Hello everyone,
I am October Lynx and this is my first Indonesian entry for Gundam Seed Fandom
I hope you guys enjoy this as much as I am during the writing process, well, if you don't like this, don't read
Happy reading!
Disclaimer: Mobile Suit Gundam SEED and all of its characters belongs to Yoshiyuki Tomino, Sunrise, and Bandai respectively
Rate: T, for future chapter since I thought this chapter should go for K or K+ for rating, hehe
Genre(s): Family, Drama, Hurt/Comfort, Adventure, etc (name it yourself)
Warnings: AU, Divergence Fanfiction, etc
Pairings: No Pairing for this chapter, might change for laters
Snow White and The Seven Huntsman
Chapter 01 — Before Once Upon A Time
October Lynx
2013
PLANTs, CE 58
"Hibiki House"
Begitulah tulisan yang dapat terbaca di plakat berwarna keemasan yang berada disamping gerbang utama rumah besar milik keluarga Hibiki itu.
Sebuah rumah bernuansa bernuansa country minimalis yang terlihat nyaman dengan taman seluas lapangan sepak bola yang dipenuhi rumput-rumput hijau yang terpangkas rapi dan rumpun bunga yang berwarna-warni berada dihalamannya.
Sebuah jalan setapak dari bebatuan alam menjembatani pintu rumah dan pagar, tak lupa keberadaan sebuah garasi disisi kiri, yang jalannya tampak lebih rapi karena terbuat dari aspal.
Tak mau kalah dengan keindahan dan keasrian eksterior yang terbuka dan dapat terlihat langsung oleh siapapun yang melintasi rumah itu, bagian interior rumah yang ditata dengan tatanan kelas atas oleh pasangan pemilik rumah itu pun menyambut setiap tamu yang telah mendapatkan izin untuk masuk ke dalam.
Pada langkah pertama saja, para tamu sudah disambut oleh keharuman kayu cendana yang menjadi bahan utama dari berbagai mebel yang menghiasi ruangan yang difungsikan sebagai tempat penerimaan tamu itu, tak heran jika kebanyakan tamu-tamu Hibiki merasa betah untuk berbincang-bincang dalam waktu lama dengan pemilik rumah tersebut.
Untuk beberapa tamu khusus, seperti teman-teman putra-putri kembar mereka misalnya, ruang keluarga yang tertutup tirai pun sudah disiapkan; lengkap dengan berbagai alat permainan dan koleksi boneka yang tidak sedikit untuk dimainkan anak-anak sementara orangtua mereka berbincang diruang tamu atau di ruang kerja.
Ah, sungguh indah dan damai nuansa yang ditawarkan rumah itu, seandainya saja suara pertengkaran tidak terdengar dari arah ruang makan tempat dimana keluarga kecil itu biasanya berkumpul untuk makan malam.
"Kau jahat! Bodoh! Egois! Aku membencimu!" teriak sang istri, Via Hibiki, dengan sekuat tenaga hingga suaranya terdengar bulat dan tidak melengking, mata amethyst-nya terlihat nanar dan berkaca-kaca, sungguh itu merupakan pemandangan yang tidak menyenangkan dimata suaminya, Ulen Hibiki, meski demikian, hatinya yang hampir luluh kembali tersinggung karena kata-kata yang dilontarkan oleh wanita itu beberapa waktu sebelumnya.
"Oh, terserah. Lagipula, aku tidak merasa salah, Via. Sama sekali tidak" pria itu berujar penuh percaya diri meski dalam hati merutuk setengah mati karena ternyata kata-kata yang terlontar itu bukanlah hal yang dimaksudnya,
"Baiklah, aku pergi. Dan aku akan membawa Kira bersamaku!" masih berusaha menahan tangis yang hampir pecah, Via menjawab kata-kata suaminya yang hampir terdengar seperti pelecehan bagi egonya, dengan cepat, wanita itupun segera melangkah menuju kamar putranya di lantai atas.
"Lakukan saja! Dan kau akan melihat bahwa sebenarnya kau tidak bisa apa-apa tanpa aku!" jawab Ulen yang lagi-lagi disertai dengan penyesalan, namun, ego dan harga dirinya menolak untuk dijatuhkan demi wanita yang sudah hampir 4 tahun menjadi istrinya itu.
