Pairing : Chanyeol/Baekhyun
Genre : Brothership, angst, family, romance
Summary : Baekhyun tahu jika hidupnya tak berakhir lama, tapi seseorang memberitahunya untuk tak mengecewakan ayahnya dan semua orang yang masih ingin berada di sampingnya. Chanyeol selalu ada di sisi anak itu, membantunya berdamai dengan keadaan, memberinya kenyamanan di kamar rumah sakit.
A/n :
Hello! sebenernya ini fict buat event di wattpad, tapi aku juga pingin posting disini hehee. Happy reading!
Winter, 2016.
Seperti hari-hari sebelumnya, Baekhyun selalu merasa tidak baik. Hatinya risau tak beralasan. Ia berusaha menghilangkan segala hal yang menganggu, mencoba memikirkan sesuatu yang menyenangkan, namun pada akhirnya ia sendiri sadar bahwa dirinya tak bisa lari dari kenyataan.
Airmatanya sudah habis ketika melihat ibunya menghembuskan napas terakhir di rumah sakit dua tahun yang lalu, dan kini sepertinya takdir ingin menguras airmatanya lagi sebab seminggu yang lalu ia melihat ayahnya naik ke pelaminan untuk kedua kali.
Kepala Baekhyun rasanya ingin pecah. Hatinya juga terlalu sakit memikirkan bagaimana dirinya menjalani hari-hari kedepannya dengan keluarga baru disini.
"Baekhyun-ah," Suara ayah Baekhyun yang berat dan familiar masuk ke telinga Baekhyun, namun anak itu tak ada niat menimpali sama sekali. Tuan Byun duduk di sofa sebelah Baekhyun. "Bagaimana keadaanmu?"
Baekhyun hanya menjawab datar, "Seperti yang kau lihat."
Sungguh Baekhyun tak pernah punya ide untuk bersikap dingin pada ayahnya. Tapi semakin ia berusaha bersikap seperti biasa, hatinya semakin miris dan sakit.
"Kau sudah makan? Ayah belikan makanan kesukaanmu di meja."
Baekhyun menjawab dengan datar lagi, "Aku sudah makan. Aku tidak bisa makan terlalu banyak."
Ayah Baekhyun mengernyit, lalu berusaha meraih telapak tangan Baekhyun dan berusaha menenangkan anaknya. Tapi Baekhyun menolak telapak tangannya disentuh.
"Saat itu untuk pertama kalinya aku tidak bisa menelan makanan. Rasanya hampir mati ketika merasakan makanan di mulutku berhenti di tenggorokan dan aku tidak bisa bernapas. Ayah seharusnya bersyukur aku masih diberi hidup tapi apa yang kau lakukan? Kau menikahi perempuan itu, bahkan aku tak tahu sejak kapan kalian saling mengenal, dan tiba-tiba saja aku membencimu."
Tuan Byun merengkuh tubuh dingin Baekhyun. Airmata anak itu tidak bisa ditahan lagi. Semenjak pernikahannya dengan mantan istri Tuan Park seminggu yang lalu, Byun Baekhyun, anaknya itu jadi banyak diam, murung di dalam kamar, dan selalu menolak bicara dengannya.
"Aku masih mencintai ibumu, Baekhyun. Percayalah."
"Bagaimana aku bisa percaya kau masih mencintai ibu ketika kau sendiri sudah menikah lagi?"
Baekhyun berdiri, tidak kuat dengan situasi. Ia berjalan meninggalkan ayahnya di sofa dan menuju kamar. Anak itu sedikit memekik ketika kaki kirinya tiba-tiba kaku dan membuatnya hampir jatuh, untung saja di sebelahnya ada meja untuk berpegangan.
"B-Baekhyun, kenapa kakimu?" Tuan Byun menopang tubuh Baekhyun lalu dituntun ke kamar.
"Kaki sebelah kiriku tidak bisa digerakkan, Ayah."
Park Chanyeol dan ibunya, Yeonhwa, datang ke rumah keluarga Byun di sore hari. Tuan Byun menyambut istri kedua beserta sang anak tirinya itu di pintu, merangkul Chanyeol dan memeluk Yeonhwa seperti layaknya suami pada istrinya.
Yeonhwa menaruh beberapa kantong plastik yang dia beli di jalan sebelum datang ke rumah Tuan Byun kemudian berbincang ringan dengan suaminya, sedangkan Chanyeol menyempatkan menuju kamar paling belakang, kamar Baekhyun. Kebetulan Tuan Byun bilang bahwa anak itu sedang tertidur.
Beberapa saat kemudian Chanyeol kembali dan meminta waktu berbicara dengan Tuan Byun, ibunya tersenyum dan mengangguk tanda mengizinkan lalu menuju dapur, menyiapkan beberapa makanan.
Chanyeol mengambil duduk di halaman belakang. Ayah Baekhyun duduk di sebelahnya sembari mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya juga pemantik.
"Kau sudah melihat keadaan Baekhyun?"
Chanyeol menghela napas. "Sudah."
"Ketika melihat Baekhyun aku seperti melihat refleksi mantan istriku sendiri."
"Aku bisa memahami perasaan Anda."
"Kau bisa mulai memanggilku 'Abeoji'."
Chanyeol mengangkat satu alisnya, "Abeonim?"
"Kenapa formal begitu? Apa kau berpikir negatif tentang pernikahanku dengan ibumu?"
Chanyeol menggeleng, "Tidak. Aku cukup dewasa untuk mengerti keadaanmu dan ibuku. Aku juga merasa kau adalah ayah dari pasien yang perlu kutangani, jadi sepantasnya aku panggil Abeonim saja."
Tuan Byun hanya mengangguk lalu mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Chanyeol sudah terbiasa. Walaupun dirinya seorang dokter, ia mengetahui bahwa seorang di sampingnya sedang dalam tingkat stres ringan dan rokok mungkin bisa membantunya.
"Baekhyun didiagnosa mengidap ataxia sejak umur tiga belas tahun. Penyakit ini menurun dari ibunya, istriku juga meninggal karena penyakit ini. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Hal yang sama pasti akan terjadi. Kerja motorik tubuhnya akan terhambat. Pertama dia mungkin tidak bisa berjalan, tidak bisa menggerakkan anggota tubuh yang lain dengan baik, dan suatu hari ia tidak bisa bicara dan hanya berbaring di kamar. Aku tidak bisa melihat keluargaku begini."
"Baekhyun pasti lahir dengan membawa ataxia dan baru terdiagnosa di umur tiga belas tahun. Sampai sejauh ini memang belum ada research lebih lanjut tentang obat untuk ataxia. Penyakit saraf motorik sangat membahayakan nyawa. Mungkin terapi okupasi bisa membantu. Baekhyun harus dirawat di rumah sakit untuk jangka waktu lama sebagai antisipasi bila motoriknya tiba-tiba terganggu lagi. Paling tidak kami bisa membantu membuatnya bertahan lebih lama."
"Dua minggu yang lalu ada yang aneh dengan tenggorokannya hingga membuatnya tersedak saat menelan makanan. Gerak kakinya melambat, jadi ia sering terganggu ketika berjalan."
Chanyeol mengernyit sedikit, "Tersedak... Itu gejala ataxia stadium akhir, Abeonim. Bagaimana dengan kegiatan terapinya?"
Tuan Byun membuang puntung rokoknya, menginjak benda itu hingga apinya mati bersisa asap. "Baekhyun berhenti terapi sejak ibunya meninggal. Penyakitnya berprogres dengan konstan, kondisi Baekhyun semakin memburuk. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Baekhyun, walaupun aku harus menikahi orang yang tidak kucintai dan Baekhyun harus membenciku, juga membenci kalian."
"Kau pernah membantu keluarga kami di masa lalu, Abeonim. Saat ini tugasku dan ibu membalas budimu. Aku akan menjaga Baekhyun. Bagaimanapun sekarang dia adikku juga."
"Tolonglah dia, Chanyeol. Baekhyun masih sembilan belas tahun."
Chanyeol mengangguk lalu meminta izin untuk ke kamar Baekhyun sekali lagi, Tuan Byun tidak keberatan. Chanyeol membuka pintu perlahan, tidak ingin membangunkan Baekhyun yang sedang tertidur. Ia mengecek bagian kaki Baekhyun, dan sedikit terkejut ketika anak itu bergerak berpindah posisi jadi memunggunginya. Chanyeol tersenyum, tak disangka ia akhirnya memiliki adik setelah seumur hidup hanya tinggal bersaudara dengan kakaknya.
Chanyeol menghabiskan waktu setengah jam untuk memandangi wajah Baekhyun yang polos ketika tidur.
Baekhyun terbangun dari tidurnya ketika jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Perlahan Baekhyun mulai mengerjapkan matanya dan mencoba untuk membiasakan retinanya pada cahaya yang berada tepat dihadapannya. Ia pun mendudukan tubuhnya di tepi ranjang mencoba untuk menggerakkan kakinya dan berhasil, kakinya mulai pulih. Baekhyun menelusuri kamarnya dan menemukkan benda yang ia cari. Sudah pukul delapan, pikirnya. Ia tertidur cukup lama. Setelahnya Baekhyun mulai berjalan perlahan menuju pintu kamarnya, sebelum ia mencapai gagang pintu, Baekhyun melihat pintunya sudah terbuka lebar dan menampakkan sosok lelaki paruh baya dengan senyum yang familiar sedang menatapnya.
"Baekhyun, apa kakimu sudah membaik?" Ayahnya mengahampiri Baekhyun lalu menatap putranya yang sudah bisa berdiri.
"Aku tidak pernah merasa baik." Baekhyun menjawab dengan ekspresi datar sambil berlalu meninggalkan ayahnya. Tuan Byun mengehala nafasnya, kemudian mengamati cara jalan Baekhyun yang mulai melambat.
