Sudut pandang orang pertama: Chanyeol.


January 7th, 2012
08:10 p.m. KST, Seoul
at Vivapolo

"Berlibur?" aku berniat untuk mengulang ucapan Ibu dengan sengaja, berharap itu hanyalah omong kosong.

Sebelum menjawab pertanyaanku, secangkir teh manis yang semula terisi penuh kini tersisa setengahnya saja karena sudah diteguk olehnya. "Iya, ke Moskow. Cuma sebulan kok," Ibu menanggapi pertanyaanku dengan santai.

Refleks, aku memukul permukaan meja bundar berbahan kayu yang sedari tadi diam sambil menopang makanan dan minuman yang kami pesan. "SEBULAN?! Kira kira dong, Bu!" teriakku. "Bahkan aku belum bisa mencari uang," lanjutku sambil merengek, bahkan aku tidak peduli kalau orang lain menatapku dengan aneh atau terganggu olehku. Jangankan orang lain, Ayah dan Ibu yang duduk di hadapanku saja terkejut.

"Chanyeol! Justru karena kamu masih sibuk kuliah, harusnya fokus, apa kamu tidak sadar semester lima akan tiba bulan depan? Minta ditemani Yoora saja," pada akhirnya Ayah ikut menimpali.

Hah, kakakku itu bisa apa. Mengingat fakta bahwa baru saja ia menikah beberapa hari yang lalu, tidak mungkin ia lebih memilih adiknya daripada suaminya. Aku menggerutu, sedikit membenarkan perkataan Ayah. Menurutku agak berlebihan, walaupun memang benar tahun depan aku akan lulus, tapi setidaknya aku juga ingin menikmati waktu liburanku yang kini hanya tersisa dua minggu lagi. Sial, sial, sial, batinku.

"Tenang saja, berangkatnya dua hari lagi kok," ujar Ibu sambil mengusak rambutku, tersenyum tipis. "Tidak usah khawatir uang bekalmu berkurang."


Seusai makan malam bersama Ayah dan Ibu, aku pun bergegas pulang ke rumah dengan mengendarai mobil Mercedes-Benz AMG G65 milikku dengan kecepatan sedang. Tepat saat aku mengalami macet di perempatan, ponsel Samsungku bergetar tanda ada yang menelepon. Tampak sebuah nama yang sangat familiar tertampang dengan jelas di layar; siapa lagi kalau bukan Park Yoora.

Langsung kuangkat panggilan tersebut. "Halo?"

"Chanyeol? Kamu ada dimana?"

Aku mengernyitkan dahiku, tumben sekali ia bertanya, kukira ia sudah tahu kalau ada makan malam bersama. "Baru saja pulang dari Vivapolo, sudah setengah jalan menuju apartemen. Kenapa?"

"Jemput aku bisa? Di kantor ya, aku tunggu di depan. Bye!"

Panggilan pun ditutup. Heran, mungkin kakakku mendapat sifat diktatornya dari Ayah. Setelah lampu berubah menjadi hijau, aku pun tancap gas ke kantor Yoora yang kebetulan cukup dekat dari apartemen, itulah mengapa terkadang Yoora menginap di sana jika ia terlalu malas untuk pulang ke rumahnya. Aneh, padahal gedungnya tidak berlantai lantai dan bukan tipe tipe apartemen yang mewah tapi ia betah sekali.

Beberapa menit pun terlewati, aku sampai di pintu gerbang kantor dimana Yoora bekerja sebagai penyiar berita di televisi. Aku langsung mengirimi Yoora pesan agar cepat cepat keluar, sepertinya ia menunggu di depan pintu. Tak lama setelah pesan terkirim, terlihat sosok Yoora menghampiri mobil walaupun disini pencahayaannya kurang, lalu ia pun masuk ke dalam mobil.

"Antar aku ke rumah ya," ucapnya.

