Summary: Hidup Sakura sengsara. Ia merangkap tiga pekerjaan sekaligus. Itu semua untuk biaya pengobatan ayahnya yang sakit parah. Tiba-tiba pria itu datang lagi ke dalam kehidupanya dan menawarkan kesempatan yang bak buah Simalakama. "Ajarkan aku mencintaimu lagi, ingatkan aku untuk membencimu kembali."

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto


Our New Chapter

"Ajarkan aku mencintaimu lagi, ingatkan aku untuk membencimu kembali."

.

.

.

Bab I

Gloomy Day

Rasanya sesak sekali. Ia merasakan kapasitas udara semakin menipis. Meski ia sudah meronta sekuat tenaga, tenaga yang menahannya jauh lebih kuat.

"Aku mohon, jangan lakukan!" teriaknya semakin panik ketika ia merasakan helai demi helai mahkotanya merah jambunya mulai dipotong. "Kumohon jangan potong."

"Oi, kau nggak mau ikutan? Ini seru lho!" ujar sebuah suara laki-laki kepada satu sosok yang sedari tadi hanya memperhatikan kejadian itu.

Gadis yang tubuhnya dipegangi oleh dua orang melirik dengan mata sembabnya ke arah sosok yang berdiri di dekat pintu.

"Aku nggak mau mengotori tanganku," katanya dingin, suaranya datar dan penuh ketenangan meski pun ia melihat gadis yang ia kenal diperlakukan seperti itu.

"Ayolah, kau coba saja," kata laki-laki berambut perak itu mengulurkan gunting dengan senyuman lebar yang menakutkan. "Atau jangan-jangan kau takut ya?"

Pria yang melipat kedua tangannya itu memejamkan matanya, kemudian menatap tajam ke arah temannya yang baru saja mengejeknya. Ia kemudian mengambil gunting yang sempat diulurkan padanya.

Ia berjalan mendekat ke arah gadis itu. Kemudian, ia mengambil beberapa helai rambut merah jambu yang begitu ia kenal. Gadis itu mendongkak dengan manik hijau nanarnya. Mata mereka bertemu. Gadis itu tiba-tiba meronta sehingga gunting itu melukai sisi kiri kepalanya.

Krrrriiiiiiiiiiiiiiing...

Ia terbangun. Wajahnya pucat pasi, kemudian ia menghela napas ketika menyadari bahwa semua itu hanya mimpi. Ia menggapai jam weker yang masih berteriak memekakkan telinga dan mematikannya dengan menggunakan tangannya.

Haruno Sakura menggeliat di atas ranjang yang baru saja ia hinggapi selama dua jam. Bukan, tepatnya satu jam empat puluh menit. Walau ia lelah, ia berusaha menepis semua rasa itu. Ia bangkit dan langsung mulai bersiap-siap untuk hari Minggu yang melelahkan.

Sakura sudah selesai mandi dan merapikan tempat tidurnya ketika ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air di dapur.

"Kemarin kau selesai jam berapa, Sakura?" sebuah suara serak mengagetkan gadis bersurai merah jambu yang tengah menunggu gelasnya terisi air. Ia melirik ke arah gadis berambut pirang yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Aku baru pulang jam empat tadi subuh," ujar Sakura sembari menghentikan keluaran air yang mengalir dari dispenser.

"Ingatkan aku agar tidak sakit menjelang deadline ya," ejek Yamanaka Ino, ia berjalan ke arah sofa di ruang tamu dan duduk di atasnya. Ino dan Sakura bekerja di satu perusahaan majalah perempuan. Sakura adalah editor sementara Ino adalah seorang ilustrator.

Beberapa hari yang lalu, Sakura ambruk saat bekerja di kantor sehingga semua pekerjaannya menumpuk. Ino sudah berusaha menawarkan bantuan, tapi Sakura mengatakan bahwa ia bisa sendirian. Lihatlah gadis itu sekarang, ia seperti manusia setengah mati.

"Tenang saja, aku sudah menyelesaikan semua naskahnya kok," kata Sakura yang kemudian meminum satu gelas air sampai habis. Ia berjalan ke arah sofa dan duduk di sebelah Ino.

"Lalu pagi-pagi begini mau ke mana?" tanya Ino dengan suara jernih setelah ia berdeham beberapa kali. "Jangan bilang kau mau bekerja?"

Sakura mengangguk, ia menaruh gelasnya di atas meja, "iya, sekarang ada pengangkutan barang masuk di supermarket, jadi sudah harus di sana jam setengah tujuh pagi."

"Astaga Sakura, kau itu belum sembuh total," kata Ino langsung menatapnya tidak percaya. "Kau harus istirahat sebelum kau mati kehabisan tenaga."

