Setahu Jihoon, Wonwoo begitu menyuka kelereng kaca.
Besar, bundar, bening, dan… ajaib
Wonwoo bilang, kelereng itu pemberian seseorang dari mimpinya.
Aneh,
Mana ada seorang dari dalam mimpi yang dapat memberikan sebuah benda hingga kedunia nyata?
Lagipula apa bagusnya kelereng itu?
"Aku suka pada rumah dan pohon-pohon didalam sana, kalau kelereng kacanya digoyang, salju-salju itu akan berterbangan." Kemudian Wonwoo tersenyum cerah.
Kadang-kadang Jihoon sampai heran, hanya dengan kelereng kaca saja Wonwoo bisa tertawa-tawa.
Bahkan yang lebih parah, ketika Wonwoo mulai berbicara pada kelerengnya.
Jihoon sampai harus memukul kepala bocah itu supaya sadar.
.
.
Suatu senja, ketika jingga mentari mengudara, Jihoon melihat Wonwoo berbaring diatas rumput dibelakang rumah.
Tertawa cekikikan, berbicara tak beraturan, bahkan pipinya bersemu merah muda.
Jihoon ingat betul dengan kalimat terakhir Wonwoo, "Terimakasih…"
Ha? Apa dia sudah gila?
Kenapa dia harus berterimakasih pada sebuah kelereng kaca?
Astaga!
.
.
Kira-kira sudah lebih dari tiga bulan Jihoon melihat Wonwoo terus seperti itu.
Bahkan tingkat kegilaan Wonwoo sudah semakin parah.
Terakhir yang Jihoon ketahui, Wonwoo membeli banyak balon, pita warna-warni, butiran-butiran sterofoam, lalu disebarnya diruang tengah.
Bisa bayangkan, mereka menempel pada baju Jihoon sebab bahannya yang terbuat dari wool.
Jihoon risih.
Jihoon tidak suka butiran sterofoam.
Lagipula sejak kapan Wonwoo suka dengan hal-hal semacam ini?
"Yak, Jeon Wonwoo, sepertinya kau harus segera suntik rabies supaya kegilaannmu tidak makin parah."
Jihoon nyeletuk, sambil menendang balon ungu didekatnya.
"Aku tidak gila." Sahutnya malas-malas, lalu kembali tersenyum ketika menatap kelereng kacanya.
"Lalu ini semua?" Jihoon menunjuk kearah balon-balon dipojok ruangan, "Apa namanya kalau tidak gila?!"
Wonwoo bangkit dari posisi rebah, memandang Jihoon dengan ekspresi datar seperti biasa.
"Aku sedang merayakan ulang tahun, Ji."
Dahi Jihoon berkerut dalam, "Seingatku, bukankah ulang tahunmu dua bulan lagi?"
"Memang bukan ulang tahunku."
"Tidak mungkin ulang tahunku, kan?"
"Tentu saja bukan."
"Lalu?"
Wonwoo menghela napas dalam-dalam. Memanggil Jihoon lalu menyuruh sepupunya itu duduk didekatnya.
"Dia." Dengan bangga menunjuk kelereng kaca.
Pletak!
"Aw, kenapa kau memukulku?!"
"Karena kau memang sudah gila."
Jihoon menaikkan nada bicaranya. Ia sudah benar-benar jengah dengan tingkah Wonwoo.
"Kau yang tidak bisa melihatnya, bukan aku yang gila."
Jihoon kembali dibuat bingung.
"Melihat, apa?"
"Kim Mingyu."
"Ming- siapa?"
"Mingyu. Dia tinggal didalam sana."
Wonwoo mengelus-elus kelereng kacanya, sambil tersenyum-senyum riang.
Jihoon menggeleng, "Sepertinya otakmu memang sudah geser." Lalu Jihoon pergi meninggalkan Wonwoo.
Jihoon hanya tidak tahu saja bahwa Kim Mingyu memang benar-benar ada.
Sebab setelah Jihoon pergi, kelereng kaca itu bersinar, menciptakan dua warna cantik dari dalamnya.
Hanya beberapa detik saja, lalu seorang laki-laki bermata puppy tiba-tiba berdiri didepan Wonwoo.
"Merindukanku?"
.
.
.
END
.
.
.
Gaje? yasudahlah,abaikan saja, ngahaha...
