadi iblis-hati-batu, karena dia merasa tidak terlalu peduli. Dari rumahnya di London, dia merasa aman, tenteram, bebas dari topan yang hanya menyerang daerah pesisir. Kalau boleh, dia tidak mau melihat apa yang terjadi pada kota-kota tersebut. Kalau boleh, dia hanya ingin menonton acara televisi lain, komedi romantis yang tipikal juga bolehlah. Dibandingkan dengan melihat berita yang menyayat hati.
Tapi mungkin itu bukanlah sikap yang diharapkan dari satu-satunya putri seorang miliuner yang ayahnya adalah penderma.
Serena menahan diri untuk tidak menguap, karena hal itu mungkin akan menganggu konsentrasi ayahnya. Dia sudah menempel pada ayahnya beberapa hari terakhir. Berharap mereka bisa bersenang-senang dalam liburan musim panas tahun ini. Tapi tidak. Ketegangan bahkan sudah menggelayuti wajah ayah Serena ketika dia menjemput Serena di stasiun kereta api. Waktu itu Serena baru memasuki peron tempat keretanya berhenti.
"Ser! Kau baik-baik saja? Oh, lihatlah rambutmu sudah panjang sekali... Nah, serahkan barang-barangmu pada Robert. Paman-Bibimu nanti menyusul ke rumah..."
Ayahnya hanya memeluknya singkat sementara dia terus menelepon lewat telepon genggamnya yang besar. Berusaha menyambungkan telepon dengan seseorang. Robert, pengawal favorit Serena, menjelaskan mengapa ayahnya begitu sibuk.
Ternyata ada bencana alam saat Serena masih berada di sekolah kemarin. Angin topan yang menyerang beberapa negara bagian di pesisir pantai Amerika. Ayahnya punya banyak bisnis bangunan dan transportasi, terutama banyak kapal laut motor sewaan. Dan hampir semuanya hancur. Ditambah lagi beberapa pegawainya terluka parah.
Serena merengut bahkan ketika paman dan bibinya, Paman Ed dan Bibi Char yang ramah, menyambutnya di rumah mereka yang besar. Sama seperti ayahnya, mereka hanya menyapanya sambil lalu, kemudian ikut sibuk dengan berita bencana ini.
Anehnya, Serena sama sekali tidak tertarik...
Atau mungkin juga terlalu lama di sekolah sihir membuat dia tidak peduli pada kejadian di luar sana...
Serena Van Der Woodsen adalah penyihir. Dia memaklumi dirinya sendiri, karena dia baru saja mengalami kejadian yang dianggapnya lebih penting dari pada angin topan dan kapal-kapal laut yang beterbangan. Penyihir sering melihat benda-benda apapun terbang tanpa ditiup angin. Dan penyihir mungkin bisa dengan mudah membetulkan semua rumah yang rusak tersebut. Mungkin juga mereka bisa langsung menghilang ketika langit menampakkan tanda-tanda adanya angin perusak. Tapi sihir juga selalu identik dengan segala kejadian magis yang mungkin saja dapat merengut hidupmu.
Kejadian-magis-yang-mungkin-saja-dapat-merengut-hidupmu itu baru saja terjadi beberapa minggu yang lalu, di sekolahnya, menyebabkan Serena hanya ingin istirahat dengan tenang selama liburan. Kejadiannya adalah ada seorang anak yang melepaskan ular raksasa. Tidak hanya berbisa, ular itu pun bisa menyebabkan kematian pada siapapun yang melihat matanya. Paket komplit. Jadi Serena berusaha memblokir kejadian apapun yang menurutnya bisa merusak suasana liburan.
Dia merindukan pantai yang indah, bersih, dengan sedikit orang. Yang adanya di salah satu pulau pribadi hadiah ulang tahunnya yang kedua belas. Tapi lupakan saja tentang pantai dalam keadaan cuaca yang tidak pasti begini. Serena mempersiapkan hati bahwa dia harus cukup puas menghabiskan liburannya di London.
Melaksanakan rencananya, Serena pergi ke salon kecantikan dengan pelayannya, Anna. Dia memotong, merapikan, menghaluskan, dan mengecat rambutnya agak cerah. Kemudian melakukan satu hal lagi yang baru pertama kali dia lakukan, mengukiri kuku-kukunya dan memolesnya dengan cat kuku bening. Setelah itu, dia melakukan lagi satu hal yang jarang dilakukannya di depan umum, dia mengagumi kecantikannya.
Kemudian Serena berbelanja banyak sekali mainan, pakaian, dan kepingan musik. Serena mampir ke tempat elektronik. Menyesali keterasingannya pada alat pemutar musik canggih dan telepon genggam edisi terbatas seperti yang dipunyai ayahnya. Kemudian si pelayan toko meyakinkannya agar membeli alat pemutar musik dan film. Tapi yang lebih menyenangkan dari itu semua adalah camilan. Camilan berbeda yang biasa didapatkannya di sekolahnya. Serena menatap berbagai macam keripik dan permen dengan pandangan mendamba. Lalu makan banyak sekali makanan cepat saji yang tidak pernah dia dapatkan di sekolahnya.
Tapi kegembiraan Serena menguap sama cepatnya dengan penyajian hamburger. Ayahnya memarahi habis-habisan ketika dia dan Anna pulang dari belanja yang kelima kali. Mengatakan tentang pergi tanpa izin dan jumlah uang yang dia hamburkan padahal anak-anak korban bencana sedang kesulitan.
Biasanya ayahnya jarang memarahi Serena tentang hal yang bersifat senang-senang. Dia juga membiarkan Serena pergi asal didampingi Robert dan Anna. Tapi dia tampaknya sedang sensitif dan bencana ini banyak mempengaruhinya. Anna sampai melipir ke dapur saat Serena mengamuk karena ayahnya menahan uang saku karena tingkahnya itu.
"Kau tidak berhak-" seru Serena tidak sopan saking kesalnya.
"Ya. Aku berhak, Ser. Dan jangan katakan aku tidak adil. Aku tidak membesarkanmu untuk jadi tidak pedulian seperti ini. Kemana anak manis yang dulu suka memberikan syal-nya sendiri kepada tunawisma yang kedinginan?"
"Aku juga punya banyak masalah..."
"Ya, katakan apa masalahmu dibandingkan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal, makanan, atau mungkin orang-orang yang mereka cintai di sana?"
Ini adalah kartu mati. Serena benci sekali kalau ayahnya mulai mengatakan hal-hal seperti 'orang-orang yang kau cintai'. Serena sudah kehilangan ibunya ketika berusia lima tahunan. Dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersekat setiap kali mengingat sang ibu.
Serena menjadi tambah sedih karena mungkin, kalau ibunya masih hidup, dia bisa bercerita banyak tentang kejadian menakutkan di sekolahnya. Serena sulit menceritakan pada ayahnya hal-hal seperti: ada yang mengutuk anak-anak menjadi batu di Hogwarts kemarin, ada ular besar raksasa yang bisanya beracun dan sinar matanya bisa membunuh di Hogwarts kemarin, dan, oh, ada kemungkinan penyihir jahat hitam masih terlibat entah bagaimana, atau, oh, aku hanya butuh liburan sejenak dari hal-hal yang membuat hati sedih sebentar.
Tidak. Serena tidak bisa mengatakannya. Ayahnya adalah Muggle. Begitulah para penyihir menyebut orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan sihir, yang dunianya terpisah dengan mereka. Terpisah dengan Serena...
Serena tidak ragu pada kasih sayang ayahnya. Tapi toh mereka memang berbeda... Seperti kemampuan memerintah ayahnya yang memaksa dan tidak mengenal kompromi. Ya, seperti saat ini.
"Segera kemasi barangmu. Bawa burung hantumu juga. Kita akan ke Miami besok..."
.
.
.
"Ini sungguh tidak adil!" gerutu Serena ketika Anna membantunya mengepak barang-barang untuk beberapa minggu ke depan.
Ayahnya tidak berkata berapa lama mereka akan berada di sana. Serena terlalu takut untuk menanyakan. Mungkin saat ini dia telah memasuki fase dimana dia adalah anak nakalnya, dan ayahnya memasuki fase dimana dia tidak mau mendengar alasan apapun. Seperti yang ditontonnya di drama televisi.
"Saya akan ikut juga, Miss..." kata Anna seolah dengan itu keadaan akan menjadi lebih baik.
"Lalu? Apa yang akan kulakukan di sana?" sembur Serena.
Berada di suatu tempat yang kacau balau, penuh ketidakpastian, gelap dan banjir, kemudian tidak ada harapan adanya sihir sama sekali bukanlah pilihan berlibur Serena.
"Membantu Mr Van Der Woodsen membereskan perusahaannya? Menjadi sukarelawan?"
"Haha..." tawa Serena getir.
Anna tidak membalasnya. Tapi Serena sempat melirik dari sudut matanya kalau pelayannya itu tampak agak kecewa. Mungkin Serena memang agak keterlaluan kali ini. Ada banyak orang yang lebih menderita dibandingkan dirinya.
Serena menatap potret lukisan besar diatas perapian. Kenangannya melayang saat dia pertama pindah ke Inggris ini dua tahun yang lalu. Sebelum mengetahui bahwa dia penyihir...
Serena sempat menyangka rumahnya itu berhantu karena terus-menerus melihat lukisan ibunya berpindah posisi. Tapi memang begitulah potret di dunia sihir. Mereka bisa bergerak dan pindah ke lukisan mereka yang berada di tempat lain. Lukisan ibu Serena yang satu lagi ada di toko buku milik keluarga mereka. Florish and Blotts.
Saat ini, ibunya tidak bergerak maupun berpindah. Tangannya tetap menggenggam kepalan tangan Serena yang menangis merajuk. Rasanya Serena pun ingin menangis dan merajuk. Hanya saja wajahnya malah mengeras saat melihat ekspresi sang ibu.