Emosi dalam diri wanita itu pun semakin bergejolak ketika ia mendengar jawaban suaminya yang semakin menyebalkan, dan hal ini tentu saja semakin membuatnya terpacu untuk meninggalkan rumah mereka, dengan membawa serta Kira, salah satu dari putra-putri kembarnya.
Cagalli atau Lili sedang bermain dengan mobil-mobilan milik Kira dikamarnya sementara setumpuk boneka Barbie dan bayi-bayi terlihat membisu didalam sebuah boks mainan bertuliskan, "Lili's Doll Box" yang berada tak jauh dari tempatnya duduk bersama sebuah lintasan mobilan dan mobil-mobil mini milik saudara kembarnya itu.
Ketika pintu kamar terbuka paksa dengan suara yang keras, Cagalli sempat terperanjat sampai ia menjatuhkan beberapa mainan ditangannya, mata amber-nya tertuju pada sosok sang mama di pintu, dengan wajah geram meski airmata mulai menghiasi pipinya.
"Kira, bereskan mainanmu! Kita akan pergi jauh!" hardik sosok itu dengan suara yang amat lantang dan membuat Cagalli ketakutan ditempat, tapi tunggu,
Kira?
"Mama, aku Lili" ia membela diri dengan suara bergetar yang menandakan ketakutannya, dengan rambut pendek dan pakaian yang memang kembaran dengan saudara laki-lakinya itu, Cagalli tidak bisa berbuat banyak kecuali mencoba meyakinkan mama-nya kalau ia adalah Cagalli, meski ia heran juga kenapa mama-nya sering salah mengira dirinya adalah Kira padahal, mereka sangat berbeda dari segi warna, Kira mirip mamanya sedang ia mirip sang papa.
"Hah? Jadi Kira sudah tidak sayang mama?" sahut Via dengan wajah yang semakin terlihat frustasi dan hancur, Cagalli yang merasa bingung pun menjadi semakin bingung dengan sikap mamanya yang semakin aneh saja,
"Eh? Tidak, aku sayang mama kok!" ujarnya ragu sambil mulai membereskan beberapa mainan milik Kira yang sedang ia pinjam beserta kotak berharga yang berisi bukti-bukti ke-Cagalli-annya.
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya ia sudah menemukan dirinya berada didalam mobil, duduk dikursi belakang, dengan mamanya menyetir, dan betapapun kerasnya usaha Cagalli meyakinkan sang mama kalau ia bukan Kira, perempuan berambut kecoklatan itu sama sekali tidak menggubrisnya, bahkan sampai mereka sudah berada di mobil dan Via sudah memulai perjalanan mereka, ia tetap tidak mau dengar.
Agaknya hal itu membuat Cagalli merasa tidak enak pada Kira, saudara kembarnya, yang tadi sempat mengejar mereka sebelum dihentikan oleh sang ayah dan akhirnya Cagalli melihat Kira menangis dalam langkahnya kembali kedalam rumah, nampaknya ia sangat terpukul karena tidak diajak pergi oleh mamanya, yah, sedikitnya Cagalli juga merasa kalau ia yang berada di posisi Kira, ia pasti juga akan menangis seperti Kira, tapi…
'Kira 'kan memang selalu berlebihan cengengnya' ia berkomentar dalam hati demi berkelit dari rasa bersalah pada saudaranya itu.
"Nah Kira, sekarang kita makan siang yuk!" ajak Via sambil menoleh ke kursi belakang, dan ketika mendapati yang tertidur dibelakang adalah seorang anak berambut pirang, Via sudah terlalu jauh untuk mundur,
"Ca-Cagalli?" ia bertanya dengan nada syok berat dan penuh kekecewaan, membuat Cagalli yang terbangun karena mendengar soal makan siang pun melihat ekspresi wajah kecewanya,
"Iya, aku memang Lili, Ma. Daritadi 'kan Lili sudah bilang, kenapa Mama tidak percaya?" jawab gadis itu dengan nada mengantuk, sembari tangannya merogoh kedalam "Lili's Jewel Box" dan mengeluarkan selembar kertas dengan sebuah tulisan 'Akta Kelahiran' tertera dibagian kop suratnya,
"Tuh, aku Lili Mama, bukan Kira, tapi Lili" ujarnya meyakinkan sang mama.
