Hallo semuaaa…

Hehe, nih Vee mampir dengan fic terbaru Vee. Ini fic yang idenya terinspirasi dari sebuah komik yang entah apa judulnya Vee lupa, dengan gaya bahasa pribadi.

Vee lagi semangatnya nih buat fiksi persahabatan, jadi buat fiv Vee yang lainnya nunggu dulu ya…

Declaimer © Masashi Kishimoto

Story : Be My Friend, please!

Genre : Friendship, a bit romance

(karena genre utamanya adalah 'Friendship', jadi tidak ada pairing yang spesifik)

Selamat membaca!

Menjadi pendiam bukanlah dirinya. Menjadi tertutup bukan pula dirinya. Tak punya teman juga bukan prinsipnya.

Ia benci itu semua.

Yamanaka Ino bukan gadis pendiam. Yamanaka Ino bukan pula gadis yang tertutup. Dan Yamanaka Ino suka membuat teman.

Sebuah perintah dari atasan membuat ayahnya harus berpindah-pindah tempat tinggal hingga ia pun terbawa mengikuti kemanapun ayahnya pergi.

Dan tugas kali ini, ayahnya mendapat tempat di prefektur Konoha. Tak hanya tempat tinggalnya yang berpindah-pindah, sekolah pun ia harus merasakan hal yang sama. Dan ia bisa menduga, tak sampai satu bulan ia akan kembali mengurus surat perpindahan sekolah.

"Ino-hime! Apa kau sudah siap? Tou-san sudah mempersiapkan semua surat perpindahanmu. Kali ini kau sendiri yang mengurusnya ya? Tou-san harus berangkat sekarang." teriakan ayahnya sukses membuatnya membuang nafas.

Bosan bosan dan bosan. Sudah menjadi kebiasaan setiap teriakan, ucapan, serta apa yang akan dilakukannya nanti semenjak ayahnya menerima tugas dinas yang menyuruhnya berpindah-pindah lokasi. Betapa ia tak menyukai kehidupan semacam itu. Keluar sekolah lama, berpindah tempat, masuk sekolah baru, keluar lagi, pindah lagi, seperti itu hingga seterusnya. Dan karena itu pula, ia sama sekali tak menemukan teman sejati.

Sebelah tangannya menarik tasnya dan ia menatap pantulan dirinya yang tanpa semangat dari dalam cermin.

Lagi-lagi Ino menghela nafas. Hari ini akan menjadi hari baru yang terasa biasa baginya.

%%%

Seorang siswi bertubuh tinggi, bersurai pirang panjang dikucir satu, tengah berjalan santai melewati gerbang sekolah bertuliskan Konoha High School. Banyak siswa yang berlari dari samping kanan kirinya dengan gembira. Ada yang saling mengejek, bercanda, dan saling mengumpat yang kemudian malah berpelukan.

Ada pula yang berjalan beriringan, entah bersama teman sesama jenis atau bersama pacar. Betapa mereka terlihat bahagia. Sama sekali hampir tak memiliki masalah. Dan hal itu sukses menambah mood buruknya. Hanya tatapan bosan dan.. iris aqua-blue yang selalu terlihat iri yang ada.

Ino menghela nafas dan kembali meneruskan langkahnya. Sekolah ini hanya akan berakhir sama dengan sekolah-sekolah lamanya yang lain. Tempat belajar sementara.

Kalau diperhatikan lagi, Konoha High termasuk salah satu sekolah terbesar dan terfavorit yang pernah ia masuki selama ini. Gedungnya yang banyak, lapangannya yang luas dan lengkap, siswanya yang sopan-sopan. Setidaknya kali ini Ino beruntung ayahnya memasukkannya ke sekolah ini, walau hal itu takkan berlangsung lama.

Setelah mengurusi semua keperluannya perihal perpindahan sekolah, Ino pun diantar oleh salah seorang guru yang kebetulan akan mengajar di kelasnya, Mitarashi Anko.

Anko-sensei orangnya baik dan tegas, sangat malahan. Yah, itulah pendapat Ino setelah hampir lima menit berjalan sambil mengobrol dengan wanita itu sepanjang perjalanannya menuju kelas barunya. Ino pun mulai merasa nyaman dengan wanita itu.

"Baiklah Yamanaka, ini akan menjadi kelas barumu. Ayo masuk!" dengan begitu Ino mengikuti sensei barunya memasuki kelas.

Dan begitu Ino sudah menginjakkan kaki di ruangan tersebut, kesan pertamanya tentang adalah wow! Hancur!

TUK

Bahkan sebuah gumpalan kertas sukses mendarat di kepalanya. Sementara satu gumpalan lain berhasil di tangkap Anko-sensei. Pemandangan yang sukses membuat kedua matanya melebar. Beberapa siswa saling lempar kertas, beberapa lagi ada yang justru bernyanyi dan bermain musik. Tapi masih ada juga yang tertidur dan sama sekali tidak tertarik bermain dengan teman-teman mereka yang lain. Sementara para siswi tak jauh beda dengan yang laki-laki. Ada diantara mereka yang ikut perang-perangan ataupun bermain musik dengan siswa laki-laki. Ada lagi yang bergosip hingga menambah bising kelas. Ada lagi yang justru mencoret-coret papan tulis.