Sama seperti Anna, hanya khayalannya-kah ataupun bukan. Tapi wajah cantik Celia Van Der Woodsen seolah menyiratkan kekecewaan yang sama…
.
.
.
Malam datang dan semua koper Serena sudah penuh berisi barang-barang perlengkapan utama. Selimut tebal dan jaket yang mungkin akan sangat sulit ditemukan di sana. Banyak kaus kaki dan Ramuan Merica Mujarab yang dibelikan Bibi Char. Sepatu bersol tebal. Dan banyak minuman serbuk.
Serena masih terduduk memandangi lukisan keluarga mereka. Ibunya sedang tidak ada. Mungkin mengawasi pembukuan kasir di toko buku. Serena menatapnya lama. Seolah ada yang hilang… Ada yang dia lupakan…
Seorang anak laki-laki yang menggapai ibunya sendiri kemudian terlintas dalam benaknya. Itulah hal yang dilupakan Serena sejak tadi. Seseorang yang sebenarnya tidak pernah sedetik pun terlupakan dari benak Serena. Bahkan ketika dia memasuki peron sembilan tiga-perempat minggu kemarin…
Sekitar satu minggu yang akan datang, Draco Malfoy akan berulangtahun…
Kalau ada seseorang yang mempunyai kemampuan untuk menelusup kedalam pikiran, Serena pasti bisa mati saking malunya. Dia yakin, tidak ada seorang pun yang mau Draco Malfoy memenuhi kepala mereka. Kecuali mungkin cewek-cewek penggemarnya yang centil di Slytherin.
Menyadari bahwa dia akan pergi besok pagi-pagi sekali dengan ayahnya, dan belum sempat membelikan hadiah ulang tahun apapun, Serena langsung bangkit dari lamunannya dan memutar otak. Dia melihat ke sekeliling kamarnya yang seperti tuan putri itu.
Tidak mungkin memberikan Draco mainan, makanan, pakaian atau alat elektronik Muggle. Draco Malfoy berasal dari keluarga yang semuanya penyihir. Mereka menyebut dirinya darah murni. Mereka menganggap bahwa sesedikit mungkin mereka berurusan dengan Muggle, atau keluarga penyihir campuran, maka semakin kerenlah keluarga mereka.
Serena tidak pernah menyangka, bahwa Draco yang jahat, jahil, iseng, manja, dan bersifat buruk itu cocok dengannya. Draco adalah satu-satunya teman Serena yang berasal dari asrama Slytherin. Serena juga mungkin satu-satunya anak perempuan Gryffindor yang mau mengajak bicara Draco.
Permusuhan antara asrama Gryffindor dan asrama Slytherin, hampir seumur dengan ribuan tahun umur kastil. Tapi terkadang, selalu menyenangkan untuk mendobrak sesuatu yang mustahil. Sama mustahilnya untuk mencarikan kado ulang tahun sekarang…
Sangatlah mudah bagi Serena untuk menyuruh salah seorang pelayannya, atau Robert, untuk membelikan sesuatu. London di malam hari hampir tidak pernah tidur. Masalahnya adalah bagaimana dia akan menjelaskan bahwa dia membeli kado bagi seorang anak cowok tanpa menimbulkan gosip antar pelayan atau kecurigaan Robert? Dia juga jelas-jelas tidak bisa belanja. Uang sakunya sudah ditahan. Satu-satunya yang bisa Serena lakukan adalah turun ke ruangan pakaian ayahnya di lantai yang sama. Berharap dia punya sesuatu yang belum pernah dipakai, terlupakan, atau apalah… Serena berniat untuk meminjamnya sebentar…
Karena dia merasa begitu tidak enak apabila melupakan Draco…
Sebenarnya itu bukanlah hal besar. Hanya saja… sungguh menyenangkan membayangkan anak itu tersenyum sedikit… Serena merasa bahwa lampu di ruang pakaian ayahnya-lah yang membuat wajahnya menjadi panas. Kemudian, sedikit mengendap-endap, dia mulai memikirkan apa yang akan dia berikan sambil menatap hadiah-hadiah yang baru setengah terbuka, yang berserakkan terlupakan di lemari.
Kolega ayahnya sangat banyak dan luas. Beberapa pengusaha pemilik toserba besar, desainer, orang-orang dari televisi dan majalah, sampai ke bisnis pakaian dan asesoris tampak mengenalnya dan mengirimi hadiah. Ucapan terima kasih jelas telah disampaikan oleh sekertaris ayahnya. Hanya saja kadang hadiah ini terlupakan. Ayahnya tidak terlalu peduli pada fashion. Yang mungkin akan menguntungkannya…
Dia mempertimbangkan Draco, yang suka Quidditch, olahraga permainan sapu terbang yang digemari mereka berdua. Lalu Draco juga suka berpakaian bagus. Akibat ayah dan ibunya dan keyakinan mereka tentang tingginya kelas hidup mereka. Draco juga termasuk anak yang lumayan pintar walaupun menyebalkan. Tapi Serena sedang tidak berpikir untuk menghadiahi siapapun buku-buku sekarang. Dan yang paling terutama, Draco juga menyenangi kopi. Tapi hadiah berupa kopi dari dapur akan sangat terasa biasa saja. Mungkin kalau dia diberi jam tangan… Serena melihat beberapa jam tangan bagus yang kelihatannya cocok untuk anak muda.
"Oh, Dad… Aku janji akan mengembalikannya!" desis Serena sambil mencomot sebuah jam tangan yang sejak tadi melayang di matanya.
Jam tangan itu bagus sekali, dengan kulit hitam dan ada empat tahtahan berlian. Mengingat itu milik ayahnya, Serena yakin perhiasan itu asli. Tapi yang paling mengesankan adalah angka pada jam itu berwarna hijau gelap, sementara jarumnya dari perak. Warna Slytherin…
Nyaris berlari, Serena memasuki kamarnya sambil memeluk bungkusan. Kartu di meja telepon dia gambari dengan gambar-gambar badut dan lain sebagainya agar terlihat seperti kartu ucapan. Lalu dia mengucapkan selamatnya dengan nada cuek dan menjelaskan dia akan pergi ke suatu tempat di mana baru saja terjadi bencana alam. Draco pasti akan puas mengetahui Serena tersiksa.
Kemudian, dengan kerusuhan yang sama, Serena terpaksa mengirim Jasper, burung hantunya, untuk mengirim kado tersebut.
"Jangan sampai kau tertangkap ayah, ibu… atau apapun yang ada di pagar rumahnya," Serena tiba-tiba memikirkan anjing penjaga yang berbuntut ular naga sebagai penjaga rumah Malfoy, entah mengapa. "Dan langsung temui aku di Miami, oke? Kalau tidak tahu alamatnya, tanya Bibi Char… Jangan sampai tersasar, ya…"
Orang awam yang mendengar Serena bicara pada burung hantu pasti akan menyangkanya gila. Tapi Jasper bukanlah burung hantu biasa. Dia adalah burung hantu pos kesayangan keluarga. Bulunya cokelat-kuning, lebat, dan matanya yang seolah dibingkai kacamata bulat tampak galak. Jasper bahkan bisa mengirimkan barang walau tanpa alamat jelas sekalipun…
Mematuk jari tangan Serena untuk memastikan dia mengerti, Jasper mengepakkan sayap dan terbang tinggi. Sampai titik kecil di langit malam itu menghilang di hadapan matanya…
.
.
.
Penerbangan mereka ke Miami pagi itu sama sekali tidak menenangkan hati. Cuaca masih belum jelas antara musim panas dan musim hujan sehingga mengakibatkan angin kencang. Serena hanya berusaha memejamkan mata, yang tidak bisa, karena turbulensi beruntun. Dia juga tidak mau bicara dengan ayahnya. Sebagian kesal, sebagian lagi karena takut ketahuan telah meminjam jam tangannya.
Mereka mendarat dengan selamat beberapa jam setelahnya. Dan sebelumnya, Serena melihat keadaan kota itu dari udara. Sama persis dengan apa yang mereka siarkan dalam berita. Banjir masih mengular di jalan-jalan. Beberapa perumahan, yang Serena sadari sekarang itu mungkin pabrik-pabrik yang terbakar, masih mengeluarkan asap hitam. Tidak ada yang tersisa dari rumah-rumah pantai di pesisir. Begitu pula air laut yang kotor karena minyak atau pecahan kapal. Bahkan bandaranya pun hancur.
"Miss, hati-hati langkahmu!" seru Anna saat mereka melompati genangan air besar.
Selain pesawat pribadi mereka, Serena melihat beberapa pesawat kecil dan besar yang pastilah milik sukarelawan dan para reporter. Betul saja. Ketika memasuki ruang kedatangan, masih banyak orang-orang yang berkumpul di sana. Beberapa, mengenali ayah Serena, langsung mengambil gambar, beberapa, yang kelihatannya seperti para manajer perusahaan, langsung menghampiri. Serena melihat dari sudut matanya bahwa ada beberapa orang lagi, mungkin sukarelawan, memandang skeptis pada mereka.
Serena tahu betul mengapa. Mereka beranggapan orang-orang seperti ayahnya atau dia, yang kaya setengah mati, hanya datang ke tempat bencana untuk publisitas baik. Untuk jaga gengsi dan reputasi. Serena, teringat pada hal ini, dengan berani balas memandang. Dia, atau lebih pasti ayahnya, tidak kemari untuk hal-hal seperti itu. Dia datang mengorbankan liburan musim panas ala remajanya yang seharusnya indah. Mereka harus tahu dan harus lebih menghormatinya.
Ketika melakukan perang mata dengan para sukarelawan, ayahnya sudah menyerocos banyak sekali kepada para manajer.
"… dan apakah kamar-kamar hotelku masih ada yang kosong? Barak-barak penampungan pasti penuh sekali. Mungkin kita harus membuka ruang pertemuan dan menyediakan kamar gratis…"
Satu penginapan dengan orang-orang terluka, bagus sekali… gerutu Serena dalam hati.
