Disclaimer: Masashi Kishimoto

Happy reading :)

IRIS

Kau bilang kau mencintai hujan, tetapi, disaat hujan datang, kau berjalan menggunakan payung di bawahnya. Kau bilang kau mencintai matahari, tetapi, ketika sinarnya datang, kau mencari tempat teduh. Kau bilang kau mencintai angin, tetapi, disaat angin menghampirimu, kau malah menutup jendela. Itulah mengapa aku takut ketika kau bilang kau mencintaiku. (Bob Marley)

.

.

.

Waktu memang merupakan satu dari sekian hal yang sangat elastis di dunia ini. Bagi yang menunggu, waktu terasa sangat panjang. Bagi yang ketakutan, waktu terasa begitu singkat. Bagi yang sedang jatuh cinta, waktu itu abadi. Forever. Selamanya.

Namun, maukah seseorang menunggu tanpa tahu seberapa lama waktu membelenggu kebosanan di hatinya demi seseorang yang menempati sebagian besar dari ruang hati tersebut?

Bagi Sakura, jawabannya 'ya'. Selalu 'iya'. Tidak peduli seberapa banyak ancaman terlontar ("Sekali lagi kau terlambat, Kakashi, aku akan dengan senang hati meninggalkanmu!") atau seberapa sering kutukan tanpa maksud terucap ("Demi apapun, Kakashi! Kuharap kau benar-benar bertransformasi menjadi kura-kura suatu saat nanti. Huh!"), Sakura akan tetap berada di sana sampai orang yang mempunyai janji dengannya datang dengan wajah polos seolah-olah tidak baru saja menghabiskan waktu, energi, dan kesabaran orang lain. Karena, setidaknya Sakura tahu, ia akan datang.

Sakura percaya, dibalik setiap omong kosong yang dijadikannya sebagai alasan keterlambatan ("Maaf, Sakura. Aku baru saja tersesat di jalan yang bernama kehidupan."), ia selalu datang. Dengan senyuman yang ia tawarkan, kepenatan Sakura atas menunggu akan terbayar. Maka dari itu, tidak masalah bagi Sakura untuk duduk di Taman Kota selama berjam-jam, melirik detikan waktu di tangan, menghela napas dalam, mencari sebuah wajah dengan mata beda warna di hamparan orang-orang, hanya untuk kecewa mendapati bahwa yang dicari belum menampakkan batang hidungnya.

Sakura menyandarkan diri di bangku taman. Hari ini cuaca tampak tidak bersemangat. Awan hitam mengambil alih menguasai langit. Sakura menutup kedua kelopak mata.

'Kakashi...'

"Sakura,"

Seolah menjawab panggilannya, sebuah suara familiar masuk ke pendengaran Sakura. Kedua kelopak matanya terbuka demi melihat seseorang berambut silver melawan gravitasi berdiri tepat di hadapannya.

"Sakura, maaf... Tadi aku―"

"Tersesat di jalan yang bernama kehidupan, ya ya, aku tahu," potong Sakura malas.

Yang diinterupsi hanya tersenyum. Oke, Sakura kalah kali ini, hatinya memang selalu terasa aneh ketika melihat senyum menyebalkan itu.

"Sudahlah, ayo pergi. Seharusnya kita berada di sana sejak 2 jam yang lalu." Sakura bangkit dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan Kakashi.

Sebuah rumah berwarna putih gading menjadi tempat tujuan mereka. Kakashi memarkirkan mobilnya di samping sebuah mobil hitam yang tak diragukan lagi merupakan milik Uchiha Itachi.

OOOO

"Kurasa semua orang sudah datang, Sakura," Kakashi mematikan mobilnya.

"Kau saja yang telat," jawab Sakura kesal.

"Hey, hey, aku tersesat, okay?" Kakashi menatap Sakura dengan serius.

Sakura balas menatap tak kalah serius (hampir melotot, bahkan) sambil berujar, "Katakan saja begitu pada mereka dan lihat siapa yang akan percaya."

BAM.

Sakura turun dari mobil tak lupa dengan menutup pintu sedikit lebih keras dari biasanya. 'Dasar makhluk tak punya perasaan.' cibir Sakura dalam hati seraya berjalan menuju rumah tanpa menghiraukan Kakashi yang memanggilnya.

