Disclaimer : Vampire Knight isn't mine. I'm sure you've known it.

Warning : Timeline cerita dimulai beberapa minggu setelah penyerangan yang dilakukan Shizuka Hio terhadap Cross Academy.


Benda itu terkutuk, dan dia tidak bermaksud menyentuhnya. Zero tahu apa yang kutukan bisa lakukan, dan dia sekarang mengerti bahwa kutukan ini pelaku dari banyaknya kasus orang hilang yang tidak lagi pernah bisa ditemukan, bukannya karena para level E.

Zero menatap tajam ke arah logam emas berukiran rune yang menempel di sebuah bangunan yang terbuat dari konstruksi tanah, tersembunyi di dalam gua yang terdapat di sebuah gunung wilayah Klan Kuran. Dia mendapat informasi dari dokumentasi-dokumentasi yang bisa dia dapatkan, yang bisa dikatakan sangat sedikit sekali. Hanya dari beberapa laporan tak lengkap di perpustakaan Asosiasi Hunter dan beberapa kliping koran lama, serta rumor yang mengatakan adanya harta tersembunyi yang terkubur. Walau Zero tidak pernah mempercayai rumor tentang harta itu, tapi antara rumor-rumor itu dan berita banyaknya pendaki di gunung ini menghilang, dia memutuskan untuk percaya.

Dia juga tahu bahwa itu bukan karena gua tersebut. Pasti ada sesuatu di dalamnya, karena terkadang ada orang-orang yang masuk dan masih bisa keluar lagi.

Jadi Zero datang menyelidikinya, sembari membawa tas – yang berisi makanan, air, dan P3K – di bahunya, karena jika dia akan menghilang di suatu tempat, dia lebih memilih selamat apapun yang terjadi. Menurut pengalamannya, orang-orang tak pernah menghilang begitu saja, pasti berakhir di suatu tempat yang jauh.

Gua itu sendiri lebih lebar dan lebih berlumut dibanding yang dia duga, yang membuat dia heran apa bangunan di hadapannya ini adalah sebuah makam karena bangunan terlihat kuno. Tangan memegang dengan erat sementara kedua matanya menelusuri ukiran rune yang memenuhi logam emas dan dinding bangunan.

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Karena sejauh yang dia tahu, tidak ada cara untuk menghentikan kutukan kuno. Dia tak bisa menghilangkan kutukannya, ataupun memurnikannya sampai dirasa tidak berbahaya. Semua yang bisa dia pikirkan adalah menghancurkan bangunan ini sampai menjadi puing dan menguburkannya. Astaga… rencana itu terlalu menggoda, karena dia bisa membayangkan wajah syok Kuran brengsek itu ketika tahu bangunan nenek moyangnya hancur berkeping-keping, tapi dia juga menyadari bahwa Asosiasi Hunter tak akan pernah menghargai tindakkannya itu, ditambah lagi Dewan Vampir akan memburunya.

Jika dia bisa menyentuh rune itu, mungkin dia bisa mencari dan menemukan kelemahan dalam huruf-hurufnya.

Dia masih sibuk berpikir ketika tanah bergetar hebat. Getarannya memang tidak begitu besar, namun cukup untuk membuat Zero jatuh dan tangannya menyentuh logam emas yang mendekorasi bangunan itu. Cahaya keemasan muncul, membutakan matanya, dan dalam sekejap perasaan membakar menyelimuti tubuhnya sebelum segalanya menjadi gelap.

.

.

BOULEVARD OF BROKEN DREAMS

© Scarlet Natsume

Vampire Knight © Matsuri Hino

.

Prologue

.

.

Dia terbangun bingung, kepalanya berdenyut menyakitkan. Udara dingin berhembus semilir menyapu tubuhnya, sementara dia berusaha melihat dalam gelap. Punggungnya terasa sakit karena berbaring di tanah berbatu, dia mengerang keras ketika tangannya menyentuh ujung stalagmit kecil yang menusuk rusuknya.