"Bagaimana dengan estimasi kerugian? Semakin cepat kita menghitung, semakin cepat kita bisa mengajukan perbaikan. Listrik sudah berfungsi? Bagaimana dengan generator cadangan? Aku mau laporan mengenai apa-apa saja yang rusak. Tapi yang terutama adalah: siapa saja yang terluka," perintah ayahnya tegas.
"Miss, hati-hati pada langkahmu," seru Anna untuk yang keduapuluh kalinya hari ini, saat mereka keluar ke teras bandara yang juga masih berantakkan. Elevator tidak berjalan, begitu pula papan kedatangan-keberangkatan pesawat yang kini digantikan papan tulis. Kursi-kursi tunggu mungkin sudah terbang entah kemana. Sementara itu, daun-daun pohon kelapa berhamburan menghalangi jalan.
Salah seorang manajer wanita yang agak mirip dengan kepala asramanya di Hogwarts, Profesor McGonagall, berbalik kebelakang, memperhatikan Serena dengan wajah prihatin.
"Nah, Miss Serena, maaf menganggu liburanmu. Hal-hal seperti ini pasti tidak pernah terjadi di Swiss, ya?"
Serena berharap dia bisa mengatakan sesuatu, tapi dia sungguh sangat tidak berselera. Terutama karena dia memang tidak bersekolah di Swiss. Tapi ayahnya harus mengatakan sesuatu tentang di mana dia bersekolah karena itu juga satu-satunya cara untuk melindungi kerahasiaan penyihir.
"Apa kau mau membantu kami sebagai sukarelawan? Dapur umum sungguh sibuk. Air bersih masih terhambat dan pasokan obat-obatan juga menipis. Itu sungguh memprihatinkan. Bukannya aku ingin mengambil keuntungan dari keadaan ini. Tapi kau dan ayahmu terkenal. Ini akan jadi publikasi bagus. Orang-orang akan tergerak untuk membantu kalau melihat kalian..."
Mata Serena menjadi nanar saat ayahnya mengangguk setuju.
.
.
.
Maka dari itu, setelah bebas dari rutinitas sekolah yang ajaib namun tetap melelahkan, Serena seolah kembali ke kelas Ramuannya. Profesor Severus Snape adalah guru Ramuan yang tidak disukai semua anak. Kecuali anak asramanya di Slytherin. Snape adalah guru tipikal yang galak, jahat, pelit, dan tak adil. Sialnya, dia memilih Serena untuk dijadikan pesuruh dalam mempersiapkan kelas praktek Ramuan untuk angkatannya.
Profesor McGonagall berhasil meyakinkan Serena untuk tetap membantu Snape. McGonagall menulis surat rekomendasi yang membantu Serena masuk tim Quidditch sebagai gantinya. Mungkin hal ini dipandang McGonagall sebagai kesempatan agar Gryffindor dan Slytherin tidak terlalu bermusuhan. Serena tidak perlu mengatakan bahwa harapan ini gagal total.
Snape membuatnya bekerja sekeras mungkin. Seperti mengisiki ranting-ranting, membagi bahan untuk kelas praktek keesokan harinya, menyiapkan ramuan untuk stok obat di rumah sakit, atau mengawetkan berbagai binatang untuk koleksi pribadi Snape.
Kurang lebih kegiatan yang sama seperti yang dia lakukan hari ini. Sialnya, Serena sama sekali tidak bisa menggunakan sihir. Selain mempergunakan tongkat di depan Muggle adalah terlarang, Serena juga belum cukup umur untuk menyihir diluar sekolah.
Anna, yang dengan suara bulat langsung ditunjuk sebagai kepala koki dadakan, memutuskan untuk membuat stew daging-sayuran serta nasi putih. Yang lebih penting, ada ratusan orang yang terluka dan kehilangan tempat tinggal yang harus diberi makan. Serena langsung mematung di tempat mereka menyimpang berkarung-karung beras. Seorang wanita bertubuh besar tampaknya sengaja mengerling Serena dan langsung mengangkut satu karung untuk dicuci.
Serena sama sekali tidak suka pada tangan kasarnya juga tatapan meremehkan wanita itu. Dia pergi ke tempat wortel dan memotonginya dengan canggung. Kalau di Hogwarts, dia biasa mempergunakan Mantra Pemotong agar lebih cepat.
"Hei, kalau kau memotong dengan ukuran sekecil itu, stew-nya akan matang minggu depan," kata seorang wanita bermata sipit.
Serena dengan tidak suka menatap wanita tersebut, tapi dia tampak tidak peduli, "Sini, coba lihat aku memotongnya…"
Serena dengan otomatis menyerahkan mata pisau padanya.
"Hei, kau mau tanganku terluka, ya? Bukan begitu carannya menyerahkan pisau pada orang lain…"
Serena merasakan wajahnya menjadi semburat merah. Bahkan menyerahkan pisau pun dikritik oleh orang itu. Tapi tak urung Serena memperhatikan cara wanita tersebut memotong wortel.
"Manikur yang bagus…" kata wanita tersebut saat Serena mulai memotong wortel dengan ukuran besar.
Dia bahkan tidak berusaha menutupi nada mengejek dalam suaranya…
Hal yang paling berat yang dialami Serena hari itu bukanlah menggotong karung beras, melainkan mengupas kentang. Mereka bukanlah memasak kentang goreng hanya untuk cemilan malam hari. Mereka akan memotongnya untuk porsi ratusan orang. Lagipula, listrik sedang dihemat dan mereka tidak bisa menemukan mesin pengupas kentang manual. Serena, yang di sekolahnya bahkan bisa mengupas berbagai bahan ramuan dengan keakuratan yang menakjubkan, menjadi canggung dengan menggunakan pisau biasa. Wanita sipit tadi sudah memarahinya kembali karena dia mengupas terlalu tebal dan lambat. Tak heran, setelah dia berusaha meniru si wanita, tangannya terpeleset dan pisau itu mengiris telapaknya.
Anna langsung heboh membuat semua orang memalingkan wajah dari pekerjaan mereka. Serena, yang tahu betul bagaimana perasaan orang dilihat dari wajah mereka, berkat film-film yang ditontonnya, yakin mereka hanya akan meremehkannya. Darahnya mendidih seketika walaupun tangannya perih. Sebagian dari dirinya tidak akan membiarkan wanita sipit, kekar atau siapapun meremehkannya. Maka Serena kembali memotongi kentang dengan ukuran yang sama dengan si wanita sipit. Basah dan pegal, sesampainya Serena di rumah mereka yang selamat di kota itu, telapak tangannya sudah membengkak.
"Biarkan dokter itu kembali ke tempat mereka berada! Ke penampungan! Aku tidak mau diobati!" sentak Serena pada Anna dan Robert yang memohon.
Serena membanting pintu, sengaja dengan tangannya yang sakit, membenci semuanya. Dia sudah datang kesini melupakan liburan musim panasnya, lalu tidak disambut baik, dan semua orang meremehkannya. Ditambah lagi air panas masih belum menyala. Semua hal tersebut sangat dibencinya.
Sepertinya dia tertidur atau apa, sampai ada rasa dingin yang enak dan nyaman memenuhi telapak tangannya. Serena langsung tersentak saat melihat ayahnya.
"Tenang… Ini ramuan yang kudapat dari Bibimu, untuk jaga-jaga, namanya Dittany… Lukamu akan sembuh dalam sekejap,"
Ramuan itu menguap walaupun tetap memberikan sensasi dingin yang tidak membuat perih. Serena memperhatikan lukanya lama kelamaan menutup. Tidak menyisakan kulit yang terkoyak, melainkan sedikit bekas luka.
"Nah, kau hebat sekali tadi di dapur umum…" kata ayahnya sambil menutup botol Dittany.
"Kau bahkan tidak ada disana…" gerutu Serena kejam.
"Ya," balas ayahnya sabar, "Aku di kantor untuk memastikan para tukang bangunan untuk datang ke Miami. Tapi aku minta Mrs Chen mengawasimu… Dia adalah pekerjaku di bagian dapur hotel…"
Pandangan mata Serena pasti kosong karena ayahnya langsung menjawab pertanyaannya, "Wanita dari Korea yang tadi bersamamu…"
"Maksudnya yang mengkritikku?" tanya Serena pedas.
"Dia baik kok… Kau hanya belum mengenalnya saja…"
Ini akan jadi salah satu percakapan panjang yang mungkin berakhir dengan penahanan uang saku sebulan atau yang lebih parah, dipaksa belajar tentang bisnis. Jadi Serena memilih untuk tidur.
"Baiklah… Baiklah… Kalau kau masih lelah, mungkin sebaiknya besok kau bersama Anna saja mengatur menu…"
"Aku benci semuanya…"
"Apa?"
Serena pura-pura tidak mendengar nada kekecewaan lagi pada suara ayahnya. Tapi dia berusaha berhenti untuk membohongi perasaannya sendiri. Lagipula ayahnya akan tahu cepat atau lambat. Mereka dulu hanya berdua begitu lama…
"Kau tahu... Aku juga membencinya... Atau membenci diriku sendiri?" tanya ayahnya, meminta penegasan. "Tidak semua yang kulakukan untuk membantu mereka. Ini juga tentang kita... Aku sesungguhnya malu mengakuinya... Tapi aku kemari untuk mengatur bisnis kita. Kita sudah rugi banyak sekali. Satu angin topan melumpuhkan hampir semua kegiatan bisnis di sini. Aku hanya berharap, sementara aku sibuk menyelamatkan perusahaanku, kau bisa menolong mereka semua yang membutuhkan... Karena kau adalah anak ibumu. Kita satu tim, kan?"