"Makan malam sudah siap di meja, lebih baik kau makan dulu. Biar kutuntun," ujar Tuan Byun sambil membantu menopang tubuh Baekhyun. Namun anak itu justru menepis tangan ayahnya dan melayangkan tatapan dingin.
"Aku bisa jalan sendiri."
...
Baekhyun menatap datar pada dua orang yang saat ini berada dihadapannya. Tiba-tiba moodnya turun drastis. Bagaimana tidak? Saat ini dihadapannya duduk seorang wanita paruh baya beserta lelaki berperawakan tinggi dan sial ketika fakta mengatakan mereka berdua sekarang adalah ibu dan kakak tirinya. Baekhyun tiba-tiba membenci segala hal yang ada di bumi.
"Baekhyun-ah, kau sudah bangun?" sapa Yeonhwa lembut. Baekhyun diam saja dan mengambil duduk. "Ayahmu memberitahuku makanan kesukaanmu jadi aku memasakkannya tadi. Makanlah, semoga kau suka." Baekhyun hanya menatap datar pada piringnya yang sudah terisi makanan lalu mengambil sumpit dan memakan makanan yang berada dihadapnnya dengan malas.
"Baekhyun, ini adalah ibu tirimu. Kuharap kau bersikap baik dan sopan pada ibumu, ya?" Ayah Baekhyun mulai memperkenalkan bagian baru dari keluarga mereka. Tapi Baekhyun hanya melirik sekilas ibu tirinya lalu melanjutkan acara makannya, tidak mengatakan apapun.
"Dan ini, dia adalah kakakmu." Tuan Byun menunjuk lelaki berperawakan tinggi yang duduk di seberang Baekhyun. "...namanya Chanyeol, kau harus memanggilnya Hyung mulai sekarang. Dia adalah dokter ahli saraf spesialis Spinocerebellar Athrophy dan akan menjadi dokter pribadimu." Baekhyun mendongakkan kepalanya menatap kakak tirinya yang sedang tersenyum ke arahnya, kemudian tanpa bicara ia melanjutkan makanannya lagi.
"Dia adalah dokter yang hebat. Kau tahu? Tahun lalu dia mulai mengambil pendidikan master di usianya yang ke-dua puluh empat tahun. Bagaimana jika sekarang kau menjalani pengobatanmu kembali dan didampingi oleh kakakmu, apa kau mau?" Mendengar itu Baekhyun reflek menoleh pada ayahnya, menatapnya tajam. Melihat ibu dan kakak tirinya saja membuat moodnya turun dan sekarang ayahnya menyuruh Baekhyun untuk menjalani pengobatan bersama lelaki bernama Chanyeol itu? Sepertinya nasib sangat ingin mempermainkannya.
"Aku tidak mau," jawab Baekhyun singkat.
"Tapi kau sungguh harus menjalani terapi di rumah sakit lagi, Baekhyun. Kemampuan tubuhmu semakin hari semakin parah. Lagipula yang menanganimu sekarang adalah keluargamu sendiri." Tuan Byun mencoba memberi pengertian.
Mendengar kata 'keluarga', Baekhyun berusaha meredam gejolak di dadanya. "Aku baik-baik saja tanpa perlu terapi lagi."
"Begini saja," Kali ini Chanyeol angkat bicara. "...aku mengerti perasaanmu, Baekhyun. Tapi ketika di rumah sakit, kau tidak perlu menganggapku sebagai kakak tirimu. Cukup anggap aku dokter yang menanganimu, bagaimana?"
Baekhyun menaruh sumpitnya kasar, kemudian tatapan tajamnya terarah ke lelaki di depannya. "Terimakasih, tapi kau tidak usah terlalu baik."
"YA! Byun Baekhyun! Jaga mulutmu!"
Baekhyun pergi menuju kamarnya dan membanting pintu, menimbulkan suara debuman keras. Tuan Byun memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut.
"Biarkan dia, Abeonim. Baekhyun mungkin membutuhkan waktu untuk menerima keadaan," ujar Chanyeol mendinginkan situasi.
"Aku tidak tahu lagi, Chanyeol. Aku tidak tahu lagi selain mempercayakan Baekhyun padamu. Aku mohon."
Chanyeol tersenyum tipis, "Kau bisa mempercayakanku."
Satu hari berlalu semenjak kejadian makan malam itu, Baekhyun tidak keluar kamar sama sekali. Ayahnya berkali-kali mencoba mengetuk pintu kamar Baekhyun, namun selalu tak ada jawaban. Sesekali Tuan Byun mendengar suara tangisan dari dalam, membuatnya khawatir sampai hampir gila.
Chanyeol terbangun di pukul sebelas malam. Ia tidak sengaja melihat Tuan Byun berdiri di depan kamar Baekhyun dan mengetuk pintu dengan putus asa. Lelaki itu menghampiri ayah Baekhyun, terlihat ekspresi lelah mewarnai raut wajah pria paruh baya tersebut.
"Apa yang terjadi, Abeonim?" tanya Chanyeol.
"Baekhyun menangis lagi di dalam sana. Aku tidak tahu harus melakukan apa."
Chanyeol dia sebentar, kemudian ia menjawab, "Lebih baik Abeonim tidur saja, ini sudah larut malam, kau pasti lelah. Baekhyun biar aku yang urus."
"Terima kasih banyak, Chanyeol. Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kau."
Chanyeol merespon dengan senyum menenangkan. Ia mencoba mengetuk pintu kamar Baekhyun setelah Tuan Byun kembali ke kamarnya.
"Baekhyun-ah ini aku, Chanyeol. Keluarlah, kau setidaknya harus memakan sesuatu." Tetap tidak ada jawaban yang berarti dari dalam sana. Namun Chanyeol tidak menyerah begitu saja.
"Ayolah, Baekhyun. Aku berjanji tidak akan memaksamu pergi ke rumah sakit. Aku akan mendengarkan apapun yang kau keluhkan."
Setelah lama Chanyeol mencoba membujuk Baekhyun, ia hanya mendapatkan suara hening. Suara isakan Baekhyun juga sudah tidak terdengar. Chanyeol berasumsi anak itu sudah tidur.
Ia menghela napas, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. Ia mecari selembar kertas kosong dan bolpoin lalu menuliskan sesuatu disana.
Hai, Baekhyun! Kau pasti kesepian di dalam kamar, jadi anggap saja aku temanmu. Aku berharap kau baik-baik saja di dalam sana. Apa kau tidak lapar? Aku tahu kau tidak makan seharian. Keluarlah! Ayo makan bersama!
-Temanmu-
Chanyeol tersenyum kecil lalu melipat kertas itu, menyelipkannya di bawah pintu kamar Baekhyun namun dibiarkan sedikit menonjol keluar agar ia bisa tahu apakah Baekhyun sudah mengambilnya atau belum.
Chanyeol merasa sedang berurusan dengan anak umur enam tahun.
...
Kau belum membaca suratku, ya? Aku sedih sekali. Sedang apa kau disana? Keluarlah! Ada makanan enak di meja.
-Temanmu-
Chanyeol menyelipkan kertas lagi di pukul sepuluh pagi ketika ia melihat kertasnya semalam belum diambil Baekhyun.
"Astaga, anak itu sangat keras kepala. Lihat saja, kertas-kertas ini akan memenuhi lantai kamarmu," gumam Chanyeol.
Baekhyun terbangun dan terkejut ketika jam menunjukkan pukul satu siang. Akhir-akhir ini dia sering tertidur lama sekali. Baekhyun beranjak untuk mencuci muka di wastafel kamarnya, lalu menatap refleksi dirinya di kaca wastafel dan menyadari tubuhnya semakin kurus. Ia menghela napas, tidak ada ide sama sekali yang terlintas di otaknya untuk melakukan sesuatu.
Anak itu mengernyit ketika mendapati beberapa lembar kertas terselip di bawah pintu kamarnya. Tapi ia tidak mau ambil pusing, tubuhnya cepat lelah ketika digunakan untuk berdiri jadi ia lebih memilih untuk duduk lagi di kasurnya dan mengambil buku bacaan di laci meja di sebelah tempat tidurnya untuk menghilangkan kebosanan. Ide untuk mengurung diri di kamar bukanlah sesuatu yang bagus, tapi ini lebih baik daripada ia harus mendekam di rumah sakit dan menghirup bau antiseptik yang menyebalkan.
Baekhyun menghentikan kegiatan membacanya ketika matanya mendadak buram. Ia membaringkah tubuhnya, memejamkan mata. Hal seperti ini berkali-kali terjadi sehingga Baekhyun tidak terkejut lagi.
Ketika matanya kembali normal, ia melihat kertas-kertas yang terselip di bawah pintu kamarnya semakin banyak. Baekhyun mengernyit heran, penasaran dengan kertas macam apa yang bisa ada di bawah pintunya. Ia berjalan dan mengambil salah satu kertas di sana. Kerutan di dahinya semakin menjadi-jadi.
Sedang apa kau disana? Mengapa tidak mau membuka pintu? Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke taman atau kemanapun yang kau mau. Ayo keluarlah!
-Temanmu-
"Surat bodoh macam apa ini?" gumam Baekhyun. Ia lalu membuka sebuah surat lagi.
Aku punya satu ember es krim di kulkas. Kalau kau keluar, kau bisa makan semuanya. Aku juga akan mengajakmu ke kedai es krim. Kau suka es krim, kan?
-Temanmu-
Baekhyun mendecih, kemudian mengambil semua kertas yang ada di bawah pintu kamarnya dan membuangnya ke sampah tanpa membacanya satu persatu. Kepalanya mendadak pusing jadi dia kembali ke kasurnya, membaringkan tubuhnya lagi.
Baekhyun hanya memandangi setiap kertas yang diselipkan di bawah pintu kamarnya setiap satu jam. Kali ini ia merasa kagum pada si penulis surat itu karena ingin Baekhyun keluar kamar sampai sebegitunya.