Ruang Dewan, saat yang sama.
"Jadi bagaimana pendapat kalian?" tanya Tad Elthman pada rekan-rekan sejawatnya yang sama-sama duduk di meja bundar kedewanan itu.
Untuk beberapa lama, tidak terdengar satu jawaban pun dari rekan-rekannya, nampaknya mereka masih berpikir karena ide yang baru saja disampaikan Dewan Elthman tadi terdengar… lumayan.
"Boleh saja" ujar seorang wanita berambut keabuan yang dikenal dengan nama Ezalia Jule,
"Apa salahnya 'kan? Mereka bisa tinggal bersama dan belajar mandiri, selain itu… beban kita juga berkurang" ia menambahkan, sebagai single parent dengan seorang anak laki-laki yang sama bebal dan juteknya seperti dirinya, Ezalia jelas tidak terlihat keberatan dengan usul Tad untuk mengirim anak-anak mereka yang saat ini masih berada diusia 3 tahun untuk bersekolah di Negara netral bernama Copernicus.
"Benar juga", kali ini, seorang pria berkumis yang menyahut, "Kurasa aku juga akan menempatkan Lacus disana", imbuhnya seraya mengangguk-angguk pelan, seakan itu adalah gagasan terbaik yang pernah ada,
"Lacus? Tidak Meer juga?", tanya salah seorang rekannya yang lain, Eileen Canaver,
"Tidak, Lacus saja. Meer agak sulit untuk jauh dariku sejak kematian ibunya, Lacus lebih mandiri", sahut Siegel Clyne beralasan yang direspon oleh Eileen dengan satu anggukan pelan meski dalam hati ia ingin menyebut,
'Alasan yang bagus'.
"Bagaimana dengan yang lainnya?", Tad kembali bertanya, padangannya ia pendarkan keseluruh ruangan itu, dan masing-masing dengan jawaban mereka sendiri, ada yang mengangguk, ada yang mengatakan hal yang kurang lebih memiliki makna yang sama dengan Ezalia, atau ada juga… yang tampaknya sepakat dengan keputusan Siegel Clyne.
Apapun itu, bagi Tad—dan beberapa lainnya—jawaban orang itu lah yang penting, seorang pria berwajah kaku dengan pembawaan penuh percaya diri yang sejak tadi masih belum mengutarakan pendapatnya mengenai hal ini, seorang pria, yang mereka kenal begitu baik sebagai sosok berwibawa yang memiliki sifat kejam, kecuali pada keluarganya, seseorang, yang dikenal dengan nama Patrick Zala.
Benak pria itu masih berputar dengan kecepatan penuh demi menyelesaikan debat nuraninya, tentu saja hal ini masih disebabkan oleh usul dari Tad Elthman barusan.
Seakan tidak memperhatikan sekitar, dan memang karena demikianlah adanya, Patrick memikirkan berbagai kemungkinan dan embel-embelnya jika ia mengiyakan atau menolak usul ini dengan gestur yang terlihat seperti orang depresi.
Terang saja, pasalnya, saat ini benaknya lebih dipenuhi oleh pertanyaan ketimbang solusi, dan diantara pertanyaan-pertanyaan itu, ada satu pertanyaan yang paling sering diulang-ulang dalam kepalanya yang hampir pecah mungkin, satu pertanyaan, yang sejak tadi tidak memiliki jawaban apapun karena memang pertanyaan itu ditujukan untuk seseorang yang begitu, ehm, dicintainya, satu pertanyaan, yaitu:
Bagaimana menurut Lenore?
Lenore Zala, istri dari pria paling berwibawa sekaligus paling menakutkan di PLANTs, sedang bersiap-siap untuk menjemput putra semata wayangnya, Athrun Zala, bersamaan dengan hampir pecahnya kepala Patrick memikirkan bagaimana dirinya akan merespon usulan Tad Elthman untuk mengirim anak-anak mereka ke sebuah rumah yang akan dilengkapi dengan seluruh pengurus, untuk sekolah dan tinggal bersama-sama.
Dengan sebuah kotak makan berisi kol gulung duduk manis dikursi penumpang disebelahnya, Lenore melesat menuju nursery tempat ia menitipkan putranya selagi ia dan Patrick bekerja.
