Title: How Are You?

Main Cast: KaiHun/HunKai

Warning: yaoi, OOC, typo, etc

Mind to Review, No bash, No flame

.

.

.

Sehun POV

Kudengar suara khas milik sahabat terbaikku diambang pintu masuk apartemen. Suara agak melengking milik sahabatku, Tao, menyapaku di pagi hari yang menurutnya hangat ini, tapi tidak bagiku.

Pagi ini terasa dingin bagiku sama seperti hari-hari sebelumnya, dan kurasa hari ini terasa lebih membeku khususnya untuk hatiku.

Selain berbaik hati membawakan sarapan pagi untuk mencoba menghangatkanku, ia juga membawa hal lainnya. Ia membawa amplop berbentuk persegi berwarna coklat keemasan.

Amplop itu bukanlah amplop biasa untuk berkirim surat, namun sebuah amplop dengan beberapa ukiran indah diatasnya.

Kulihat isi amplop itu tak bisa dibilang tipis namun juga tak terlalu tebal. Tao meletakkan benda persegi itu diatas meja makan bersampingan dengan sarapan hangat yang ia bawakan dalam sebuah kantung plastik putih.

"Cepat makan sarapan ini mumpung masih hangat, Hun." nadanya memerintah.

Tak begitu ku gubris perkataannya tersebut, aku hanya sibuk berpura-pura fokus pada layar televisi yang sedang menyajikan siaran berita pagi.

"Sepertinya kau bahkan belum mencuci mukamu. Kau benar-benar tidak ada niatan untuk melanjutkan hidupmu, huh?" Tao sedikit memojokkanku.

Namun kalimatnya itu memang sebuah kenyataan yang sekarang adalah berwujud aku, Oh Sehun.

Keadaanku semakin hari begitu suram menurut penglihatan si green man itu. Dan akupun mengakuinya, hidupku sudah seperti seorang gelandangan yang terdampar didalam sebuah apartemen dengan fasilitas terbilang mewah.

Aku begitu kacau, hidup damai dan penuh kesenanganku mulai berubah berantakan kira-kira sejak 2 tahun yang lalu. Sudah cukup lama bukan? Tapi rasanya hari-hari kelabu itu seakan tak mau beranjak pergi dariku.

"Tak bisakah kau move on, dan melupakan masa lalumu, Hun? Cobalah untuk memulai lembaran hidup yang baru seperti dirinya." Ucap Tao yang sekarang diiringi nada seperti sebuah permohonan.

Aku tetap tak mengindahkan sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Kalimatnya itu serasa menusuk jantungku semakin dalam apalagi setelah aku mendengar bait terakhirnya.

Merasa semua perkataannya tak ada yang aku tanggapi, Tao kemudian memutuskan untuk segera beranjak pergi meninggalkanku sendiri lagi.

Sebelum ia benar-benar melenggang pergi, ia menghentikan langkahnya di ambang pintu tempat yang sama saat ia masuk tadi.

Sepertinya dia akan meninggalkan ceramah singkatnya seperti tadi untuk perbaikan hidupku.

Namun perkiraanku agak sedikit meleset.

"Bukalah kalau kau memang benar-benar sudah siap membukanya, Hun. Jangan memaksakan dirimu, jangan terlalu larut dalam kesedihanmu.

Ini sudah hampir 2 tahun. Aku begitu mengkhawatirkan keadaanmu."

Kemudian yang kudengar adalah suara pintu yang ditutup dengan amat pelan.

Serangkaian kalimat yang diucapkan Tao tadi entah ingin aku dengar atau tidak. Yang kurasakan hanya pilu yang tak kunjung pudar.

=.=


=.=

Aku memutuskan untuk kembali ke tempat tidurku dan membiarkan sarapan Tao tak tersentuh. Televisi pun kubiarkan menyala dan gilirannya yang mungkin menonton hidupku yang semakin buram saja.

Aku mencoba memejamkan mata untuk kembali ke alam bawah sadar, tapi hasilnya gagal total.

