She adalah karya pertamaku yang membuatku merasa di akui, adalah karya yang mencapai 80 review dengan hampir 2000 lebih viewer di akun Tsukyuu Floo Kitsune sebelumnya, bukan jumlah yang seberapa memang tapi untuk pertama kalinya aku merasa dibutuhkan, ada orang2 yang bersedia membaca karyaku, dan aku berterimakasih banyak karnanya. Membaca review dari Aphrodisiac, Devil, dan Part Of Me, aku merasa She mengalami ketertinggalan. Aku jadi mengabaikan karyaku yang ini, untuk itu sekarang aku kembali untuk memperbaruinya.
Ada banyak hal kenapa She di remake. Salah satunya adalah aku ingin menjadi seorang penulis, bukan hanya sekedar seseorang yang menulis suatu karya, tapi menjadi penulis yang menciptakan suatu karya.
Untuk itulah mulai dari sekarang aku akan memperbaiki seluruh ffku yang ada. Mulai dari typos, eyd, alur, diksi, tata bahasa, dialog, dan sebagainya. Aku masih terus berlajar memperbaiki diri, untuk itulah ku putuskan untuk tidak jadi Hiatus mulai dari sekarang.
Akhir kata, Terimakasih atas dukungan kalian semuanya.
SHE
Disclamaire : Masashi Kishimoto own all character of Naruto.
Genre : Au, Romance, Angst, Drama, and Humor.
Warning : Typo(s), Not EYD, OOC, and Crack-pairing.
Special dedicated for : Syakiela Riza Aka Rara Syakiela.
Happy Reading
.
.
.
Tsukyuu Floo Kitsune
Sabaku Gaara menemukan sosok itu ditengah-tengah keramaian ini lagi, berdiri dalam keheningan wangi musim semi yang menentramkan karna cerahnya langit Konoha sore hari ini. Seorang gadis berambut pirang platina yang kini tengah bersandar dengan anggunnya dibawah pohon plum sembari memfokuskan iris cantiknya yang menatap lurus-lurus padanya.
. . . Atau mungkin saja tidak.
Karna pada faktanya, bukan hanya dirinya saja yang berada ditempat ini. Yang ia yakini sosok itu pasti tidak hanya menatapnya, melainkan juga pada pria berambut spiky berwana biru kehitaman yang tengah sibuk dengan naskah dan dunianya sendiri dihadapannya tersebu.
Uchiha Sasuke.
"Sasuke!" panggilnya enggan. Pria dihadapannya itu mengangkat kepalanya lalu memberi tatapan sinis yang sudah biasa ia lihat.
Gaara memberi kode pada Sasuke menggunakan dagunya, menunjuk titik jauh dibelakang bahu pria Uchiha itu—namun bukannya menoleh, Sasuke yang kini tengah duduk dikursi santai sama seperti dengannya itu hanya mengangkat alisnya pertanda Who—care?—me?—Oh! Fuck—off—Please—are—you—kidding? Dan kembali membolak-balikan naskah dramanya dengan cuek.
Snut.
Sudut siku-siku terbentuk di dahinya.
Astaga!
Dia ini benar-benar!
"Kau akan mengabaikannya?"
Sasuke hanya diam tak mengubris ucapan Gaara, seolah ucapan pria di hadapannya tak lebih dari angin lalu.
"Dia kekasih—Aa, bukan, tapi Tunanganmu 'kan?" tanya Gaara lagi dengan pelan, tanpa ekspresi yang berarti menatap pada Sasuke dengan tatapan datar andalannya.
"Ya, lalu?"
Gaara mengendikan bahu agar terkesan lebih santai walaupun percuma. "Kau tak ingin menemuinya? Sekedar menyapa mungkin?"
"Aku rasa..." Sasuke melemparkan naskahnya keatas meja yang telah tersedia sejak tadi mereka di sana. "Bukankah kita tidak terlalu dekat untuk harus mencampuri urusan pribadi kita masing-masing, Sabaku?" nadanya terdengar tenang namun sekaligus menekan dan mengancam. Gambaran seekor Serigala yang tengah menemukan mangsanya sebagai 'makanan pembuka', Sasuke memang tipikal sosok yang control-freak, dan ia tak sudi kalau ada orang yang mencoba memerintahnya. Mendengar sarkasme dari bibir Sasuke membuat Gaara mendengus kesal.
Memang hubungan mereka berdua tidak dapat dikategorikan 'baik' karna ini baru kedua kalinya mereka bertemu sebagai rekan kerja dalam drama yang kabar baiknya disutradarai oleh seorang kerabat dekat mereka. Anehnya entah sengaja atau tidak sutradara tersebut adalah sahabat baik keduanya secara terpisah, Uzumaki Naruto. Dan kabar buruknya adalah Sasuke dan Gaara tak pernah bisa bersahabat baik karna sikap mereka yang—katakanlah sangat teramat mirip.
"Aku hanya berpikir," Gaara menatap Sasuke dari ujung kepala hingga kaki. Terlihat sekali bahwasanya ia tengah menilai sosok bermata sekelam langit malam tersebut, dan tatapannya itu berhasil membuat sang bungsu keluarga Uchiha itu mengertakan gerahamnya emosi.
Tatapan yang meremehkan dan mencemooh.
Gaara berdiri dari posisi duduknya kemudian terlihat membersihkan debu yang sekiranya menempel pada bagian-bagian tubuhnya.
Cih! Apa kau berpikir dirimu lebih baik?
Batin Sasuke, ia memutar bola matanya merasa jengah.
"Apa ada yang bisa dipikirkan otakmu itu heh?" balas Sasuke kasar.
"Kau menyedihkan," ujar Gaara datar, lalu pria bertato 'Ai' itu menyunggingkan seulas senyum sinis. "Sangat. Menyedihkan."
