Hai. Elsczh baru aja gabung disini. Sori, mau bikin fanfic sedih, tapi walau udah dibaca berulang kali kok Elsczh gak ngerasa sedih juga yaa? TT^TT
Emang dasarnya gak bakat jadi author nih. Tapi para readers, tolong review yah! Buat menjadikan Elsczh seorang author yang lebih baik. Hehehee. . .
B L E A C H
Disclaimer : Tite Kubo
.
.
"Kau tahu? Saat kau menggenggam tanganku waktu itu, kuingin menghentikan waktu dan merasakan hangatnya tanganmu selamanya."
"Dan ketika kau memandangku seperti itu, kuingin segera hilang dari pandanganmu karena aku benci saat melihatmu bersedih"
"Maafkan aku karena telah hadir dalam hidupmu. Namun pada akhirnya aku juga yang mengakhiri semuanya. . ."
THAT BITTERNESS WAS A SWEETNESS
By : Sweet Lemonade72
"SIALAN KAU, GIN ! ! !", Aizen menggeram dengan begitu memilukan. "Kau telah mengkhianatiku selama ini!"
Aku langsung bershunpo menghindari tempat itu. Tentunya tetap dengan menggenggam erat hougyoku di tanganku. Ya, aku memang pantas disebut rubah. Kemana pun aku berada, aku pasti selalu jadi seorang pengkhianat. Tak peduli demi apa pun alasanku, mereka takkan pernah menerimaku. Dulu aku mengkhianati Soul Society, namun sekarang aku berbalik mengkhianati Aizen.
Aku tak butuh teman. Aku tak butuh sahabat. Aku juga tak butuh. . . seorang wanita.
"Hahh. . .Hahhh. . .", aku merasakan nafasku menderu. Sepertinya aku sudah menghindar cukup jauh. Teriakan Aizen tadi pun tak terdengar lagi. Aku menatap hougyoku itu dengan lekat. Jika aku menghancurkannya, kuharap semua pertumpahan darah ini akan berakhir. Namun, luka di tanganku cukup menyita reiatsuku. Untunglah luka tadi bukan di nadiku. Hanya di sisi lenganku, tidak begitu fatal.
Wuuushhh. . . Kurasa hawa angin menyentuh pundakku. Aku berbalik badan karena terkejut. "A, Aizen?"
"Kali ini kau takkan bisa lari dariku, Gin. . .", kulihat Aizen mengangkat zanpakutonya dan mengayunkannya kearahku.
Dan semuanya menjadi gelap.
Gelap. Semuanya gelap. Sepertinya memang aku sudah mati. Tapi. . . Ada yang aneh. Kuraba tanganku. Masih terasa normal bagiku. Ada apa ini sebenarnya? Dimana Aizen? Dimana. . . luka yang baru saja ia torehkan di tubuhku?
Aku meraba sekujur tubuhku. Tak ada luka. Aku segera bangun dari posisi tidurku. Aku berusaha berteriak, namun suaraku malah menggema di tengah kegelapan itu. Tiba-tiba. . .
"Gin, sebutkan tiga permohonanmu. Tapi ingat, hanya tiga saja."
Aku tersentak. Darimana suara itu? Rasanya sedari tadi tak ada orang disini. Bahkan aku tak dapat merasakan reiatsunya. Siapa dia?
"Gin. . . Ternyata kau sudah dewasa.", tiba-tiba muncul seseorang dari kegelapan itu. Rambutnya terurai panjang, dan tubuhnya dibalut kimono putih yang sangat cantik. Aku. . . Aku mengenalinya.
"Ibu. . .?", aku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Ini kenyataan, kan? Ibu, yang telah meninggal saat aku masih kecil, kini berdiri dihadapanku.
"Ibu, kenapa ada disini? Kenapa kita berada di tempat gelap begini, bu?"
Ia menatapku lekat-lekat. "Gin, sebutkan tiga permohonanmu. Anggap saja ini permohonan terakhirmu."
"Ke, kenapa ibu bertanya begitu? Jelaskan, bu! Aku tak mengerti apa yang terjadi disini."
"Gin, Ingatkah kau pada dongeng yang sering ibu ceritakan tiap malam? Tentang seseorang yang menyayangi dan mencintaimu akan terus berada didekatmu? Yang selalu menuntunmu hingga saat terakhir dalam hidupmu?"
Aku terdiam. Ya, aku masih mengingatnya. Dongeng itu selalu kuingat, sehingga aku takkan pernah merasa sendiri. Karena aku percaya ada yang menunutunku.