Sambil memutar radio mobil dan bersenandung perlahan, ia menikmati perjalanan menuju nursery itu, sebuah senyum senang terukir diwajahnya yang lembut mempesona, wajah yang membuat hampir seantero PLANT tidak percaya jika ia mengaku bahwa Patrick Zala adalah suaminya.
"Ah, Ange pasti senang", gumam Lenore setengah bersenandung, terbayang olehnya senyum riang diwajah putra tunggalnya saat melihat ia datang menjemput, paling awal, dengan membawa kol gulung.
Ange?
Benar, Lenore memiliki panggilan khusus untuk putranya, yaitu Ange, singkatan dari Angelo, yang artinya malaikat.
Tak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk tiba di nursery tempat Athrun berada sepanjang siang, dan benar saja, begitu melihat sosok dirinya turun dari mobil, anak itu langsung menaruh mainannya dan melambaikan tangan kearah sang ibu dengan wajah berseri-seri dari balik kaca kelasnya, tentu saja Lenore segera membalasnya sambil tersenyum hangat, oh, dia memang sangat menyayangi—bahkan cenderung memanjakan—putra tunggalnya itu.
"Bagaimana harimu siang ini, Ange?", tanya Lenore begitu ia dan putranya telah memulai perjalanan pulang mereka kerumah, disampingnya, tampak bocah laki-laki berambut navy blue yang asyik menyuap dan mengunyah makanannya sendiri, dengan rapi.
"Hm… tidak begitu baik, Bu. Kira tidak masuk", keluhnya sembari menoleh kearah ibunya, wajahnya terlihat sedikit kecewa ketika ia mengutarakan jawaban atas pertanyaan ibunya, kemudian ia menghela napas pelan yang terdengar lelah, sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada sekotak makanan dipangkuannya,
"Begitu ya, hm… aneh", sahut Lenore sambil menepuk-nepuk puncak kepala putranya dengan maksud menghibur, ia tersenyum iba tapi tak lama, karena ia tetap harus menjalankan mobilnya dengan benar agar mereka bisa sampai kerumah tepat waktu dalam keadaan utuh.
Ibu dan anak laki-lakinya itu baru saja sampai di rumah setelah memarkir mobil ketika tiba-tiba saja ponsel milik Lenore yang sedang dimainkan putranya berbunyi,
"Dari ayah", ujar Athrun sambil menyerahkan ponsel itu pada ibunya yang baru selesai menekan kode pintu rumah mereka, dan suara daun pintu otomatis itu terdengar bergeser untuk menutup ketika Lenore menaruh ponsel itu ditelinganya, hendak menjawab telepon.
"Hallo, Pat. Ada apa?", tanya Lenore tanpa basa-basi, ia tahu sekali suaminya itu tidak suka berbasa-basi, jadi… langsung saja.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu, mengenai Athrun, bisakah kita makan malam dirumah saja hari ini?", dari seberang telepon Patrick berujar, Lenore bisa mendeteksi nada urgensi dalam kalimat itu,
"Tentu saja. Baiklah, aku dan Ange akan menunggumu disini, jam 7 atau 8 bagaimana?", jawab Lenore mengusulkan, tak berapa lama terdengar suara helaan napas dari arah Patrick,
"Baiklah, pukul 8 malam", jawab Patrick, dan dengan itu telepon diputus dari kedua belah pihak.
"Ange, ayah ingin kita makan malam dirumah hari ini, bagaimana menurutmu?", tanya Lenore setelah ia dan Patrick mengakhiri pembicaraan mereka, Athrun nampak diam sebentar, dengan gestur berpikir yang Lenore pastikan ditirunya dari sang ayah, atau dirinya sendiri,
"Aku bantu Ibu masak, ya!", katanya setengah berseru tak lama kemudian, Lenore tersenyum sekali lagi, ia tahu Athrun pasti setuju dan malah antusias mengingat, begitulah sifat putranya tercinta, dan ia semakin merasa bahwa seharusnya dahulu putranya dinamai Angelo saja.