Ucapan Gaara berhasil membuat ego Sasuke tersentil. Ia merasa muak mendengar nada mengiba yang ditujukan Gaara secara langsung padanya.
"Simpan saja untukmu sendiri!"
Gaara mengangkat alis kanannya pertanda kurang setuju. "Apa kau selalu seperti ini? Apa kau berpikir bahwa Matahari akan selalu mengitarimu?"
Hening.
Tak ada respon dari bibir Sasuke sama sekali, pria itu hanya menatap Gaara dengan kening berkerut dan itu membuat celah bagi Gaara untuk segera beranjak pergi. Diam-diam ia melemparkan pandangannya ke tempat gadis tadi berada selama sesaat.
Nihil.
Gadis itu sudah pergi dan Gaara bersyukur karnanya—entah hal apa yan patut ia syukuri.
Ia melangkah mendekati Naruto yang tengah berteriak mengarahkan seorang aktris cantik bermata kehijauan didepan sana.
"Naruto," Gaara memanggilnya dengan nada datar, namun Sahabat kepala kuningnya itu seolah tengah tenggelam dalam dunia yang merupakan ekpetasinya seorang diri.
"Tidak! Bukan begitu! Ekspresimu kurang meyakinkan Nona Haruno!" suaranya melengking dengan hebatnya menggunakan corong berbentuk segitiga. Ia menunjuk-nunjuk ke arah seorang gadis di hadapannya.
"Naruto," pangilnya mencoba bersabar.
"NG! CUT!" Naruto makin berteriak gemas. Entah tak sadar atau sengaja tak mengacuhkan panggilan teman baiknya.
"Uzumaki Naruto!"
"Ini drama aksi! bukan telenovela atau drama picisian! MANA KEKUATANMU HAH? MANA?" teriaknya menggila. Gaara mendesah lelah. Melirik pada jam tangan yang melingkari tangannya dan perasaan takut bahwa ia akan terlambat terasa menekannya, sedangkan sosok didepannya ini sama sekali tak bisa berkompromi. Itu sebabnya, untuk kali ini saja, dengan sangat teramat terpaksa Gaara melakukan tindak anarkisnya.
Lagipula satu dua pukulan tidak akan membunuh seseorang, Iya 'kan?
"Yakk! APA KAU—"
"NARUTO!"
DUAGH!
"AAARGHHH!" teriakan kesakitan telak tak terhindarkan. Sang pemilik marga Uzumaki itu mengelus kepalanya yang mendadak pening dan menoleh dengan ekspresi kesal, mendapati sahabat karibnya yang kini tengah meletakan sebuah mediator pelampiasan kekesalannya yang merupakan sebuah papan persegi bercat hitam putih kembali pada tempatya.
"Gaara!" rajuknya seperti anak kecil. "Apa sih? Memukul Orang tampan sepertiku tanpa alasan itu tindak kejahatan, loh. KE-JA-HAT-AN!" Kata Naruto dengan kenarsisan satu tingkat lebih tinggi ketimbang kegilaannya.
"Adeganku sudah berakhir 'kan? Aku mau pulang lebih awal," tanya—lupakan, itu adalah pernyataan yang penuh dengan paksaan oleh Gaara, ia begitu to the point—sama sekali tak mau berbasi-basi atau sekedar mengubris ekspresi protes dari sahabat kentalnya. Naruto memutar kedua bola matanya skeptis.
"Oh, Oh, hebat sekali Tuan Muda Sialan Sabaku No Gaara, " kata Naruto sakartis, ia mendesis sembari menatap penuh kebencian terhadap Gaara.
"Tunggu! Jadi ka-kau memukulku hanya untuk bertanya padaku hal seperti ini?" Ekspresi wajah Naruto berubah menjadi terpukul dengan benar-benar dramatis. Ia menatap Gaara dengan tatapan memelas anak anjingnya.
"Ya? Ada masalah?" tanya Gaara tanpa rasa bersalah sama sekali, wajah tampan yang terpoleskan ekpresi datar itu membuat Naruto hampir menjatuhkan dagunya keatas lantai.
"Ka-kau! Kau bisa memanggilku baik-baik 'kan?" seru Naruto heboh sendiri, ia menunjuk-nunjuk wajah Gaara dengan jarinya tak sopan. "Aku tak menyangka kau tega melakukan ini kepadaku Gaara! Kalau besok digit iqku berkurang aku akan menuntutmu!" Teriaknya makin mendramatisir.
Bitch please!
Orang-orang yang tak sengaja mencuri dengar interaksi keduanya meringis menyimak ucapan Naruto.
Apa jadinya kalau iq Naruto yang hanya memiliki dua digit angka itu berkurang? Bah, bisa -bisa mati kutu mereka dengan cara dijadikan kutu setiap harinya oleh pria berkepala pirang tersebut. Yah, dimata para kru dan orang-orang di sekitarnya gambaran sosok Uzumaki Naruto cukup dilambangkan dengan tiga kata; Idiot, konyol, dan menyenangkan.
Tapi tentu saja kalau Naruto tidak seidiot kelihatannya 'kan? Ya, semacam itulah.
Gaara menggaruk pipinya canggung. "Ku pikir itu sudah lebih baik Naruto. Terakhir kali diabaikan seseorang, aku memukulnya dengan tongkat baseball," jawabnya kelewat polos, dengan kedua mata mengerjap syarat akan perasaan tak berdosa.
Kali ini berganti ekpresi Narutolah yang berubah datar secara dratis. Tak ada ekspresi bodoh dan senyum konyolnya pun luntur tersapu angin.
A—apa?
Ia menatap Gaara horror, tak percaya sama sekali pada ucapan yang baru saja Gaara lontarkan. Entah itu hanya gurauan atau kenyataan, terjelas ucapannya bisa membuat Naruto bergidik ngeri sekarang, terlebih dengan ekspresi lempeng yang tepatri diwajah tampan Gaara membuat Naruto yakin sahabatnya itu tak mungkin memiliki sense of humor sepertinya.