Benar-benar kelas yang hancur.

"Ehem!" gertak Anko-sensei. Sontak saja, seluruh pembuat keributan itu kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Dan suasana pun berubah menjadi sangat hening. Barulah kali ini mereka menyadari bahwa selain sensei mereka ada seorang lagi yang mengisi ruang kelas itu. Ada yang menatapnya heran, ada pula yang menatapnya kagum entah karena apa.

Seakan mengerti mimik para siswanya, Anko-sensei memulai, "Hari ini kalian kedatangan teman baru. Nah Yamanaka, silahkan perkenalkan dirimu!"

Tanpa berlama-lama lagi, Ino berjalan ke tengah-tengah bagian depan kelas. Dengan satu kali bungkukan badan, Ino memulai, "Watashi wa Yamanaka Ino desu, yoroshiku."

SIIING

Yang benar saja, perkenalan singkat Ino tersebut telah membuahkan kesunyian yang berbeda dari biasanya. Seorang Yamanaka Ino, gadis yang kelihatannya sangat ramah dan berwajah manis itu hanya mengeluarkan enam buah kata sebagai perkenalan awalnya, membuat semua siswa plus Anko-sensei mengernyitkan sebelah alis dan terbengong menunggu kelanjutan cerita Ino.

Tapi sayang sekali, Yamanaka Ino tak berniat melanjutkan ceritanya lebih dari itu.

Ino, sedikitnya telah merubah suasana kelas 10-B berbeda dari biasanya.

Akhirnya setelah lama terdiam, Anko-sensei angkat bicara, "Ehem! Baiklah Yamanaka, kau akan duduk di samping Sakura. Sakura! Angkat tanganmu!"

Mendengar perintah tersebut, seorang siswi yang duduk di dekat jendela mengangkat tangan. Dari depan, Ino dapat melihat jelas sebuah keanehan yang tak biasa begitu mendapati siapa yang mengangkat tangan barusan. Seorang siswi yang diduganya bernama Sakura mempunyai warna rambut pink yang berbeda dari warna rambut umumnya. Dahinya pun sedikit lebar, namun dari situlah gadis itu terlihat manis.

Setelah mengangguk singkat, Ino berjalan ke tempat duduk di samping gadis itu, seperti yang diminta Anko-sensei.

Baru setengah perjalanannya menuju tempat duduknya, Ino sudah disuguhi bisik-bisik yang tak lain tak bukan bisik-bisik itu mengenai dirinya.

"Hsst.. wajahnya cantik sih, tapi sepertinya ia bukan orang yang mudah bergaul."

"Tidakkah kalian menyadarinya, matanya terlihat sangat bosan."

"Aku tidak suka tampang seperti itu."

"Hsst.. dia lewat tuh."

Percuma saja, berbisik pun Ino masih bisa mendengar apa yang mereka katakan. Ataupun mungkin justru mereka yang sengaja membuat Ino mendengarnya.

Ck. Ia mulai benci suasana ini.

Dan akhirnya, sampailah ia di tempat duduknya. Bangku itu terletak tepat di sebelah kanan gadis Sakura tadi, berada di barisan kedua dari samping, dan barisan keempat dari depan. Tempat yang lumayan strategis. 'Tapi kenapa justru tak ada yang menempatinya?' pikir Ino.

Tak mau berpusing ria, Ino segera menduduki bangkunya dan mengambil buku pelajarannya lalu memfokuskan diri menatap depan dimana Anko-sensei telah siap menggeser spidol hitam itu di papan tulis, bersiap untuk mengajar.

Tak hanya Anko-sensei yang sudah siap bahkan kumpulan siswi yang tadi sempat menggosip tentang dirinya, mata mereka sudah terfokus tepat pada apa yang ditulis Anko-sensei. Dan kesunyian pun didapatinya dari seluruh penghuni kelas seketika begitu sensei mengajar.

Mungkin pendapat Ino bahwa kelas barunya adalah kelas yang hancur memang benar adanya. Namun, fakta bahwa para siswanya disiplin tepat waktu juga tak dapat dipungkiri. Konoha High tak bisa diremehkan.

TUG

TUG

TUG

Lantas saja sebuah perempatan muncul di dahi kiri Ino. Entah hawa apa atau memang Ino harus menarik kata-kata inner-nya barusan, sebuah pensil dengan tanpa bersalahnya mencolek-colek lengan kirinya. Dan tanpa bersalahnya juga colekan itu tak kunjung berhenti walau Ino sama sekali tak menggubrisnya.

TUG

Lagi, dan Ino mulai kehilangan kesabarannya. Ia kesal. Siapa gerangan orang keras kepala yang melakukan hal bodoh tersebut?

Dengan wajah kesal serta sebuah deathglare, Ino pun menoleh ke samping kirinya tepat pada seorang gadis merah muda yang tengah nyengir tanpa dosanya itu.

"Apa maumu?" desis Ino dengan nada sarkatis yang umumnya dipakai gadis tsundere.

Namun, bukannya menjawab, Sakura malah langsung mengambil pena-nya dan menulis entah apa itu ke dalam selembar kertas kecil. Senyum tak lepas dari bibir itu. Hanya saja kali ini terkesan berupa senyuman biasa daripada cengiran.