Ya, Tuhan… apa yang terjadi?

Kedua tangannya bergerak menopang tubuhnya yang kaku dan pegal untuk bangkit duduk, dalam hati dia berharap bahwa dia masih punya lampu senternya jadi dia bisa memperhatikan sekelilingnya. Udara dingin dan lembab, menggelitik kulitnya seperti sengatan listrik. Untuk sesaat dia tak bisa mengingat apa yang terjadi padanya.

Dia berpikir kembali dan mencoba mengingat. Dia ingat Asosiasi Hunter memberinya misi, meninggalkan Yuuki kerepotan menangani para siswi Day Class sendirian, ingat para level E yang menyerangnya di sepanjang jalan.

Dan akhirnya dia ingat sebuah gua, logam emas dan bangunan berukir rune, dan gempa bumi.

"Fuck," gumamnya.

Dia baru mau berdiri ketika sorotan cahaya tiba-tiba muncul membutakan matanya yang sudah terbiasa dalam kegelapan, membuat sepasang mata violet itu menyipit silau. Satu lengannya terangkat untuk menutupi kedua matanya dari cahaya tersebut.

"Siapa kau?" Suara berbahaya terdengar, rendah dan bergemuruh, serta sedikit familiar.

Zero tidak menjawab, dia masih mencoba melindungi matanya dari cahaya.

"Kau tidak seharusnya berada di sini," kata suara itu lagi, diikuti gema langkah kaki yang kemudian terhenti.

Zero melihat cahaya tidak lagi menyoroti wajahnya. Dia mengerjap, dan mengetahui bahwa sorotan cahaya itu adalah sebuah obor. Dia mengamati sekitarnya, menyadari bahwa segalanya masih sama. Dinding batu yang sama, udara lembab yang sama, dan ketika dia menoleh, dia melihat bangunan kuno yang sama masih berdiri megah.

"Sialan," gumamnya pelan, sebelum tersentak kaget merasakan tangan yang hangat memegang bahunya.

"Jangan dekati itu," kata suara itu, yang dia yakin sekali adalah suara pria. "Ayo, aku akan mengantarmu keluar."

Zero merasakan tubuhnya diangkat, membuatnya terkesiap keras. "A…apa yang kau lakukan?!" sahutnya dengan suara yang nyaris hilang.

Suara kekehan terdengar. "Akhirnya kau bicara juga. Aku hampir berpikir kalau kau bisu." Alis Zero berkedut. "Aku mencium bau darah yang kuat, itu berarti kau terluka. Apa salahnya seorang gentleman memberi bantuan pada orang yang terluka?"

"Kau bisa menarikku berdiri, dan membiarkanku berjalan mengikutimu," desis Zero, tenggorokkannya terasa disumpal.

Pria itu terkekeh lagi. "Itu nggak bagus, karena tubuhmu terlalu lemas bahkan untuk berdiri."

Zero membuka mulutnya untuk membantah, namun dia mengurungkan niatnya. Dia terlalu lelah untuk berdebat dengan orang tak dikenal ini. Dia terus diam dan menatap siluet samar yang terlihat di bawah cahaya yang remang-remang. Cahaya jingga terang dari mulut gua membuat kedua matanya menyipit, dia mengalihkan wajahnya, dan melihat wajah orang yang menyelamatkannya.

Pria itu semakin terlihat familiar di tengah cahaya fajar. Rambut ikal berwarna cokelat gelap, mata yang dalam, wajah yang hangat dengan senyum yang melafalkannya. Zero menelengkan kepalanya, kefamiliaran itu menggelitik ingatannya, tapi dia tidak tahu siapa.

Sebelum bayangan seorang musuh sekaligus rival cintanya terlintas di pikirannya, yang membuat kedua matanya membelalak.

Kuran.

Oh, shit! Kenapa Kuran ada di sini?! Oh, iya, tentu saja, karena wilayah ini adalah wilayah milik keluarganya. Tapi, tetap saja! Kenapa Kuran keluar dari wilayah Cross Academy dan berada di sini?! Setahu dia tidak ada masalah apapun dalam Dewan Vampir. Dan tidak mungkin – mustahil, malah – bahwa Kuran datang hanya untuk menyelamatkannya.