Kami-sama~
Naruto menatap jam tangan yang melingkari lengannya dan berdehem demi menghindari situasi awkward yang ada.
"Pulang dan istirahatkan otakmu itu sana," usirnya dengan nada kesal. "Masih ada lima sampai enam jam tersisa sebelum syuting kita jam sembilan malam nanti, itupun kalau kau tidak ada jadwal lain," cerocosnya.
"Terimakasih." Gaara sudah hendak beranjak pergi saat ia teringat akan sesuatu. "Aa, tolong kau perhatikan pria menyedihkan itu," katanya sembari memandang kearah Sasuke, lalu kembali membawa turqouisenya pada Naruto.
"Jadi kau bisa tau kapan tepatnya ia mengila," ujarnya sembari tertawa sinis. Naruto menelengkan kepalanya tak mengerti.
"Memangnya si teme kenapa?"
Gaara hanya mengangkat bahu lalu bergegas pergi, mengabaikan teriakan protes penuh keingintahuan Naruto
"Ck, kalian berdua itu sangat mirip tahu? Menyebalkan dan irit bicara!" teriaknya pada Gaara yang makin menjauh.
Ya. . .Fakta itupun Gaara mengetahuinya.
Sasuke dan ia sering dibanding-bandingkan.
Keduanya memiliki paras yang tampan tanpa bersusah payah untuk harus melakukan perawatan atau bahkan operasi yang dikenakan tarif selangit mahalnya, postur tubuh ideal dengan abs yang tercetak sempurna, tinggi dengan kategori memadai ketimbang pria-pria lainnya, kulit putih bersih layaknya keturunan eropa luar sana. Keduanya sama-sama aktor berbakat yang sedang naik daun dan paling dicari karena tengah digandrungi oleh wanita-wanita muda, tua, lansia, bahkan para pria sekalipun karna kesuksesan karir mereka.
Terlebih lagi dengan latar belakang anak berada yang disandang keduanya, membuat Gaara maupun Sasuke sangat mudah mendapatkan jalur tawaran kerja. Dan oh, astaga! Tak cukup dengan sederet prestasi dan bakat mereka yang telah ada, Tuhan bahkan masih saja membuat keduanya sama-sama memiliki Iq diatas rata-rata yang membuat mereka semakin dipuja-puja.
Sempurna, bahkan nilai dengan angka 1 diikuti dua 0 dibelakangnya pun tidak akan cukup menilai diri mereka.
Gaara dan Sasuke sebanding, sama rata, sama dengan, dan sama-sama lainnya yang apalah itu namanya.
Hanya saja Gaara selalu merasa bahwa ia telah dikalahkan oleh sang pewaris bungsu Uchiha.
Bukan karna ketenaran atau pencapaian, bukan karna kekayaan atau ketampanan, tapi karna apa yang sangat diinginkan oleh Gaara telah menjadi miliknya.
Milik seorang Uchiha Sasuke.
Meskipun Gaara berani bersumpah bahwa, Sasuke sama sekali tak pantas mendapatkannya.
Tidak pantas sama sekali merengkuh sosok murni itu dalam genggaman tangannya.
Tsukyuu Floo Kitsune
Gaara berhasil menemukan sosok itu di tempat parkiran, sosok yang sama yang ia dapati dibawah pohon plum beberapa saat tadi, berjalan sedikit lambat dengan senandung yang merupakan bel surga bagi Gaara.
Kepalanya terpaling ke kanan dan ke kiri mengamati keadaan sekitar, setelah dipastikannya aman dan sepi—tanpa ada mata seseorang ataupun mata kamera yang akan menangkap tingkah lakunya nanti, iapun berlari tanpa segan kearahnya.
Tap!
Tangan putih Gaara berhasil memerangkap tangan dihadapannya, menariknya mendekat dan membawanya berlari bersama—setengah menyeret ke tempat dimana ia memarkirkan mobil sport berwarna hitam miliknya di ujung parkiran.
Gaara menyenderkan gadis itu ke badan mobilnya, lalu ia segera menyudutkannya dengan meletakan kedua tangannya menyelubungi sosok itu, warna pirang memenuhi pandangnya dan itu membuat Gaara merasa hangat dan juga...utuh sekaligus.
Sudah hampir enam hari lamanya ia tak menemukan sosok ini, dan ia begitu merindukannya hingga paru-parunya terasa mengkriut tanpa kabar dari gadis tersebut.
"Hai," sang gadis terseyum begitu manis. "Apa kabar Sabaku—san?" tanyanya dengan nada formal—dan asing. Gaara tak pernah suka bila sosok di hadapannya menyapanya dengan nada formal begini karna baginya itu mengesalkan, dan ya sosok itu selalu tau cara terbaik membuatnya kesal. Tentu saja Gaara, tentu saja.
Gaara mendengus. "Tentu saja baik selama melihatmu, apalagi kalau aku mendapatkan ciumanmu?" Satu alisnya terangkat, bibirnya menarik seringaian tampan setelah bibir itu berucap dengan nada menggoda pada sang gadis.
Gadis itu tertawa ceria lalu mencondongkan kepalanya kedepan.
Cup.
Satu kecupan mendarat dipipi kanan sang Sabaku, menyerempet sedikit ke sudut bibirnya—kalau saja Gaara menoleh maka bibir mereka akan bertemu sepenuhnya, namun Gaara yang masih tidak mengerti akan situasi yang ada hanya terpaku dengan ekspresi terkejut yang tak jauh berubah dengan trademark dingin yang permanen di wajahnya.
"Aku merindukanmu, Gaara—kun," katanya sembari terkikik geli melihat ekspresi aneh Gaara. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja selamat dari kematian dalam cerita-cerita bernuansa horror dan gore.