Merasa tidak ada gunanya apa yang dilakukannya barusan, Ino kembali menatap depan, mencoba untuk kembali konsentra .

"Hsst!"

si. Atau mungkin tidak sebelum ia benar-benar menanggapi kemauan gadis keras kepala barusan.

Dengan ekspresi yang lebih terlihat pasrah daripada kesal, Ino kembali menoleh.

Eh?

Gadis itu tidak hanya sedang nyengir seperti tadi. Tapi di tangannya tergenggam selembar kertas kecil yang Ino yakin kertas itu kertas yang gadis pink itu tulis barusan ketika ia menoleh pertama tadi.

Dan sepertinya kertas itu ditujukan untuknya.

Dengan menaikkan sebelah alis heran, Ino menerima lembaran itu, membuat senyum oh bukan, tapi cengiran gadis pink itu bertambah lebar saja.

Dilihatnya apa yang tertulis di kertas itu.

'Hai! Aku Haruno Sakura. Ino, nanti makan siang bersamaku ya?'

Baru sekitar sepuluh menit lalu mereka saling kenal oh, tidak, bahkan mereka belum berkenalan, tapi gadis itu berani-beraninya mengajaknya makan siang. Ehem, sepertinya itu terlalu berlebihan. Makan siang memang hal yang biasa, tapi bagi seseorang yang berusaha menghindari pertemanan, hal itu seakan mengejek dirinya. Bahkan Ino sudah menunjukkannya dengan sangat jelas saat perkenalan tadi, mimik mukanya yang terlihat bosan dan tanpa semangat.

Dan kalau siswi-siswi lain di kelas itu mengerti maksudnya sempat menggosip tentangnya , kenapa Sakura yang dahinya sedikit lebih lebar dari rata-rata itu justru nekad mengajaknya makan siang?

Apa mungkin level deathgrale-nya tadi kurang?

Anak tidak peka.

Tidak. Ino harus menghentikan gadis itu. Ia tak boleh membiarkan orang lain masuk ke kehidupannya.

Dengan cekatan, Ino meraih pena-nya dan menulis balasannya di ruang kosong pada kertas kecil itu.

"Tidak, terimakasih. Urusi dirimu sendiri dan jangan ganggu aku belajar!"

Dan segera saja, Ino menyerahkan kertas itu pada Sakura yang dengan setianya menungguinya sedari tadi.

Ino sudah tak lagi peduli dengan apa yang mungkin terjadi pada gadis itu. Entah kecewa atau justru membencinya. Karena sejak awal, Ino tak menginginkan orang lain peduli atau suka padanya. Biarlah gadis itu berpikiran buruk tentangnya dan mengerti layaknya siswi lain yang sempat bergosip tentangnya.

Tanpa disadarinya dua pasang mata memperhatikannya sedari tadi termasuk mimik sendu yang dikirimkan gadis pink itu padanya.

%%%

Hidupnya terasa menyebalkan, plus membosankan. Sangat. Tapi kadang ia berharap setidaknya harinya akan berubah suatu hari nanti, dimana ayahnya tak lagi berpindah-pindah lokasi sehingga ia tak harus berpindah-pindah sekolah.

Dan sepertinya harapan itu harus ia tahan untuk sementara, melihat seseorang bukannya membuat hatinya sedikit ringan tapi justru menambah kesalnya ia.

"Pelajaran sudah selesai. Ayo kita makan siang, Ino-chan!" suara gadis pink itu lagi-lagi terdengar. Bukan hanya suara, bahkan sosoknya sedang duduk di bangku depannya yang kosong karena semua murid sedang keluar untuk makan siang. Dan dengan tidak pekanya, Sakura masih saja mendekatinya padahal ia sudah diberi peringatan tadi.

Benar-benar keras kepala.

"Makan siang saja sendiri!" sergah Ino.

Sakura sedikit terkesiap mendengar penuturan Ino yang lagi-lagi terdengar sarkatis itu. Namun, ia kembali berkata, "Ah! Tidak apa kalau kau tidak mau makan di kantin, kita bisa makan di dalam kelas ini. Bagaimana?" tanya Sakura tersenyum.

Ino tak bisa untuk tidak menatap Sakura lekat. Gadis itu tidak mengerti dan masih saja mendekatinya.

Lebih baik Ino meninggalkannya daripada meladeninya.

"Terserah kalau kau mau makan di sini. Aku pergi." Ino beranjak pergi dari bangkunya dan menjauh dari Sakura, mencari tempat yang sepi tanpa gangguan orang lain, termasuk gadis itu.

Belum sempat ia melangkah jauh dari bangkunya, suara gadis itu kembali masuk ke gendang telinganya, membuatnya terhenti seketika.

"Hei! Aku hanya ingin menjadi temanmu. Apa yang salah yang telah kuperbuat hingga kau bersikap seperti ini padaku?"

Proklamasi yang cukup berani. Walau tanpa menoleh pun, Ino tahu, gadis pink itu setengah marah, terdengar dari nada suaranya yang sedikit ditekan.

Tapi Ino takkan terpengaruh.

Apa yang dilakukan gadis itu, ia tak peduli dan takkan peduli.