Tanganku entah kekuatan darimana malah meraih ponsel yang ada di meja nakas tepat disamping ranjang yang aku tiduri saat ini.

Aku membuka pesan dan mencoba mencari-cari nama pengirim yang ku inginkan, tapi hasilnya nihil.

"Biasanya selalu ada pesan darimu bila aku baru saja bangun tidur dan aku pasti langsung mengecek ponselku" aku mulai bermonolog ria.

Aku kemudian beranjak bangun dari tempat empuk itu. Aku berjalan ke arah balkon yang letaknya tak jauh dari ranjang tempat tidurku.

Kusibakkan tirai yang menutupi datangnya cahaya matahari dan kubuka pintu kaca dibalik tirai itu tadi.

Bagian depan tubuhku kusandarkan pada pagar pembatas balkon itu. Ku tatap langit biru yang sudah menunjukkan warna cerahnya.

Jari telunjuk tangan kananku kuarahkan ke arah langit biru dan awan putih itu. Kugerakkan jari telunjukku mengukir sebuah nama yang sangat kurindukan.

Aku tersenyum sesaat sebelum memori tentang nama yang kuukir itu melintas di otakku, dan membuat wajahku kembali dalam keadaan kusam.

"Bagaimana kabarmu, Kai? Apakah kau baik-baik saja?" tanyaku pada nama yang aku ukir ke arah langit biru tadi.

Kurasakan sakit yang teramat sangat saat aku mencoba mengingat kenangan-kenanganku berdua dengan pria yang kupanggil Kai itu.

Baik yang begitu indah maupun yang membekas sangat pahit di pikiranku, semua tak terlewatkan dari kapasitas kemampuan mengingat milik otakku.

Aku begitu mengingat bahwa kalimat "I Love You" adalah kata yang begitu sangat mudah aku dan Kai ucapkan saat itu.

Bahkan kalimat itu yang Kai bisikkan di telingaku setelah pentas drama sekolah yang aku mainkan usai.

Ia menyatakan perasaannya begitu lembut dan sangat mesra saat itu.

Pipiku bersemu merah seperti gadis yang baru di tembak oleh pujaan hatinya. Tak dapat kupungkiri perasaanku waktu itu seperti terbang dengan ribuan kupu-kupu.

Indah sekali.

Namun, semua itu saat ini hanya menjadi bingkai memori dalam kenanganku tentangnya. Aku bahkan sangat takut untuk mengucapkan bait kalimat itu, walaupun Kai tak mungkin mendengarnya.

Bibir Kai yang dulu selalu aku kecup saat aku benar-benar ingin bermanja dengannya, begitu aku rindukan.

Dari bibir merah merona itu selalu keluar kata-kata sayang dan pujian yang selalu sukses membuatku terbuai karenanya.

Namun dari bibir itu pula kalimat perpisahan terucap dengan sangat jelas dan mengawali kehidupan kacauku.

Kenangan manis dan pahit itu belum bisa kuhapus dari ingatanku.

"Bagaimana denganmu Kai? Apakah kenanganmu tentangku masih tersimpan dalam memorimu?" gumamku sarat dengan kegetiran.

Kepalaku begitu berat rasanya. Cengkraman itu rasanya tak cukup untuk mengurangi beban di kepalaku.

Ingatanku tentang Kai terus saja berputar-putar di otakku. Aku hanya bisa terduduk diatas lantai dan kuhempaskan punggungku di dinding pagar balkon.

Kutekuk kedua kakiku dan kusandarkan wajahku di atas kedua lututku. Aku bingung harus melakukan apa lagi, rasanya emosiku memuncak.

"Maafkan aku Kai, aku benar-benar minta maaf" hanya kalimat itu yang menjadi senandung piluku dan suaranya teredam karena terhalang kedua belah pahaku.

=.=


=.=

Aku akui aku masih sangat muda waktu itu, gaya berpikirku masih belum dewasa, dan aku tak pernah bisa memahami Kai sepenuhnya.