Tunggu.

Orang ini bukan Kaname Kuran. Kedua mata yang dimiliki orang ini terlalu ganjil. Zero merasa sedikit takjub melihat dua mata yang berbeda warna; warna merah bagaikan darah, dan warna biru yang dalam. Heterochromia Iridium. Sangat langka sekali seseorang memiliki warna mata ganda, dia hanya pernah melihat sekali saat masih kecil dulu, kakeknya memiliki heterochromia iridium.

Kelelahan kembali menyelimutinya. Pikirannya terus berteriak kencang. Jangan tidur! Tetap sadar! Pureblood! Bahaya! Namun matanya semakin berat, tidak memakan waktu lama sampai dia menyerah dan terkubur dalam lelap.


Cahaya merembes melalui jendela menyebar di kelopak matanya, membangunkan dirinya dari tidur panjangnya. Dia merentangkan tangannya yang sakit, melemaskan kedua bahunya yang pegal, kedua mata violetnya menatap langit-langit berornamen indah berwarna putih.

'Di mana…?' batinnya, tatapannya menerawang.

"Ah… si putri tidur sudah bangun rupanya," Suara perempuan terdengar familiar di telinganya. Sebelah alisnya berkedut, dia menoleh dengan kesal.

"Siapa yang kau sebut putri, Yuuki-" Ucapannya terhenti, matanya membelalak melihat sosok wanita yang berdiri di ambang pintu.

Bukan Yuuki! Jeritnya dalam hati. Wanita itu sangat mirip dengan Yuuki, mulai dari wajahnya, tingginya, bahkan sampai matanya. Namun, walau warnanya cokelat yang sama, rambut wanita itu panjang, selain itu instingnya menjeritkan "Pureblood". Yuuki manusia.

Wanita itu tertawa kecil, dia berjalan masuk, sebelah tangannya membawa nampan berisi segelas air, obat, dan semangkok sup beserta sendok. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Aku kaget ketika onii-sama pulang sambil menggendongmu."

Zero terdiam sesaat, pikirannya berkecamuk melihat wanita yang mirip dengan Yuuki itu. Siapa wanita ini? Kenapa sangat mirip dengan Yuuki? Tidak mungkin wanita ini keluarganya, Yuuki manusia sedangkan wanita ini vampir!

"Rasanya seperti kepalaku dihantam batu, dan lalu ditusuk benda tajam," gumam Zero, mengatakan kiasan dengan penuh sarkasme.

Oh, tunggu. Itu bukan kiasan, tapi benar-benar terjadi.

Wanita itu tertawa lagi, dia menaruh nampan di atas meja dekat ranjang, sebelah tangannya terjulur menuju Zero. "Kau harus minum makan dan minum obatmu. Sini, kubantu duduk."

Kedua mata merah kecokelatan wanita itu melebar ketika merasakan tangannya ditampik. "Jangan sentuh aku, vampir," desis Zero, sebelum dia memaksakan tubuhnya untuk duduk.

Sekilas wanita itu terlihat terluka, namun tidak lama wajah wanita itu kembali lembut. "Jangan bilang begitu. Kau juga vampir, kan?" Dia mengambil meja lipat, tidak mempedulikan tatapan tajam dari tamunya, dan memasangnya di depan Zero, menaruh mangkuk sup dan sendok di atasnya. "Aku Juuri. Siapa namamu?"

Tangan Zero meremas selimut dengan erat, terhenti. Juuri…? Hanya ada satu orang bernama Juuri yang dia tahu, dan itu pun melalui cerita Kaien, tapi… itu tidak mungkin. "Zero," gumamnya, menatap tajam ke arah sup di depannya.