OOOOO

Sesampainya di dalam, emerald Sakura dihadiahi dengan sekumpulan orang dimana-mana. Sejauh matanya memandang, terlihat berbagai macam manusia dengan berbagai macam aktivitas. Otak Sakura sibuk memproses situasi di hadapannya. Seingatnya, Ino hanya bilang, "Kita hanya hang-out seperti biasa. Oh, aku juga mengundang Konan dan Anko. Selebihnya, hanya kita saja. Hehehe."

Tentu, ia dapat melihat Anko yang sedang mengobrol dengan seseorang di sebelah sana, akan tetapi, sejak kapan Karin atau Tayuya berada di sini? Dan sejak kapan Ino memutar lagu beraliran dance sampai telinganya ingin meledak begini?

Di saat Sakura ingin menapakkan kaki keluar, ia melihat siluet Kakashi yang berjalan ke ruangan lain di dalam rumah. Sakura memutar bola matanya. Melihat Kakashi membuat otaknya semakin tidak bisa berpikir. Ketika itulah, Sakura merasakan seseorang menarik pergelangan tangannya.

"Sakura, kau baru sampai? Kami sudah menunggumu sedari tadi," seru Ino dengan suara yang menandingi kerasnya musik.

"Ino, what the―apa yang terjadi di sini?" Sakura menggerakan tangannya, berharap Ino mengerti. Perlu beberapa detik untuk Ino menangkap apa yang Sakura maksud, sebelum akhirnya menjawab, "Oh, mereka diajak oleh beberapa orang yang kuajak, dan lagu itu... Mereka yang memutarnya. Lagian, tidak apa-apa, kan..."

Ino melakukan beberapa gerakan dance di hadapan Sakura, mengikuti alunan lagu.

"Hhh... Kau ini," Sakura menggelengkan kepalanya, yang hanya dibalaskan tertawaan oleh Ino.

Walau sepertinya sebagian besar orang-orang dari Konoha University berada di sini, ntah mengapa hanya ada beberapa orang di ruang TV ketika Ino dan Sakura masuk.

"Hey, darimana saja kalian? Sakura, kau telat sekali," komentar Temari, sebelum meminum coke di tangannya. Dihinggapi pertanyaan begitu, Sakura hanya memutar bola matanya dan memberi tatapan mematikan ke arah seseorang berambut perak yang kini sedang sibuk menekan stik di tangan tanpa beban.

"Tanya saja pada seseorang yang baru saja tersesat," ujar Sakura sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa terdekat.

"Kakashi, kau tersesat lagi?"

"Sudah beberapa tahun di Konoha, kau masih tersesat?"

"Kau lebih hafal jalan di game itu, ya, daripada kota ini..."

Sakura sweatdrop mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Aduh, orang-orang ini...

"Jadi... Bagaimana rasanya?" celetuk Ino sambil memandang kukunya.

"Bagaimana apanya?" respon Tenten yang sedang membaca majalah.

"Bagaimana rasanya setelah tamat kuliah dan bekerja. Hey, yang kutanya itu kalian. Jangan asyik main, dong," Ino mendeathglare Kakashi dan Itachi yang sedari tadi dapat dipastikan tidak mendengar.

"Oh... Biasa saja. Lagian―hey, kau jangan curang," ucap Itachi sambil menekan stik PS Ino dengan sekuat tenaga.

"Aku tidak curang. Kau saja yang payah," balas Kakashi.

Ino memutar bola matanya. Rugi saja 2 orang ini telah tamat, tapi masih meributkan kalah-menang ketika bermain Playstation.

"Kalau kau, Kakashi... Bagaimana?" tanya Ino lagi, tanpa melepas pandangan dari kukunya.

"Sama saja. Kau masih harus berhadapan dengan soal-soal yang pernah kau pelajari semasa kuliah. Bedanya, tidak ada dosen, dan kau sudah bisa bersikap sesukamu, tidak ada yang melarang. Bonusnya, kau bisa keluar kota―bahkan negeri, dua kali sebulan. Selebihnya, begitu-begitu saja," jawab Kakashi dengan nada datar.