Tak berhenti disitu, Baekhyun tak habis pikir ketika satu persatu kertas masih diselipkan di bawah pintu kamarnya sampai jam sebelas malam. Baekhyun beranjak dari kasurnya, mendadak penasaran pada siapa yang menulisnya. Ayahnya tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti ini. Apa...Chanyeol? Kakak tirinya itu?
Aku sedang menonton film kartun kesukaanku. Apa kau juga ingin menontonnya? Kemarilah, aku sedang berada di depan televisi sendirian. Apa kau tidak ingin menemaniku? Aku menunggumu.
-Temanmu-
Kau sudah membaca suratku tapi tidak mau keluar. Lalu aku harus bagaimana? Hfft. Kau ingin aku tidur di depan kamarmu sampai kau keluar? Baiklah, malam ini aku akan tidur di depan kamarmu.
-Temanmu-
Aku benar-benar tidur di depan kamarmu! Lantainya dingin sekali jadi aku pakai selimut tebal. Selamat tidur Baekhyun. Besok pagi kau harus sarapan.
-Seseorang di depan kamarmu-
Setelah membaca isi surat tersebut, Baekhyun masih menatap kertas yang berada di hadapannya dengan dahi mengkerut. Setelah beberapa saat kemudian, Baekhyun bangkit dan meraih gagang pintu. Ia ingin tahu siapa orang yang nekat tidur di lantai depan kamarnya hanya agar dia keluar kamar. Baru saja ia membuka kunci, kedua kakinya tiba-tiba saja kaku. Gerakan tangannya berhenti seketika dan matanya mendadak buram. Ia terjatuh ke lantai lalu memekik ketika kepalanya terbentur tembok.
Chanyeol yang berada di depan kamar Baekhyun segera bangkit dan memasuki kamar anak itu yang sudah tidak terkunci. Ia melihat Baekhyun terduduk di lantai dan tidak bergerak.
"B—Baekhyun! Apa yang terjadi? Ada apa dengan tubuhmu?" Chanyeol segera menopang tubuh Baekhyun.
"Ka—kakiku, tanganku, ma—mataku tidak bisa digerakkan. Ak—ku tidak bisa melihat sesuatu. Buram—" Baekhyun bicara dengan terbata, Chanyeol terkesiap. Bola mata Baekhyun benar-benar tidak bergerak. Ia menutup kelopak mata adik tirinya itu menggunakan jari telunjuknya, kemudian menggendong Baekhyun dan berlari menuju mobil, membaringkannya di dalam sana.
Hampir jam dua belas dini hari, Baekhyun dibawa ke rumah sakit.
...
"Suster! SUSTER CEPAT TANGANI DIA!" Suara riuh terdengar di sepanjang lorong akibat teriakan Chanyeol dan beberapa suster yang dengan sigap membawa ranjang pasien lalu segera membawa Baekhyun ke UGD.
Ayah dan ibu tiri Baekhyun datang tidak lama kemudian, sama-sama panik sehabis mendapat telepon dari Chanyeol dua puluh menit yang lalu ketika lelaki itu menyetir menuju rumah sakit. Mereka berlari menuju UGD namun seorang suster mencegahnya masuk.
"Tuan maaf, anda tidak bisa masuk. Silahkan tunggu disini," ucap seorang suster yang menahan tubuh Tuan Byun. Melihat itu Yeonhwa mengelus pundak sang suami dan membawa tubuh suaminya untuk duduk di bangku yang sudah disediakan di sepanjang lorong.
Kejadian seperti ini, persis seperti yang dialami ibu Baekhyun beberapa tahun yang lalu. Tuan Byun menahan airmata yang mendesak keluar. Ia tidak mengharap sesuatu hal buruk terjadi pada Baekhyun, sekecil apapun itu.
"Ini adalah hasil MRI bagian kepala Baekyun." Chanyeol menampilkan gambar jaringan lunak kepala Baekhyun pada sebuah layar. Disana terlihat bagian otak Baekhyun dan sample bagian otak manusia normal untuk dibandingkan.
"Terlihat jelas perbedaan ukuran otak kecil Baekhyun dengan manusia normal. Abeonim pasti tahu ataxia itu penyakit yang menyerang otak kecil dan sumsum tulang belakang, yang mana otak kecil berfungsi mengatur keseimbangan tubuh dan gerakan otot, sedangkan sumsum tulang belakang berfungsi untuk mengendalikan gerak reflek. Penyakit ini menyebabkan penyusutan ukuran secara drastis pada otak kecil dan membuat saraf di otak lama kelamaan lenyap, akibatnya sumsum tulang belakang tidak bisa mengantarkan impuls ke otak. Jika penyakit ini terus berprogres, singkatnya, Baekhyun akan kehilangan kemampuan motoriknya."
"Dikarenakan belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini, ataxia akan selalu berprogres pada tubuh setiap penderitanya. Jika dilihat dari waktu didiagnosanya, yaitu di umur tiga belas tahun dan sekarang baekhyun berumur sembilan belas, progres ataxia pada tubuh Baekhyun adalah lambat. Baekhyun memiliki ataxia selama hampir enam tahun dan ia masih bisa berjalan dan belum kehilangan koordinasi tangan yang signifikan, itu sangat mustahil sebab rata-rata pengidap ataxia berumur tidak sampai empat atau lima tahun."
"Ibu Baekhyun selalu rutin mengontrol terapi Baekhyun, oleh karena itu ia sudah diterapi sejak usia tiga belas tahun. Tapi diusia ke tujuh belas, Baekhyun sudah berhenti terapi dan check up," ujar ayah Baekhyun.
"Aku khawatir hal itulah yang membuat penyakitnya berprogres cepat." Chanyeol memutar duduknya memunggungi layar, kini fokus pada Tuan Byun.
"Kemampuan berjalan Baekhyun melambat, kau bilang ia pernah tersedak saat makan, dan kulihat pergerakan bola matanya mulai tidak baik. Penyakit yang diderita Baekhyun sudah mulai parah, Abeonim. Ini gejala stadium akhir," Chanyeol menghela napas. "...untung saja pergerakan tangannya masih bisa dibilang baik untuk pemilik gejala stadium ini. Dia masih bisa membuka kunci kamarnya, tandanya Baekhyun masih bisa menggenggam sesuatu. Kalau Baekhyun sudah tidak mampu bahkan untuk memakai sumpit, ia akan masuk stadium akhir."
"Lakukan apapun untuk memperlambat progres penyakitnya. Lakukan apapun untuk membuat Baekhyun lebih baik. Aku masih ingin melihat anakku lebih lama lagi."
"Kalau begitu Baekhyun harus segera memulai terapinya lagi, Abeonim."
ROOM 192
Tuan Byun memasuki ruangan dimana anaknya sedang terbaring dengan selang yang tertancap di punggung tangan anaknya yang nampak pucat. Perlahan Tuan Byun duduk disebelah Baekhyun dan mencoba menggenggam tangan dingin putranya yang sedang tertidur. Memandangi putranya seperti ini, airmatanya menetes.
Terdengar pintu kamar dibuka oleh seseorang, Tuan Byun memalingkan pandangannya. Terlihat Chanyeol memasuki kamar diikuti dengan istrinya.
"Abeonim sebaiknya kau pulang dan beristirahat. Aku yang akan menemani Baekhyun disini. Besok pagi Abeonim bisa datang lagi sekalian membawa barang-barang Baekhyun."
Ayah Baekhyun menggeleng, "Tidak, Chanyeol-ah. Aku ingin menemani anakku. Lebih baik kau yang mengambil barang-barang Baekhyun sekalian mengantar ibumu pulang. Aku ingin berada disini sampai besok pagi."
Chanyeol menghela napas dan mengangguk paham. "Baiklah, Abeonim bisa berada disini sampai besok pagi. Aku pamit pulang mengantar ibu dan membawakan barang-barang Baekhyun lalu kembali lagi kesini."
Setelah mendapatkan anggukan dari ayah tirinya, Chanyeol dan ibunya segera melenggang keluar dari kamar tersebut dan kembali ke rumah Tuan Byun.
Chanyeol memasuki kamar adiknya sesampainya di rumah. Tempat tidur Baekhyun terlihat sedikit berantakan. Jelas saja, anak itu tidak keluar kamar seharian lebih dan ia pasti tidak memiliki kekuatan lebih untuk merapikan tempat tidurnya seorang diri. Chanyeol menghela napas miris.
Sebelum mengemasi barang-barang Baekhyun, Chanyeol menyempatkan diri menata kamar adiknya itu. Paling tidak Baekhyun tidak perlu susah menata kamarnya lagi ketika ia pulang suatu hari
Setelah semua beres, Chanyeol berdiri di depan lemari Baekhyun dan mengambil tas untuk tempat pakaian Baekhyun yang akan ia bawa. Chanyeol mengemas beberapa pakaian yang perlu, sebab Baekhyun akan mendapat pakaian khusus pasien dari rumah sakit. Setelahnya ia mengambil beberapa barang yang ada di meja nakas Baekhyun termasuk ponsel adiknya agar ia tidak mati bosan di kamar rumah sakit.
Chanyeol tersenyum puas ketika pekerjaannya selesai. Ia beranjak keluar dari kamar namun langkahnya terhenti karena teringat seseuatu. Chanyeol berbalik dan berjalan menuju meja belajar Baekhyun, mencari buku tulis kosong beserta alat tulis untuk dibawanya. Baekhyun harus berlatih menulis setiap hari agar pergerakan tangannya tetap dalam kondisi baik.
Cahaya matahari pagi menyinari pohon dan bunga-bunga indah yang bermekaran di sepanjang jalan kota Seoul. Membuat siapa saja dapat merasakan indahnya dunia ini, namun tidak dengan seorang lelaki mungil yang sedang mengerjapkan matanya.