Hingga, kembali meneruskan perjalanannya keluar dari kelas itu dalam diam menjadi pilihannya. Mencoba mencari tempat sepi, seperti yang dirancanakannya tadi.

Dan hal terakhir yang ia dengar sebelum ia benar-benar menghilang dari tempat itu adalah suara siswa laki-laki yang entah siapa Ino tak peduli, menghibur gadis pinky itu.

%%%

Selagi mencari tempat sepi Ino juga berkeliling sekolah itu. Biasanya siswa baru suatu sekolah akan menerima hak khusus di hari pertama masuk yaitu diantar mengelilingi sekolah oleh seseorang yang merasa berkewajiban melakukannya. Seperti ketua OSIS atau siapa saja yang mewakili. Tapi, karena hari ini Ino datang hampir mendekati jam masuk sekolah, waktu untuk berkeliling pun tidak ada. Kalaupun ada itu hanya sepulang sekolah nanti. Dan Ino tak suka menghabiskan waktu di sekolah yang hanya akan ia tinggali sementara.

Langkahnya terhenti di suatu tepat yang pada umumnya memang sepi. Atap sekolah. Ia menemukan tangga bertuliskan 'Atap Sekolah' dan memutuskan untuk menaikinya. Dan tak ia sangka, pintu penghubung menuju atap itu tidak dikunci. Sepertinya kali ini ia beruntung.

SREEZ

Hembusan angin tiba-tiba menyapunya begitu daun pintu itu terbuka. Rambut pirangnya berayun lembut, membuat bibir datarnya berubah menjadi senyuman. Kemudian, ia berjalan menuju tengah-tengah tempat itu, tak lupa untuk menutup pintu atap itu lebih dulu.

Luas.. dan sepi.

Ino menoleh ke sana kemari. Tak satupun siluet manusia yang terlihat di atap ini. Tempat ini benar-benar tak terlintas di benak para siswa.

Kalau di sekolahnya yang sebelumnya, masih ada satu dua anak yang menghuni atap sekolah seperti dirinya. Tapi, kali ini berbeda. Dan sepertinya ia akan menyukainya.

Atau.. mungkin tidak?

Ino melangkah tepat ke pinggiran atap sekolah. Spot pertama yang biasa ia tuju setelah menginjakkan kaki di atas sekolah.

Dimana dari tempat itu, Ino bisa melihat siswa-siswi lain berjalan kesana-kemari di bawah sana.

Dan tatapannya pun berubah sendu.

Hanya di tempat sesepi inilah tatapan itu muncul. Tangannya meraih pagar kawat di pinggiran atap itu. Jemari lentiknya meremas di antara kawat-kawat. Menimbulkan suara 'cring' yang hanya sementara terdengar.

Selama ini ia terus bersembunyi, bersembunyi dari orang-orang sekitarnya, dan memunculkan mimik itu setiap kali ia sendiri. Ia tak ingin sosoknya yang tampak lemah itu diketahui orang lain. Bahkan ia sendiri.

Dadanya terasa sesak. Jemarinya semakin menekan kawat itu sekali lagi. Seakan benda yang kelewat kecil itu adalah penopang tubuhnya yang siap jatuh kapan saja.

Dua siswa, tiga siswa, dan kumpulan siswa yang tengah asyik di bawah sana kembali menjadi objeknya. Lagi, mereka tampak senang. Tak seperti dirinya yang selalu..

Sendiri.

Hanya dari satu kata itu, hatinya menjadi kacau. Dan kalaupun ia berusaha membuangnya, perasaan sepi yang menekan itu selalu muncul. Yamanaka Ino kesepian.

Dan air mata bening itu pun menjadi saksi bisu betapa ia merindukan kehadiran seorang teman.

%%%

Setelah agak lama ia menyendiri, Ino memutuskan untuk melakukan sesuatu. Tangannya menyapu bekas air mata. Kemudian, diambilnya ponsel miliknya dari saku rok sekolahnya.

Sesaat, ia sempat ragu akan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Matanya menatap diam layar ponsel yang terlihat kosong itu. Menimang-nimang apakah keputusannya benar atau tidak.

Setelah sekian lama berpikir, akhirnya jemari lentiknya mulai menari di atas keypad ponselnya. Pertama ke menu, kemudian kontak. Yang berujung pada sebuah nama seseorang yang selalu diingatnya.

Ia mengambil nafas dan menghembuskannya. Ino harus melakukannya, keputusannya, ia harus mencoba.

Dengan keberanian serta was-was yang selalu mendampingi, Ino mulai menekan tombol hijau yang sedari tadi ditatapnya.

Setelah sekiranya tersambung, ia menarik ponsel itu tepat ke telinganya.

Tanpa Ino sadari, ia sudah menggigit bibir bawahnya sendiri, harap-harap cemas panggilannya dijawab atau tidak.

Tak lama kemudian, muncullah suara 'klik' dari seberang sana yang ditunggu-tunggunya.

"Moshi-moshi. Siapa ya?" suara yang terdengar feminim itu bertanya. Ino sedikit ragu untuk membalasnya.

Namun, karena tak ingin membuat penanya menunggu, akhirnya Ino bersuara, "Halo, Karin-chan. Masih ingat aku? Aku Ino, Yamanaka Ino?"