"Oh... Begitu rupanya. Lalu, apa kau masih tidak punya pacar, Kakashi?" Ino diam-diam melirik Sakura yang tak sadar dilirik.

"Aku punya," jawab Kakashi spontan.

Itachi mengangkat sebelah alisnya, "Oh, siapa?"

"Perlukah kau tahu?" jawab Kakashi tak acuh.

Itachi mencibir.

"Tentu saja Kakashi punya, Itachi. Yang tidak punya pacar itukan Sakura~" celetuk Karin yang hanya sekedar lewat dan kebetulan menguping.

Sakura yang sedaritadi terlihat sibuk dengan ponselnya―namun sebenarnya juga ikut mendengarkan percakapan Ino dan Kakashi dengan saksama―, menahan untuk tidak menghajar Karin di saat itu juga.

Dasar!

Sakura menekan tombol ponselnya dengan lebih kuat.

OOOOO

Hujan mengunjungi bumi ketika Sakura bersiap untuk pulang setelah membantu Ino membersihkan rumahnya. Orang-orang sudah pulang dan hanya tinggal ia, Kakashi dan Itachi yang membantu membereskan rumah Ino. Sebagai ucapan terimakasih (setidaknya begitulah yang disebut Ino), mereka diberi secangkir kopi dan ditahan hingga hujan reda. Sakura menyesap kopinya sambil duduk memandang kaca jendela yang dihinggapi tetesan air. Detik selanjutnya, ia merasakan seseorang duduk di sampingnya. Sakura menoleh. Kakashi lagi.

"Kau tahu kenapa hari ini hujan?" tanya Kakashi tiba-tiba.

Sakura hanya balas menatapnya.

"Itu karena kau bersedih." Kakashi meminum kopinya.

"Oh, yang benar saja," Sakura memutar kedua bola matanya (ntah untuk yang ke berapa kalinya hari ini). Tetapi, tidak dipungkiri bahwa sebuah senyum diam-diam berjuang untuk muncul di bibirnya.

"Lagian, kenapa aku harus bersedih," lanjut Sakura.

"Tidak tahu," Kakashi mengedikkan bahunya.

"Bukannya wanita memang senang bersedih tanpa alasan?" sambung Kakashi.

Sakura menggeleng, "Tidak ada orang yang bersedih tanpa alasan,"

"Oh, kalau begitu, bisa jelaskan kenapa kau bersedih sekarang?" Kakashi berbalik ke arah samping, tepat berhadapan dengan Sakura.

Yang ditanya hanya mengerutkan dahinya, tidak mengerti.

"Kau lupa tersenyum hari ini." ujar Kakashi pelan. Matanya menatap intens mata Sakura, seolah ia menatap langsung ke dalam jiwanya.

"..." Sakura hanya bergeming. Orang yang kini ditatapnya (dan menatapnya) adalah orang yang membuat moodnya jelek seharian ini, tapi kenapa ia masih tidak bisa marah dan menyuruhnya pergi dari sini? Ingin rasanya berteriak tepat di hadapan Kakashi dan mengeluarkan segala hal yang telah Sakura pendam selama ini.

("Aku capek dengan sikapmu. Kau adalah orang paling egois dan paling menyebalkan yang pernah ada sepanjang sejarah. Kau tidak peduli dengan

waktu orang lain yang terlalu sering kau buang. Kau tidak mengerti perasaanku dan dengan mudahnya kau mempertanyakan kenapa aku bersedih?

Kau benar-benar―")

"Umm... Kita tidak perlu untuk selalu tersenyum, benar, kan?" alih-alih mengeluarkan kata-kata yang berkeliaran di kepalanya, Sakura mengalihkan pandangannya balik ke kopi dan balas balik bertanya.

Kakashi diam sejenak sebelum menjawab, "Bagi orang lain, mungkin tidak selalu. Tetapi, bagimu, kurasa suatu keharusan. Bukannya tidak ada hari yang terlewati tanpa sebuah senyuman dari Sakura?"

Sakura menghela napas tanpa berusaha menutupi sebuah senyuman yang diam-diam tertera di bibirnya.