Aku seakan berlari begitu jauh darinya saat aku berada di puncak kesuksesan sebagai seorang aktor muda berbakat dan disanjung oleh ribuan fansku kala itu.

Aku bahkan sering me-reject panggilan telfon darinya dan tak pernah membalas semua pesan yang ia kirimkan.

Saat dia datang mengunjungiku ke apartemen, aku secara tersirat mengusirnya halus dengan alasan aku sangat lelah karena jadwalku yang begitu padat.

Tak jarang kulihat raut wajah kecewa dan sedihnya karena perbuatanku itu, namun aku tak begitu memperdulikannya saat itu.

Hingga akhirnya aku benar-benar tidak terkontrol dengan perbuatanku yang sering melupakannya dan menyia-nyiakan dirinya.

Bergaul di club malam dan minuman alkohol hampir setiap hari menemani diriku saat aku berada di puncak ketenaran.

Kai mengetahui hal itu dan ia dengan sabar menasihatiku untuk menghentikan semuanya.

Namun aku selalu saja mengelak dan mengatakan ia terlalu mengatur hidupku padahal kami belum ada ikatan sakral.

Ku rasa aku bisa merasakan rasa sakit yang Kai rasakan saat aku melakukan hal kejam itu padanya.

Puncaknya saat aku membawa beberapa gadis dan teman-temanku untuk berpesta di apartemenku.

Minuman keras tentu tak terlewatkan saat itu bahkan beberapa temanku membawa obat-obatan terlarang yang tidak aku ketahui.

Kai di waktu yang sama datang ke apartemenku dan melihat semuanya.

Dan parahnya aku bahkan sedang bercumbu dengan salah satu gadis yang kubawa saat Kai melakukan inspeksi mendadak ke apartemenku saat itu.

Raut wajah kemarahan muncul di wajah tampannya. Ia mengusir semua orang yang ada di apartemenku saat itu dan menarik gadis yang sedang bermesraan denganku keluar dari apartemenku.

Keadaanku saat itu bisa dibayangkan sangat kacau karena dibawah pengaruh alkohol.

Kai mencengkram kerah kemejaku dan mengguncang tubuhku beberapa kali, ia kemudian menyeretku dan menyudutkan tubuhku ke tembok dekat pantry.

"Apa-apan ini, Hun?! Kau benar-benar sudah keterlaluan" suaranya begitu keras dan sarat dengan amarah kala itu.

"Kenapa kau mengacaukan pestaku, Kai? Kau benar-benar seorang pengganggu, kau tak lihat aku tadi sedang bersenang-senang, huh?" aku benar-benar mabuk berat saat itu.

Kurasakan 2 detik setelah aku mengucapkan kalimat itu tangan kanannya melayang ke pipi kiriku, dan darah segar keluar dari sudut bibirku.

"Apa yang kau lakukan, Kai? Kau sudah gila berani menamparku!" aku berteriak kepadanya, namun tubuhku sudah tak mampu untuk berdiri.

"Berhentilah dari pekerjaanmu, hidupmu semakin kacau saja, Hun!" bentak Kai tak kalah sengit.

"Siapa kau berani menghentikan mimpiku? Pergilah dari kehidupanku!" ku akui aku sedang tak waras saat mengucapkan kalimat itu, aku begitu menyesal sekarang.

"Jadi kau tidak pernah menganggap hubungan kita ini serius, Hun?" tanyanya agak pahit.

"Menurutmu bagaimana, huh? Kalau kau terus mengatur hidupku, lebih baik kau pergi saja Kai, aku tak membutuhkanmu"

Sekilas ku lihat raut wajah Kai yang begitu terkejut dengan ucapanku, dia begitu sedih aku sendiri yang mengatakan padanya bahwa dia tidak berarti apa-apa untukku, padahal ia adalah segalanya.

"Baiklah kalau itu maumu, kita akhiri saja hubungan ini. Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi, Oh Sehun."

Setelah ia mengucapkan itu, aku hanya bisa melihat punggunggnya yang semakin menjauh meninggalkanku sendiri.

