Prince of Tennis : Takeshi Konomi

Sanada x reader/OC

I have rules; if you like it give me fav. If you don't just leave. If you have no account or can't log in, give me 'fav' comment. That's enough. Don't leave any traces on my comment box if it possible.

Ada peraturan yang perlu kalian baca; jika suka tekan 'fav'. Jika tidak 'tinggalkan'. Jika tidak punya akun/tidak log in, kamu bisa tulis 'fav' di kolom komentar (kalau kamu suka cerita ini). Tolong tidak meninggalkan jejak apapun sebisa mungkin di kolom komentar demi kesehatan mental author.

.

.

.

Sanada terpengaruh cerita Akaya tentang perselingkuhan pacar Jackal. Sanada mulai khawatir padamu. Kalian tidak bertemu karena Sanada sangat sibuk. Kalian juga bukan tipe yang selalu berkirim pesan. Kau sangat tahu Sanada butuh waktu dengan segala tanggung jawabnya. Tapi kau juga mulai merindukan si gila tenis itu.

Sanada ingin membuat kejutan dengan main ke apartemenmu tanpa memberitahu lebih dulu. Tapi kau sedang menikmati rasa gamang diabaikan Sanada. Kau berendam di kamar mandi lama sekali dan pusing karena panasnya air. Kau hanya mengenakan baju dalam lalu tergeletak di ranjangmu kemudian jatuh tertidur.

Sanada tidak melihatmu di ruang tamu tempat biasa kau mengerjakan tulisan. Dengan rasa senang dia menantikan raut wajahmu yang memerah menyambutnya. Kau lelap dalam tidur dan bermimpi tentang Sanada. Sanada melihatmu di ranjang mengigaukan namanya. Sanada terpana. Tubuhmu tentu menimbulkan afeksi yang besar hingga nyaris membuatnya menyentuhmu. Tapi kau terkejut melihatnya berdiri di sisi ranjang memandangimu.

"Sanada-kun?" Sanada kembali menjadi dirinya dan melempar jerseynya lalu berteriak kau dihukum karena berpakaian tidak pantas. Kau tertawa kecil melihatnya. Sikap lelaki maskulin itu mirip seperti anak-anak. Kadang kepolosannya membuatmu tersenyum sendiri. Kau memakai jerseynya yang menutupi tubuhmu.

"Aku merindukanmu, Sanada-kun." Kau menahannya keluar, memeluknya dari belakang dengan rasa syukur.

"Kau dihukum lari seratus kali!" kata Sanada. Tapi kau cemberut dan dia tahu dia tidak akan menang. Dia mengangkatmu seolah kau hanya beberapa kilo saja. Kau melingkari pingganggnya dengan kaki. Dekapan posesifnya membuatmu tenang.

"Kau tidak bisa menghukumku jika kau sudah menikmati pemandangan tadi," katamu membela diri.

"Kau dihukum!"

"Tapi ..."

Sanada membungkammu dengan ciuman. Kau tahu hukuman itu hanyalah ancaman kosong. Melihatmu berkeringat lelah saja dia selalu hilang ketenangan, apalagi menyuruhmu memutar lapangan dengan cuaca terik. Sanada tidak pernah terlalu keras pada orang yang disukainya. Kau merasa beruntung.

.

.

.

Fin