Suara langkah kaki terdengar bersahut-sahutan menapak jalanan berbatu yang panjang. Langkah kaki milik Jack, Alice, Alyss, Oz, Break, Sharon, dan Eida. Sebuah pintu besar berukir telah menunggu mereka di ujung jalan. Dan ketika pintu tersebut terbuka—

"Selamat datang," para pelayan kediaman Nightray membungkuk menyambut tamu para tuan muda mereka yang akan merayakan Golden Week di kediaman Nightray ini.

GOLDEN WEEK

A PANDORA HEARTS FANFICTION

Written By Gokudera J. Vie

Pandora Hearts © Jun Mochizuki

Platonic VincentxAda. Slight EliotxAda. OOC. Alternate Universe. Typo(s). Re-written. Don't Like? Don't Read!

Enjoy!

"Rupanya ini Nightray Mansion," komentar Jack. "Lumayan."

"Kalau kau membandingkannya dengan Istana Buckingham sih memang lumayan," Alyss berkata dengan sarkastik.

Anggota rombongan yang lain tertawa; kecuali Jack, Alyss, dan Alice.

"Cukup bercandanya, ayo naik ke kamar masing-masing!" tegur Oz, adik Jack.

"Setelah itu turun lagi untuk makan ya?" kata Alice mengambil posisi berjalan di samping Oz.

"Setelah itu ke perpustakaan untuk membaca novel," sambung Sharon.

Dan mereka pun pergi ke kamar masing-masing diantarkan oleh pelayan dengan janji untuk berkumpul kembali di ruang makan dalam setengah jam.

Seperti yang lain, Eida menuju kamarnya dituntun salah seorang pelayan. Matanya memandang sekeliling dengan kagum. Ini adalah kali pertamanya mengunjungi tempat tersebut, dan tempat ini memang megah.

Sesampainya di kamar, Eida segera menuju jendela. Rupanya dari kamarnya ini dia bisa melihat taman milik keluarga Nightray.

"Nona Eida, barang Anda sudah saya rapikan," kata pelayan yang mengantarkan Eida, mendistraksi Eida dari apresiasinya terhadap taman Nightray.

"Oh, terima kasih," kata Eida tulus sambil tersenyum manis.

"Kalau begitu saya permisi. Kalau ada yang Anda butuhkan, silahkan membunyikan bel yang ada di nakas," kata pelayan tersebut melanjutkan.

Eida mengangguk tanda mengerti.

Pelayan itu pun keluar dari kamar, meninggalkan Eida sendirian di kamar yang entah kenapa jadi diliputi keheningan. Dan tak sampai semenit kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar Eida.

"Siapa?" tanya Eida.

Si pengetuk menjawab, "Vincent Nightray."

Wajah Eida langsung sumringah. Dengan terburu-buru Eida bangkit dari duduknya dan membuka pintu.

"Hai," sapa Vincent.

Eida memandang rindu pada lelaki di hadapannya, mulai dari rambut pirangnya yang panjang dan diikat, matanya yang berwarna merah dan emas, sampai senyum jahil yang seolah-olah setiap saat terpahat di wajahnya.

"Vince!" pekik Eida girang sambil memeluk Vincent. "Aku kangeeeenn!"

"Aku juga kok," kata Vincent sambil menepuk-nepuk punggung Eida. "Bagaimana kabarmu, Nona Prefek?"

Eida melepaskan eplukannya dan memandang Vincent dengan cemberut, tapi dengan cepat berubah menjadi ekspresi cerah. "Baik kok, sangat malah," jawabnya. "Kau sendiri?"

"Kau lihat?" tanya Vincent sambil menunjuk badannya sendiri. "Tak ada satu pun yang kurang."

Eida terkikik geli mendengar kata-kata Vincent. "Oh ya, Vince, ada hal penting yang ingin kuceritakan padamu!"

"Hm?"

"Penting sekali!"

"Bagaimana kalau kita membicarakannya sambil berjalan-jalan di luar, atau turun ke kota?"

"Ide bagus," kata Eida. "Aku ambil bonnetku dulu ya."

"Cepatlah!"

# # #

"Bagaimana kabar Gil?" tanya Eida. Dia menerima uluran tangan Vincent yang hendak membantunya turun dari kereta kuda.

Vincent tersenyum jahil. "Tidak begitu baik, tapi tidak mengkhawatirkan," jawab Vincent. "dan cukup menghibur untuk dilihat."

Eida memandang Vincent skeptis. "Vincent Nightray!" kata Eida dengan nada menggurui. "Kau tak boleh bersikap jahil terhadap saudaramu sendiri. Dan biar kutebak, kau pasti membesar-besarkan perkataan Jack mengenai pertunangan kita untuk menggoda pria malang itu."

"Benar sekali," kata Vincent sambil terkekeh. "Kau memang seorang yang jenius, pantas jadi Prefek."

Eida cemberut lagi mendengar sebutan prefek itu. "Kau masih saja suka menggoda ya. Awas dibenci lho."

"Terserah apa katamu," ujar Vincent. "Bagaimana kalau kita pergi ke restoran disana, makanannya enak," katanya sambil menunjuk sebuah bangunan.

"Terserah padamu juga tuan Nightray," kata Eida masih cemberut, sukses membuat Vincent tertawa.

# # #

"Pesanan Anda, Seafood," ucap seorang pelayan.

Vincent dan Eida tersenyum menerimanya.

"Jadi, apa yang ingin kau beritahukan padaku?" tanya Vincent begitu si pelayan pergi.

Mata Eida berbinar-binar. "Jangan kaget ya!" Eida memperingatkan.

"Tidak akan," kata Vincent percaya diri.

Eida meletakkan garpunya kemudian mencondongkan tubuh ke arah Vincent, dan berbicara dengan suara berbisik. "Aku sudah jadi pacarnya Elliot."

Jgeeerr! Entah kenapa seperti ada background kilat dan petir.

"APA?" sebuah teriakan, tapi bukan berasal dari Vincent, melainkan; Jack, Gilbert, dan Sharon.

"Kenapa kalian ada disini?" tanya Eida dengan wajah merah padam, campuran malu dan marah.

Vincent kelihatan diam sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan, dan sadarlah Eida bahwa pria itu sedang menahan tawa begitu melihat pundaknya yang agak bergetar.

"Cukup, aku mau pulang!" ujar Eida kesal, meninggalkan Vicnent yang tawanya hampir meledak, dan tiga orang yang panik, mau mati, dan kegirangan.

# # #

"Oz, kenapa kau tak panik waktu Eida dan Vincent kencan?" tanya Alice yang sibuk dengan daging serta sosisnya.

Oz menoleh memandang Alice dengan sorot mata tak mengerti. "Tentu saja karena Eida cuma menganggap Vincent seperti kakak," jawab Oz.

"Ohh ...," respon Alice.

BRAK!

Pintu terbuka dengan keras.

"Eida pacaran dengan Elliot!" ucap Jack, Gil, dan Sharon nyaris bersamaan, tepat saat Oz melihat ke arah halaman dimana seorang Elliot Nightray sedang bermesraan dengan adiknya.

Perlahan namun pasti, aura setan memancar dari tubuh Oz. "Hohoho ... Elliot ya?" gumamnya sambil tersenyum setan di tambah meregangkan tubuh.

"Ah ... tamat sudah riwayat si Elliot," batin semua yang ada di sana.

END