Juuri terlihat tidak terpengaruh dengan nada dingin Zero. "Salam kenal, Zero-san," katanya, tersenyum. Dia melihat Zero tidak menyentuh supnya. "Tenang saja, itu nggak beracun. Ngapain juga aku repot-repot merawatmu jika aku ingin membunuhmu."

Zero menggigit bagian dalam mulutnya, tangannya dengan ragu meraih sendok. Dia menyesap kuah sup, mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalar di tenggorokkannya. Zero melirik wanita yang duduk di sebelahnya. "Kau… apa kau Kuran?"

Wanita itu mengerjap. "Wah… kau tahu dari mana?"

Sudah dia duga! "Satu-satunya keluarga vampir pureblood yang memiliki warna rambut sepertimu hanya Keluarga Kuran." Zero menautkan kedua alisnya. Orang yang duduk di sebelahnya ini Juuri Kuran! Tapi itu mustahil, karena Juuri sudah tiada seperti yang Kaien ceritakan dulu.

Wanita itu tertawa. "Ah… sepertinya Keluarga Kuran gampang banget dilacak, ya."

Zero menatap hampa ke arah Juuri. Wanita ini, bahkan tawanya mirip dengan Yuuki.

Juuri berhenti tertawa, helaan nafas keluar dari mulutnya. "Apa kau ingat apa yang terjadi padamu?" tanyanya.

Lelaki berambut perak itu terdiam. "Itu bukan urusanmu."

Juuri tersenyum. "Oh… itu urusanku. Karena kau di wilayah keluargaku, dan kau ditemukan di makam kakek buyutku."

'Haha… jadi bangunan itu beneran makam' batinnya. Ironis, kenapa ada makam kalau vampir ketika mati hanya akan menjadi debu?

"Ada kasus orang menghilang. Asosiasi mengirimku untuk menyelidikinya, dan kalau bisa membasminya."

"Asosiasi? Kau hunter?"

Zero mengangkat sebelah alisnya, seakan mengatakan, "Kau pikir?"

Juuri menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, terkejut. "Astaga…"

Zero tidak mempedulikan reaksi wanita itu. "Setelah aku selesai, aku akan pergi. Tenang saja, aku tak akan melaporkanmu pada asosiasi. Kau sudah menyelamatkan nyawaku."

"A-ah… bukan itu." Juuri tertawa gugup. "Aku bukan takut karena kau hunter – justru aku sendiri punya sahabat yang adalah hunter – tapi aku takut karena hunter itu sendiri. Sekarang sedang perang, dan kurasa itu membuat para hunter terasa tidak menyenangkan." Dia mendengus. "Aku sudah menduga kalau kau itu hunter, tapi aku tidak menyangka bahwa dugaanku benar."

Perang? Zero mengerjap. Perang apa? Terakhir kali ada perang antara hunter dan vampir, itu sebelum dibangunnya Cross Academy. Setelah itu, para hunter ada hanya untuk 'mendisiplinkan' para vampir agar tidak mengganggu manusia – yang menurutnya sangat gagal mengingat keluarganya dibunuh vampir, dan Zero dirubah menjadi makhluk yang paling dia benci.

Tapi… masa, sih? "Tahun berapa sekarang?" tanyanya, dengan mata sedikit lebar.

Juuri menelengkan kepalanya. "Hm? Tahun 1988. Kenapa?"

Zero tersedak, dia terbatuk-batuk menyingkirkan rasa perih dari kuah sup di tenggorokkannya.

"Eh? Ada apa, Zero-san?" tanya Juuri, panik.

"Oh, hell…" bisik Zero, tiba-tiba dia ingin kembali ke gua itu dan menghancurkan bangunan itu, tidak peduli dengan reaksi dari Kuran, asosiasi, dan Dewan Vampir.

Ya, dia tahu sekarang apa arti dari rune yang terukir di bangunan itu.

Juuri mengerjap. "Ah… sepertinya kau menyadari apa yang terjadi padamu…" ucapnya nyengir, menghiraukan tatapan tajam dari Zero. "Jadi…" lanjutnya gugup. "Dari masa lalu atau masa depan?"