Kemudian aku tak sadar dan bangun di keesokan paginya dengan kondisi yang tidak bisa aku mengerti.

=.=


=.=

Beberapa hari setelah itu Kai benar-benar sudah tidak muncul di kehidupanku lagi.

Aku rasa ada ruang hampa didalam hatiku yang benar-benar membuatku terluka.

Apalagi setelah 2 minggu kami resmi berpisah, Tao memberitahuku bahwa Kai kembali ke Jepang dan memutuskan untuk menetap disana. Aku benar-benar semakin gila setelah itu.

Semua pekerjaanku tak terselesaikan dengan baik. Project dramaku pun semuanya dibatalkan.

Club malam dan minuman beralkohol tak menjadi temanku lagi setelah aku dibawa oleh orang tuaku ke tempat rehabilitasi dan psikolog untuk memperbaiki hidupku.

Aku mencoba merenungi hidupku setelah masa rehabilitasiku usai, dan aku menolak untuk menemui psikolog lagi setelah itu.

Aku hanya sendirian di apartemenku, aku mencoba untuk menuangkan apa yang kurasakan dalam sebuah buku.

Tak ada kabar yang kudengar tentang Kai sejak saat itu. Kecuali beberapa hari terakhir ini, Tao membawa berita yang membuat perasaanku dihujam ribuan anak panah.

Aku akhirnya bangun dan melangkah masuk meninggalkan balkon.

Aku menuju ke arah meja makan tempat Tao meletakkan sarapan untukku yang kurasa sudah mulai dingin dan tempat ia meletakkan benda itu, ya amplop itu.

Kubuka amplop coklat keemasan itu, di depan amplop itu terukir K&J dengan warna emas.

Kulihat isi dari amplop itu dan membuat hatiku terasa tersayat sembilu. Itu adalah sebuah undangan.

Sebenarnya itu adalah undangan pernikahan dari Kai untuk Tao.

Kai memberikannya saat Tao pergi ke Jepang 3 hari yang lalu. Dan sekarang Tao menunjukkannya kepadaku.

Ku lihat isi undangan itu, tertera nama Kai dan nama sang wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya tersebut dan juga tanggal kapan acara sakral itu akan dilangsungkan.

Satu minggu lagi Kai akan resmi meminang seorang wanita untuk dijadikan pasangan seumur hidupnya. Ku lihat acara akan dilaksanakan di Jepang, tempat Kai tinggal sekarang.

Aku hanya bisa menatap undangan itu dengan pandangan kosong.

Tetesan-tetesan air mata jatuh dari kedua mataku dan membasahi undangan yang sedang aku pegang dengan tangan kananku.

Tangan kiriku memegangi dadaku yang terasa begitu sesak saat ini.

Suara isakan tangis juga tak bisa ku bendung lagi.

"Aku merindukanmu Kai, aku sangat merindukanmu. Maafkan aku, Kai. " kemudian aku benar-benar hanyut denga suara tangisku.

Penyesalanku benar-benar sudah terlambat sekarang.

Aku hanya bisa merelakan Kai saat ini walaupun rasanya begitu sakit.

Undangan itu adalah saksi bisu dari kesedihan dan penyesalanku yang tak bisa digambarkan.

Sepertinya benar-benar sudah tak ada diriku lagi di dalam hidupnya atau bahkan di kenangannya saat ini.

Sudah saatnya aku benar-benar merelakannya dan mengikuti anjuran Tao. Walaupun pada kenyataannya itu akan sangat sulit aku lakukan.

Aku hanya bisa berharap bahwa Kai akan selalu bahagia dan itu tanpaku.

Sehun POV END

TO

BE

CONTINUED


Hello everybody.

This is new story about HunKai.

I'm sorry because other ff hasn't finish yet but I make new story.

This is just to forget about many news that make me little disappointed.

I hope you like this story. And as always…

special thanks to readers and reviewers my other story

especially "Please, Don't Go".

Mind to review, favourite, and like again, guys.

ThankYou^^