Patrick tiba tepat waktu untuk melihat Lenore dan putranya sedang merapikan meja, sebuah senyum tipis terukir diwajah kakunya yang nyaris tak pernah tersentuh senyuman sedikitpun ketika hal ini terlihat dimatanya.
Hah, rumah Zala memang tidak pernah mempekerjakan satu pelayan pun karena posisi Patrick sebagai National Defense PLANTs dan juga… sifat pencemburu Lenore yang sepertinya berlebihan akibat kesukaannya akan drama-drama ditelevisi dimana adanya percintaan dan perselingkuhan antara seorang suami dengan pelayan wanita yang cenderung akan lebih melayaninya ketimbang sang istri.
Pria itu menghela napas sambil menggeleng perlahan begitu teringat akan argumen bodoh istrinya mengenai pelayan, namun, toh pada akhirnya ia juga setuju, dengan tanpa pelayan, waktu-waktu seperti ini pun akan menjadi momen yang tepat untuk mendekatkan diri dengan keluarga sekaligus mengajarkan kemandirian pada putra tunggalnya, dan yah, iapun segera menaruh tas kerjanya untuk bergabung dengan istri dan anaknya dalam menyiapkan makan malam begitu melihat Lenore menyadari kehadirannya dan tentu saja… meminta sedikit bantuan.
"Jadi, apa yang ingin kau sampaikan?", Lenore membuka pembicaraan pada acara makan malam itu, yang membuat Patrick teringat akan usul dari Tad tadi siang yang hampir saja terluput dari ingatannya begitu melihat pemandangan indah yang disebut 'momen keluarga'.
"Begini, Lenore", ia mulai menjawab, pandangan matanya tertuju pada Lenore dan Athrun secara bergantian,
"Tadi siang, Tad Elthman memberi gagasan mengenai anak-anak. Katanya, ia berniat untuk mengirim anak-anak ke Copernicus untuk bersekolah, dan tinggal bersama, bagaimana menurutmu?", lanjutnya setengah bertanya,
"Berapa banyak yang setuju?", Lenore langsung bertanya tepat sasaran, sementara Athrun kecil yang tidak benar-benar mengerti pembicaraan orangtuanya kecuali sedikit—mengingat ia masih 3 tahun—mencoba bersikap memperhatikan tanpa mengabaikan makanan di piringnya,
"Cukup banyak, sebut saja Ezalia Jule, Siegel Clyne, Tad Elthman sendiri, dan Yuri Amalfi", jawab Patrick singkat,
"Yuri juga? Kukira dia tidak akan termasuk yang setuju", komentar Lenore saat mendengar nama-nama yang disebutkan oleh Patrick, pria itu hanya memberi respon berupa anggukan pelan,
"Begitulah, aku pun tak menyangka", jawabnya.
"Hmmm… bagaimana ya?", ujar Lenore sambil menujukan pandangannya pada putra semata wayangnya,
"Sejujurnya sih, aku tidak setuju", ia berkata dengan nada yang mulai terdengar sendu, tak mampu ia membayangkan harus jauh dari Angelo kecilnya, oh, itu terdengar sangat menyakitkan.
"Tapi mau bagaimana lagi, bukan? Semua teman-teman Ange akan berada disana juga, jadi kurasa kita tak punya banyak pilihan Pat", ia menjawab akhirnya, sebuah helaan napas frustasi terdengar setelahnya, Lenore masih sulit membayangkan hari-hari tanpa kehadiran malaikat kecilnya yang pasti akan terasa amat sepi,
"Hanya saja, aku ingin dia pulang setiap ada acara seperti; thanksgiving, ulangtahun-ulangtahun, perayaan tahun baru, dan semuanya, bagaimana?", akhirnya ia memberikan tanda berhenti dalam nada suaranya, Patrick yang sebenarnya cukup setuju dengan alasan agar putranya bisa mandiri dan tidak terdidik menjadi anak manja karena cara mendidik ibunya pun hanya bisa tersenyum tipis, berpura-pura agak enggan dan berada di pihak Lenore.
"Baiklah, nanti akan kusampaikan persetujuanku pada Tad." sahutnya singkat.
A/N: There you go, the first chapter.
Please let me know whether you like this or not by your review, constructive criticism needed to help me get better!
Thank you anyway for reading this story, see you again on the next chapter.
Happy Sunday!
.
Toby