Aku menoleh ke arah Yoora, "Heh, tumben tidak menginap,"

"Maunya begitu, tapi aku lupa membawa baju. Kan tidak lucu kalau aku memakai bajumu yang ukurannya seperti gorilla itu," Yoora menghinaku dengan nada bicara yang datar. Terlalu malas untuk merespon, akhirnya kami berdua beranjak pergi dari kantor Yoora.

"Hei, Chanyeol?" Yoora kembali membuka pembicaraan di antara kami berdua. "Apa kamu tidak bosan hidup sendirian tanpa kekasih?"

Masih dengan fokus menyetir, aku acuh tidak acuh menjawab pertanyaan konyol darinya. "Untuk apa? Aku masih bisa hidup senang walaupun sendirian, tuh."

"Tidak, hanya saja aku kasihan terhadapmu. Memangnya tidak ada gadis yang mendekatimu? Atau jangan jangan kamu menyukai lelaki?" lagi, Yoora menghinaku namun kali ini ditambah dengan tertawa yang terbahak bahak. "Tidak mungkin, dengan rupaku yang menawan seperti ini pasti ada gadis yang menyukaiku."

"In your dream,Chanyeol!"


"Bye bye, Yeol!" dapat kulihat dari spion mobil, Yoora melambai lambaikan tangannya kepadaku.

Setelah mengantar 'nyonya besar', aku pun kembali mengendarai mobilku untuk pulang ke apartemen. Tidak terasa sudah jam sepuluh malam, memang tidak bisa sebentar kalau singgah ke rumah Yoora. Saking mengantuknya, aku mengendarai mobil dengan kecepatan 100 km/jam agar cepat sampai, aku sungguh rindu kasur empuk yang selalu menemaniku itu. Hah, cheesy sekali kau Park Chanyeol.

Setelah tiba di apartemen, aku pun memarkirkan mobilku, dan melangkahkan kedua kaki jenjangku masuk ke dalam apartemen. Belum satu anak tangga aku pijaki, Raina, sang pemilik apartemen, menyapaku dari belakang. "Hei, Chanyeol. Bolehkah aku minta tolong?" raut wajahnya terlihat sedikit gelisah.

"Ada apa, Nyonya?" langsung kuhadapkan tubuh tegapku ke arah Raina. "Begini, saat aku membuang sampah tadi sore, ada sampah kardus berukuran lebih besar dari TV dekat apartemen. Entah halusinasiku atau bukan, tapi aku seperti melihat mayat manusia di dalamnya. Maukah kau memeriksanya? Maaf kalau aku menyuruhmu secara tiba tiba, soalnya laki laki yang lain sudah tidur. Aku takut disini tercium bau bangkai."

Aku terdiam di tempat. Mayat manusia? Jangankan mayat, melihat serangga berukuran kecil saja aku berteriak ketakutan, mengingat dulu ada kecoa berani beraninya hinggap di punggungku. Diam diam aku berkeringat dingin, namun sepertinya itu membuat Raina menyadari sesuatu. "Ah, kalaupun kamu mau, kamu bisa periksa besok pagi saja, sekarang kamu tidur. Atau tidak, aku menyuruh petugas kebersihan saja," ucap Raina sambil tersenyum kaku.

"Uh, ya sudah," sial, kenapa aku mengiyakan?!Terkutuklah kau, Chanyeol! Kau tidak akan bisa tidur malam ini karena melihat mayat!

"Aah, terima kasih banyak Chanyeol! Oh iya, barangkali disana gelap, bawa saja senter sebagai jaga jaga. Atau kamu mau bawa tongkat baseball juga boleh, siapa tahu mayatnya bangun," Raina berusaha melawak tetapi menurutku itu garing dan tidak membuyarkan perasaan takutku. Kalau dia ternyata zombie seperti di film Resident Hill bagaimana?

"Baiklah..." aku memberanikan diriku sendiri walaupun masih ragu ragu, tidak dapat dipungkiri bahwa aku adalah orang yang penakut.