Baekhyun, ia perlahan mencoba membuka matanya dan membiasakan diri pada cahaya di ruangan serba putih tersebut. Sinar matahari yang menyusup memalui celah gorden membuat kepalanya sedikit pusing. Baekhyun merasakan pergerakkan yang ada di sekitarnya, dia menoleh dan mendapatkan seorang lelaki tinggi dengan jas putih sedang menaruh sebuah vas bunga di salah satu meja. Chanyeol, tersadar ada seseorang sedang mengamatinya. Ia menoleh dan mendapati Baekhyun sudah duduk di ranjang.
"Kau sudah bangun?" Chanyeol tersenyum cerah seperti matahari pagi, namun Baekhyun terlihat tidak membalas dengan ramah.
"Dimana aku?" Suara lemah Baekhyun dan raut wajah muramnya tidak cocok dengan cerahnya pagi ini. "Apa aku di rumah sakit?" tanya Baekhyun lagi.
"Ya, kau berada di rumah sakit. Semalam tubuhm tidak bisa digerakkan dan kau terjatuh di depan pintu kamarmu. Aku yang pada saat itu belum tertidur dan mendengar suaramu langsung membawamu ke rumah sakit." Chanyeol beralih ke sebelah ranjang Baekhyun.
"Kenapa kau mendekatiku? Sana pergi jauh-jauh! Seharusnya kau tidak membawaku ke tempat ini." Mendengar pengusiran Baekhyun, Chanyeol malah tertawa kecil.
"Justru aku akan merasa buruk jika tidak membawamu ke tempat ini," jawab Chanyeol santai. "Berbaringlah, aku akan memeriksa detak jantungmu." Chanyeol sedikit mendorong bahu Baekhyun untuk membaringkannya. Tapi tangannya malah ditepis Baekhyun.
"Tidak usah sentuh-sentuh, aku bisa berbaring sendiri."
Chanyeol malah tersenyum kecil melihat tingkah adiknya lalu memasang stetoskop di telinga.
"Detak jantungmu normal," ujar Chanyeol setelah memeriksa Baekhyun, lalu mengisi sesuatu pada sebuah kertas yang ada di meja. "...dan gerak reflek tanganmu masih bagus, buktinya kau bisa menepis tanganku tadi."
Baekhyun memutar bola mata, "Aku 'kan memang masih sehat."
"Sambil berbaring, sekarang gerakan kakimu ke atas dan ke bawah bergantian."
Baekhyun menuruti perintah Chanyeol. Ia menaikkan kaki kanannya namun terasa sedikit susah. Kakinya tidak bisa digerakkan dengan lancar seperti yang ia inginkan. Juga ia tidak bisa menurunkan kakinya dengan lurus seperti sedia kala. Chanyeol menghela napas, lalu kembali mencatat sesuatu di kertas yang ada di meja.
"S—susah..." Baekhyun mengeluh sembari masih menggerakkan kakinya.
"Tidak apa-apa, gerakkan perlahan saja. Kau harus menggerakkan kakimu seperti ini setiap pagi sekitar lima sampai sepuluh menit. Ini salah satu bentuk rehabilitasi."
Baekhyun menghentikan kegiatannya menggerakkan kaki setelah Chanyeol memerintahkannya berhenti. Ia mengambil napas cepat, hanya seperti itu saja membuatnya merasa kelelahan.
Chanyeol mengambil duduk di sebelah ranjang Baekhyun.
"Kenapa kau tidak mau dibawa ke rumah sakit?" tanya Chanyeol. Baekhyun menoleh sekilas ke arah kakak tirinya itu kemudian meluruskan kepalanya lagi.
"Aku lebih suka di rumah."
"Tapi ayahmu mengkhawatirkan kondisimu. Lihatlah, ujung-ujungnya kau berakhir di ranjang rumah sakit, padahal kau menolak mentah-mentah sampai mengurung diri. Tidak makan, tidak minum. Kau dehidrasi."
Baekhyun menggerutu mendengar ucapan Chanyeol, "Bisakah kau tidak membuatku bertambah menyesal berbaring di tempat ini? Aku ingin pulang saja kalau begini." Baekhyun hampir bangun dari ranjangnya sebelum Chanyeol melanjutkan bicaranya lagi.
"Ayahmu menunggumu di rumah sakit sampai pukul enam pagi, tidak tidur sama sekali." Perkataan Chanyeol membuat Baekhyun sedikit terdiam. Anak itu memandangi Chanyeol.
"Bukankah hari ini Ayah harus kerja?"
"Ya, beliau sudah pulang untuk bersiap ke kantor sebelum kau bangun tadi. Begitulah orangtua, tetap bersikap baik walau sedang dimusuhi anaknya."
"Apa kau sedang menyindirku?"
Chanyeol menggeleng cepat, "Tidak, tidak, bukan begitu. Ayahmu itu orang yang baik. Semua yang beliau lakukan demi kebaikanmu."
"Terserah," jawab Baekhyun acuh. Chanyeol hanya menggelengkan kepalanya melihat adiknya yang bersikap seperti itu.
"Paling tidak jangan mengecewakan ayahmu, janji?" Chanyeol tersenyum dan menyodorkan jari kelingkingnya pada Baekhyun, namun anak itu tidak merespon dan malah memalingkan wajah. Merasa diabaikan, Chanyeol malah tersenyum gemas. Ia mengacak rambut Baekhyun pelan sampai dua orang suster mengetuk dan membuka pintu kamar.
"Dokter, ini makanan untuk pasien Baekhyun." Mereka masuk dan mendorong troli makanan. Chanyeol menarik overbed table untuk dijadikan meja makan Baekhyun.
Setelah selesai menghidangkan makanan, dua orang suster itu pamit keluar dan Chanyeol mengucap terima kasih. Baekhyun mendudukkan dirinya, ia memandangi makanan di depannya dengan pandangan jengah.
"Pasti makanannya hambar," gerutu Baekhyun.
"Wah, kau hafal sekali ciri khas makanan rumah sakit," goda Chanyeol. "Sudahlah makan saja, pasti terasa enak kok. Kau 'kan sudah tidak makan dari kemarin."
Setelah sedikit melirik sinis pada Chanyeol, Baekhyun meraih sendok yang ada di depannya. Ia mencicipi kuah sup yang ada di salah satu mangkuk dan mengernyit ketika kuah sup yang sedikit-hambar-tapi-tidak-juga itu menyentuh lidahnya. Baekhyun menyendok nasi dan sayur bergantian. Demi Tuhan, perutnya tidak bisa diajak kompromi.
"Kau terlihat manis ketika sedang nafsu makan begitu." Baekhyun langsung menatap Chanyeol tajam, lalu melahap makananannya lagi berusaha tidak peduli. Setelah beberapa suapan, tangan Baekhyun tiba-tiba saja meleset ketika ingin mengambil sayur hingga Chanyeol membantu menyendokkannya. Dan ketika Baekhyun mengarahkan sendok ke mulutnya, tiba-tiba gerak tangannya terhenti dan terasa kaku.
"Akh—" Baekhyun sedikit merintih. Chanyeol mengambil perlahan sendok yang berada di tangan adiknya tersebut.
"Apa tidak bisa digerakkan? Jangan panik, Baekhyun." Melihat sikap Chanyeol yang tenang, Baekhyun menghela napas panjang berusaha menenangkan diri. Setelah itu Chanyeol meluruskan kedua tangan Baekhyun lalu menggerakkan tangan kanan dan kiri Baekhyun secara bergantian dan perlahan hingga dirasa sedikit kembali normal.
"Tekuk dan luruskan tangan kanan dan kirimu secara bergantian seperti tadi. Aku akan menyuapimu." Setelah mendapat anggukan dari Baekhyun, Chanyeol mengambil sendok dan mengarahkan makanan ke mulut anak itu. Chanyeol tersenyum melihat adiknya menurut dan pergerakkan tangannya mulai kembali seperti semula, hingga tak terasa makanan yang berada di hadapan Baekhyun habis tak bersisa.
Terlihat di sebuah ruangan bernuansa putih seorang lelaki tengah terduduk di ranjang rumah sakit dengan mata menatap ke arah jendela yang menampakkan pemandangan siang kota seoul. Di tangannya terdapat sebuah mp3 player yang diberikan oleh sang kakak sekaligus dokter pribadinya beberapa menit yang lalu sebelum lelaki tinggi itu keluar dari kamarnya. Katanya ada beberapa pekerjaan di luar yang harus ia kerjakan hari ini, jadi Chanyeol menitipkan Baekhyun pada suster dan memberikan sebuah mp3 player padanya.
"Untuk apa mp3player? Aku bisa memutar musik di ponselku saja."
"Biasanya pasien suka diputarkan lagu-lagu klasik, jadi aku menyimpan lagu klasik kisaran tahun 90-an disitu. Kau putar sendiri, ya?"
"Pasti kebanyakan pasienmu sudah berumur."
"Wah, kau sangat pintar sekali menebak. Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu, ya."
Setelah beberapa menit Baekhyun hanya menekan-nekan tombol pada mp3 player dan tidak menemukan lagu yang cocok dengan telinganya, ia menaruh benda itu di meja nakas dan duduk di tepi ranjang. Kalau begini terus, Baekhyun bisa mati bosan. Ruangan putih ini sungguh tidak menarik. Baekhyun akhirnya turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu, sepertinya melihat-lihat sekitar rumah sakit mencari hawa segar tidak buruk.
Namun nahas ketika ia baru saja melangkahkan kaki keluar, dua orang suster berjalan ke arahnya dengan tangan memegang sebuah kotak yang Baekhyun tau itu berisikan suntikan. Baekhyun memutar bola mata.
"Baekhyun-ssi, kau mau kemana? Kami harus menyuntikkan vitamin untukmu dulu." Seorang suster memegang lengan Baekhyun bermaksud mengajakknya kembali ke kamar, tapi ditepis oleh Baekhyun.
"Aku ingin jalan-jalan sebentar, suntiknya nanti saja." Baekhyun hendak berjalan lagi, tapi tangannya kembali ditahan.