Ayahnya tidak berkata apa-apa. Kemudian dia beranjak dari tempat tidur Serena dan mematikan lampu. Rasa bersalah menelusup ke dalam hati Serena saat kegelapan merubung. Dia bahkan tidak pernah berpikir tentang apa yang dibangun ayahnya yang akhirnya luluh lantak dalam sekejap mata. Mungkin ini salah satu alasan ayahnya memarahi waktu dia berbelanja dengan boros. Serena bisa saja mencibir pada mereka semua yang mencintai uang yang lupa pada keluarga bahkan harga diri mereka sendiri. Sesungguhnya dia pun tidak pernah mengenal bagaimana rasanya miskin...
Serena dapat merasakan kesedihan sang ayah, saat mematikan lampu ataupun menutup pintu. Air mata mulai mengalir menuju pipi dan membasahi bantal Serena…
Apakah dia merasa amat sangat butuh berlibur sehingga tidak mau berurusan dengan hal-hal yang membuat capek? Ataukah dia hanya trauma saat menjalani hal-hal yang tidak menyenangkan?
Atau karena dia adalah penyihir? Maka dia tidak perlu lagi untuk peduli pada kejadian di kota Muggle? Tidak peduli tentang ayahnya yang membanting tulang demi menghidupinya dan menghidupi keluarga para pegawainya seperti Mrs Chen?
Atau karena semua ini tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kejadian gaib di satu sekolah? Padahal masih ada banyak orang dewasa dan anak-anak yang terluka, tidak punya rumah, pakaian, makanan, atau diantara mereka bahkan kehilangan orang yang paling mereka cintai karena bencana ini?
Tak heran ayahnya marah sekaligus terluka. Itulah yang terpantul pada mata biru-hijaunya, yang serupa dengan Serena sendiri, saat dia melihat penolakan anak gadis satu-satunya.
Dia melihat penghinaan pada mata banyak orang di bandara ataupun saat di dapur umum. Sama seperti ketika dia berjalan di koridor Hogwarts, saat mereka berusaha menyembunyikan sepatunya, atau membuatnya susah, hanya karena hal yang tidak dilakukan Serena. Sama ketika dia melihat mata penuh penghinaan orang-orang saat ayahnya terkagum-kagum pada etalase-etalase Diagon Alley, sewaktu mengantar Serena berbelanja keperluan sekolah di kelas satu.
Van Der Woodsen seharusnya tidak pernah peduli apapun anggapan orang kebanyakan. Toh, mereka hanya berdua… Mereka satu tim, kan? Dan kini, Serena mungkin telah bertingkah. Atau mungkin dia sejengkal lagi dalam meninggalkan ayahnya… karena dia tidak peduli… Tidak berusaha untuk peduli...
Serena bangun pagi-pagi sekali, memotongi kukunya, mengikat rambut, dan memakai kemeja kotak-kotak yang nyaman. Kemudian dia tiba di dapur umum saat mereka semua baru datang.
Serena pura-pura tidak mempedulikan tatapan puluhan mata yang mengikuti saat dia berjalan. Kalau dia, yang telah diseleksi sebagai penghuni asrama Gryffindor yang terkenal berani itu merasa sedih dan terhina hanya karena ini, apa yang akan dikatakan McGonagall?
Mrs Chen mendongak dengan kaget saat Serena mulai mengambil pisau.
"Kemarin tanganmu terluka lumayan parah, kan?" tanyanya tak yakin.
"Saya punya kemampuan menyembuhkan diri seperti mutan…" ceplosnya teringat pada manusia-evolusi dalam suatu film.
Dia masih bengong.
"Bercanda. Baiklah... Berapa karung kentang yang harus kukupas?"
.
.
.
Sekarang, setelah menyesali dirinya sendiri yang bertingkah manja seperti anak kecil, Serena merasa bersyukur bahwa Snape telah melatihnya berbagai pekerjaan dapur. Terbiasa dengan segala kegiatan mencabuti, mengisiki, mengupas, maupun menguliti bahan-bahan ramuan, sekarang tumpukan bawang dan kentang dengan cepat sudah menumpuk di bak cuci dapur umum. Tapi tentu saja semua ini bukan hanya karena Snape saja, yang mati-matian tidak akan Serena akui. Tapi Mrs Chen yang lama-kelamaan menjadi agak menyenangkan.
Serena merasa manikurnya sia-sia dan rambutnya mulai mengembang kepanasan. Tapi dia tidak peduli. Ini adalah penebusan untuk rasa bersalahnya... Lagipula, Anna tampaknya senang berada di dapur umum. Dia bisa memerintah beberapa orang yang bahkan lebih besar darinya.
Robert sudah selesai mengurusi tempat para tukang bangunan akan tinggal. Dia menghampiri Serena di dapur umum dan segera menangis saat mengupas bawang pertama. Menyerah untuk memegang pisau, Anna akhirnya menugasi si pengawal besar itu untuk menumbuk semua kentang.
Pada minggu pertama, semua jadi terasa ringan bagi Serena. Listrik mulai mengaliri beberapa hotel dan perumahan. Serena harus puas dengan kipas angin, tapi dia mensyukurinya sambil bersimbah keringat. Televisi juga mulai disiarkan, walau terbatas pada siaran lokal. Ayahnya makin sibuk dengan keadaan ini. Tapi yang terutama adalah, seperti yang dikatakan manajer wanita yang mirip McGonagall, tenaga sukarelawan mulai banyak yang muncul.
"Senyum!" bisik Robert sambil menyikut punggung Serena.
Hari itu para kameramen dan fotografer sudah mengerubungi dapur umum. Memotret dan mewawancarai para tuna wisma. Beberapa wartawan itu tentu saja memfokuskan diri pada Serena.
"Aku tidak mau difoto dalam keadaan memakai harnet rambut..." desis Serena, tidak berusaha beramahtamah pada wartawan tersebut.
"Kau masih tampak fantastis, Miss..."
"Yeah, yeah, yeah..."
Serena berusaha untuk terus menambahkan tepung pada saus gravy yang sedang diaduk Robert. Dia tidak pernah bermain-main dengan tepung, karena dulu pernah ada seorang anak jahil, yang pastilah bernama Draco, yang menumpahkan satu tong tepung langsung ke kepalanya. Tapi tak urung konsentrasinya agak teralihkan. Si kameramen-kameramen itu menurunkan video mereka dan bicara pada seorang reporter.
Seperti yang dia duga, mereka menghampirinya.
"Miss Serena Van Der Woodsen?"
Ternyata reporter wanita berambut jarum itu mengenalinya dalam harnet. "Bisa minta waktunya sebentar?"
Serena akhirnya diwawancarai sambil dia menata tisu.
"Kami dari televisi lokal dan alat-alat kami baru selesai direparasi... Maaf kami terlambat untuk mewawancaraimu..." kata si reporter.
Tidak merasa ingin diwawancarai, Serena hanya membalas, "Eh?"
"Parah sekali ya keadaan disini? Lalu apakah kau langsung terbang kemari setelah pulang dari sekolah asramamu?" tanya si reporter memulai, tidak memedulikan jawaban tak berguna Serena.
Ini adalah topik yang harus dialihkan kalau dia tidak mau keceplosan ngomong tentang Hogwarts.
"Ya. Ayahku langsung mengajakku. Setelah bersiap-siap, tentu..."
"Apakah kau sedih karena menghabiskan liburanmu di tempat bencana ini terjadi?"
Jawaban sesungguhnya tidak akan pantas masuk televisi, jadi dia menjawab, "Tidak... Maksudku aku baik-baik saja... Banyak yang perlu bantuan disini..." Serena merasa dirinya tertawa garing yang canggung sekali, "Yah-"
"Tentu saja... Aku tidak pantas bertanya..." potong si reporter berusaha menghemat pita kaset perekam, "Kau betul-betul anak Ibumu, si malaikat..."
"Aku- Apa?"
Reporter muda yang berambut jarum adalah orang terakhir yang Serena kira akan membicarakan almarhum ibunya.
"Ya! Celia Van Der Woodsen..." cerocos si reporter, lupa pada skrip dan kenyataan bahwa dia sedang direkam, "Dia adalah wanita pertama yang datang ketika angin topan itu meluluhlantakkan New Orelans dua belas tahun yang lalu... Lebih besar dari ini, Serena..."
Si kameramen berdehem, kemudian berhenti merekam karena wanita itu sudah keluar jalur. Tapi Serena tidak keberatan. Dia melupakan tisunya dan menghampiri si wanita, yang ternyata bermata ramah.
"Dia pernah berada dimana? Saat angin topan dulu? Maksudmu-" tanya Serena tergagap.
"Oh, kau tidak ingat, ya? Ya, dulu pernah ada angin topan seperti ini juga. Lebih parah malah. Keadaannya tidak menyenangkan karena baik transportasi maupun teknologi dulu belum secanggih ini... Tapi pesisir pantai memang penuh dengan risiko angin topan... Dan dulu Ibumu adalah relawan pertama yang datang. Sigap dan telaten. Dibawah kepemimpinannya, para relawan menyatu dan bekerja cepat. Banyak orang yang akhirnya terselamatkan... Aku sendiri dulu masih sepuluh tahunan, berusaha untuk menjadi buntut ibumu yang keren..."
"Dia membawamu saat itu, Ser... Kau masih bayi. Mungkin tidak ingat..."
Ayah Serena muncul dari belakangnya dan ikut menimbrung. Si reporter tersebut buru-buru permisi dengan alasan bosnya menelepon.
"Kau sengaja membawaku kemari sebagai hadiah ulang tahun, ya?" tuntut Serena, terlalu mengenal ayahnya.
"Kau tampak tidak terlalu kerasan tahun lalu di pulaumu sendiri..."
Serena mengangkat bahu, dia sedang tidak ingin belajar mengurus hotel saat ini. Lebih baik belajar memasak gravy untuk ratusan orang.
"Miami dulu penting bagiku..." kata ayahnya lagi, berandai-andai.
"Karena kota ini agak dekat dengan New Orelans seperti kata si wanita tadi? Ataukah karena tempat ini dekat dengan tempat yang terkenal dengan obat-obatan terlarangnya..."