"Ya. Dan pada saat terakhir dalam hidupmu, ia akan mengabulkan tiga keinginanmu. Karena itu, pergunakanlah sebaik mungkin."
"Bu, apa semua orang yang akan mati merasakan kejadian seperti ini?"
"Ya, apabila memang mereka memiliki seseorang yang begitu mencintainya. Dulu, ibu pun didatangi ayahmu. Hehehe."
Kulihat pipinya merona dan tertawa sendiri. Cantik sekali.
"Kalau begitu, mengapa semua orang tidak memohon untuk hidup kembali? Kulihat banyak sekali orang mati disini, namun mengapa. . ."
"Huusshh. . .", ia mendekatkan telunjuknya ke bibirku. "Kau akan tau nanti, oke? Tapi sekarang sebutkan dulu tiga permohonanmu. Ibu sudah dari tadi menunggu."
Aku terdiam. Permohonan? Aku tak pernah menginginkan sesuatu. Lalu, apa juga yang dapat kuminta?
Hidup kembali? Aku juga akan dibunuh Aizen pada akhirnya.
Aizen mati ? Ya, dan aku pun akan dieksekusi setelahnya.
Rangiku ?
"Gin. . .?"
"Bu, aku ingin mengulang waktu, saat aku pertama kali bertemu Rangiku."
Kulihat ia tersenyum. Sepertinya ia menyadari pipiku sedikit memerah. "Baiklah kalau begitu", tiba-tiba muncul sebuah pintu disampingnya. " Bukalah pintu ini dan masuk kedalamnya."
Aku pun menyentuh gagang pintu itu dan perlahan-lahan membukanya. Aku tak dapat melihat apapun karena silau. Aku menutup mataku dan terus berjalan kedepan. Hingga aku merasa telah menginjak sesuatu.
Aku berusaha mengintip dari celah jariku. Dan di depanku terbaring seorang gadis mungil.
"Ra, Rangiku?", aku segera menyadari bila tadi aku menginjak tangannya. Aku pun mengambil saputangan dan mengusap tangannya. Kulihat tubuhnya penuh luka. Bahkan wajahnya memar.
"Sialan! Seharusnya aku datang lebih cepat. Sehingga aku bisa menghajar sekelompok laki-laki brengsek itu yang telah melukainya!"
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya. Mungkin karena tadi aku terlalu ribut atau aku mengusapnya terlalu keras. Aku mundur beberapa langkah karena ia menatapku aneh. Aduh, aku harus bagaimana? Kuraba kantong sakuku. Ah, ini dia! Ternyata aku masih membawa beberapa makanan yang tadi kukumpulkan di hutan. Semuanya sesuai skenario saat kami pertama kalinya bertemu dulu.
"Ambilllah ini.", aku menyodorkan sebagian dari makanan yang kupunya. "Sepertinya kau memiliki reiatsu yang cukup tinggi karena kau bahkan belum mati meski didera kelaparan."
"Kau. . . juga?"
"Yup. Aku Ichimaru Gin. Salam Kenal."
"Gin? Nama yang aneh.", batin Rangiku.
"Namamu?", aku menyodorkan tanganku dihadapannya.
"Aku Rangiku.", dan ia menggenggam erat tanganku karena sepertinya ia belum dapat berdiri. Ia memandangi bajunya yang sudah kusam dan robek. Ia pasti merasa tak nyaman jika seorang lelaki sepertiku melihatnya dalam keadaan seperti itu.
"Ah! Maaf, aku akan mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?"
"Aku tak punya rumah."
"Kalau begitu, dimana orangtuamu?"
"Aku tak punya orang tua."
"Mu, mungkin rumah salah satu temanmu?", entah mengapa aku jadi salting begitu.
"Aku tak punya teman.", kulihat dari tadi gadis itu terus menunduk.
Aku segera mengingat kembali apa yang kulakukan saat itu. Kalau tak salah, aku menawarkannya tinggal di gubukku. Namun wajahku langsung memerah. Mengajak seorang gadis ke rumahku? Itu gila!
Aku terus memutar-mutar bola mataku. Tunggu, aku dan dia kan masih kecil. Jadi tentu aja dia gak berpikir yang macam-macam. Dan aku juga tentunya! Ah, Gin. Sadarlah! Kau sedang berada di masa lalumu! Aku memarahi sisi pengecut dalam diriku ini.
"Ka, kalau begitu. Kau mau tinggal di rumahku, tidak? Tapi hanya sebuah gubuk kecil."
"Aku mau."