"Tidak baik keluar tanpa pengawasan atau seizin dokter. Baekhyun-ssi, kau juga melepas infusmu. Astaga, dokter Chanyeol akan marah." Baekhyun melirik telapak tangan kirinya dan teringat ia sempat mencopot selang infus sebelum kabur keluar. Kini dua suster itu menariknya dengan sedikit paksa untuk kembali masuk ke kamar, tapi Baekhyun memberontak. Ia berusaha menepis kedua tangan suster itu lalu berhasil mendorong mereka hingga terjengkang ke belakang, kemudian Baekhyun sekuat tenaga berlari walaupun sangat sulit sebab kakinya sudah tidak bisa digunakan untuk mengambil langkah cepat.
Belum seberapa jauh, tubuh Baekhyun sudah lelah setengah mati. Ia terjatuh sebab kakinya sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Baekhyun mengambil napas cepat, dia ingin menggerakkan kakinya lagi untuk berdiri namun pergerakannya tiba-tiba terhenti seperti biasa.
"Astaga! Baekhyun-ah, apa yang terjadi padamu?" Baekhyun mendongakkan kepalanya lalu melihat perempuan paruh baya berlutut di hadapannya dengan tatapan khawatir.
Ibu tirinya.
"YA! SUSTER! Kenapa kau membiarkan Baekhyun jatuh seperti ini, hah?!" Dua orang suster yang tadi mencegat Baekhyun di depan kamar ikut berlutut dan membantu Baekhyun berdiri.
"Maafkan kami, Sajangnim, tadi pasien Baekhyun melarikan diri dari kamar dan kami tidak bisa menahannya," ujar salah satu suster menjelaskan keadaan.
"Cepat bawa Baekhyun ke kamar."
"Baik."
...
"Terima kasih suster." Setelah selesai menyelesaikan tugasnya, dua orang suster itu keluar kamar dan meninggal Baekhyun dengan ibu tirinya. Anak itu berbaring di atas ranjangnya dan memandangi atap kamarnya, tidak berniat menoleh sedikitpun pada perempuan yang berdiri di sebelah tempat tidurnya.
"Baekhyun-ah, apa yang terjadi? Kenapa kau melarikan diri? Kau bisa cerita padaku," ujar ibu tiri Baekhyun dengan nada khawatir
"Tidak apa-apa," jawab Baekhyun singkat.
"Kumohon, sayang, turutilah apa kata dokter dan suster. Kalau kau keluar kamar tanpa pengawasan itu tidak baik." Baekhyun merasakan tangan halus dan hangat menggenggam telapak tangan kirinya dengan lembut.
"Jika kau bosan, aku siap menjadi temanmu untuk mengobrol. Kau ada ponsel, 'kan? Akan kucantumkan nomor teleponku jadi kau bisa meneleponku sewaktu-waktu."
"Tidak perlu, terima kasih."
Perempuan itu menghela napas pelan. "Baiklah kalau begitu. Tapi janji ya, Baekhyun, jangan kabur-kabur lagi, apa lagi asal mencopot infus seperti itu. Aku akan menyuruh Chanyeol mengurangi kegiatannya di luar rumah sakit agar bisa menemanimu 24 jam. Isshh, anak itu, tidak bisakah dia standby di rumah sakit saja? Kalau Baekhyun ada apa-apa, bagaimana?" Baekhyun hanya melirik sekilas ibu tirinya yang sedang menggerutu sendiri.
"Baekhyun, jika kau butuh apapun katakan saja padaku atau Chanyeol, kami berdua juga keluargamu. Kalau Baekhyun sehat, kami dan ayahmu pasti akan senang. Jangan berkecil hati, rumah sakit juga rumah yang menyenangkan kok. Kau harus selalu tersenyum dan jangan lupa, turuti kata dokter dan suster, oke?"
Setelah mendapat anggukan pelan dari Baekhyun, Yeonhwa berdiri dari tempat duduknya dan mengelus sayang rambut Baekhyun lembut, lalu pergi meninggalkan kamar. Hingga pintu itu tertutup rapat, Baekhyun menghela napas panjang. Ada sebuah amarah tak kasat mata tersimpan di dadanya, dan sesuatu hal yang begitu mengganjal hatinya.
Baekhyun memiringkan posisi tidurnya, tiba-tiba saja kristal bening jatuh dari pelupuk matanya tak bisa dicegah.
"Baekhyun harus selalu tersenyum, ya? Dan jangan lupa, turuti kata dokter. Janji?"
Ibunya pernah mengatakan hal yang sama, dahulu.
Sore itu Chanyeol memasuki kamar Baekhyun, namun anak itu tidak menghiraukannya dan masih sibuk menonton televisi di hadapannya. Chanyeol menduga Baekhyun pasti bosan luar biasa.
"Maaf aku baru mengunjungimu, ada jadwal seminar dari pagi. Bagaimana keadaanmu?"
"Seperti yang kau lihat."
"Hei..." Chanyeol mengambil duduk di samping ranjang adiknya.
"YA! Minggir! Bahumu menghalangi televisinya!" Baekhyun berniat mendorong bahu Chanyeol, tapi yang ada tangannya malah meleset seakan mendorong angin. Baekhyun kembali duduk bersandar dan terdiam. Chanyeol menghela napas paham.
"Saat aku mengisi seminar, aku bertemu dengan seseorang yang mempunyai penyakit sepertimu. Dia perempuan yang ceria sekali. Usianya dua puluh sembilan tahun dan sebentar lagi dia akan menikah. Ia melakukan terapi secara rutin selama sepuluh tahun. Meskipun dia sudah tidak bisa berjalan, kekasihnya selalu menemaninya kemana-mana, sampai ikut menemaninya datang ke seminarku." Chanyeol menatap adiknya yang hanya terdiam, sedikit merasa bersalah bercerita seperti ini.
"Bagaimana dengan perasaanmu sekarang?" Chanyeol berusaha mencairkan suasana setelah apa yang ia katakan sebelumnya. Hening, itulah keadaan di kamar tersebut. Baekhyun tidak menjawab apapun yang dikatakan oleh Chanyeol.
"Baek?"
"Hidupku terasa sengsara dengan aku yang tinggal di tempat ini?" Setelah mengucapkan itu Baekhyun membaringkan tubuhnya, memunggungi Chanyeol.
"Kenapa harus sengsara?"
"Aku manusia penyakitan. Aku menyimpan penyakit, dan tak bisa membuang apa yang kusimpan. Aku benalu bagi orang-orang di sekitarku, terutama orangtuaku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk ayahku. Semua teman-temanku pergi ke universitas, menjadi sarjana dan dibanggakan orangtuanya. Lalu aku? Hanya berbaring di rumah sakit dan tidak berguna. Bagaimana aku tidak sengsara?" Suara Baekhyun terdengar parau. Chanyeol bisa menjamin anak itu sedang menahan tangis dari balik punggungnya.
"Semua orang sakit akan berkata seperti itu. Tapi kau mau menyalahkan siapa? Di sisi lain ada orangtuamu yang menginginkanmu sehat dengan segala cara. Itulah cara mereka memberikan kasih sayangnya padamu. Kalau toh kau sehat, kau juga masih makan dan sekolah dengan uang ayahmu, kau tetap benalu. Yang perlu kau lakukan adalah menghadapi penyakit yang ada di tubuhmu, sama seperti mereka yang harus menghadapi dosen-dosen menyebalkan. Itulah yang diinginkan orang-orang di sekitarmu, dengan itu kau bisa membanggakan ayahmu. Semua orang membutuhkan orang lain dengan cara mereka masing-masing."
Tak ada jawaban dari Baekhyun, Chanyeol tahu anak itu masih merasa buruk dengan keadaannya. Dan dia pikir keberadaannya disini malah membuat Baekhyun semakin tidak nyaman jadi lebih baik ia kembali ke ruang kerjanya.
"Oh iya Baekhyun-ah, sewaktu mengambil barang-barangmu di rumah, aku membawa buku tulis kosong dan bolpoin. Mulai sekarang kau bisa jadikan ini buku harianmu. Tulis saja apa yang kau alami dan yang kau rasakan disini. Ini sekaligus terapi untuk melatih gerakan tanganmu. Jangan khawatir, aku tidak akan membacanya."
Chanyeol mengeluarkan buku dan bolpoin dari dalam laci dan meletakkannya di atas meja nakas kemudian keluar kamar.
Suasana pagi yang cerah menyapa semua penghuni rumah sakit dimana Baekhyun dirawat, saat ini ia tengah jalan-jalan, tentunya dalam artian berjalan tanpa kursi roda maupun bantuan lainnya. Walaupun sebelumnya ia sempat berdebat kecil dengan ayahnya karena khawatir soal Baekhyun yang tak memakai kursi roda. Namun berkat dokter dengan tinggi menjulang yang berada disampingnya ini Baekhyun akhirnya bisa jalan-jalan keluar kamar. Chanyeol meyakinkan Tuan Byun bahwa berjalan akan baik bagi perkembangan kemampuan kaki Baekhyun, tentu ia juga akan mengawasi Baekhyun selama di luar kamar. Pada akhirnya Tuan Byun mengizinkan.
Chanyeol mengawasi pergerakan kaki Baekhyun dengan intens, cara berjalan anak itu sudah tidak lagi normal. Sesekali Chanyeol harus menopang tubuh Baekhyun jika ia jatuh mendadak atau tersandung. Baekhyun mengajak dokternya itu ke taman rumah sakit menggunakan tangga, itu artinya mereka harus turun tiga lantai untuk sampai ke lantai dasar dan ide menggunakan tangga sungguh buruk. Chanyeol tidak mungkin membiarkan Baekhyun kelelahan. Jadi naik lift adalah satu-satunya cara.