Gaara berdehem, entah kenapa tenggorokannya berubah gatal sekali. Seperti ada makhluk berduri yang menyangkut di sana dan membuatnya tersiksa. Ah, apa ia lupa memberitahumu bahwa gadis ini bukan tipikal gadis agresif?
Well, kau tahu sekarang.
Jadi tak perlu menganggap aneh ekpresinya karna ini—for God Sake!—pertama kalinya sang gadis menciumnya duluan dalam kurun waktu mereka bersama selama ini.
"Kau gadis na—kal," ujarnya agak terbata, entah kenapa nada suara Gaara berubah getir di akhir. Ah, mungkin karna debaran keras di dadanya? Ya, mungkin saja.
"Benarkah? Tapi kau suka 'kan?"
Cup.
Satu kecupan lagi mendarat dipipi Gaara, namun kali ini dipipi sebelah kirinya. Gaara memutar bola matanya terhibur lalu berdecak tak menyangka dengan tingkah gadis dihadapannya.
"Kau sibuk eeh Gaara-kun?" tanyanya sembari merapatkan diri ke badan pria itu dengan cara menarik bagian depan pakaian yang dikenakan Gaara dengan gerakan sensual menggoda. Jemari ramping Ino tergerak membuat lingkaran di dada Gaara, membentuk satu diksi aneh bagi pria yang di sentuhnya.
Kau mengerti tentang hormon? Fuck yeah! Berarti ia tak perlu menjelaskan alasan kenapa Gaara menjadi lebih gugup sekarang.
Ia hanya takut hilang kendali.
"Tidak," Gaara mengatur ekspresi wajahnya, berusaha tidak terlihat bahwa— sungguh demi apapun yang ada—ia ingin mendorong Ino masuk ke jok belakang mobilnya dan mencumbu gadis itu sekarang juga, memerangkapnya hingga sosok itu hanya bisa mendesah keras di bawahnya.
"Haruskah kita pergi main?" Gadis itu mendongak menatap Gaara dengan pandangan berbinarnya dan hell—Gaara segera melumat bibir itu dengan cepat, mengigit, mengisap, dan menjilatnya dengan dengan terburu-buru seolah tak akan ada hari esok.
Sosok gadis belia yang tak siap akan serangan itu pun mendadak memundurkan tubuhnya bersikap menghindar, tapi Gaara malah maju dan menbuatnya terhimpit antara pintu mobil dan tubuh atletisnya.
Tangan Gaara bergerak merengkuh pinggang sosok di hadapannya dengan hati-hati sementara tangan yang lain malah merangkum pipi sang gadis. Ia menggerakan kepalanya berpindah posisi—berusaha membuat sang gadis nyaman akan ciumannya, dan ya, tak butuh waktu lama gadis itu pun menikmati ciuman yang ia peroleh. Keduanya saling melumat satu sama lain, bahkan sesekali pertarungan lidah tak tehindarkan.
Ckp.
Ciuman mereka terlepas dengan satu benang savila yang makin terurai di udara, Gaara mengusap bibir basah dihadapannya menggunakan ibu jari.
"Bagaimana denganmu? Kau sibuk?"
Sang gadis— meskipun dengan napas tersenggal, ia tetap menjawab lirih atas pertanyaan Gaara. "Tidak."
"Haruskah kita bermain semalaman?" satu seringai seksi tercetak di sana, gadis itu memberenggut kesal lalu memukul dada bidang Gaara dengan kasar.
"Mesum," katanya dengan nada kesal yang dibuat-buat. Mata turqouise Gaara berkilat tajam.
"Bukannya kau yang mesum? Aku 'kan tidak bilang kalau kita bermain diranjang," katanya dengan nada tanpa dosa.
"Su-sudahlah!" ia mendorong-dorong dada Gaara agar menjauh darinya namun tak berhasil karna pria itu jauh lebih kuat darinya. Tapi dasarnya keras kepala, sosok itu terus menerus mendorong-dorong dadanya, Gaara menaikan satu alisnya terhibur.
"Apa kau sedang mencari-cari alasan agar bisa meraba-raba dadaku?" tanyanya dengan tatapan mata yang berkilat jenaka.
Gadis itu memelototkan matanya tak percaya, bibirnya menganga mendapati informasi yang baru saja masuk dari telinganya dan diolah dengan baik oleh kepala. Tangannya berhenti spontan dan mengambang secara otomatis di udara.
"As—astaga Gaara!" pekiknya sembari menempelkan telapak tangan di keningnya seolah-olah ia baru saja mendapati soal aljabar yang tergabung dengan logaritma di depan matanya dan sukses membuat kepalanya pening dan berkunang-kunang. Ya, cobaan paling menyakitkan dalam sejarah kehidupannya adalah Matematika dan Gaara.
Karna keduanya sama rumitnya.
"Kau ini menyebalkan sekali!" rutuknya dengan pipi di kembung-kembungkan. Imut.
Gaara tergelitik untuk tertawa kecil melihat tatapan yang dibuat-buat sesinis mungkin oleh sang gadis. "Hei Nona, wajahmu memerah. Berarti aku benar hm?"
"Jangan menggodaku lagi!" Serunya. Gaara malah tersenyum senang karna rajukan itu.
"Ayo pergi," ajaknya sembari menarik tubuh gadis itu dalam pelukannya dengan alasan agar bisa membukakan pintu mobilnya, padahal itu tidak lebih akal-akalan semata agar dapat melakukan skinship lainnya dengan sang gadis.
"Aku tak mau tempat yang mencolok," pesan sang gadis sembari duduk nyaman didalamnya. Gaara hanya menganggukan kepalanya sebelum akhirnya memutari bagian depan mobilnya dan juga masuk ke sisi di belakang kemudi.