Jawaban kilat darinya membuatku tersentak seketika. Gadis ini memang tak mengenal rasa takut. Bahkan ia tak takut melihat wajah rubahku ini? Perlahan-lahan, muncul rasa senang dalam diriku. Ada seseorang yang percaya padaku.
"Baiklah. Ikuti aku."
Aku menuntunnya ke tempat yang tak asing bagiku. Gubuk kecilku. Namun perjalanan kesana bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali Rangiku terjatuh atau kaki mungilnya terluka. Namun ia tetap tersenyum. Ia benar-benar gadis yang tegar. Akhirnya pun aku mengerti alasanku mencintainya.
"Nah, kita sudah sampai!", aku membuka pintu rumahku yang memang tak terkunci itu. Kulihat di dalamnya masih seperti dulu. Tak ada apa pun kecuali sebuah alas tidur dan dapur yang kotor.
"Ah, maaf. Gubukku jelek sekali. Kau bisa istirahat dulu kalau mau, biar aku yang memasak. Kalu kau tak suka, besok akan kucari tempat tinggal yang lebih baik.", aku segera menyiapkan pisau dan beberapa peralatan masak lainnya.
Rangiku menatapku. Lalu ia menarik pisau dari tanganku.
"Izinkan aku tinggal disini, aku janji akan memasak tiap hari untukmu.", ia lalu mengiris beberapa potong sayuran.
Aku tak nyaman jika aku hanya terdiam begitu. "Aku juga akan membantumu."
Aku terus melanjutkan pekerjaanku. Begitu pun dia. Namun lalu ia bernyanyi.
"You're the ship on my whole life sun"
"You're my harbour in the star"
"You're my life light"
"You're the anchor"
"So hold me closer keep me warm"
Aku terdiam. Lagu yang menyentuh dan terdengar sedih. Aku ingin mendengarnya. Terus mendengarnya. . .
Dia perlahan-lahan membaringkan kepalanya di pangkuanku. Aku terkesiap. Tak mungkin aku membangunkannya atau menggendongnya ke alas tidur. Dia pasti terbangun. Mungkin aku harus menyanyikan sebuah lullaby untuknya.
"I'll do anything to keep me close to you"
"Oh darling you look thru me"
"You know what love about"
"I'll do anything to keep me close to you"
"Oh darling you ring to me"
"Tell me inside out"
Dia benar-benar sudah tertidur. Kubelai rambutnya. Hangat. Namun aku tahu ini hanya sementara. Ini semua hanya mimpi. Dan aku tak ingin terbangun dari mimpi indah ini.
"Gin. ."
Terdengar suara menggema dari dalam diriku. "I, ibu? A, apa waktunya sudah habis?"
"Tidak, Gin. Ibu hanya ingin memperingatkanmu. Semua ini bukan kenyataan. Jadi jangan terbawa suasana disini dan ingatlah, tempatmu bukan disini. Kau tak boleh lari dari kenyataan bahwa kau telah tiada. Sebelum waktumu terlambat."
"Iya, bu. Aku tahu. Kalau Rangiku disini hanya cerminan dari ingatanku di masa lalu. Dia hanya boneka.", aku kembali menatapnya. Menatap seorang boneka.
"Baiklah. Ibu pergi dulu. Kalau kau ingin mengatakan permohonan berikutnya panggil saja ibu. Okey?"
"Baik, bu."
Suara itu pun menghilang dari dalam diriku. Tak lama kemudian, Rangiku terbangun.
"Ah, maaf. Aku sembarangan saja tidur disini. Maaf."
Kulihat gurasan merah di wajahnya. Aah, dia bukan boneka. Dialah Rangiku yang selama ini kuingat.
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu mengerjakannya lagi.", langsung kutarik tangannya begitu dia ingin menyentuh peralatan masak itu lagi. "Kita jalan-jalan keluar saja ya? Disini membosankan."
Aku menuntunnya keluar rumah. Menyusuri jalan setapak kecil yang kami lewati tadi. Hingga sampai ke pinggiran sungai. Disana pemandangannya bisa dibilang benar-benar indah. Sungai jernih yang mengalir sendu dikelilingi bukit hijau dan bebatuan yang kokoh. Kuajak ia duduk di atas bebatuan di samping sungai tersebut.
"Rangiku, bagaimana pemandangannya?"
"Indah, tapi sedih. Tak ada banyak orang berpiknik disini seperti yang diceritakan ibuku."
"Benarkah?", aku tersenyum padanya. "Kupikir kita salah satunya yang berpiknik disini."
Kubuka plastik yang sedari tadi kujinjing. Kukeluarkan semua isinya. Ada beberapa makanan sederhana dan sebotol air putih. Lalu kubentangkan kain panjang sebagai alasnya.