Ayahnya tertawa, "Baiklah, baiklah, Miss Sensitif... Kau dengar apa yang reporter tadi katakan... Kami khawatir. Aku khawatir. Dulu aku nyaris tidak pedulinya seperti orang-orang lain yang tidak punya hati..."
Serena berharap wajahnya tidak terlalu memanas.
"Tapi kami akhirnya pergi... Ibumu memaksaku pergi. Karena itu adalah hal yang benar... Dan itu adalah hal yang benar... Dia lelah, sering dehidrasi, kurang sayuran... dia kan sedang menyusuimu... Apapun yang seharusnya menjadi kemewahan wanita yang baru melahirkan..."
Ayahnya terdiam, menyesapi perjuangan mereka dahulu, dan perihnya penderitaan orang lain dibanding kelelahan dan kehausan... Serena merasa air matanya akan tumpah... Tak heran di lukisan, ibunya tampak merana...
"Tapi kau tumbuh indah sekali, Ser... Dan aku tahu. Hal itu memang benar... Dia selalu benar..."
Si reporter dan kameramennya menghampiri mereka lagi. Hampir beberapa menit mereka menghabiskan waktu untuk tanya-jawab, menghimbau bantuan, dan untuk Serena, menangis tersedu-sedu karena ingat ibunya... Tapi hal itu tidak masalah, penonton selalu tergerak pada kisah mengharukan. Dan ayah Serena tidak berhenti menepuki kepalanya...
Tapi... terlalu mengenal ayahnya, Serena tahu, ada yang masih dia sembunyikan dari Serena...
.
.
.
Memasuki Agustus, pekerja bangunan dari tiap penjuru memasuki kota. Berusaha membangun penginapan sementara ataupun memperbaiki kerusakan. Kegiatan Serena di dapur umum menjadi berkurang dikarenakan beberapa orang sudah mulai mandiri.
Setelah menjelajahi beberapa kota yang juga terserang angin topan, seperti pesisir New York, tempat Serena dibesarkan, ayahnya kembali ke Miami dengan hadiah pra-ulangtahun yang sangat menghibur hati. Dia membawa Catelyn Tully, satu-satunya sahabat cewek yang Serena punya.
Cat datang membawa kopernya. Tampak asing berada di dunia Muggle yang berantakkan. Rambut merah senjanya bertaburan terselomot angin, begitu pula wajahnya. Dibalik wajah yang begitu cantik, siapapun yang melihat mata Cat pasti tahu bahwa dia kutu-buku akut. Ada lingkaran hitam dibawah mata biru tersebut dan tampangnya cemas.
"Ser! Kau tidak terluka?" tanyanya sebagai ganti sapaan 'apa kabar' yang biasa.
"Aku kan tidak ada di tempat kejadian?" tanya Serena bingung. "Akhirnya… Ayah membawakanku seseorang yang kukenal…"
Mungkin kedengarannya seperti pilih-pilih. Tapi Cat adalah satu-satunya teman penyihir yang kenal dengan keluarganya. Terkadang dia ikut berlibur dengan Serena saat Natal. Rasanya senang ada seseorang yang bisa diajak mengobrol tanpa harus berhati-hati agar tidak keceplosan mengenai sekolah sihirmu.
"Ini bagus. Bagus sekali…" kata Cat setelah tur singkat di tempat Serena beroperasi saat ini. Seperti biasa, dia sangat antusias ketika berada di dunia Muggle. "Aku selalu suka dapur umum…"
"Kau bercanda, ya? Di sini bahkan tidak ada buku…"
Mereka menggotong tambahan daging asap dari truk sambil mengobrol tentang keadaan di dunia sihir.
"Jadi, ada kejadian apa, nih?"
"Oh, Inggris sangat aman dan tentram…"
"Aku tahu itu, Cat. Maksudku Inggrisnya kita…"
"Oh, baik, baik... Ayahmu bilang apa tentang temannya yang punya televisi?"
"Maksudmu? Yang akan menjadi donatur? Dia belum bilang apa-apa lagi padaku..." jawab Serena tak yakin. Dia bahkan tidak tahu mengapa Cat menanyakan hal itu.
Cat tampak kelimpungan saat membawa daging-daging tersebut, sehingga Serena batal menanyainya. Untuk ukuran kutu-buku, Cat ternyata sangat niat bekerja. Setelahnya pun Serena tidak berminat lagi bertanya-tanya. Masih ada ratusan sandwich yang harus dibuat sampai mereka kembali ke rumah dan langsung tertidur.
Pagi hari ulang tahun Serena, dia bahkan belum sempat melihat-lihat hadiah yang menumpuk di kaki tempat tidurnya. Membuka-buka hadiah tampaknya sangat tidak berperasaan di tempat seperti ini. Apalagi ada ratusan pengungsi yang menuntut sarapan pagi. Serena, Cat, Robert, dan Anna datang ke dapur umum hanya untuk mendapati ayahnya, para manajer, semua sukarelawan dan sisa pengungsi menyanyikan selamat ulang tahun untuknya.
Menangis lagi saking terharunya, Serena meniup lilin yang berjumlah tiga belas pada lasagna raksasa sebagai penganti kue. Dalam hatinya dia benar-benar berharap Miami pulih dari bencana sehingga dia bisa menghabiskan sisa liburannya di rumah/toko paman dan bibinya di jalanan Diagon Alley, tempat yang penuh sihir. Pestanya penuh makanan cepat saji yang dihidangkan dalam dus-dus kecil dan plastik alumunium. Semua sukarelawan makan dengan girang seolah mendapat istirahat tambahan. Serena memakan lasagna-nya dengan lahap, mengenali racikan Mrs Chen dalam potongan wortelnya.
Ayahnya memberi Serena hari libur dan dia memanfaatkannya untuk membuka kadonya bersama Cat. Enak rasanya duduk di teras yang langsung menghadap ke pantai. Langit biru dan angin sepoi seolah menjanjikan keamanan. Bahkan Cat si tukang cemas pun tidak terlalu terlihat khawatir akan datangnya angin topan susulan.
Hadiah dari ayahnya adalah tumpukan buku biografi tentang wanita-wanita yang sukses dalam bidangnya. Serena mengenali pebisnis, bintang film, penari, penemu, sampai kepada para dermawan yang mengubah dunia. Tidak sulit untuk menebak maksud ayahnya. Dia mungkin ingin Serena punya idola. Mungkin ingin Serena sehebat mereka. Tapi lebih mungkin untuk menunjukkan bahwa wanita Muggle pun bisa sedemikian hebat. Setahu Serena, wanita-wanita di buku tersebut adalah Muggle.
Perasaan malu dan bersalah menelusup lagi ke dalam dadanya ketika dia membuka hadiah yang hanya dibungkus amplop dari paman dan bibinya.
"Ini kartu diskon! Ini kartu diskon untuk berbagai toko. Nah, kau lihat ini... Bisa dicairkan di cabang Diagon Alley atau Hogsmeade! Lihat... Ini adalah potongan untuk Butterbeer di rumah minum Three Broomsticks... Lalu potongan hemat untuk berbagai permen di Honeydukes... Lalu harga gila di Zonko... Apa itu ya?"
"Itu rumah ketiga si kembar Weasley-mu selain rumah mereka dan Hogwarts... Toko lelucon..." kata Cat, yang sudah mulai membaca sinopsis salah satu buku dari ayahnya.
Serena terkekeh membayangkan begitu banyaknya toko ajaib yang akan mereka kunjungi di kelas tiga ini. Tahun ketiga berarti tahun Hogsmeade. Begitulah kata Fred dan George Weasley, kakak kelas Serena yang selalu menyelinap ke desa sihir tersebut walaupun mereka sudah boleh kesana. Serena membayangkan desa tersebut seperti campuran Diagon Alley plus kota-kota hiburan tempat para mahasiswa universitas bersenang-senang. Untuk pergi ke Hogsmeade, kau harus sudah kelas tiga dan dapat izin dari orangtua.
Serena membuka hadiah mungil dari Cat. Serena menatapnya dengan heran. Tapi Cat pura-pura sibuk membaca buku. Biasanya Cat akan menghadiahi dia buku-buku juga, tapi...
"Oh, Cat... Oh..."
Serena mendapati dirinya mendesah kagum seperti yang biasanya dilakukan Lavender Brown dan Parvati Patil, teman sekelasnya, lakukan kalau melihat sesuatu yang indah. Tapi hadiah dari Cat memang indah. Berupa cincin perak dengan batu biru. Warna asrama Ravenclaw. Asrama Cat, ibunya, dan juga seluruh sanak-saudara ibunya yang katanya masih keturunan terakhir Rowena Ravenclaw, sang pendiri asrama.
"Itu menandakan walaupun kau di Gryffindor, tapi kau tetap diterima di asrama kami..." kata Cat menjelaskan.
Serena tadinya berpikir kalau dia akan ditempatkan Ravenclaw. Biasanya seluruh keluarga seperti itu. Apalagi dengan adanya sedikit turunan darah. Tapi ternyata bisa dibilang Serena tidak mewarisi sifat-sifat Ravenclaw. Dia jauh dari cerdas, pintar, dan bijaksana. Dia juga tidak bisa dibilang sebagai orang yang pemberani untuk masuk Gryffindor. Tapi Hogwarts menyeleksi para murid dengan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan tes kepribadiannya Muggle. Mereka langsung membuatmu memakai topi-pembaca-otak yang bernama topi seleksi.
"Tadinya aku mau memberimu buku bacaan. Karena kau kan sebentar lagi akan OWL... Tapi ibuku bilang buku akan membuatmu bosan..."
"Ibumu pintar sekali..." puji Serena sungguh-sungguh.
OWL adalah ujian sihir yang akan diadakan di kelas lima. Cat memang si tukang cemas.