Baekhyun tersenyum lebar ketika mereka sampai di taman. Baekhyun sibuk merasakan udara segar pagi hari yang sedikit dingin, sedangkan Chanyeol hanya memperhatikan adik tirinya dan menyadari anak itu bertambah kurus.
"Baekhyun-ah, ayo duduk disana." Chanyeol menunjuk salah satu bangku taman di bawah pohon rindang. Dia menyingkirkan daun-daun yang jatuh sebelum diduduki Baekhyun.
"Sebentar lagi musim semi, cuacanya jadi agak cerah." Chanyeol mulai dengan basa basinya. Baekhyun hanya mengangguk.
"Bolehkah aku bertanya?" ujar Chanyeol.
"Hm?"
"Bagaimana kejadian pada saat ibumu meninggal?" Baekhyun mengernyit, reflek memandang Chanyeol dengan tatapan aneh. Ia mengalihkan pandangannya dan terdiam. Chanyeol jadi merasa bersalah membicarakan masa lalu Baekhyun. Dia seharusnya tahu anak itu sensitif dengan hal ini.
"Ah, jika kau tidak mau cerita—"
"Ibuku meninggal dua tahun yang lalu, kondisinya persis sepertiku." Baekhyun membuka mulutnya, Chanyeol menyimak.
"Ibu menurunkan penyakit ini padaku, dan aku mengetahui umur seorang penderita penyakit ataxia ini tak akan lama. Ibu mengalami banyak hal sulit, jadi setidaknya aku tahu kehidupan pengidap ataxia seperti apa, dan itu akan terjadi padaku cepat atau lambat. Biarpun aku akan menderita suatu saat, aku tidak pernah marah pada ibu. Hanya saja ibu pergi tepat di ulang tahunku yang ketujuh belas, apa kau pikir itu kejam? Aku pikir itu kejam." Gelak tawa miris keluar dari mulut Baekhyun, pelupuk matanya menahan airmata yang ingin tumpah.
"Kupikir menjalani terapi dan segala macam pengobatan adalah sia-sia karena penyakit ini tak akan hilang. Kulihat ayah bekerja keras setiap hari dan aku hanya bisa menghabiskan uangnya untuk biaya terapi membuatku merasa tidak berguna. Jadi kupikir tak usah kulanjutkan terapinya karena aku menyayangi ayah. Tapi ternyata ayah adalah yang lebih kejam dari ibu. Ayah berkali-kali bilang kalau masih mencintai ibu, tapi nyatanya malah menikah lagi." Tangisan Baekhyun pecah, ia tak bisa lagi menahan bebannya sendiri dan ingin bertemu dengan ibunya. Takdir terus mempermainkannya dan Baekhyun tak punya seseorang untuk berpegang. Chanyeol menarik lembut tangan adiknya, lalu mendekapnya dan menyembunyikan wajah Baekhyun di dadanya. Seorang lelaki pasti malu melihat dirinya sendiri menangis.
"Maafkan ibuku, maafkan aku, dan maafkan kami. Kami tidak bermaksud untuk merusak semuanya, Baekhyun-ah. Maafkan kami."
Chanyeol merasa buruk, tapi tak tahu harus berbuat apa. Setelah merasakan isak tangis adiknya berkurang, Chanyeol melepaskan pelukannya sesaat. Lalu ia memberi sapu tangannya pada Baekhyun untuk mengelap airmatanya. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi.
"Maaf aku tidak seharusnya membahas ini, lupakan saja. Sebaiknya kau istirahat agar pikiranmu tenang, ayo kita kembali ke kamar." Chanyeol membantu Baekhyun berdiri dan menyeimbangkan tubuh. Setelah berjalan beberapa langkah, anak itu merasakan keseimbangannya hilang dan seketika seluruh tubuhnya terasa kaku lalu jatuh ke tanah.
"B-baekhyun?! Kau kenapa?!" Chanyeol dengan refleknya berlutut menopang tubuh Baekhyun.
"Kakiku—tanganku—tidak bisa bergerak." Dengan cepat Chanyeol menggendong Baekhyun dan membawanya ke unit gawat darurat.
...
"Bagaimana keadaan Baekyun, Chanyeol-ah?"
"Semakin parah. Jika dibiarkan terus penyakitnya akan berkembang semakin cepat. Gerak tubuh Baekhyun terhenti lebih lama dari yang sudah-sudah. Ini berbahaya, kalau dibiarkan Baekhyun akan kehilangan lebih dari lima puluh persen fungsi motoriknya dengan cepat. Bagaimanapun kita harus membujuk dia agar mau terapi. Bagaimanapun caranya."
"Baekhyun-ah." Tuan Byun melihat putranya yang tengah terduduk dengan jejak air mata yang masih tersisa di pipi anak itu. Baekhyun sudah dipindahkan ke kamarnya.
"Baekhyun, ayah mohon jangan seperti ini. Ayo kita lakukan terapi untuk kebaikanmu sendiri."
"Aku tidak mau."
"Aku mohon padamu, Baekhyun. Aku tidak mau semua hal menjadi semakin parah."
"Kenapa ayah memaksa sekali?! Aku tidak mau! Lagipula aku yang merasakan penyakit ini, bukan ayah! Pulanglah, istrimu menunggumu di rumah, 'kan?"
"BYUN BAEKHYUN! AKU TIDAK PERNAH MENGAJARIMU BICARA KURANG AJAR SEPERTI ITU!"
"ABEONIM!" Chanyeol memasuki ruang rawat Baekhyun setelah ia mendengar beberapa keributan kecil dari luar. "Tidak baik berteriak pada pasien di rumah sakit."
"Sudahlah, aku lelah! Urus saja anak ini, dengan sikapnya yang keras kepala dia hanya bisa mengecewakan orangtuanya."
Ayah Baekhyun keluar dari kamar anaknya dengan sedikit membanting pintu. Chanyeol memijit keningnya, tiba-tiba pusing menyerang.
"Lihat ayahmu. Perlukah kami berlutut di depanmu hanya agar kau mau terapi untuk kesehatanmu sendiri, huh?"
"Aku bilang tidak mau ya tidak mau! Mengapa kalian selalu mencampuri hidupku, hah?!" Baekhyun langsung menidurkan dirinya memunggungi Chanyeol. "Keluarlah! Kau memperburuk keadaan!"
"Baik, aku keluar. Maaf mengganggumu."
Setelah memastikan Chanyeol keluar, Baekhyun mendudukkan dirinya kembali lalu menghela napas kasar. Semua orang sama aja, mereka menyebalkan. Baekhyun mengambil gelas air putih yang ada di meja sebelah ranjangnya dan meminumnya untuk menenangkan diri. Namun saat mengembalikan gelas itu ke meja lagi, tiba-tiba ia tidak bisa mengontrol gerak tangannya sendiri dan gelas itu meleset jatuh dari genggamannya, membuat suara pecahan yang sangat keras. Baekhyun memekik tertahan, dan terkesiap saat Chanyeol tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan pandangan terkejut. Lelaki itu memandang pecahan gelas di lantai, membuat Baekhyun ketakutan.
"M—maaf, aku tidak sengaja. Aku bisa membereskannya."
"Aku tidak berbicara seperti ini sebagai dokter, aku berbicara sebagai seseorang yang dipercaya keluargamu untuk membujuk anaknya." Chanyeol mendekat ke ranjang Baekhyun, menatap tajam lelaki kecil itu. "Mau berapa gelas yang akan kau pecahkan? Hari ini satu, besok? Lusa? Seminggu lagi? Sebulan lagi? Dengan kondisimu yang seperti ini kau tidak mau sadar? Orang-orang di sekitarmu tidak ingin mengatur hidupmu, tapi apa kau bisa mengatur hidupmu sendiri tanpa orang lain? Ayahmu ingin keadaanmu sedikit demi sedikit membaik, tidak bisakah kau memenuhinya? Ayahmu telah kehilangan ibumu, jika ia juga kehilanganmu secepat itu, seberapa besar rasa sakit dan menderita yang harus dirasakannya lagi?! Kehilangan seorang anak itu sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh orangtua. Ayahmu tidak ingin mengatur hidupmu begitupun juga aku! Tapi ayahmu tidak akan bisa menerima jika kau meninggalkannya dengan cepat."
"Berbaringlah, aku akan panggil bagian kebersihan untuk membereskan ini. Kau tidak perlu khawatir."
Chanyeol keluar dari kamar Baekhyun dengan perasaan terburuk yang pernah ada. Baru sekali ini ia berkata seperti itu pada seorang pasien, semuanya terasa berlebihan. Tapi sekali lagi, Chanyeol tak bisa melakukan apapun. Ia hanya khawatir keadaan anak itu bertambah parah hanya karena menyia-nyiakan pelayanan rumah sakit yang sudah di depan mata.
Di sisi lain, Baekhyun menarik selimutnya sampai ke atas kepala, menangis sejadi-jadinya.
Pagi-pagi sekali Chanyeol dikejutkan oleh Baekhyun yang datang ke ruangannya. Tidak biasanya dia bangun sepagi ini. Baekhyun dengan kursi rodanya masuk ke dalam ruangan Chanyeol. Dia memberikan Chanyeol tatapan sendunya, bahkan mata sembabnya masih terlihat sekali. Chanyeol yakin dia menangis lama sekali kemarin.
Saat ini Chanyeol dan Baekhyun duduk berhadapan di ruangan Chanyeol. Tanpa basa-basi, Baekhyun meminta Chanyeol menjelaskan perkembangan penyakit di tubuhnya secara detail. Dokter itu menuruti Baekhyun, mengambil berkas MRI perkembangan otak Baekhyun dan menampilkan gambarnya juga di sebuah layar.
"Sudah jelas bukan? Aku tetap tidak akan sembuh." Baekhyun angkat bicara setelah Chanyeol menyelesaikan penjelasan diagnosanya.
"Kenapa kau masih keras kepala? Apa yang harus doktermu ini lakukan?"