Ino tahu itu adalah kata-kata yang tidak menghibur Sakura. Bahkan nasehatnya itu tidak akan pernah di dengar oleh Sakura. "Tenang saja, aku baik-baik saja kok," ujar Sakura sembari tertawa pelan. Sakura terdiam, ia menerawang jauh.

Ino melirik sahabatnya itu, kemudian ia beralih sebelum ia ikut terhanyut dalam kesedihan. Sakura adalah anak tunggal. Ia adalah perempuan muda yang sukses. Namun, tubuhnya kurus dan ia jarang sekali terlihat memanjakan dirinya bahkan dengan gaji besar sebagai seorang editor. Ia bahkan menambah pekerjaan sampingan sebagai seorang pegawai supermarket dan pramusaji di sebuah restoran fast food.

Sebenarnya, Sakura hidup seperti itu karena keadaan ayahnya yang kian memburuk. Setelah ibunya meninggal, penyakit kanker ayahnya semakin parah. Setiap bulannya Sakura harus membiayai pengobatan ayahnya.

"Aku baik-baik saja," Sakura mengulang kalimatnya, "tapi aku lelah hidup seperti ini," kata Sakura mengepalkan tangannya. Iya, Ino mengerti. Itu bukan masalah uang, tapi kesembuhan ayahnya.

Ino kemudian memukul pundak Sakura dengan keras, "sudah sana kerja, nanti kau telat," kata Ino.

Sakura mengaduh. Ia mengelus pundak tempat Ino memukulnya. Ia tertawa kemudian bangkit. "Aku titip gelasnya ya," kata Sakura. "Aku berangkat," ujarnya kemudian berjalan ke arah pintu rumah.

Rumah itu adalah rumah milik Yamanaka Ino, tapi Sakura ikut menumpang di dalamnya. Tentu saja gadis itu yang membayar listrik dan air tiap bulannya. Meski Ino sudah memaksa agar biayanya dibagi dua, tapi Sakura menolak keras aga ia saja yang membayar sebagai ganti tinggal di rumah Ino.

.

.

.

Laki-laki itu menerima berkas yang diberikan asistennya. Setelah ia membuka map biru dan melihat foto yang tertera, pria berkulit pucat itu langsung menyuruh asistennya agar menyiapkan mobilnya.

Ia membaca dengan seksama halaman demi halaman. Ia memiliki segala berkas gadis itu bersamanya. Ada sedikit senyuman tersungging di bibir tipisnya, namun itu memudar ketika ia membaca riwayat hidup gadis itu.

"Tiga pekerjaan? Apa kau yakin?" tanya pria itu pada wanita berambut hitam pendek dengan tulisan 'Shizune' pada tanda pengenal silver yang tersemat di dada kiri blazernya.

"Iya," jawab Shizune singkat.

Pria itu kemudian mengambil kumpulan foto yang ada di akhir berkas itu. Ia melihat-lihatnya. Kemudian ia sedikit mengerutkan alisnya. Itu adalah foto terbaru gadis itu dari bidikan detektif yang ia kirim.

Ia meletakkan foto itu, ia bahkan seperti tidak mengenali gadis itu. Pria berambut hitam yang tengah duduk di kursi kerjanya itu sedikit mengusap dagunya dengan tangannya. Sejak kapan Haruno Sakura menjadi sekurus itu? Gadis itu seperti akan menjadi debu jika terkena angin. Namun, ia tahu, Sakura tidak selemah itu. Mungkin agak sulit jika meyakinkan gadis itu.

Kesepakatan adalah kesepakatan. Ia harus mencobanya.

.

.

.

Haruno Sakura baru saja menyelesaikan kerja sambilannya di supermarket. Ia beruntung karena hari ini ia tidak ada shift untuk menjaga di restoran cepat saji, jadi ia bisa langsung beristirahat dengan tenang di rumah.

Jemari tangan Sakura menggandeng sebuah kantung pelastik berwarna bening. Isinya adalah lauk pauk yang akan ia makan bersama Ino. Sakura menghentikan langkahnya tepat di depan rumah.

Ia melihat mobil hitam yang terparkir di sana. Itu bukanlah mobil Sai, kekasih Ino. Itu juga bukan mobil keluarga Ino dan teman-teman yang kiranya Sakura kenal. Sakura berjalan masuk melintasi jalan setapak sebelum mencapai pintu.

Ia membuka pintu dan yang menarik perhatiannya adalah sepatu hitam milik seorang laki-laki tergeletak rapi di teras depan, "aku pulang," kata Sakura sambil melepaskan sepatu ketsnya.

Sakura mendengar suara Ino dari ruang tamu yang berkata bahwa ia akan kembali. Kemudian, Ino muncul di balik dinding menuju ke ruang tamu. Wajahnya terlihat tidak suka. Ia berjalan cepat ke arah Sakura dan mencengkram lengan Sakura keras bak kepiting.