Akhirnya, aku memijakkan kedua kakiku di depan kardus 'terkutuk' ini. Apakah benar disini ada mayat? Laki laki atau perempuan? Bersimbah darah atau tidak? Batinku terus berkecamuk namun sayangnya pikiran buruk terus menghinggapi. Dengan tangan sedikit gemetar, aku membuka bagian atas kardus dengan sangat perlahan.

Setelah dibuka sedikit lalu kuintip, tampak seperti rambut bagian atas, rambutnya berwarna hitam. Walaupun itu cuma rambut, sanggup membuat bulu kudukku merinding. Setelah kukumpulkan keberanian, aku pun menengok ke dalam kardus.

Kaget bukan main, mayatnya adalah seorang lelaki. Lelaki berambut hitam pendek, ia tidak memakai pakaian satu helai benang pun, hanya ada celana dalam berwarna putih membungkus bagian selangkangannya. Aku mencoba meraba kulit lengan dan pahanya, itu membuatku terkagum. Tidak ada goresan luka dan lecet sedikitpun, ini membuatku tidak percaya kalau dia benar benar mayat atau bukan, ditambah saat diraba dia tidak menunjukkan reaksi apapun. Kulitnya mulus dan bening bak model.

"Tapi, kalau tanpa cacat seperti ini kenapa dia ada di dalam kardus? Dan kenapa dia tidak bernafas? Sudah jelas dia adalah manusia," aku bermonolog ria.

Tunggu sebentar, kalau aku bilang ke Raina kalau yang kudapati ternyata mayat bertubuh mulus seperti dia, apakah ia akan tetap membuangnya atau tidak? Lagipula, seandainya ia masih hidup, tidak mungkin aku merawatnya di apartemen apalagi membuangnya untuk yang kedua kalinya, kan? Hell, yang ada aku bisa bisa dikira necrophilia.

"Tapi, tidak mungkin juga aku meninggalkan dia begitu saja disini," terlalu bimbang, akhirnya aku mengeluarkan tubuhnya dari kardus dan kugendong a la bridal style. Shit, berat juga dia. Sepertinya membiarkan dia tidur semalam di kamarku itu ide yang tidak buruk, semoga saja ia bangun nanti. Persetan dengan necrophilia.


Sesampainya di dalam apartemen, aku menaiki tangga dengan sedikit tergesa gesa karena takut kepergok Raina.

Baru saja aku memegang kenop pintu kamarku, terdengar suara ibu ibu muda yang tidak asing di telingaku, "Chanyeol? Apakah itu kau?" ia berteriak dari lantai bawah, sedangkan kamarku berada di lantai dua. Aku menelan ludah, ragu haruskah aku menjawab atau tidak. "Uhh, iya Nyonya?"

Sepertinya ia tidak berminat untuk menghampiriku, malahan kembali berteriak seolah olah aku dan dirinya berjarak seratus meter. Apartemennya tidak kedap suara, omong omong. "Sudah beres? Bagaimana?"

"S-sudah kuperiksa Nyonya, memang ada mayat tapi aku tutup kembali kardusnya dengan... selotip, ya, selotip, lalu... a-aku taruh di tempat yang lebih jauh dari apartemen," jawabku dengan terbata bata, penuh kebohongan. Entahlah ia akan percaya denganku atau tidak.

"Oh begitu, ya sudah, maaf merepotkanmu ya. Selamat tidur Chanyeol!" suara langkah kaki sedikit terdengar dari lantai bawah walau samar samar, sepertinya Raina sudah pergi ke kamarnya. Huft, akhirnya aku bisa bernafas lega.

Pintu kamarku pun terbuka, langsung kukunci kembali dan selanjutnya aku merebahkan tubuh sang 'mayat' lelaki berkulit mulus tersebut di kasurku, dengan nafas terengah. Aneh, seberat apapun dan sekaku apapun manusia kalau sudah menjadi mayat seharusnya tidak seberat ini, mengesampingkan fakta bahwa tubuhku lumayan berotot. Berasa menggendong belasan karung beras saja.