"Jika suatu saat aku pasti meninggal seperti ibu, untuk apa aku melakukan pengobatan dan terapi bodoh itu? Itu tak akan berguna. Semuanya sia-sia, dokter. Semua usahamu sebagai dokter tidak berguna."
Tiba-tiba Chanyeol berdiri lalu memutar kursi roda yang di naiki oleh Baekhyun. Ia berlutut di depan adiknya dan menatap Baekhyun dengan pandangan yang tak bisa anak itu tebak.
"Aku menjadi dokter bukan untuk menyembuhkan seseorang, tapi untuk memberi harapan hidup bagi orang itu agar mereka lebih menghargai kehidupannya dan sisa hidupnya. Menyembuhkan atau mengobati hanyalah satu dari sekian banyak treatment yang harus kulakukan pada pasien. Baekhyun-ah, paling tidak jika kau menuruti perkataanku, orang-orang masih bisa melihatmu hidup lebih lama lagi. Ayahmu, keluargamu, teman-temanmu, dan aku. Apa semudah itu kau menyerah dan memberikan hidupmu pada penyakit?"
Baekhyun menatap Chanyeol dengan genangan air tertahan di pelupuk matanya. Perlahan cairan itu meluncur lagi di pipi Baekhyun. Andaikan semua orang tahu, tak hanya fisiknya yang sakit, ia pun merasa sakit dan tertekan di batinnya. Namun yang dikatakan Chanyeol semuanya benar. Tak ada alasan untuknya menyerah. Paling tidak dia bisa hidup lebih lama lagi dan membangun memori baru yang indah dan mengubur semua tekanan yang dihadapinya. Paling tidak dia harus merasakan bagaimana kebahagiaan di sisa hidupnya, dan membahagiakan orang di sekitarnya yang mengharapkan keberadaannya.
"Aku akan menuruti semua perkataanmu, Dokter."
"Terima kasih, Baekhyun."
Disinilah mereka, Chanyeol dan Baekhyun berada di ruang terapi. Chanyeol sudah menghubungi terapis yang akan menangani Baekhyun sejak pagi tadi dan mengatur jadwal. Jadi setelah menyelesaikan makan siang, Chanyeol membawa Baekhyun melakukan terapinya sesuai kesepakatan.
Chanyeol memperkenalkan terapis bernama Kim Jongdae pada Baekhyun. Belum apa-apa lelaki dengan bentuk dagu yang khas itu bisa membuat Baekhyun tertawa. Chanyeol yakin mereka akan cepat akrab.
"Nah, kalian bisa berbicara terlebih dulu, aku mau mengurus urusanku yang lain. Kutinggal Baekhyun padamu, ya, Jongdae?"
"Ya, kau bisa mempercayakanku." Setelah mengangguk, Chanyeol pergi meninggalkan Baekhyun dan Jongade.
"Kau akrab dengan dokterku?" tanya Baekhyun. Jongdae menggiringnya ke sebuah meja.
"Kami dulu satu kampus."
"Oh."
"Apa kau sudah pernah melakukan terapi sebelumnya?" Jongdae duduk di seberang Baekhyun, sebuah meja memisahkan mereka. Diatas sana Jongdae menyodorkan sebuah map pada Baekhyun lalu membukanya.
"Baiklah kalau begitu kau sudah tahu langkah awal sebelum terapi adalah membuat kesepakatan soal jadwal dan bagaimana target yang harus kita capai. Baca dulu isi di kertas itu, rileks saja. Kau tidak perlu terlalu kaku jika denganku."
Baekhyun mengangguk dengan senyuman kecil di wajahnya. Ia menatap kertas yang ada di depannya lalu mulai membaca isinya.
"Apakah hari ini kau bisa memulai terapi?"
"Tidak masalah."
"Baiklah, jadwalnya bisa dimulai dari hari ini."
Baekhyun hanya mengangguk lalu menjawab beberapa pertanyaan Jongdae seputar kondisinya sekarang.
...
Selesai dengan terapinya yang melelahkan sekitar pukul setengah tiga lewat, Baekhyun terduduk di sebuah bangku yang berada di pinggir ruang terapi. Ternyata tak hanya dirinya, banyak orang yang melakukan terapi sesuai dengan penyakitnya. Baekhyun melihat orang-orang itu dengan tatapan takjub. Dia dapat merasakan tekad dan semangat berada di diri orang-orang tersebut, bahkan untuk mereka yang sudah lanjut usia dan masih menghargai hidupnya, Baekhyun jadi merasa tidak ada apa-apanya.
Chanyeol mendorong kursi roda Baekhyun, dan anak itu berpindah duduk disana.
"Ayo kita pergi ke kantin rumah sakit." Baekhyun menatap dokternya.
"Ke kantin? Untuk apa?"
"Kau tidak lapar? Tidak ingin membeli sesuatu? Aku yang traktir."
Baekhyun tersenyum lebar dengan wajah super ceria.
...
"Pesan apa saja yang kau mau. Anggap ini hadiah karena kau sudah mau terapi," ujar Chanyeol setelah sampai di kantin.
Baekhyun mengernyitkan keningnya. "Apa orang sakit boleh memakan jenis makanan apapun?"
"Kau sudah tahu penyakitmu selama bertahun-tahun, jadi kau jelas tahu apa yang seharusnya kau makan dan yang tak seharusnya kau makan"
"Cih, itu sih sama saja." Chanyeol malah terkekeh melihat adiknya berekspresi kesal.
Akhirnya Baekhyun hanya membeli air putih dan roti, sedangkan Chanyeol memesan makanan berat karena banyak yang harus ia kerjakan setelah ini.
"Bagaimana keadaanmu saat ini?"
"Aku baik-baik saja."
Malam itu Chanyeol berada di kamar inap Baekhyun. Chanyeol sempat mengecek keadaan Baekhyun dan memeriksanya. Lelaki tinggi itu menginginkan malam yang santai, jadi dia berinisiatif untuk mengajak Baekhyun mengobrol.
"Tadi ayahmu meneleponku, ia meminta maaf karena harus ke luar kota mendadak dan tidak memberitahumu dulu," ujar Chanyeol memulai pembicaraan, Baekhyun hanya mengangguk. Keluar kota mendadak adalah kebiasaan ayahnya sejak dulu jadi Baekhyun tidak terkejut.
"Hei, kau ingin tahu sesuatu?" Chanyeol mencoba menghibur adiknya.
"Apa?"
Chanyeol berjalan ke arah gorden jendela kamar Baekhyun, lalu menyibak tirai tersebut dan membuka jendelanya. Udara sejuk malam hari memenuhi setiap sudut kamar Baekhyun. Anak itu menghampiri Chanyeol yang duduk di tralis, sekarang ia dapat melihat pemandangan malam hari kota Seoul.
Baekhyun menyengir lebar melihat gedung-gedung tinggi menjulang mewarnai pandangan matanya. Balutan lampu warna-warni membuat kota ini terlihat menakjubkan. Baekhyun ikut duduk di tralis lalu menoleh ke arah kakak tirinya itu yang melihatinya dengan aneh.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Chanyeol terkekeh kecil mendengar pertanyaan seperti itu.
"Tidak apa-apa, hanya saja kau imut jika sedang jinak begini. Tak kusangka aku punya adik kecil yang manis sekarang. Kau tidak membenciku lagi?"
Baekhyun terdiam, lalu menyemburkan tawa kecilnya. "Sebenarnya aku tidak pernah membencimu, hanya saja keadaan yang membuatku bersikap seperti ini."
Chanyeol mengangkat alis, "Keadaan? Oh aku tahu," Dia mengangguk paham. "Kau ingin tahu sesuatu lagi?"
"Apa?"
"Sebenarnya ayahmu juga tidak pernah berniat menikahi ibuku."
Perkataan itu membuat Baekhyun mengerutkan dahinya. Di lubuk hati paling dalam ia merutuki kenapa dokternya membahas hal seperti ini lagi. Tapi Baekhyun juga ingin tahu sesuatu.
"Maksudmu?"
"Waktu itu aku berusia tujuh belas tahun ketika kakakku mengalami kecelakaan tengah malam. Ayah dan ibumu yang menolong kakakku dan membawanya ke rumah sakit lalu menghubungi kami. Kemudian ibu dan ayah, juga aku datang ke rumah sakit. Kami benar-benar berterima kasih. Ayahmu dan ayahku terlibat perbincangan ringan soal ibumu yang terlihat tidak bisa berjalan dengan normal, ayahmu bilang ibumu sakit. Aku mendengarkan pembicaraan itu dan menemukan nama penyakit baru dan aneh bernama ataxia. Sejak saat itu aku suka mencari tahu tentang hal-hal medis, berbagai macam penyakit, dan tiba-tiba aku punya keinginan menjadi dokter. Aku berharap bisa menolong orang-orang seperti ibumu, atau jika bisa, aku ingin berterima kasih pada keluargamu yang telah menolong kakakku dengan menjadi dokter pribadi ibumu. Tapi ibumu pergi dengan cepat."
Baekhyun mencerna semua perkataan Chanyeol dengan jeli. Apa ini maksudnya, keluarganya dan keluarga Chanyeol sudah kenal sejak lama?
"Kenapa aku tidak mengingat apapun tentang itu? Dan bagaimana ibumu dan ayahku bisa kenal?"
"Sebenarnya keluargamu dan keluargaku menjadi dekat sejak saat itu, hanya saja kau tidak tahu."
Baekhyun merasa semuanya berhubungan. Sedari dulu ia memang tidak suka mengurusi teman-teman ayah dan ibunya. Dia hanya berpikiran bahwa mereka adalah rekan bisnis ayahnya dan akrab karena hubungan saling menguntungkan.