"Bagaimana? Sudah jadi kan?", kurentangkan kedua tanganku ke udara. "Sejuk sekalii! ! !"
Rangiku tertawa melihat tingkahku. Kuharap dia tak mengiraku seseorang yang dingin dan serius.
"Kau, yang membuat semua makanan ini?"
"I, iya sih. Kalau kamu nggak suka, enggak papa kok."
Rangiku langsung mencomot sebuah roti isi sayur. "Enaakk!"
"Huuff. Syukurlah. Kurasa kamu bakal sakit perut begitu memakannya. Hahahaa. . ."
Dan tanpa terasa hari-hari indah itu terus berlalu. Ibu bilang sih, berapa lama pun aku berada disana takkan merubah keadaanku sebenarnya. Aku masih terbujur kaku disana, di Karakura Town. Disini adalah dimensi berbeda. Bahkan aku dapat tinggal disini sampai kapan pun aku mau. Namun. . . Aku tak bisa. Aku tak mungkin terus menerus membohongi Rangiku kecil. Meskipun dia hanya seorang boneka.
Di hari itu, tak terasa 3 minggu aku berada disana. Mungkin aku harus kembali. Masih ada dua permohonanku yang belum dikabulkan. Kuajak dia ke pinggiran sungai itu lagi.
"Rangiku, kapan hari ulang tahunmu?"
"Aku tak pernah menghitung hari sampai saat aku bertemu denganmu."
"Kalau begitu, bagaimana jika hari ulang tahunmu jatuh pada tanggal saat kita pertama kali bertemu?"
Rangiku menatapku dalam. "Iya, terima kasih."
"Rangiku. . . Maaf. Di hari ulang tahunmu mungkin aku takkan ada di sampingmu lagi.", kucoba melempar sebuah batu ke sungai.
"Ma, maksudmu apa Gin?"
"Mungkin aku sudah pergi jauh dari sini."
"A, aku tak mengerti. Kenapa kau tak disini lagi? Bukankah disini tempat tinggalmu? Bukankah aku temanmu?", matanya mulai berkaca-kaca. Apa dia menganggap begitu seriusnya?
"Ahaha, aku bercanda. Aku hanya ingin bermain petak umpet denganmu saja.", kubawa ia ke dekat sebuah pohon. "Nah, tutup matamu di pohon ini dan hitung sampai 30. Lalu cari aku! Yah, asal jangan sampai tersesat sih."
Untuk ke sekian kalinya. Aku berbohong.
"Ooh! Main petak umpet ya? Baiklah! Tapi jangan bersembunyi di tempat yang susah ya! Oke. 1. . . 2. . . 3. . . 4. . ."
Aku segera berlari menjauhi tempat itu. "Ibu. . . Ibu. . . Apa aku boleh mengajukan permintaan keduaku sekarang?"
"8. . . 9. . . 10. . ."
"Ya. Apa permohonanmu, Gin?"
"13. . . 14. . . 15. . ."
"A, aku ingin ke masa depan. Masa depan yang akan aku lewati jika aku tidak mati saat itu."
"19. . . 20. . . 21. . ."
"Apa kau sudah berpamitan padanya? Kau tahu ia akan terluka, kan?"
"24. . . 25. . . 26. . ."
"Ya, aku sudah tahu dari awal. Pertemuan ini pada akhirnya akan berakhir seperti ini juga. Justru jika terlalu lama tinggal disini, dia akan semakin kehilangan. Karena itu, aku sudah menyiapkan sebuah kado yang dapat ia buka pada hari ulang tahunnya nanti. Karena itu, cepat! Antarkan aku ke masa depan!"
Pintu besar itu pun terbuka. Kumenoleh sesaat kebelakang, ia masih menghitung. Dan saat membuka mata nanti, ia takkan menemukanku.
"Goodbye, Rangiku. . ."
Dan pintu itu pun tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi.
". . .30!", gadis kecil itu membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya.
". . ."
"Gin?"
"I'll do anything to keep me close to you"
"Oh close to you is the way i want to be"
x x x
Huaahh. . . Capek banget nulisnya. Tapi karena saya penggemar pairing ini, saya bela-belain dong. ^.^ Oh, iya. Lagu yang tadi saya cantumin tuh judulnya Close To Me dari TRIX. Kalo ada yang belum tau, coba denger deh sekali. Lagu jadul emang. Tapi saya suka bangettt!
Oh, iya. Makasih ya udah mau baca fanfic panjang sekaligus fanfic pertamanya Elsczh! Dan kalo mau, review dong!"