"Maaf, Ino? Siapa ya?" senyuman yang sempat menghiasi bibir tipis Ino kini berubah kecut demi didengarnya penuturan langsung seseorang yang dipanggilnya Karin itu. Tak hanya itu, sorot matanya pun kembali meredup.

"Aku.. bukankah kita pernah sekelas? Di musim dingin lalu, kau ingat? Aku murid pindahan itu loh, dan aku mendapat tempat duduk di belakangmu." walaupun dari nadanya, Ino seakan terdengar gembira. Namun, pandangannya justru tampak kosong dan.. kaku. Tersirat kekecewaan bila diamati dengan jelas.

Ino sudah menduga ini akan terjadi.

Sunyi pun ia dengar dari seberang telepon. Mungkin sosok di seberang sana tengah berpikir, mengingat-ingat siapa Ino bagi orang itu. Berpikiran seperti itu saja menambah geram Ino.

"Ah, ya! Aku ingat sekarang. Maaf ya, habisnya kau cepat pindah sih, jadikan aku lupa. Hehe Oh ya, bagaimana kabarmu, Ino? Ada apa nih kau menelponku?"

Kabarku sedang tidak baik-baik saja. Dan aku hanya ingin memastikan temanku masih mengingatku atau tidak.

Ino sudah ingin mengatakannya kalau saja ia tak menahan diri. Dadanya lagi-lagi berdesir mengetahui temannya tak benar-benar ingat akan dirinya.

"Aku baik-baik saja. Sudah ya, sepertinya aku lupa kalau aku masih punya urusan lain. Bye."

KLIK

Bahkan di akhir kalimatnya, ia tak menyebut nama orang itu.

Ia terlanjur tersakiti.

%%%

"Inooo!" seru gadis berambut merah muda dengan cerianya pada Ino yang baru saja akan memasuki kelas. Langkah Ino terhenti sesaat dan menatap sebal posisi Sakura dan sosok itu sendiri yang kini sedang duduk bersebelahan dengan laki-laki berambut kuning jabrik, mungkin ia juga teman sekelasnya.

Di ruang kelas itu sudah terisi beberapa siswa yang mungkin baru selesai melakukan istirahat mereka. Beberapa di antaranya adalah para siswi yang sempat menggosip tentangnya di awal perkenalannya dengan kelas ini. Mereka sama-sama menatap Sakura aneh sesaat setelah gadis itu meneriaki Ino yang jelas-jelas terlihat tak suka. Tak ayal, mereka juga menatap Ino heran. Namun, Ino tahu, secuil ketidaksukaan tersorot dari manik mata mereka.

Ino menghela nafas.

Kenapa mereka mau merepotkan diri melakukan hal tak berguna itu padahal siswa-siswa lain dengan acuhnya tak memperdulikan Ino. Sepertinya ia harus menambah level tatapan kebosanannya untuk lebih meyakinkan gadis-gadis itu bahwa ia tak suka berada di antara mereka.

Ia pun kembali berjalan menuju bangkunya yang tanpa persetujuannya telah diduduki anak laki-laki berambut jabrik itu. Ia menghentikan langkahnya dan menatap pemuda itu kesal, sebagai isyarat agar pemuda itu menjauh dari kursinya. Dan sepertinya justru Sakura menyadari hal itu.

"Naruto, minggirlah! Itu tempat duduk Ino," ucapnya agak pelan.

Namun, entah ada lem atau bocah itu memang keras kepala hingga ia tak mau beranjak dari kursi Ino dan malah membalas tatapan tajam Ino.

Bocah ini suka mencari masalah rupanya.

"Aku tidak ahli dalam bela diri atau semacamnya. Jadi, kalau boleh dengan kata-kata saja, pergilah kau dari tempat dudukku!" ujar Ino.

Pemuda itu berdiri. Namun, ia tak lantas pergi. Ia justru semakin mendekat dengan tampang marah pada Ino membuat Ino harus mendongak karena tinggi tubuh mereka yang berbeda. Dari sudut matanya Ino dapat melihat Sakura yang menatap mereka khawatir.

Ino sudah mengira akan pukulan yang mungkin menimpa dirinya, dilihat dari wajah marah yang dipakai pemuda itu.

Tapi, tinjuan yang diduganya malah tak muncul digantikan dengan bisikan tajam yang dipakai pemuda itu, "Jangan coba-coba membuat Sakura menangis, LAGI!"

Naruto, nama laki-laki itu, kembali menarik badannya dan berbalik mendekati Sakura dengan mimik wajah yang sangat berbeda ketika ia menatap Ino tadi. Mimiknya kini berubah riang.

Ino pun tak ambil pusing. Toh, sejak awal ia sudah memperingatkan gadis pink itu untuk tidak mengganggunya. Bukan sepenuhnya salahnya kalau gadis itu menangis.

Ia melangkah mengambil duduknya. Mengambil buku dari dalam tasnya untuk persiapan jam pelajaran selanjutnya.