Serena membuka hadiah berupa kotak bibit yang mungkin akan membuat Anna senang alih-alih dirinya. Hadiah itu dari sahabatnya yang satu lagi, Neville Longbottom. Neville adalah satu-satunya anak laki-laki yang mau berteman dengannya tanpa maksud apa-apa. Dari wajah bundarnya dan dahinya yang selalu berkeringat cemas, Serena tahu bahwa dia adalah teman sejati. Neville ahli tumbuhan, maka dari itu selalu memberinya tetumbuhan. Dia menulis bahwa dia terpaksa menolak undangan ayahnya untuk ke Miami karena ada urusan keluarga. Atau, mengenal Neville yang takut pada banyak hal, Serena yakin dia juga takut dengan angin topan susulan. Bibit tanamannya ternyata adalah sejenis tanaman ajaib yang bisa tumbuh liar di pesisir. Tumbuhan ini bisa menahan gelombang besar yang disebut tsunami sampai berpuluh-puluh kilometer. Hal yang sangat menguntungkan apabila terjadi bencana. Dia bilang mungkin ini bisa membantu kalau-kalau negara ini kena bencana lagi. Tumbuhan ini juga aman karena mirip-mirip tumbuhan Muggle dan siklus tumbuhnya normal.
Serena menyimpan kotak tersebut dengan hati-hati. Meninggalkan surat Neville yang penuh penjelasan tanaman, dia beralih pada kotak besar dari Rubeus Hagrid.
Hagrid adalah penjaga sekolah, pemegang kunci, dan pengurus binatang liar di Hogwarts. Serena dan dirinya berbagi kesukaan pada binatang-binatang ajaib karena Serena suka membacanya sejak kecil. Hagrid juga mengenal keluarganya, termasuk ayahnya. Serena menjadi bertambah sayang kepadanya karena Hagrid tidak lulus Hogwarts karena sesuatu yang dituduhkan padanya. Yaitu melepas ular besar Basiliks lima puluh tahun yang lalu. Untunglah Kepala Sekolah Hogwarts yang sekarang, Albus Dumbledore, memberi Hagrid pekerjaan ini. Sekarang Serena mulai bisa membaca tulisan tangan Hagrid yang amat acak-acakkan.
Selamat ulang tahun Serena cantik!
Semoga musim panasmu baik. Aku beri kau sesuatu yang mungkin berguna. Sebenarnya tadinya aku tidak akan beri kau ini. Tapi kau yang punya toko buku, jadi kurasa kau takkan kaget. Aku tak mau beri tahu lebih lanjut. Aku akan kejutkan kau nanti di sekolah saja! Sampai bertemu satu September, ya!"
Salam,
Hagrid
Hagrid menghadiahinya balok-balok cokelat besar. Setelah mengorek satu sisi, Serena menyadari bahwa rasanya enak. Suatu kemajuan besar dalam masakan Hagrid. Dia tidak tahu kejutan apa yang dimaksud Hagrid. Mungkin dia menanam labu raksasa cokelat untuk di makan Halloween nanti.
"Oh, cokelat... Bagus... Bagus..." komentar Catelyn mengangguk-angguk. "Kau akan membutuhkannya..."
"Kau bercanda? Paman dan Bibiku bahkan memberi kartu diskon untuk cokelat-cokelat di Honeydukes. Aku akan jerawatan kalau makan cokelat sebanyak ini..."
"Oh, Ser... Jangan khawatir tentang hal remeh seperti jerawat. Kau kayak anak-anak centil saja..." kata Cat sambil mengibas.
Serena menatapnya tak senang. Cat tahun kemarin terjangkit cacar naga dan wajahnya penuh bekas cacar. Dan dialah yang langsung mengasihani diri, mengisolasi, bahkan tidak mau melepas kerudungnya karena merasa jelek.
Lalu Jasper si burung hantu memilih saat itu untuk masuk. Dia sudah kembali dua mingguan yang lalu semenjak mengantar kado Draco. Dia baru saja kembali dari kegiatan berburunya. Sekarang paruhnya dengan susah payah menjepit sesuatu yang aneh. Itu adalah bayi buaya seukuran lengan anak kecil...
"Jasper! Lepaskan!" Serena menjerit, takut burung hantu nekad tersebut tergigit.
Entah darimana dia menyambar bayi buaya itu. Mungkin di rawa-rawa yang banyak disekitar Miami ini. Tapi Jasper tetap mendelik dan terbang hinggap di bahu Serena. Mungkin bayi buaya itu adalah hadiah ulang tahun bagi majikannya. Cat langsung sigap memegang Jasper dan membawanya ke kamar mandi sebelum telinga Serena putus.
Serena langsung menangkap maksud Cat dan mengisi bathtub dengan sedikit air. Lalu kericuhan terjadi saat memaksa Jasper melepaskan bayi itu ke bathtub.
"Ser, lihat dulu burung hantu satunya lagi!" perintah Cat. "Dia juga membawa bungkusan..."
Akibat kericuhan yang disebabkan Jasper, Serena sama sekali tidak menyadari bahwa ada burung hantu lain yang menantinya sambil mendelik galak. Serena lalu merasakan apa yang mungkin dirasakan si bayi buaya yang dijatuhkan langsung ke bathtub. Burung hantu itu adalah Stark, burung hantu-elang Draco...
Stark telah bertumbuh amat cepat yang membuatnya tidak akan mungkin lagi bertenger di bahu siapapun. Serena sama sekali tidak tahu majikannya memberi dia makanan apa. Yang jelas, Serena langung menyambar sosis panggang besar sisa pesta yang mereka bawa tadi dan bisa dibilang dengan gagah berani menjejalkannya ke paruh Stark.
Stark tampak tersinggung walaupun tidak mengeluh. Tapi butuh waktu untuk melepaskan tali di bungkusan yang dia bawa pada kakinya. Di dalam kamar, Cat tampaknya masih dipatuki Jasper.
Akhirnya bungkusan itu jatuh pada pelukan Serena tepat ketika Cat mulai keluar dari kamar mandi sambil memarahi Jasper. Serena berpaling pada Stark yang meminta sosis kedua. Serena menjejalkan dua buah sekaligus.
"Kau harus pergi sekarang. Nanti Draco marah. Cepat!" seru Serena ketika Stark mendelik marah. "Aku berikan selusin lagi di sekolah! Shuh! Shuh!"
Serena mengusir burung hantu yang mungkin bisa memakan jari-jarinya tanpa ragu. Tapi toh tak urung Stark langsung melompat dan terbang pergi. Tepat ketika Jasper menguak di bahunya.
"Dari siapa itu?" tanya Cat.
"Hm?" jawab Serena, kepalanya kosong.
"Burung hantu besar tadi. Dari siapa? Kupikir aku pernah lihat burung-"
"Ah, mungkin burung hantu Hogwarts..." kata Serena sambil memasang tampang meremehkan.
"Hogwarts?" tanya Cat, wajahnya langsung pucat entah mengapa.
"Aku..."
"Dan kemana burungnya tadi? Langsung pergi?"
"Mencari bayi buaya..."
Jasper menguak lagi yang membuat jantung Serena melompat. Ternyata dia bukannya teringat pada hadiahnya yang tidak dihargai Serena, melainkan ada burung hantu satu lagi yang terbang ke arah balkon mereka.
Cat bisa dibilang langsung menangkap burung hantu tersebut sebelum dia mendarat. Dan dua surat untuk amplop sewarna perkamen tua itu benar-benar dari Hogwarts. Satu untuknya dan satu untuk Cat.
"Oh, tidak... Ini surat Hogwarts..." kata Cat cemas.
Serena langsung lupa untuk menyembunyikan hadiah dari Draco saat dilihatnya mengapa Cat begitu cemas.
"Nah, Ser, tadi jadi hadiah dari siapa? Jangan buka apapun yang dari Slytherin..."
"Mengapa anak Slytherin harus mengirimiku hadiah, Cat?" tanya Serena refleks.
"Yah... Ini ulang tahunmu?"
Cat memegang surat Hogwarts milik Serena dengan protektif sementara Serena memegangi bungkusan hadiahnya dengan tegang.
"Nah, Ser. Ayo buka dulu bungkusan itu..."
"Apa? Mengapa kau-"
Serena langsung terdiam saat alis Cat mulai menghilang ditelan lipatan dahi karena ketidakmengertian. Mereka sudah membuka hadiah bersama-sama sejak tadi. Akan sangat sulit untuk membuka hadiah ini sendiri...
"Hmm, mungkin nanti? Kita sudah terlalu lama istirahat..."
"Oh, Ser, sejak kapan kau main rahasia-rahasiaan? Atau itu dari Diggory, ya?"
"Mengapa Cedric harus mengirimiku hadiah?" tanyanya langsung.
Jawabannya bahkan sudah Cat berikan tadi... Cedric Diggory adalah pemuda yang luar biasa tampan. Idola di sekolah mereka. Dia sekarang sudah naik kelas enam dan segala yang bagus ada padanya. Sangat tampan, berkharisma, pintar sekali, dan baik hati. Dia adalah kebanggaan Hufflepuff. Asrama yang sering diejek. Kata mereka, disanalah tempat anak-anak terbuang yang tidak dipilih dalam ketiga asrama lainnya berada. Populasi Hufflepuff nyaris tiga kali lipat dari anak-anak Gryffindor atau Slytherin. Dulu-dulu Serena pernah memikirkan bahwa orang yang mengatakan wanita itu tukang pilih-pilih adalah salah besar. Gryffindor dan Slytherin didirikan oleh lelaki. Dan lihat bagaimana pemilihnya mereka.
Tahun kemarin Serena harus menguatkan diri karena semua orang menyangka mereka berpacaran. Dia sama sekali tidak tahu apa yang Cedric lihat pada anak kemarin sore yang tidak bisa berdandan dan keseringan didetensi. Tapi mereka memang cukup dekat kemarin. Dan Serena selalu menyesali wajahnya yang tiba-tiba selalu memerah ketika mata abu-abu Cedric memandangnya... Mereka sesungguhnya hanya berteman. Mungkin... Setidaknya belum sampai pada tahap saling memberikan kado ulang tahun.