"kau sudah meminta izin—'nya'?"
"Buat apa? toh ia tak akan memusingkan kemanapun kakiku berlari 'kan?"
Gaara menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap melajukan mobil kesayangannya saat berucap dengan nada tenang, "mungkin. Tapi kalau ia tau kakimu berlari padaku, akan beda ceritanya."
"Gaara," jawab sang gadis dengan nada rendah. Gaara tertawa kecil lalu menepuk kepala sang gadisnya yang berubah kesal.
"Aku tahu, aku tahu, ini rahasia 'kan?" tanyanya.
Sang gadis membuang wajahnya keluar jendela, dan roda mobil sport itu segera berputar membelah jalanan dengan kecepatan sedang.
.
.
.
Karna Sasuke mengenggam sosok sempurna gadis di sisinya, sosok yang telah pria itu abaikan dan lalai ia jaga hingga Gaara berhasil ada di antara keduanya.
Sosok semurni malaikat yang membawakan kententraman di jiwa tersesat milik Gaara.
Dia, sosok yang mampu membuat Gaara merelakan seluruh hal yang ada dalam dirinya, bahkan kalaupun kebahagiaan sosok itu harus di tukar oleh jiwanya, Gaara akan akan melakukan apapun untuknya.
Karna hanya dia..
Dia yang mampu membuat Gaara kehilangan pikirannya, dia yang mampu mengontrol seluruh hidupnya, dia sosok berharga yang datamg ke dalam kehidupan sia-sia miliknya.
Dia, Yamanaka Ino.
Tsukyuu Floo Kitsune
Yamanaka Ino adalah gadis berambut pirang platina, bermata aquamarine, berparas cantik layaknya putri dari dalam dongeng-dongeng lama yang menjelma menjadi nyata. Ia sudah merebut hati Gaara sejak awal takdir mempertemukan mereka. Ia adalah seorang psikiater handal bergengsi dan diakui sebagai dokter kejiwaan terbaik di Konoha. Ino cerdas, cantik, anggun, dan berkarakter. Sosok yang terlalu sulit untuk di jangkau siapapun.
Semua ini dimulai dari tiga tahun yang lalu, saat proses pembuatan dorama D'day—pertama kalinya Gaara dan Sasuke dipertemukan dalam satu produksi, Naruto memperkenalkan Ino yang tak lain adalah saudara sepupu jauhnya pada mereka semua.
Sejak pertemuanya tersebut, Gaara tak sadar ada debar yang menuntutnya untuk ingin mengenal sang gadis lebih dan lebih dekat lagi. Namun setelah hampir enam bulan mengenal sang gadis debar asing dan aneh itu terbantahkan oleh satu fakta; Ia sudah bertunangan.
Bagaimana perasaan Gaara? Ah, sudahlah tak perlu kau tanya, menurutmu bagaimana rasanya memiliki tunas-tunas muda yang belum berkembang dan hancur terinjak-injak begitu saja?
Miris? Tolong jangan mengasihaninya.
Terkadang gadis itu akan datang ke lokasi syuting untuk membawakan mereka semua makanan, atau sekedar menonton diam-diam dari jauh seperti tadi yang ia lakukan. Setiap detik kehadiran sang gadis tak pernah alpha dari rekaman retina turqouise itu.
Gaara berpikir mungkin ini hanya karna ia penasaran, bagaimana ada kecantikan sejatu tanpa banyak make up berlapis dan aksesoris bertingkat yang dipakai gadis itu.
Natural.
Itu adalah kesan yang terus melekat dipikirannya, ya, mungkin saja karna di mata Gaara gadis itu berbeda, makanya ada sisinya yang ingin lebih dekat (dalam artian lebih dekat sebagai teman mungkin?) Ya, semua jenis hubungan juga terkadang berawal dari teman 'kan?
Namun sampai akhir syuting selesai pun, ia tak pernah berkomunikasi secara khusus dengan Ino, karna interaksi mereka tak lebih dari sekedar tukar tatapan atau senyuman, atau lagi barang mengobrol ringan sebentar dan terkadang hanya bertukar sapa sejenak, dan kalau misalnya syuting itu selesai, tak ada cara bagi Gaara untuk bertemu dengannya 'kan?
Lalu bagaimana kalau misalnya Gaara ingin melihat senyuman gadis itu? Atau sekedar mendengar tawa merdu yang terlantun dari bibirnya. Kecil kemungkinan untuk mereka bisa bertemu dan berselisih jalan, dan mereka tidak sedekat itu hingga bisa bertukar kontak barang pergi hangout bersama (kecuali Naruto mengajak Ino saat ada pesta tertentu, itupun hanya ada 0000, 2% kemungkinan, dan sisanya harapan semu)
Awalnya ia berpikir, "ini bukan masalah besar, hanya perasaan sesaat. Toh, lambat laut perasaanya akan terhapus dengan sendirinya."
Tapi hingga nyaris tiga minggu kemudian, Gaara tak sanggup mengatakan kalimat itu pada sosok dipantulan cermin kamar mandinya yang terlihat begitu berantakan, itu dirinya sendiri. Ia memang memiliki insomnia hingga ada lingkaran hitam yang menggantung disisi matanya—meskipun diakui fansnya itu makin menambah nilai jual Gaara yang membuatnya makin terlihat seksi—namun kantung matanya benar-benar hitam kini hingga Gaara yakin ia hanya perlu mengganti warna rambutnya menjadi hitam putih dan—Taraaaa—Gaara siap di kandangkan bersama makhluk-makhluk imut dari cina pecinta bamboo.
Hell ya!
Dan sebenarnya Gaara malu mengakui bahwa ia tak pernah sekacau ini karna seseorang, tidak pernah merasa sedepresi ini hingga Gaara takut kalau-kalau ia akan gila dalam waktu singkat.