"Sakura-chan! Kalau ia membuatmu menangis, katakan padaku ya? Aku akan memberinya pelajaran." entah sengaja dibuat keras atau tidak, tapi suara pemuda jabrik itu jelas-jelas hampir mencapai level menggelegar yang mungkin semua yang ada kelas ini dapat mendengarnya dengan jelas. Membuat Ino seolah-olah tersangka kasus narkoba saja karena kini semua mata menatap ke arahnya. Walaupun penghuni kelas itu masih sebagian, tapi Ino yakin, setelah semua penghuni asli ruang kelas ini masuk, nama buruknya akan segera menyebar.

"Naruto, jangan berlebihan! Ia tidak membuatku menangis kok," balas Sakura sedikit pelan sambil memenangkan Naruto.

"Tapi Sakura "

"Tidakkah kau dengar apa yang dikatakannya? Aku tidak membuatnya menangis. Jadi berhenti mencari perhatian orang lain," potong Ino segera. Kalau tidak dibuat seperti itu, pemuda itu tidak akan diam. Tapi, benarkah dugaannya?

"Kau ini! Jelas-jelas tadi kau sempat melukai Sakura. Aku melihatnya." pemuda itu malah meluncurkan protes yang berkelanjutan. Bahkan suaranya tidak bisa hanya disebut 'hampir menggelegar' tapi 'cukup menggelegar'. Dan hal itu membuat Ino risih.

Sama seperti si gadis, ia juga keras kepala.

"Naruto "

"Diam Sakura! Biar kuberi bocah ini pelajaran."

Bocah? Bukankah justru dia yang pantas disebut bocah?

"Hei, dengar ya! Sakura itu baik. Dia sudah berbaik hati padamu, kau tak seharusnya bersikap seperti itu padanya. Kalau kau bersikap seperti ini terus, kau tidak akan punya te "

"Berisik! Dobe, hentikan ocehanmu!" seseorang yang baru masuk kelas tiba-tiba memotong kalimat Naruto. Suasana pun menjadi sedikit terasa berat. Siswa-siswi lain hanya diam menyaksikan adegan konfrontasi pada anak baru itu.

Ino tetap diam. Semua kata-kata Naruto memang benar. Bocah itu tipe bocah yang pedulian. Tapi, walaupun begitu, semua kata-kata Naruto memang tujuannya sejak awal. Bersikap buruk dan tak mempunyai teman adalah tujuannya. Ia takkan merasa bersalah sedikitpun bila diceramahi seperti itu.

Naruto sendiri menatap tajam pada pengganggu yang tiba-tiba muncul di saat-saat yang dianggapnya emas. Usahanya melindungi Sakura mendapat gangguan.

"Diam kau, Teme! Aku hanya ingin memberi pelajaran pada murid baru ini agar dia " Naruto sudah akan melayangkan protes pada Ino ketika kata-katanya kembali terpotong oleh orang yang sama.

"PR dari Orocimaru-sensei sudah selesai. Terserah kau mau melihatnya atau tidak." dengan santainya orang baru itu berjalan menuju bangkunya yang kebetulan berada di samping kanan dari bangku di belakang Ino.

Dan yang tidak Ino duga lagi adalah wajah girang pemuda jabrik itu dengan mata yang bersinar seakan ia baru saja menemukan harta karun. Harta karun yang diduganya adalah PR yang dikatakan pemuda berambut hitam tadi. Entah bagaimana, Ino mulai berpendapat bahwa anak itu bodoh dalam pelajaran.

Naruto pun mulai beranjak pergi setelah sesaat memberi peringatan pada Ino, "Ingat apa kataku tadi! Kuawasi kau."

Dan Ino pun membuang nafas lega begitu pemuda itu pergi.

%%%

Ino berjalan santai menuju dapurnya. Hari sudah sore, waktunya memasak untuk makan malam. Kebetulan, karena ayahnya sering berpindah-pindah dinas, ia dan ayahnya juga harus berpindah-pindah tempat tinggal. Kali ini mereka menyewa apartemen eksklusif di salah satu gedung milik pemerintah Konoha. Jadi karena itulah, biaya tempat tinggalnya dan ayahnya gratis. Dan hal itu cukup menguntungkan bagi Ino. Ia akhirnya bisa menabung dan masuk sekolah favorit seperti Konoha High.

Ia beranjak menuju almari gantung dapur itu, mencoba mencari bahan makanan yang akan dimasak. Pandangannya heran seketika. Isi almari itu masih kosong seperti kemarin malam saat mereka sampai di apartemen ini. Mungkin ayahnya lupa untuk belanja lebih dulu sebelum berangkat kerja. Sepertinya kali ini giliran dia yang harus membeli bahan makanan.

Tak apalah, toh ayahnya sudah memberinya uang belanja yang juga setengah dari uang tabungannya dipakai untuk keadaan darurat seperti ini. Ia pun segera bersiap diri untuk pergi belanja.

%%%

"Lobak? Tidak. Wortel? Tidak. Paprika? Sudah..." terdengar seorang gadis remaja tengah asyik bergumam sendiri di sebuah supermarket kecil tak jauh dari tempat tinggalnya. Di depannya, sebuah troli belanjaan hampir terisi penuh oleh bahan-bahan makanan. Dan dengan sedikit tambahan lagi, ia pastikan ia akan segera pulang.