Aku pun duduk sambil meluruskan kaki di sampingnya, kuperhatikan setiap detail yang ada di tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, hingga tak sadar ada angka "04" tercetak jelas di dekat rahang kanannya, seperti tato baru. Di bagian telinga kanannya pun, ada rantai kecil berwarna perak menjuntai, ukurannya cukup panjang. Ia memakai anting? Bentuknya aneh, di bagian bawah bibir miliknya pun seperti ditindik, namun warna dan bahannya sama seperti anting. Aku tidak pernah menemukan model anting atau tindik seperti ini di Korea.

"Ada apa dengan angka nol dan angka empat?" aku bergumam. Baru ingat kalau ia telanjang, aku langsung membungkus tubuh mungilnya dengan baju piyama milikku yang berwarna putih.

Kembali ke aktifitas 'ayo-meneliti-mayat', kini aku berpindah ke wajahnya. Pipinya tembam, hidungnya mungil, bibirnya berwarna pink, matanya sipit dan sepertinya... sedikit sayu? Ada tahi lalat berukuran kecil di bagian kanan atas bibir. Wajahnya unik, sayangnya ia lelaki. Seandainya ia adalah perempuan, aku rela menyimpannya seumur hidup di kamar.

"Hoaamm," aku menguap lebar lebar, rasa kantukku mulai tidak bisa dibendung. Aku pun memejamkan mataku, tidak peduli apakah aku tidur bersama mayat atau bukan, yang jelas aku terlalu mengantuk untuk mengusirnya.

"Selamat tidur..." bisikku, entah kepada siapa.

Iya, aku berbicara kepada diriku sendiri.

Tapi entah mengapa, saat itu seperti ada seseorang yang membalas ucapanku. Suaranya berasal dari sebelahku, lembut, sangat lembut seperti bulu angsa dan nyaris tidak terdengar. Sayangnya aku hanya setengah sadar dan setengah perjalanan menuju alam mimpi.


Bukan jam weker yang membangunkanku, suara burung berkicau apalagi suara Raina, tetapi sinar matahari yang terlalu terang sampai mencolok kedua mataku. Oh, semalam aku lupa menutup jendela dengan gorden, rupanya. Pantas saja.

Tubuhku sedikit sakit, sepertinya aku salah posisi tidur. Aku pun bangkit, terduduk dan memeriksa keadaan sekitar sambil mengumpulkan nyawa, lalu menyadari sisi kasur sebelahku kosong. Apa kejadian semalam iti hanya mimpi?

"Hahaha, cuma mimpi ternyata..." aku menyisir rambut silverku ke belakang menggunakan jari jari panjangku, tertawa hambar. Bingung antara menyesal semalam hanya mimpi atau senang karena tidak harus mengurus mayat.

(1)"Доброе утро," ucap seseorang yang berdiri di sampingku dan menatapku polos, senyuman tipis tercetak di bibir pinknya itu.

"Selamat pagi," sapaku dengan senyum lebar. Ah jarang sekali aku disambut pagi pagi begini oleh seseorang.

Wait, ada yang janggal. Aku kan tinggal sendirian, lalu siapa yang menyapaku barusan?

Sudut pandang orang ketiga serba tahu.


Chanyeol menolehkan kepalanya ke sumber suara yang baru saja menyapa dirinya pagi ini, terperanjat. Kedua mata bulatnya melotot, dalam waktu kurang dari dua hari ia sudah dibuat terkejut dua kali. Bagaimana tidak, sang mayat yang baru saja semalam tidak bernyawa menjadi manusia hidup yang tampak segar bugar?

(2)"Привет?" tangan lentik lelaki mungil tersebut terlambai dengan gerakan yang lambat di hadapan wajah Chanyeol yang masih melongo, ia merasa dipandang seperti hewan langka saja.