Ya, gila karna benar-benar memuja wanita bermata aquamarine itu nantinya.
Berbekal rasa ketakutan itulah ia diam-diam menghubungi Naruto dan bertanya di mana ia bisa menemukan seorang psikiater handal.
"Ia yang terbaik di jepang, Gaara!"
Kata-kata Naruto menuntun Gaara sampai di depan pintu bercat coklat keemasan, ia sudah membuat janji sejak seminggu yang lalu. Gaara tak yakin apakah perasaan tertekan dan rasa sesak yang di alaminya ini termasuk gangguan kejiwaan, tapi berbaring di dalam kamar berhari-hari tanpa mau peduli dengan apapun lagi sukses membuat kedua kakaknya itu melakukan aksi ini itu yang menyusahkannya.
Dan lagi, Gaara tak mau berakhir seperti pemeran-pemeran pria kedua menyedihkan di telenovela yang mati bunuh diri karna sesuatu yang sentimentil berlandaskan alasan klise; Cinta.
Lalu, sepertinya Tuhan tengah mempermainkannya sekarang karna yang ada di dalam sana adalah sosok yang selama ini membuatnya merasa nyaris menggila.
Yamanaka Ino dalam bingkai frame kacamata dan duduk dengan senyuman menenangkan di bibirnya, jendela yang terbuka di belakangnya menangkap sinar matahari sore masuk menimpa kilauan pirang rambutnya.
"Selamat sore."
Gaara nyaris menjedukan kepalanya di daun pintu, berharap ia tak berdelusi lagi. Tapi demi menjaga imagenya yang telah terbangun setinggi gedung putih dan agung, ia mencoba bersikap cool di hadapan sang gadis. Meskipun tanpa sadar hatinya sudah menjerit fanboying, nyaris menyerupai fans-fans anarkisnya saat jumpa fans terjadi.
Lalu seperti sebuah kebiasaan, ia jadi sering menemui Ino di tempatnya bekerja guna 'berkonsultasi' soal gangguan tidurnya sebagai alasan, pun demikian Gaara lebih sering menatap gadis itu ketimbang mendengarkan sesi konseling yang Ino lakukan dan Gaara sadar, ini hanya akan menambah kegilaannya.
Tapi semua kegilaan yang bersangkut paut dengan Ino membuatnya lebih hidup, mengarahkannya menjadi seorang manusia yang sebenarnya, Ino adalah poros kehidupannya dan itu membuatnya bahagia. Gaara bahkan bersumpah tak pernah sebahagia ini setelah ibunya meninggal.
Awalnya ia merasa cukup dengan semua ini, tentu saja. Cukup hanya dengan menatap wajah itu dihadapannya, cukup hanya dengan merasakan sosok itu sebentar di menit-menit harinya. Cukup dengan itu semua ia merasa hidup.
Pelan-pelan sisi keras kepala Gaara melunak, dan egoisme tingginya menurun. Angin perubahan membawanya menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa.
Tapi fakta selanjutnya yang ia dapatkan adalah; Uchiha Sasuke—tunangan Ino, tidak pernah sekalipun memberikan hati maupun pikirannya pada Ino.
Kenyataan itu benar-benar membuat Gaara terbakar akan api kecemburuaannya hingga sisi keras kepala Gaara kembali terbangun apik, membuat benteng egoisme yang sudah buta akan kebenaran. Ia jatuh pada kegilaannya dan menyeret Ino ke dalamnya.
Dalam satu hubungan semu yang terasa benar dan salah secara bersamaan. Dalam satu hubungan yang terasa terlalu manis untuk ditinggalkan sekalipun mereka jatuh dalam kubangan dosa.
Karna mereka, dua insan yang jatuh dalam lubang neraka, saling bergelut dengan perasaan masing-masing dan terus melakukan penyangkalan demi pembenaran.
Mereka merengkuh, dan mencium satu sama lain, merindu dan mendekap satu sama lain, mencinta dan menyayangi satu sama lain, meskipun salah satu dari mereka telah memiliki lingkaran ikatan di jari manisnya.
Dan dititik inilah Gaara selalu mengakui, bahwasanya Uchiha Sasuke selalu lebih unggul darinya. Selalu lebih menang darinya.
Meskipun seorang Uchiha Sasuke tidak lebih sempurna dari seorang Sabaku No Gaara.
Tsukyuu Floo Kitsune
"Apa yang ingin kau makan, Gaara—kun?"
"Kau?" Jawabnya spontan.
"Iishh!" Ino mendesis kesal sembari menatap pria berambut merah bata dihadapannya, ia menutup buku menu berwarna hitam ditangannya dan meletakan diatas permukaan meja dengan satu pelototan mata untuk Gaara, memasang wajah sok garang yang malah menuai satu kekehan tertahan dari bibir bungsu Sabaku.
"Kalau begitu bawa aku ke Hotel, bukan ke sebuah Restaurant seperti ini," jawabnya setengah menyindir menanggapi perkataan dari Gaara.
"Benarkah?" tanya Gaara sembari bersidekap didepan dadanya, mata menilai dengan alis tertaut. Ino mendelik pada pria dihadapannya.
"Ya ampun Gaara..." desahnya random. Ia tau dengan pasti Gaara tak bersungguh-sungguh, hanya sekedar menggodanya saja. Pria itu sangat menghargainya dan kadang hal inilah yang membuat Ino merasa bersalah padanya.
"Aku sudah mem-booking seluruh Restaurant berkelas ini hanya untuk makan berdua saja denganmu. Apa aku harus mem-booking satu Hotel bintang 7 semalaman penuh untuk tidur berdua saja denganmu?"
Duk!
"Aaah," Gaara mengusap tulang keringnya yang ditendang dengan kasar oleh Ino dibawah meja.