"Ah! Tomat!" pekiknya. Setelahnya, ia mendorong troli-nya mendekat ke arah kumpulan tomat segar tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

Tanpa ba-bi-bu lagi, ia segera menjulurkan tangannya meraih salah satu tomat yang kelihatannya lebih besar daripada yang lainnya.

SRET

Tiba-tiba saja, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan seorang pelanggan lain yang kebetulan memilih tomat yang sama yang dipilih Ino, nama gadis tadi. Mereka sama-sama menyentuh tomat itu. Ino hanya terbengong dan segera menoleh ke pemilik tangan itu.

Sontak, ia terkejut. Ia mengenali pemilik tangan itu. Laki-laki berambut hitam dengan tatapan tajam, yang juga teman sekelasnya yang entah siapa. Menyadari perubahan kejadian mendadak, Ino segera menarik kembali tangannya dari tomat itu, membiarkan pemuda itu untuk memilikinya.

Ia tak menyangka akan bertemu siswa lain Konoha High di tempat itu, terutama teman sekelasnya.

Ia belum mengantisipasi hal semacam ini terjadi.

Sebenarnya, bukan masalah besar bila salah satu temannya memergokinya di tempat umum seperti ini. Hanya saja ia tak suka. Takutnya, kalau mereka sampai membuka pembicaraan ketika bertemu dengannya, padahal Ino sudah berusaha mengisolasi diri dari berkomunikasi dengan mereka. Atau mungkin, tanpa ia sadari, teman-temannya memergokinya saat topeng yang biasa dipakainya di sekolah tak sedang menutupi wajahnya. Ia takut, mereka akan menemukan siapa sosok asli Yamanaka Ino yang sebenarnya. Ino tak ingin itu.

Tanpa memperdulikan kedatangan tak terduga teman sekelasnya tersebut, Ino segera menarik kembali troli-nya, berniat meninggalkan rak bagian itu. Lagipula, sejak kapan ia menganggap pemuda itu temannya? Tak peduli pun, tak masalah baginya.

Namun sayang, sepertinya dewi fortuna sedang tak memihak padanya.

"Hei!" panggil pemuda itu.

Ino lantas menghentikan dorongannya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, berharap dengan begitu saja, pemuda itu tahu ia sedang mendengarkan. Namun di sisi lain juga ingin menimbulkan kesan bahwa ia tak suka akan panggilan pemuda tersebut.

Setelah menunggu agak lama, tak didapatinya lanjutan dari panggilan pemuda itu. Merasa penasaran, Ino pun berbalik hanya untuk mendapati pemuda itu kini berdiri tegap tepat di depannya.

"Tidakkah kau ingin menyapaku? Itukah yang kau lakukan pada temanmu?" tanyanya dingin, mirip seperti tampangnya. Di tangannya tergenggam tomat hasil rebutan kecil tadi.

"Apa kau termasuk golongan 'teman' itu sendiri?" balas Ino. Sungguh, ia tak ingin bertemu siapapun yang masuk dalam anggota 'penghuni' kelasnya saat ini.

"Hn. Ini tomatmu," katanya sambil menyodorkan tomat di genggamannya pada Ino.

"Tidak, terima kasih. Aku sudah mendapat gantinya."

"Benarkah?"

Dan Ino hanya bisa menaikkan alis bingung dengan pertanyaan terakhir pemuda itu. Ia pun menoleh ke keranjang belanjaannya. Tapi ia sama sekali tak menemukan buah merah yang dimaksud di dalam sana. Oh, ya. Ia lupa, ia tidak sempat mengambil tomat lain tadi dan langsung pergi begitu saja berniat segera meninggalkan pemuda itu.

Dengan wajah merona karena malu, ia pun menoleh dan segera menyambar tomat itu. Bahkan tanpa mengucapkan terimakasih, ia langsung berbalik dan pergi begitu saja.

%%%

"Baiklah anak-anak, kali ini sensei membutuhkan nilai kerja kelompok kalian. Jadi, untuk hari ini sensei minta kalian membuat kelompok kalian masing-masing terdiri dari empat anggota. Tulis nama anggota kelas kalian terlebih dahulu." suara guru bahasa itu menggema di seluruh penjuru kelas. Semua siswa diam memperhatikan. Dan begitu perintah singkat itu selesai dibaca, anak-anak langsung berpindah tempat ataupun berkompromi mencari pasangan kelompok mereka masing-masing.

"Ino-chan, satu kelompok denganku yah?"

Sudah Ino duga, suara itu pasti menjadi salah satu suara yang pertama masuk ke gendang telinganya setelah kegiatan kelas semacam ini muncul.

"Kenapa harus mengajaknya segala Sakura-chan? Aku, kau, dan Teme saja cukup bukan?" dan jangan lupakan satu suara lagi yang mendampingi.

'Dua sejoli keras kepala,' pikir Ino.

Ino lantas mengangkat tangan.

"Sensei! Saya belum dapat kelompok," katanya.

Dari situ, Ino dapat mendengar seringaian milik Naruto dan pekikan tak percaya Sakura.

Asuma-sensei menyadari hal itu. Ia lantas mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. Tak lama kemudian, ia kembali fokus menatap Ino.