Serena membuka bungkusan hadiah dengan pasrah. Berharap Draco tidak mencantumkan namanya atau apa. Dia mungkin bisa pura-pura berkata suratnya berasal dari mana lah... Kemudian dia sangat lega saat kartu diatas hadiahnya itu bukan kartu biasa...
Itu kartu pesan yang bisa menyanyi... Boneka-boneka kertas kecil mencuat seolah merobekkan diri dari kartu, kemudian timbul, dan mulai menari kaku sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun ala penyihir.
Serena menatap mereka sambil tersenyum senang. Setelah selesai, pita-pita membuncah sampai ke wajah Serena membuat dia dan Cat otomatis berseru senang.
"Howler-Penyanyi! Bagus! Simpanlah... Dia bisa menyanyi lagi sampai mantranya habis..." kata Cat.
Tidak ada pernyataan bahwa itu dari Draco, yang membuat Serena lega. Kartu imut itu ternyata adalah kompensasi. Karena di mata Cat, yang mulai membuka isi dus, hadiahnya sama sekali aneh.
"Satu stoples kopi hitam. Satu stoples lagi cokelat bubuk. Satu dus batangan energi yang bisa membuatmu kenyang dalam dua hari. Botol minum dengan Mantra Perluasan yang bisa diisi air sampai dua puluh termos. Dengan pilihan air hangat atau dingin tergantung kau membutuhkannya... Korek api yang akan tetap kering dan bisa digesekkan dimana saja. Buku tentang tumbuhan yang aman untuk kau makan... Dengar, Ser, orang bodoh mana yang menyangka kau akan pergi menyusuri gunung dan bukannya sedang menjadi sukarelawan?"
Serena harus menggigiti lidahnya agar dia tidak tertawa terbahak-bahak. Sewaktu dia mengirimkan hadiah ulang tahun Draco, dia bercerita sedikit kalau dia akan pergi untuk membantu para pengungsi korban bencana alam. Informasi tentang adanya angin topan besar mungkin masuk berita di bagian internasional di koran sihir mereka, Daily Prophet. Draco mungkin mengira ini adalah keadaan di mana mereka harus mengungsi ke pegunungan. Tidak ada makanan, air bersih, dan mereka harus tinggal di alam terbuka. Draco selalu menganggap para Muggle itu sama ketinggalan jamannya seperti manusia purba.
"Oh, lihat..." seru Serena sambil mengibaskan kartunya dengan meyakinkan. "Ini dari Doreah... Kau tahu? Peri-rumah Hogwarts kesayanganku..."
Lalu Serena tertawa terbahak-bahak.
"Tidak lucu, Ser! Lagipula mengapa peri-rumah mengirimimu hadiah?"
Butuh beberapa menit bagi Serena untuk mendapatkan nafasnya kembali, "Nah, nah, Cat. Kau tidak boleh begitu pada peri yang telah menyelamatkan hidup kita..."
Memang benar. Doreah adalah salah satu makhluk sihir, mungkin seperti pelayan dalam dunia Muggle, yang bekerja di Hogwarts. Di dunia sihir, para peri dianggap budak. Dipekerjakan, terkadang disiksa, bahkan tanpa dibayar. Peri-rumah biasanya secara turun-temurun berada dalam satu keluarga. Mereka sangat gila kerja dan mungkin bisa mati kalau sampai dipecat, yang dilakukan dengan cara memberi mereka pakaian. Beberapa yang beruntung, melayani keluarga yang baik seperti keluarga Bibi Char-nya atau paling banyak di Hogwarts, karena Profesor Dumbledore memperlakukan mereka dengan layak. Beberapa lagi mengalami apa yang para Muggle sebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Peri-rumah Draco, yang katanya bernama Dobby, membangkang dan kabur bulan Mei lalu. Dengan ayah Draco sebagai bos-nya, Serena sama sekali tidak aneh hal itu terjadi.
Kau bisa mendapatkan lebih dari loyalitas hanya dengan memperlakukan seorang peri sebagai teman. Doreah sudah dua kali menyelamatkan nyawa Serena. Pertama saat dia dan Draco kabur dari seorang guru jahat, kedua adalah dari serangan Basiliks yang berada di lorong sekolah. Saat itu tampaknya ada seseorang yang membuat Cat pingsan dan menjebak Serena agar datang. Lewat sedetik, kalau Doreah tidak datang dan membawa mereka keluar dari tempat itu, mungkin mereka berdua sudah mati...
Penjelasan ini membuat Cat mengangkat bahu dan ikut menertawai hadiah konyol Draco. Serena merasa bersalah. Tapi sesungguhnya hadiah itu lebih baik dibandingkan hadiah berupa perhiasan atau apa... Draco yang sesungguhnya seperti Neville. Anak-anak cowok yang tak pedulian. Tapi mereka selalu memberikan hal-hal yang menurut mereka Serena perlukan...
"Nah, mana surat Hogwarts-ku..." pinta Serena. "Mungkin kita harus ke London minggu depan..."
Walaupun pekerjaannya di dapur umum jauh dari selesai, tapi Serena tidak bisa menyembunyikan suara senangnya karena akan kembali ke Hogwarts. Sebelum itu, tentu saja mereka harus menginap dulu semingguan di toko buku paman dan bibinya...
"Hmm, hanya surat biasa..." kata Cat, senyum menghilang dari wajahnya.
"Ayolah, Cat... Mana suratku..."
Suratnya memang surat biasa yang ditulis oleh McGonagall. Tapi yang ditunggu oleh Serena adalah formulir tanda tangan untuk mengunjungi desa Hogsmeade.
"Nah, ini yang kutunggu! Ayo, kita tunggu Dad!"
"Percayalah, Hogsmeade tidak hebat-hebat amat..." gerutu Cat.
"Cat, kau suka di sana dan kau tahu itu..."
Mereka menunggu ayah Serena di teras di lantai satu karena di dalam kamar sudah panas sekali. Ketika ayahnya tiba, ekspresi wajahnya sama ketika saat Cat mengambil surat Hogwarts-nya.
"Nah, Dad, surat Hogwarts-ku datang dan ada yang perlu kau tandatangani agar aku bisa mendatangi desa sihir... Kemudian kita perlu belanja bahan ramuan baru... Lihat? Ada barang baru untuk mata pelajaran baruku. Bahkan mereka menyarankan membeli Sempoa Sihir seperti orang-orang Cina itu. Hahaha..."
"Tidak lucu, Ser!" tegur Cat tampak tegang.
"Baik... Kita akan ke London nanti tanggal dua puluh delapan..." putus ayahnya.
"Tapi..." protes Serena, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dalam suaranya. "Itu... Berarti aku tidak menginap di rumah paman dan bibi..."
"Mereka akan menemanimu belanja, kan? Dan kau masih harus beres-beres perlengkapanmu yang di rumah..."
"Biasanya..."
"Kau dan Cat bisa ke Diagon Alley, lalu pulang, dan kita ke King's Cross pada tanggal satu September..." kata ayahnya. Nada itu bukan bersifat menyarankan melainkan memutuskan.
"Hmm..." kata Serena, kini jadi tegang sekaligus ingin marah.
"Kita akan pulang tanggal dua puluh delapan atau aku tidak akan menandatangani formulirmu..."
"Apa?" seru Serena kaget.
Pertama uang jajannya, yang bisa Serena mengerti. Lalu tempat ini, yang bisa Serena mengerti lagi. Tapi kini ayahnya mengancam tidak akan menandatangani formulir kunjungannya. Serena berpaling ke Cat dan mencari bantuan. Lalu ditangkapnya pandangan mata Cat yang ternyata diam-diam sedang menggeleng pelan pada ayahnya. Lalu dia sadar. Ayahnya yang memaksa dan Cat yang lebih khawatiran menandakan mereka tahu sesuatu. Dan dia tidak...
"Ini tidak adil! Sekarang kalian yang menyimpan rahasia?"
Serena langsung naik ke lantai dua dan memasuki kamarnya. Dia langsung mengunci pintu. Tidak akan membiarkan mereka masuk. Apa yang menyebabkan dia tidak boleh terlalu cepat kembali ke London? Dan apa yang diketahui ayahnya dan Cat sementara dia tidak? Apakah ayahnya kini menganggap Cat seperti anaknya sendiri sementara dia tidak?
Kemarahannya pada Cat sepertinya adalah tindakan yang benar. Karena kini di kamarnya ada kue tart bertingkat yang penuh hiasan gula. Hadiah dari Doreah si peri-rumah yang sesungguhnya.
.
.
.
Malam tiba dan Serena tidak turun untuk makan malam. Ayahnya telah membuka paksa kunci kamar dengan kunci cadangan. Serena tidak bisa apa-apa lagi. Dia hanya duduk di meja makan, memakan kue ulang tahun dari Doreah sepuasnya, dan tidak menawari mereka. Langit biru gelap mulai menghitam, menjadi latar belakang tiga orang yang duduk di meja tersebut. Sementara itu, bayi buaya hadiah dari Jasper berkecipak riang di bathtub-nya.
Cat membuka kesunyian yang hanya dipecahkan oleh suara denting keras sendok Serena.
"Ada seorang tahanan yang kabur. Kabur dari penjara sihir Azkaban..." katanya bergetar.
Serena ingin sekali mengatakan, lalu mengapa?, tapi mulutnya penuh kue.
"Kejadian itu baru saja terjadi. Jauh setelah bencana ini, tapi..."
"Biar aku saja, Cat..." kata ayah Serena pelan.
Cat buru-buru mengangguk, "Ini fotonya..."
Cat mendorong di meja, foto yang merupakan sobekan dari halaman pertama koran sihir. Foto itu bergerak, menampilkan foto seorang lelaki yang tampaknya sedang dipenjara. Dia memegang nomor tahanan pada dadanya.