"Kau ini... Ada-ada saja,"

"Hey, aku benar, kan?"

"Terserah kau saja. Tidak ada gunanya berargumen denganmu, kau selalu tidak mengalah,"

"Itu karena aku selalu benar, Sakura."

"Kau tidak selalu benar. Hey, kau bilang kau punya pacar. Siapa pacarmu?"

"Kau percaya? Nanti akan kuperkenalkan jika aku memang sudah punya,"

Satu pukulan mendarat di lengan Kakashi.

"Sudah kutebak. Hahahaha"

Sebuah percakapan dengan secangkir kopi di balik dinginnya sore itu cukup membuat Sakura kembali tertawa. Lucu memang, orang yang tadinya membuatmu begitu kesal adalah orang yang sama dengan orang yang bisa membuatmu bahagia. Mungkin Sakura bisa melupakan segala hal yang telah Kakashi lakukan padanya.

Membuang habis rasa kesal itu dan meluruhkannya bersama air hujan. Karena, pada akhirnya, orang itu jugalah yang mengganti mendung di hatinya dengan pelangi tujuh warna.

OOOOO

Orang-orang selalu bertanya, ada hubungan apa sebenarnya antara Haruno Sakura dengan Hatake Kakashi? Fine, mereka bestfriend semasa SMA sampai kuliah, bahkan sampai sekarang ketika Kakashi telah tamat dan bekerja, sedangkan Sakura masih kuliah di semester terakhir. Tetapi, apakah orang-orang hanya akan melihat sampai sebatas itu saja? Tentu tidak. Orang-orang akan berpikir, sejauh mana hubungan mereka? Apa benar hanya persahabatan? Kalau iya, kenapa terlihat seperti lebih? Lalu, ketika orang-orang itu tidak mendapat jawaban, mereka akan mulai membuat spekulasi sendiri ("Oh ya, tentu saja mereka bersahabat. Ternyata bestfriend forever itu memang benar ada, ya. Contohnya saja mereka." atau "Kurasa mereka lebih dari itu. Lihat saja kedekatan mereka, seperti orang pacaran saja."). Spekulasi yang manapun, ujung-ujungnya pasti akan berubah menjadi bahan gosip, karena biasanya orang-orang terlalu sibuk mengurusi kehidupan orang lain, dan lupa dengan kehidupan mereka sendiri. Sebaik-baiknya Sakura, ia tetap percaya pada kalimat 'kesabaran ada batasnya', yang terkadang tidak dihirau orang-orang. Maksudnya, harus berapa kali Sakura bilang bahwa ia dan Kakashi hanyalah teman?

Rasanya sudah terlalu sering ia luncurkan pernyataan tersebut, sampai-sampai ia merasa tidak mempercayai lagi apa yang ia ucapkan. Sebab, terkadang Sakura akan termakan omongan orang-orang dan mempertanyakan dirinya sendiri bahwa sebenarnya ada hubungan apa antara dirinya dengan Kakashi?

Kalau Sakura sudah dalam kondisi mempertanyakan diri sendiri begini, biasanya selalu berujung tidak baik. Seperti, membenturkan kepala ke meja terdekat sambil mengutuk diri sendiri ('Apa yang kau pikirkan, dasar bodoh'). Atau, yang paling parah, ia akan berhenti mengerjakan tugas yang diberi dosen, sampai kepalanya kembali berpikir normal.

Seperti saat ini, tugas kuliah semester akhir miliknya memadati seluruh sisi meja , menunggu untuk diselesaikan. Tetapi, disinilah ia. Memikirkan seseorang yang (mungkin) tidak memikirkannya.

"Ugh..."

Sakura membenturkan kepalanya (dengan pelan, tentu saja) ke meja sekali lagi. Bisakah tugas-tugas ini selesai sendiri, pretty please?

To be continued

Author's note: Hello, Minna-san. Clouds balik lagi dengan fic baru kali ini. Ini fic KakaSaku pertama clouds. Mohon bantuannya ^^.

Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan (typo, gaje, ooc). Hehe ^^v

Terimakasih sudah membaca. Review? :3