"Berani sekali kau ini Tuan Sabaku Berengsek Gaara," desisnya tajam dengan wajah yang merona hebat, tidak sinkron sekali dengan delikan aquamarinenya. Ino akui diusianya yang hampir 27 tahun ia masih kurang dalam pengalaman dewasa seperti itu. Sekedar pengetahuan sih ada, apalagi ia seorang dokter.
Hanya saja Ino tak mau melakukannya, bukan karna ia sok suci disini, tapi ia menjunjung tinggi moral dan adat yang telah ditanamkan padanya sedari kecil. Dan itu juga adalah satu dari sekian alasan Gaara sangat mengaguminya.
Dddrrttttt...
Benda persegi berwarna pearl gold milik Ino bergetar dari dalam tasnya, ia mengambilnya lalu menatap tak berminat pada layar ponselnya. Kemudian dengan entengnya meletakkan ponselnya di atas meja dan mengabaikan panggilan telepon yang tertuju padanya.
"Berisik," gerutunya sebal, ia kembali membuka buku menu, menelusuri tiap nama dan gamnar yang terpasang disana.
"Siapa?" Sebenarnya Gaara tak perlu bertanya, ia tahu dengan sendirinya hanya saja itu seperti sebuah basa-basi yang ia perlukan.
"Ha? Oh, Sasuke," jawabnya dengan nada enggan.
"Kau tidak mengangkatnya?"
Ino terkekeh mendengar pertanyaan retoris Gaara. " Apa aku boleh menjawab telepon tunanganku, wahai simpananku?" tanyanya dengan nada menggoda, kedua kelopak mata yang mengerjap centil. Gaara mengendikkan bahunya.
"Apa kau suka kalau aku mengangkat telepon wanita lain disaat berdua denganmu?"
"Humm... aku tak tau kau sudah memiliki wanita lain, yang sah tentunya." Ino malah mengalihkan pembicaraan mereka.
Yah, mengingat kepopuleran Gaara, tentu saja ia memang memiliki banyak wanita dimasa lalunya. Ia bahkan tak bisa mengitung berapa banyak wanita yang melemparkan diri dikakinya, dan yeah, fakta tentang ia adalah seorang badboy dulunya hanya membuatnya merasa buruk di mata Ino.
"Kau benar, aku tak pernah memiliki wanita yang sah dan selalu melakukan One Night Stand dengan wanita diluar sana ketimbang menjalin suatu hubungan. Sekali jatuh hati aku malah menjadi simpanan," jawabnya dengan skeptis. "Astaga, apa ini hukuman dari Tuhan?"
Ino tersenyum miring karnanya, meskipun sebenarnya beningnya kristal mulai merangkak mengenangi permukaan aquamarinenya.
"Kau menyesal?"
"Tidak." sahut Gaara cepat, tanpa perlu berpikir.
Ino meletakan kedua sikunya diatas meja, lalu saling mengenggam tangannya satu sama lain, terakhir ia menaruh dagunya diatas kepalan tangan. "Kita..." Ino meneguk savilanya susah payah saat turqouise Gaara menatapnya intens, dan fuck! Kenyataan bahwa ia telah menjadikan seseorang seprefect Gaara menjadi selingkuhan membuat Ino nyaris mengigit lidahnya sendiri sampai putus. "—bisa mengakhirinya, kalau kau mau,"
Gaara menatap Ino tajam.
"Lupakan saja, aku tak akan—astaga, aku tau ini sangat ewwh dan chessy, " Gaara mendengus dan menelan savilanya. "Tapi aku tak akan melepaskanmu bahkan sampai terseret di neraka sekalipun," ucapnya tegas, tak terbantah.
"Tsk! Apa kau bisa memperbaiki caramu berucap Gaara?" tanya Ino sembari menggembungkan pipinya. Gaara berdiri lalu mencondongkan sebagian tubuhnya ke depan—melewati meja dan berakhir dengan tangan yang lebih dulu menarik tengkuk Ino.
Kiss.
Gaara mengecup bibir Ino dengan ringan dan lembut, memberi satu dua lumatan manis di sana. Penuh dengan kehati-hatian dan penjagaan. Kelembutan ciuman yang diberikan oleh Gaara membuat Ino merasa sesak memikirkan kalau-kalau esok tak akan ada Gaara disisinya. Ia yang awalnya terkejut dan hanya bisa membeliakan matanya, akhirnya menutup kelopak aquamarine itu dan menikmati ciuman manis dari kekasih gelapnya tersebut, sekaligus mengabaikan telepon yang berdering kesekian kali disisinya.
Poor to Uchiha Sasuke!
Tsukyuu Floo Kitsune
Sasuke melemparan ponselnya diatas tanah. Kesal. Marah. Kecewa. Emosi. Tak terkendali.
Semuanya tercampur aduk di benaknya. Ino tak menjawab teleponnya ataupun membalas satu saja pesan singkat yang sudah ia kirimi bermenit-menit lalu.
"Hoi, Teme."
"Jangan ganggu Naruto," desisnya murka.
Naruto mengangkat alisnya merasa diabaikan. "Apa sih?" tanyanya polos.
"Ck," decak Sasuke merasa terganggu.
"Aku 'kan hanya menyapa, kenapa marah-marah seperti wanita yang sedang PMS gitu sih?" Naruto duduk dikursi yang sebenarnya ditempati Gaara barusan. "Atau kau memang sedang PMS? Waah, apa aku harus memeriksa jenis kelaminmu Eeh, Sasuke?" tanyanya dengan nada usil dan alis tertaut.
Sasuke mendengus kesal. "Cerewet."
"Apa kau bertemu Ino?"
"Tidak."
"Hum? Aneh sekali, tadi Kiba melihatnya sekilas tapi tak yakin apa itu Ino atau bukan. Dan ketika aku mencarinya, Ino tak ada dimana-mana."
"Hn."