Laki-laki itu memang pasti tahanan. Wajahnya tirus, dibingkai rambut hitam kusut masai yang gondrong. Badannya hanya tinggal tulang belulang, terlihat dari bahunya yang menurun. Matanya, anehnya, tampak normal, walaupun dilapisi kantung mata besar. Dia terlihat gila sekaligus waras pada saat yang bersamaan. Papan di dadanya menyatakan bahwa dia bernama Sirius Black.
"Black..."
Dari sela-sela bibirnya Serena mengucapkan nama itu. Entah dia pernah mendengarnya atau tidak... Tampaknya ada sesuatu yang familiar pada wajah itu... Tapi apa? Dan mengapa bisa?
"Ser, dia adalah putra mahkota Voldemort," kata ayahnya langsung.
Cat menjadi cegukkan, seperti biasa saat nama sang penyihir hitam terbesar yang pernah ada itu disebutkan namanya. Tapi Serena hanya bisa menganga. Ayahnya Muggle dan dia dibesarkan bersamanya. Mereka tidak merasakan ketakutan apapun saat nama Voldemort disebutkan. Bukannya sombong dan sok berani. Rasanya konyol saja. Rasanya seperti kalau mereka tidak mau menyebutkan nama pemimpin Nazi yang jahat itu, Hitler. Padahal semua orang berani menyebut namanya walaupun dia adalah penjahat perang besar yang digambarkan seperti iblis.
Kemudian semua menjadi jelas mengapa ayahnya bersifat amat protektif.
"Baiklah... Dan dia kabur?" tanya Serena, melupakan kuenya. "Dad, kau takut dia akan menangkapku atau kau atau kita semua atau apa? Mengapa Dad berkeras kami harus tetap di sini?"
"Ser, dengarkan penjelasanku tanpa memotong..." kata ayahnya mulai tegas lagi. "Aku akan memberitahukannya padamu, pada kalian, dan kalian berjanji tidak akan membahas ini dimana pun kalian berada... Di sekolah misalnya. Aku yakin Cat sudah tahu sebagian karena orang tuanya. Tapi menurutku ini penting demi kehati-hatian kalian."
Mereka berdua mengangguk menyetujui sebelum ayahnya melanjutkan.
"Sirius Black kabur dari penjara Azkaban, dia satu-satunya orang yang berhasil..."
Tengkuk Serena langsung meremang...
"Tidak hanya dia putra mahkota Voldemort, tidak hanya karena dia membunuh tiga belas Muggle dalam satu kutukan. Semua yang jahat pantas masuk Azkaban. Hanya saja, ada beberapa orang yang lebih berbahaya daripada penjahat gila betulan..."
"Pengkhianat..." timpal Cat, tidak bisa menahan diri untuk tidak memotong.
Serena kini menatapnya sambil membelalak.
"Ketika itu masa-masa gelap, Ser..." lanjut ayahnya lagi. "Kau masih bayi, Cat pun begitu, semua teman seangkatanmu begitu. Namun kami tidak bisa begitu saja diam dan menyelamatkan diri sendiri. Nyawa kami semua dalam bahaya. Bahkan Ibumu lebih cemas mengenai keselamatanku karena mereka, para penjahat sihir, yang bernama Pelahap Maut, menginginkan para Muggle musnah. Maka dia langsung bergabung dengan kelompok yang mendedikasikan diri untuk melawan mereka... Menyumbangkan ilmu dan semua yang bisa dia punya..."
"Namanya Orde Phoenix. Ketuanya adalah Dumbledore... Kelompok yang berani... Bahkan kedua orang tuaku tidak mau bergabung..." Cat menggelengkan kepalanya, tampak sedikit malu.
"Itu bukan salah mereka... Aku pun akan melarang kalau tahu apa yang sebenarnya dihadapi mereka... Tapi Celia punya otaknya, dan semua buku strategi, dan aku terpaksa membantu demi melindunginya. Aku punya tempat. Dan karena itu merupakan tempat Muggle, bebas dari tanda-tanda sihir, dan jauh dari Inggris. Aku menawarkan tempat-tempatku sebagai perlindungan mereka yang bersembunyi atau harus dilindungi..."
Ini adalah hal baru bagi Serena, sehingga dia hanya diam. Tapi penyataan ini membuat dia buka mulut.
"Termasuk Miami yang berharga buatmu ini?" tanyanya.
"Ya," ayahnya mengangguk. "Termasuk bangunan tempat dapur umum kita. Maka dari itu aku menempatkanmu di sana... Begitu pula dengan rumah ini..."
Serena ingin sekali bertanya apakah Sirius Black kabur dari penjara karena ingin membalas dendam pada semua sanak-saudara kelompok Orde itu. Tapi dia diam.
"Sirius Black adalah kelompok Orde Phoenix sampai dia mengkhianatinya..."
Nah, itu sudah terjawab...
"Bagaimana..."
"Tidak ada yang tahu..." kata Cat menimpali lagi. "Tapi ketika dia berkhianat, Kau-Tahu-Siapa langsung menuju rumah orangtua Harry Potter, Lilly dan James Potter. Mereka dilindungi, tapi tidak mau pergi ke luar negeri. Mereka mengamankan diri dengan mantra-mantra sihir saja..."
"Kau tahu sisanya..." kata ayahnya, tampak lelah. "Voldemort menemukan kejatuhannya di sana. Buruk buat Black, kan? Dia dikejar. Dan sebelum mereka menangkapnya, dia meledakkan para Muggle itu..."
Hening lama saat Serena menyelami apa yang terjadi. Serena memikirkan Harry Potter, temannya satu asrama Gryffindor. Anak kurus dengan kacamata bulat yang baik hati. Yang bahkan saat ini pun sudah menunjukkan jati dirinya tanpa berusaha, pahlawan cilik yang bertahan hidup. Yang karena dialah, Voldemort kini dikabarkan musnah. Entah bagaimana caranya seorang bayi bisa mengalahkan penyihir hitam. Atau karena dia adalah bayi? Tidak ada seorang pun yang boleh melukai bayi tak berdosa... Ataupun orang-orang lainnya...
Apakah Harry tahu bahwa kedua orang tuanya meninggal karena pengkhianatan?
"Angin yang mengamuk mungkin saja dianggap kejadian alam oleh orang-orang seperti kami. Para Muggle," ayahnya memecah keheningan. "Tapi mungkin saja ada kejadian sihir dibaliknya... Begitu pula dengan angin topan pertama, yang terjadi setelah Voldemort dikalahkan... Para pengikutnya, yang tak kalah kejam, mengikuti Black, mengamuk. Kudengar angin topan itu adalah akibat dari beberapa penyihir jahat yang mengamuk, menyebabkan arus berpindah atau apalah... Atau juga karena amukkan pengikutnya yang sampai luar negeri. Kami tidak tahu pasti. Kami langsung kemari untuk mengamankan..."
"Tapi angin topan yang lalu terjadi jauh sebelum Sirius Black melarikan diri..." kata Serena, kini suaranya yang bergetar, kemudian melirik Cat meminta kepastian.
"Ini mungkin pertanda... Azkaban dikelilingi laut..." jelas Cat.
"Aku bahkan tidak mengambil pelajaran Ramalan..." kata Serena sambil mengusap matanya. Tiba-tiba hatinya kosong, teringat ibu dan ayahnya yang berjuang...
Apa yang dia lakukan di sini? Membantu sedikit di dapur umum dan banyak mengeluh?
"Yah, kita akan membeli Sempoa Sihirmu setelah tanggal dua puluh delapan..." kata ayahnya. Lalu dia mengeluarkan pena dan menandatangani formulir kunjungan Serena. "Sementara itu, aku harus bertemu Mr Bloomsberg, temanku yang punya televisi itu, agar menyiarkan lagi tentang Black di berita Muggle. Bahkan Muggle pun harus waspada... Lagipula ini pemohonan bantuan dari Perdana Menteri..."
Ayahnya bangkit, mengacak rambut Serena yang mulai menangis tersedu, entah mengapa. Lalu dia pergi ke pertemuannya, membiarkan Cat menenangkannya. Kemudian, setelah Cat berhenti mengelusi punggungnya dan menjejali mulut Serena dengan kue-nya, Serena bertanya.
"Perdana Menteri tahu tentang dunia sihir?"
.
.
.
Mata Serena tidak bisa terpejam, bahkan kalaupun jarum sudah menunjuk ke angka empat subuh, yang hanya lima menit lagi.
Seorang penjahat berkeliaran... Dan ayah serta ibunya mungkin adalah sasaran balas dendamnya... Yang berarti dia juga...
Howler-Penyanyi dari Draco masih menyanyi di meja kecil sebelah bantal Serena. Sejak tadi Serena membukanya dan membiarkannya menyanyi, karena dia berkata suara desau angin dan gerombolan ombak membuatnya tegang. Cat sudah tidur dengan penutup telinga menghalau lagu ulang tahun itu. Kemudian, sesuatu memasuki kepalanya dan Serena segera membangunkan Cat yang sangat sulit sekali.
"Cat! Cat! Bangun sebentar kau penidur!"
"Hhhhhhh..." gumam Cat sambil berbalik.
"Dengar," kemudian dia mencabut penutup kepala Cat. "Kalau Sirius Black adalah pengikut, apa tadi namanya? Pelahap Maut? Dia berarti, entah bagaimana ada... hubungannya dengan keluarga Malfoy?"
Cat tampaknya masih tidur karena dia tidak menjawab. Serena mengguncangkannya lagi.
"Yasshh, Ser..." kata Cat dengan suara serak yang tak jelas. "Black itu nama kluarga. Dulu ibu si Draco Malfoy dari kluarga Black... Black jugaaa. Begitu pula tangan kanan KamuTahuSapa yang atu lagi... Bella, Black, eh siapa ya namanya... Dulu aku pernah bilang padamu, kan? Mreka semua sepupan, eh sepupu... Tak usahlah kau pikirkan... Mreka semua jahat dan pengkhianat, hmm? Hmm..."
.
.
.
.
.
.