"Sakura, aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi ada pria yang mengaku tunanganmu datang ke sini," Sakura nyaris menjatuhkan rahang bawahnya, "tapi demi Tuhan, dia adalah pria yang tampan dan sopan. Kenapa kau tidak memberi tahu kau mengenal pria macam dia."

"Ino, aku bahkan tidak mengerti apa yang kau bicarakan," kata Sakura menarik tangannya. Ia menyerahkan Ino kantung pelastiknya. Ia mengambil payung besar di sebelah rak sepatunya, "apa-apaan kau ini. Membiarkan seorang laki-laki masuk ke rumah di saat kau sendirian. Bisa saja ia adalah perampok," bisik Sakura.

Sakura berjalan ke ruang tamu dan ia membelalak ketika mendapati sesosok pria berjas abu-abu duduk di sofa sembari menatap ke arah jendela. Ia memiliki surai hitam yang pekat. Kulitnya putih dan sehalus porselen. Sebelah poninya nyaris menutupi mata kirinya.

Walau banyak yang berubah, Sakura masih mengenali pria itu. Apalagi ketika mata mereka bertemu, Sakura semakin yakin bahwa sosok itu datang dari mimpi buruknya. Ia berdiri.

"Halo, Sakura."

"Kau," Sakura menahan suaranya. Ino hanya menatap keduanya bertatapan seperti itu, dan ia yakin bahwa sahabatnya mengenal laki-laki itu. Ia buru-buru merebut payung yang dipegang Sakura.

"Senang bisa melihatmu," katanya dengan suara yang sedikit berubah dari ingatannya. "Bagaimana kabarmu?"

Sakura tidak menjawab pertanyaannya. Ia melirik ke Ino, "Ino, bisakah kau meninggalkan kami sebentar."

Ino langsung mengangguk dan berlari ke arah kamarnya, namun ia membuka sedikit pintunya agar bisa mendengar percakapan keduanya. Sakura mengawasi kepergian Ino sebelum ia menatap laki ke arah pria itu.

"Apa maumu?" tanya Sakura dingin. Ia melihat teh yang disediakan Ino untuk pria itu, "habiskan tehmu dan keluar."

Pria itu menutup matanya dan menghenla napas. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Ia berjalan mendekat. Sakura mengambil langkah mundur, namun pria itu sudah menangkap tangannya. "Ayo menikah."

Uchiha Sasuke meletakkan kotak merah berbahan beludru itu di tangan Sakura. Napas Sakura memburu, ia langsung menarik tangannya dan melempar kotak itu ke lantai.

Ino yang mengintip dari dalam kamar langsung menutup bibirnya secara spontan. Apalagi setelah kotak itu terjatuh, sebuah cincin menggelinding dari sana.

"Siapa yang menyuruhmu datang ke hadapanku lagi?" Sakura menatap Sasuke dengan dingin.

Ino mengingat-ingat, apa pria itu mantan pacar Sakura? Namun, Ino tidak ingat Sakura pernah menceritakan pria yang satu ini.

"Aku tidak menyangka kau bisa berani seperti ini sekarang," Sasuke berjalan kemudian memungut cincin dan kotaknya. "Bukankah kau selalu melarikan diri?"

"Keluar," kata Sakura.

Sasuke mengangkat satu alisnya, "begitukah kau memperlakukanku setelah lama tidak bertemu?" Sasuke memasukkan cincin itu ke dalam kotaknya, "aku akan membantumu dengan segala biaya rumah sakit ayahmu, tapi kau harus membantuku juga."

Sakura tertawa sinis, "apa ini? Sekarang kau jadi detektif?" ejek Sakura. Sejak kapan pria itu peduli dengan kondisinya?

"Hn, sebenarnya aku membayar detektif untuk itu," jelas Sasuke memperbaiki persepsi Sakura, "yang ingin aku bicaran adalah kita bisa saling menguntungkan jika kita menikah."

Sakura tertawa, ia kemudian menatap Sasuke, "kau tidak malu, Sasuke?" Sakura menatap nanar ke arah Sasuke ketika ia menyebut namanya. "Kau lupa apa yang dulu pernah kau lakukan?"

Sasuke menatap dahi kiri Sakura, ia bisa melihat bekas luka yang sedikit terlintas di sana. Itu masih membekas setelah sekian lama, "aku akan membantumu. Aku akan membayar biaya-"

"Kalau kau ingin membantuku enyahlah selamanya," kata Sakura dingin. "Kalau sudah selesai bergurau kau bisa angkat kaki sekarang juga."