"Ketika ayahku meninggal karena kecelakaan pesawat, dan ketika ibumu meninggal karena penyakit, ayahmu dan ibuku sering berbagi kesedihan. Lalu mereka menemukan satu-satunya jalan untuk berbahagia. Ayahmu menikahi ibuku karena ibuku adalah seorang pemilik rumah sakit ini, dan aku adalah seorang dokter. Beliau mengharap aku bisa menjadi dokter pribadimu, dan rumah sakit ini bisa menjadi rumah keduamu, melihat kau yang sudah tak mau menyentuh lantai rumah sakit semenjak kematian ibumu. Aku dan ibuku juga sekaligus membalas budi ayahmu bertahun-tahun yang lalu. Jadi, semua ini untuk kebaikan bersama. Sebenarnya, ayahmu masih sangat mencintai ibumu. Beliau hanya tidak bisa melihatmu menderita seperti ibumu karena penyakit ini."
Baekhyun tidak bisa menghitung berapa kali ia akan menangis dalam seminggu, tapi semua kenyataan ini seperti menghajar kepalanya sekaligus, membuatnya pusing dan tak punya ide untuk melakukan apapun kecuali menangisi takdir. Baekhyun merasakan perasaan tidak enak pada hatinya, selama ini ia bersalah karena prasangkanya sendiri.
"Dokter?"
"Hm?"
"Apa ceritamu bisa kupercaya?"
Chanyeol menghela napas. "Kau tidak perlu mempercayai sesuatu yang menurutmu tidak bisa kau percayai. Hanya saja, jangan mengecewakan ayahmu. Kau harus hidup, semua orang memiliki masa depannya masing-masing, Baekhyun."
Anak itu mengangguk, ia mengelap airmatanya dengan punggung tangan. Ia mengalihkan pandangnya ke hamparan langit luas. Jika langit yang gelap di malam hari bisa berubah terang di pagi hari, maka hidupnya pun juga bisa berubah jika ia mau.
Baekhyun tersenyum, "Terima kasih, Hyung."
"Apa kau ingin kusuapi?"
"Tidak, aku bisa sendiri. Tanganku masih berfungsi dengan baik." Baekhyun menggerak-gerakkan tangannya yang menggenggam sendok dengan percaya diri, tapi menit berikutnya dia menjatuhkan sendok itu ke lantai. Chanyeol mengambilnya sebelum kotor lalu buru-buru mengelapnya dengan tisu, sedangkan Baekhyun malah tertawa.
Chanyeol tidak cukup paham apa yang membuat anak itu sangat ceria pagi ini, padahal kemarin malam ia menangis sesenggukan. Lelaki tinggi itu membiarkan sang adik menghabiskan sarapannya sendiri, dan ia mulai memperhatikan gerak tangan Baekhyun yang melambat, juga anak itu mulai kesulitan mengambil makanan dengan sumpit.
Chanyeol membiarkan Baekhyun memakan sarapannya sendiri walau cara makannya sudah sedikit kacau. Tak lama anak itu tiba-tiba tersedak. Ia terbatuk dan reflek memukul-mukul dadanya membuat napasnya ikut sesak. Chanyeol reflek menghentikan tangan Baekhyun dan menepuk-nepuk punggung adiknya hingga baikkan.
"Kau tak apa?" Chanyeol bertanya ketika makanan yang ada di tenggorokan Baekhyun sudah tak lagi mengganjal dan napasnya sudah normal. Baekhyun mengangguk dengan pandangan kosong, masih terkejut.
Chanyeol memberikan gelas air putih pada Baekhyun, perasaannya ikut kacau. Ini kedua kalinya Baekhyun tersedak, pertanda buruk untuk penyakitnya.
Jongdae memasuki ruangan Chanyeol dengan pandangan bingung. Ia duduk di hadapan Chanyeol, firasatnya tidak baik kali ini.
"Ada apa memanggilku, Dokter?"
"Jongdae, aku ingin memberitahumu sesuatu."
"Ada apa?"
"Pasienku, Byun Baekhyun, penyakitnya menginjak stadium akhir. Ketika sarapan ia tersedak, itu kedua kalinya dia tersedak. Aku curiga pada kerja reflek tenggorokannya saat menelan karena tersedak adalah gejala stadium akhir, maka aku melakukan scanning otaknya lagi. Hasilnya penyakitnya berkembang lebih cepat dari yang kubayangkan. Dia masuk ataxia stadium akhir."
Jongdae menghela napas di tempat duduknya, "Lalu apa yang bisa kubantu, Chanyeol?"
"Apa menurutmu menambah jadwal terapi akan memperlambat perkembangan penyakitnya?"
"Membiasakan Baekhyun dengan gerakan-gerakan bisa menambah kemampuan motoriknya, namun terlalu banyak terapi juga menyebabkan kelelahan fisik pada pasien. Aku menyarankan menambah jadwal terapi menjadi dua kali lipat. Aku bisa atur jadwalnya."
Chanyeol mengangguk, "Baiklah, aku selalu bisa mempercayaimu. Dan lebih baik jangan mengatakan ini pada Baekhyun dulu. Aku belum siap jika dia down. Dia baru saja bersemangat terapi."
Jongdae bisa paham dan menuruti perkataan Chanyeol dengan membalas anggukan. "Apa keluarganya sudah tahu?"
Chanyeol berpikir sebentar, lalu menggeleng. "Ayahnya pasti sangat sedih."
"Kau harus memberitahu secepatnya, bagaimanapun keluarga membutuhkan kabar dari rumah sakit. Ah iya, lima menit lagi jadwal Baekhyun terapi, aku akan menjemputnya sekalian. Apa ada hal lain yang ingin kau bicarakan?"
Setelah Chanyeol menggeleng, Jongdae pamit keluar ruangan melanjutkan pekerjaannya.
"Perkembangan penyakit Baekhyun sudah memasuki stadium akhir, Abeonim."
"Apa kau bisa menyelamatkan anakku, Chanyeol?"
"Harapan hidup pengidap ataxia stadium akhir memang sangat tipis, tapi kami mencoba menambah jadwal terapinya menjadi dua kali lipat. Semoga ini berhasil memperlambat perkembangannya. Asalkan Baekhyun selalu semangat dan bahagia, aku yakin dia bisa bertahan."
"Kalau begitu, bahagikan Baekhyun, Chanyeol-ah."
"Kau bisa mempercayaiku."
Malam ini melihat Baekhyun menulis di kamarnya dengan tenang sampai tidak menyadari keberadaannya, bahkan Baekhyun memutar salah satu lagu dari mp3 player Chanyeol. Baekhyun sudah mulai menerima keadaannya, tapi nasib anak itu justru semakin buruk. Tugas Chanyeol semakin berat untuk mengondisikan anak itu selalu dalam keadaan mental yang baik.
Menyadari kehadiran Chanyeol di ambang pintu kamarnya, Baekhyun tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Chanyeol membalasnya dengan senyuman tipis sambil berjalan masuk. Baekhyun menutup bukunya dan meletakkan bolpoinnya di samping buku dengan rapi.
"Sudah selesai?" tanya Chanyeol.
Baekhyun menggeleng lucu, "Belum, nanti aku lanjutkan setelah kau pergi dari sini," Dia menyengir lebar. "Ah iya, aku sedang kesal pada Kim Jongdae."
Chanyeol mengangkat alisnya, "Kenapa?"
"Bagaiman bisa ia menambah jadwal terapiku sehari jadi dua kali lipat, apa dia gila? Seenaknya menambah jadwal terapi tanpa alasan apapun." Chanyeol mendadak terdiam mendengar perkataan Baekhyun. Anak itu berdehem melihat Chanyeol yang tak merespon apapun.
"Ah, itu—aku yang menyuruhnya. Kau berhenti terapi selama dua tahun jadi kupikir sekarang waktunya kau mengikuti terapi secara intensif."
Baekhyun memutar bola mata, "Mengesalkan sekali, sih. Kenapa tidak bilang-bilang dulu?"
"Sudahlah, semakin lama akan semakin menyenangkan kok."
Chanyeol mengacak-acak rambut adiknya kemudian berjalan menuju jendela kamar, sedangkan Baekhyun bersedekap tangan, masih kesal. Chanyeol membuka gorden kamar Baekhyun lalu membuka jendela, hawa segar malam hari seketika memasuki ruangan. Ia mengajak pasien pribadinya itu untuk ikut duduk di tralis melihat pemandangan malam.
"Kemarilah, kesalmu pasti hilang."
"Tidak mau."
"Ayolah... Aku akan membujuk koki rumah sakit memasak makanan kesukaanmu untuk sarapan besok pagi, bagaimana? Jangan kesal terus, kau nanti cepat tua."
"Benar, ya? Makanan kesukaanku?"
"Yap."
Baekhyun masih dengan bersedekap tangan turun dari kasur. Namun sebelum kedua kakinya sukses menginjak lantai, anak itu merasakan kakinya tiba-tiba berhenti bergerak, dan tangannya pun juga kaku. Ia tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjengkang kedepan, menyebabkan dirinya jatuh dari ranjang dan kepalanya menatap lantai terlebih dahulu dengan keras. Rasanya sakit luar biasa, Baekhyun memekik tertahan. Tubuhnya tiba-tiba mati rasa dan mendadak ruangan putih ini menjadi gelap dalam pandangannya.
Belum cukup semua keterkejutan Chanyeol akan Baekhyun yang jatuh, ia melihat darah mengalir dari balik kepala Baekhyun. Chanyeol menekan tombol alarm dan tiga orang suster datang. Ia panik luar biasa.
-tbc-
a/n :
Oh iya, fict ini dibuat bareng partnerku lindapcyxx (wattpad), mendingan aku sekalian promote tipis tipis deh wwkkk
Untuk sebuah event, aku minta vote dan comment dari readers buat fict ini, bisa langsung dilihat di akunku vanee27 (wattpad) atau akun partnerku, atau langsung ini linknya www.*wattpad*.com*/story/77752309-fall-from-forever (tanda bintang * nya dihapus)
Untuk yg di wattpad, next chap aku posting besok.
Thank you so much and have a nice day!