"Bahasa apa yang ia ucapkan barusan?" batin Chanyeol. "Uhh, apa kamu bisa berbicara bahasa Korea?" lanjutnya, sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ekspresi wajah Baekhyun berubah, menjadi bingung. "Ko..re..a?" walaupun si mungil tampak tidak mengerti bahasa Korea dan nada bicaranya seperti anak berumur satu tahun, namun artikulasi suaranya sangat jelas.

"Iya, Korea. Seperti aku," Chanyeol kembali menjelaskan. "Namamu siapa?"

(3)"Меня зовут Baekhyun, а как вас зовут?" masih dalam bahasa Rusia, walaupun ia sempat bingung tadi karena tidak mengerti bahasa Korea, namun Baekhyun mengerti dengan pertanyaan Chanyeol. Sayangnya Chanyeol terlalu bodoh untuk menyadari. "Namaku Chanyeol, bolehkah aku bertanya tanya kepadamu?"

Baekhyun hanya mengangguk pelan, entah mengerti perkataan Chanyeol atau tidak. "Apa kau... adalah mayat hidup?" bukannya jawaban yang Chanyeol dapatkan, melainkan kepala Baekhyun yang sedikit miring tanda ia tidak mengerti. (4)"Ma...yat? Что?"

"Iya, mayat. Semalam kamu tidak bernafas sama sekali, dan kamu dibuang ke dalam kardus di tempat pembuangan sampah. Apa kamu ingat semuanya?" Chanyeol menjelaskan panjang lebar, padahal ia sudah tahu kalau lelaki mungil ini pasti tidak akan mengerti. "Kamu bukan korban pembunuhan atau pemerkosaan, kan? Atau jangan jangan kamu adalah boneka hidup?"

Baekhyun terdiam sesaat, ia terlihat sedang berpikir dan berusaha mengingat apa yang sudah ia alami saat ia sedang 'mati'. (5)"Извините... Я не понимаю," sang lawan bicara menggelengkan kepalanya.

Chanyeol menghela nafas, usahanya nihil. Ia seperti berbicara dengan patung, sekarang ia memohon kepada Tuhan agar Chanyeol diberi mukjizat berupa pemahaman terhadap bahasa Rusia yang sulit itu.

Padahal, menurut Chanyeol, wajah Baekhyun tidak ada sama sekali paras orang Rusia. Bisa saja ia blasteran, namun saat pemuda itu berbicara, terdapat sedikit aksen orang Korea.

Tiba tiba, Chanyeol teringat sesuatu. Kalau Baekhyun bukanlah mayat melainkan manusia biasa, bagaimana kalau ketahuan Raina? Tidak mungkin ia mengurung Baekhyun di dalam kamarnya setiap hari kan? Oke, sepertinya ibu muda itu akan panik, sedikit bersyukur Baekhyun bukanlah perempuan. Bisa bisa Chanyeol dikira lelaki hidung belang nanti gara gara tidur bersama perempuan.

Mari kita bayangkan lebih jauh, kalaupun Chanyeol terpaksa harus merawat si mungil, apakah orang tuanya akan tahu? Terutama kakaknya itu yang usil, Chanyeol bisa bernafas sedikit lega karena orang tuanya akan pergi berlibur mulai besok, tapi bagaimana dengan Yoora?

Pilihannya sudah pasti; Chanyeol harus merawat Baekhyun. Dan yang paling utama, mengajarkan Baekhyun bahasa Korea dari yang paling dasar.

Bisa kita dengar suara baritone yang terdengar mengenaskan berasal dari kamar 261 di apartemen yang berada di Seoul ini.

"...God, why you do this to me?"


writer's note:
(1) 'selamat pagi'
(2) 'halo?'
(3) 'namaku Baekhyun, namamu?'
(4) 'apa?'
(5) 'maaf, aku tidak mengerti'