"Masa depan," jawab Zero, masih menatap tajam ke arah Juuri.

Sebulir keringat mengalir di dahi Juuri. "Jangan tatap aku seperti itu. Aku juga kaget, lho. Karakteristikmu mirip dengan Hio, dan kau tidak mungkin Hio, berhubung kau itu bukan pureblood. Dan dalam darahmu ada sedikit bau manusia, yang itu berarti kau adalah ex-human. Satu-satunya keluarga atau klan manusia yang memiliki karakter fisik yang cukup mirip dengan Hio itu Keluarga Kiryuu. Dan kami sudah menyelidiki bahwa tidak ada anggota Kiryuu dirubah, melihat tato penahan di lehermu juga membuktikan bahwa kau menjadi ex-human sudah cukup lama, jadi Kiryuu tidak mungkin tidak tahu bahwa salah satu anggotanya dirubah, tapi di sanalah, tidak ada rekaman apapun tentang anggotanya yang dirubah. Terlebih lagi mengingat tempat kau ditemukan, kami mendu…"

Zero mengangkat tangannya, memotong ucapan Juuri yang terlalu cepat. "Cukup, aku mengerti." Dia menghela nafas, telunjuk dan ibu jarinya memijit pertengahan matanya. Wanita ini bukan hanya secara fisik mirip dengan Yuuki, tapi sampai kebiasaannya yang bicara melantur pun sama.

Juuri hanya mengangguk, terpaku dan gugup, jemarinya bermain-main gelisah. "Um… kalau ini membuatmu merasa lebih baik… Haru-nii sudah mulai mencari cara untuk membuatmu kembali ke waktumu."

Haru-nii? Zero mengangkat sebelah alis. 'Oh, benar. Haruka Kuran.'

"Terima kasih," bisik Zero, sembari melanjutkan memakan supnya.

Juuri menatap Zero dengan mata lebar. Perasaan gugup dan gelisah yang tadi menyelimutinya menghilang, digantikan oleh perasaan lega. Senyum mengembang di bibirnya. "Sama-sama," Dia melihat Zero mengangguk, dan lalu berkata dengan penuh semangat. "Aku tahu kau akan butuh tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini!" serunya, senang.

Zero mengangkat sebelah alisnya. "Yeah," katanya. "Itu tidak masalah."

"Bagus!" seru Juuri, sebelum dia bangkit berdiri. "Aku akan bilang pada Haru-nii kalau kau akan tinggal di sini!" Dia berjalan menuju pintu, dan membukanya. "Setelah kau menghabiskan makananmu, minum obatnya! Dan jangan membantah!" sahutnya, sebelum menutup pintu dan pergi.

Zero menatap pintu dengan perasaan geli muncul dalam batinnya, senyum mengembang di bibirnya, tawa kecil keluar dari mulutnya.

Astaga, bahkan sikapnya yang meledak-ledak itu pun mirip.

'Tapi…' Zero menghela nafas, dia menyandarkan tubuhnya ke bantal yang telah diatur. 'Apa yang harus kulakukan setelah ini?' Dia saat ini ada di rumah kediaman Kuran. Dia menggaruk kepalanya. Yah… dia cuma bisa berharap bahwa dia berada di tahun sebelum Kaname Kuran ada, atau kalau tidak, itu bakal sangat canggung ketika dirinya kembali.

To Be Continue…

A/N :

Yuuki : (ngelirik Author) Nambah fic baru lagi?

Author : (ngangguk)

Yuuki : (~_o) Nambah multichap lagi?

Author : (guilty as hell) ... (angguk)

Yuuki : (mijet dahi) Aku nggak mau dengerin keluhanmu soal update lagi. (sigh) Kau ini... ternyata masokis.

Author : (gigit bibir) ... (angguk)

Yuuki : (^v^) Terima kasih sudah membaca fic ini! And please review if don't mind!

Author : (angguk2)

...

...

...

With crimson camellia,

#

Scarlet Natsume.