"Sepertinya hanya kelompok Sasuke saja yang masih kekurangan satu orang. Kau bisa masuk kelompok itu Yamanaka," kata Asuma-sensei yang sukses membuat Ino terbelalak tak percaya. Tidak bisakah sensei-nya itu mengusahakan sesuatu agar ia tidak satu kelompok dengan dua sejoli itu?

"Tapi sen "

"Yay! Ino-chan masuk kelompokku!" pekikan Sakura menggema keras di telinga Ino, menghentikan Ino dari aksi protesnya yang kedua.

"Tugas kalian ada di depan sini. Masing-masing ketua kelompok bisa memilihnya. Sensei harus pergi karena masih ada urusan lain. Dan jangan ramai di kelas!" dengan begitu Asuma-sensei pergi meninggalkan kelas juga Ino yang menatap kepergian guru itu kecewa.

Ia menghela nafas pasrah. Sepertinya ia tak bisa kabur kali ini.

Ino mulai bergerak, begitu juga Sakura dan Naruto, mereka menata bangku terdekat menjadi satu untuk mempermudah kerja kelompok mereka. Tak lama kemudian, satu orang lagi muncul di antara mereka yang lantas membuat Ino melebarkan matanya.

'Dia kan.. yang kemarin.'

Menyadari pandangan terkejut Ino, pemuda itu pun justru berseringai, yang mau tak mau membuat Ino sedikit jengkel karenanya. Ia tak menyangka, pemuda itu juga satu grup dengannya. Dan siapa tadi namanya? Er.. Sasuke?

"Kali ini tugas kita apa Sasuke-kun?" suara Sakura menyadarkan lamunannya. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada grup itu.

"Kita hanya diminta untuk membuat wacana mengenai kehidupan seseorang, momen bahagia dan sedihnya, serta kehidupan sehari-harinya." pemuda yang dipanggil Sasuke itu menjawab santai sambil meletakkan kertas tugas itu di tengah-tengah mereka.

"Jadi, seperti menceritakan kehidupan seorang tokoh begitu?" tanya Sakura antusias. Entah apa sebabnya, Ino berpikir Sakura terlalu antusias untuk sebuah tugas kelompok ini.

"Ya. Bedanya kita akan mewawancarai orang umum dan bukan seorang tokoh masyarakat."

"Mana asyik kalau seperti itu? Ah, tugas ini tidak menyenangkan ditambah dengan adanya dia di sini." sebuah telunjuk dari seorang pemuda jabrik ditujukan padanya, tepat hampir mengenai hidungnya. Wajahnya yang kesal kentara sekali. Dan Ino pun mulai merefleksikan mimik itu di wajahnya. Ia juga kesal.

Tidak ingin kalah, Ino membalas, "Apa masalahmu?"

Dua pasang mata lainnya kini tertuju pada mereka. Satu dengan mimik khawatir, satunya lagi masih dengan tampang dingin seperti biasa.

"Kau itu masalahnya. Aku tidak suka dirimu dan tampang bosanmu itu."

Ino hanya menatap pemuda itu. Sebenarnya ia punya cukup kata-kata untuk membalas perkataan Naruto, tapi untuk saat ini ia rasa diam adalah yang terbaik.

"Hei! Kenapa kau diam sa "

"Naruto! Terus bicara atau aku mengeluarkanmu dari kelompokku." Sasuke memotong. Kini justru dia yang menatap Naruto tajam.

"Jangan sampai aku mendengar ini. Apa kau membelanya?"

"Naruto "

"Aww!" Naruto mengerang. Ternyata Sakura lebih dulu mencubitnya agar pemuda itu bisa diam. Wajah manisnya berubah merah kesal. Walau ia sangat peduli dengan pemuda pirang itu, tapi terkadang ia juga sangat kesal dengan sikap Naruto. Sikap Naruto yang seperti inilah yang tidak ia suka.

"Berhenti bersikap seperti anak-anak, Naruto!"

Kalau sudah berurusan dengan Sakura, Naruto hanya bias diam merengut. Yah, intinya dia tak bisa melawan Sakura.

Mereka mulai berdiskusi. Kali ini pun Ino tak banyak bicara. Ia hampir tak mengenal satu orang pun penduduk Konoha yang mana kali ini akan menjadi objek dalam tugas kelompok mereka. Sekalipun Ino ingin berpartisipasi, ia tetap tak membantu banyak. Jadi, ia hanya diam menurut setiap keputusan yang dibuat grupnya.

"Baiklah, sudah diputuskan. Aku dan Naruto akan mewancarai Nara Shikamaru, pebisnis jenius kota ini. Sakura dan Ino akan mewancarai Tsunade Senju." Sasuke berucap.

"Kau membiarkan Sakura pergi dengannya?" lagi-lagi naruto berusaha meluncurkan protes. Ia sangat tidak suka Sakura bersama Ino.

Dan kali ini Ino tidak bisa tinggal diam, "Kau boleh membunuhku kalau aku membunuhnya."

"K-Kau " Naruto bertambah kesal tapi tidak bisa berucap apapun.

%%%

TBC

Apa ini? Apa ini? #mondar-mandir histeris# cerita apa ini? #gampared#

Hehe…okelah, untuk menambah semangat Vee, mohon review-nya…

#bungkuk-bungkuk#