"Tapi kalau kau tak bertemu dengannya berarti itu bukan Ino 'kan? Ino pasti menemuimu meski hanya sebentar!"
Sasuke hanya bungkam mendengar perkataaan Naruto yang terasa ganjil, lalu ia terlarut memikirkan ucapan ambigu Gaara.
Apa kau berpikir bahwa Matahari akan selalu mengitarimu?
"Gaara tadi melihatnya."
"Oh, astaga! Bagaimana mungkin ia tak mampir menemuiku terlebih dulu?" kesal Naruto sembari mengeluarkan smartphone—nya, ia mengutak aktik ponselnya dan bersiap menelpon nomor yang sudah terpampang dilayarnya saat suara tajam Sasuke menginterupsi. "Tak perlu repot menelponnya, ia saja tak menjawab telponku."
"Ooh..." Naruto kembali menyimpan ponselnya. "Mungkin ia hanya mampir sebentar," ujarnya kemudian. Sasuke hanya mengangkat bahunya tak peduli.
"Terserahlah."
"Hei! Dia itu tunanganmu teme, apa-apaan nada bicaramu itu?" peringat Naruto sebal dengan sikap tak acuh yang melekat sejak lahir di sosok sahabatnya tersebut.
"Kau itu berisik sekali sih, Naruto?"
"Kau itu dingin sekali sih, Sasuke?" balas Naruto tak mau kalah.
Sasuke hanya mengernyitkan alisnya lalu menghempaskan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Ekspresinya berubah menjadi lebih serius dengan tatapan lurus yang mengunci Shappire blue dihadapannya.
Biru dan Hitam saling beradu.
Mencoba mengisi dan membaca pikiran lawan bicara mereka satu sama lain.
"Kau tau? Akhir-akhir ini aku khawatir karna rasanya terlalu tenang."
"Ha?" Naruto menatap bingung Sasuke, tak mengerti alur pembicaraan ini terjadi. "Kau ini kenapa sih? Apanya yang terlalu tenang?"
". . .Ino," ujar Sasuke dengan kalimat mengantung.
"Ino? Ino terlalu tenang?" tanya Naruto membeo, lalu sedetik kemudian wajahnya memerah karna menahan emosi. "Maksudmu adik sepupuku itu badai yang akan selalu menerjangmu? Atau angin topan yang berputar-putar dan membuat keributan? Fuck! Dasar sialan kau Sasuke!"
"Aku tak berkata begitu," elak Sasuke sembari menatap Naruto datar. "Hanya saja, ku rasa ada yang berbeda darinya."
"Berbeda bagaimana?"
Sasuke hanya menghela napas karna tingkat kebodohan Naruto yang tak berubah sama sekali. Pria penggila ramen ini suka sekali membuatnya bermain tarik urat leher saat beradu argumen dengannya. "Ino berubah, puas?"
"Berubah?" nada suara Naruto berubah menjadi lambat-lambat, ia meletakan salah satu jari telunjuknya dibawah dagu dengan alis yang berkerut serius. Menatap lurus-lurus pada Sasuke yang balik menatapnya dengan tatapan ingin tahu. Lama Naruto terdiam sebelum membuka mulut tanpa suara, lalu kemudian menutupnya lagi.
"Aaa,"
"Jangan bertele-tele!" sergahnya langsung, Naruto mendengus dan berdecak sebal.
"Berubah menjadi apa? Power Ranger? Avenger? Ultraman? Doraman? Hatoriman? Spiderman? Wonderwoman? Cat Woman? Xman? Man A Woman?" tanyanya sinting dan membuat Sasuke spechless karnanya.
Sasuke memijit pangkal hidungnya, ia merasa sangat bodoh karna sesaat tadi sempat percaya bahwa Naruto akan menanggapi ucapannya dengan serius.
"Tsk, aku ingin mencari udara segar," putusnya kemudian, ia berdiri meninggalkan Naruto yang masih berceloteh ria ke sana ke mari.
Fuck! Sasuke merasa telah dibodohi oleh orang yang lebih bodoh darinya.
"Heeii...heiiii...Sasuke," panggil Naruto dengan suara cemprengnya tapi Sasuke terlalu kesal untuk sekedar mengubris teriakan berisik Naruto.
Ketika punggung tegap Sasuke sudah menjauh darinya, tatapan Naruto berubah menjadi sendu. "Apa boleh buat 'kan?" tanyanya dengan gamang, terlihat menyembunyikan sesuatu.
Sasuke menatap menerawang kearah Matahari yang mulai tenggelam perlahan diujung sana, lokasi syuting hari ini berada di pinggir danau Amikonoha yang memiliki destinasi indah bagi para pengunjungnya.
Apa kau berpikir bahwa Matahari akan selalu mengitarimu?
Sasuke menutup onyx-nya yang dipenuhi rasa tak terdefinisikan berkat ucapan Sabaku No Gaara.
Terlebih kalimat Gaara yang selanjutnya,
Jangan terlalu percaya diri, karna garis edar Matahari tak pernah dapat kau kendalikan, benar 'kan?
.
.
.
Apa itu sebuah peringatan?
Dan saat sang surya kembali ke peraduannya secara utuh, kelopak mata Sasuke kembali terbuka untuk menyaksikan langit senja yang kosong tanpa kehadirannya, hanya meninggalkan coretan memanjang diatas sana.
"Lalu aku hanya perlu mencari cara agar Matahari tetap pada garis edarnya bukan?" batin Sasuke ragu.
.
.
.
Yah, Semoga saja Sasuke~
Semoga saja.
.
.
.
Bersambung
Di chapter depan juga kayaknya bakalan fokus ke GaaInonya dulu ya? Soalnya mau buat moment-moment greget aja gitu antara mereka XD
Okay, see you~
Samarinda, 17 January 2016.
Salam kecup,
Tsukyuu Floo Kitsune.