Sasuke berbalik dan meletakkan kotak cincin dan sebuah amplop itu di atas meja ruang tamu. Ia mengambil tasnya dan berjalan melewati Sakura. "Tidakkah kau ingin mengabulkan permintaan ibumu?" Ujar Sasuke sebelum ia benar-benar pergi. Setelah Sakura mendengar laki-laki itu menghidupkan mesin mobilnya, gadis itu baru roboh dan menangis.

Ino buru-buru keluar kamar dan menghampiri Sakura. Perempuan dengan rambut pirang itu segera memeluk Sakura. Ia belum pernah melihat Sakura menangis sepilu ini. Sakura adalah gadis yang sangat kuat. Ia menahannya semua sendiri, tapi pria itu membuat Sakura menjadi selemah ini. Walau Sakura mengeluarkan kata-kata kasar, ia sebenarnya sedang berada di ambang batas defensifnya.

.

.

.

Ino baru saja membaca isi amplop yang diletakkan pria yang ia ketahui bernama Uchiha Sasuke. Itu surat lamaran resmi. Apakah Sasuke itu begitu kaku? Beruntung tadi pria itu menyerahkan cincin kepada Sakura bukan surat ini.

Ino mulai menganalisis bahwa itu adalah perjodohan! Astaga, masihkah berlaku di era ini sebuah perjodohan? Tapi, pria tadi seksi sekali. Ino rela menukar tambah dengan Sai.

"Buang saja semua itu," kata Sakura muncul di belakang Ino.

Ino tersentak, "astaga, kau mengagetkan aku!" kata Ino, kemudian ia menatap Sakura. "Kau harus menjelaskan semuanya Sakura!"

Sakura duduk di sofa, ia mengangkat kakinya, "ayahnya dan ibuku berteman. Sewaktu kesulitan, ayahnya dibantu oleh keluargaku. Sampai ketika Ayah Sasuke sukses dan ingin aku menjadi menantunya untuk balas budi."

"Ini bukan novel kan?" tanya Ino heran. "Kenapa kau tidak menceritakannya dari awal Sakura?"

Sakura mengerutkan alisnya, "makanya dengarkan dulu sampai selesai," kata Sakura sedikit kesal. "Awalnya akan mudah jika hanya membuat ikatan antar keluarga karena aku anak tunggal, tapi keluarga Uchiha punya dua anak laki-laki. Tentu saja ayah Sasuke ingin aku menikah dengan pewarisnya. Sejak kecil kami berteman bertiga. Sampai akhirnya kakak Sasuke melarikan diri dan tidak mau kembali ke rumah ketika kuliah sehingga Sasuke dan aku resmi dijodohkan."

Ino menatap Sakura tidak percaya. Sakura menyembunyikan semua hal itu darinya?

"Sasuke menjadi dingin saat kakaknya melarikan diri dan menyalahkan aku atas semuanya. Sewaktu SMA dia sering membuat semua orang membullyku. Lebih parah ia dan teman-temannya pernah memotong rambutku dan Sasuke yang membuat luka ini," Sakura menyibak rambut bagian kirinya, di sana terdapat bekas luka memanjang.

Ino menutup bibirnya tidak percaya, "oh Sakura! Itu sebabnya kau tidak pernah menceritakan kenapa luka itu! Lalu apa yang terjadi? Tidak bisakah kau melawannya?"

Sakura tersenyum miris, "dulu aku penakut dan tidak pernah menceritakan apapun. Semua orang selalu berpihak kepada Sasuke. Ketika aku di rumah sakit, ayah dan ibuku bertanya padaku kenapa aku melukai diriku sendiri. Aku bahkan tidak bisa membuat kedua orang tuaku percaya."

"Akhirnya aku tahu kalau Sasuke tidak menerima perjodohan ini sama seperti kakaknya. Saat itu dia memiliki perempuan yang disukainya, jadi satu-satunya membalas dendam atas kepergian kakaknya dan penolakannya padaku adalah menyiksaku sampai aku memutuskan pindah sekolah. Aku tidak mau tinggal di rumah. Aku trauma dalam waktu yang lama, Ino. Kedua orang tuaku tidak pernah tahu. Bahkan ibuku masih berharap aku bisa menikah dengan Sasuke sebelum ia meninggal."

Ino segera bangkit, ia memeluk Sakura. Air matanya menetes begitu saja dari pelupuk matanya. "Sakura, aku tidak tahu," ujar Ino sambil terisak.

Sakura membalas pelukan Ino, tapi ia tidak menangis. "Itu sebabnya aku tidak menceritakannya. Aku sudah menganggap aku yang dulu sudah mati dan aku yang sekarang tidak mau berhubungan lagi dengan Sasuke."

TBC


(A/N) Halo. Setelah sekian lama hiatus, aku kembali lagi ke ranah ini. Semoga kalian suka. Sampai jumpa di chapter depan. Untuk rating saya jaga-jaga ya karena tema dan juga kontennya.

Salam hangat, Ruffie-chan.