wanna one / pd101. howons (jaehwan/sewoon) college au.
warning: nonsenses and pretentious talks. ngaco 1000%
disclaimer: saya tidak mendapatkan keuntungan apapun selain swasembada asupan.
fanfiksi ini ditulis untuk memenuhi challenge pribadi saya dengan vanderwood. selamat miss, jangan lelah berdagang brondong pada saya. prompt song: nct127 – sun & moon
last night story
"Hyung, bagaimana rasanya debut?" Sewoon bertanya pada suatu malam, ketika mereka berdua duduk bersebelahan di balkon ― ditemani sepasang cangkir kopi dan cahaya bintang yang redup-terang, bergantian tertutup awan. Jemari Sewoon berjalan, menggelitik senar gitar dan menariknya pelan sampai terdengar melodi tanpa panduan komposisi. Sementara Jaehwan melipat kaki dan menyandarkan dagunya pada kedua lutut, setelah beberapa menit sibuk mendengungkan imitasi asal dari lagu-lagu populer.
"Hah? Tanyakan itu pada idola yang langganan tampil di televisi, jangan padaku." Sahut Jaehwan, memberi tatapan hangat dan senyum selebar bulan di tengah masa. Tidak butuh lama sebelum akhirnya ia mendekatkan tubuh pada Sewoon dan melingkarkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak lelaki yang sudah dikenalnya selama tiga tahun belakangan: sebagai teman satu departemen di kampus, sebagai rival dalam bermusik, sebagai partner berbagi inspirasi. "Tampil beberapa kali di pentas seni, atau lolos ajang pencarian bakat tidak membuatku jadi idola secara instan, Woonie."
Ini bukan pertama kalinya mereka membahas serba-serbi debut; ide spontan mencari naungan agensi, keinginan agar musik-musik mereka lebih banyak didengar dan diapresiasi, bayangan berdiri di hadapan penggemar yang ramai-ramai melambaikan tangan, meneriakkan silabel nama mereka dengan kekuatan penuh ― hingga rasanya ketika berhasil menjalin koneksi dengan musisi senior yang disegani. Tiap mereka bertemu untuk mendiskusikan tugas kelompok atau aktivitas akademis lain, ujungnya mereka akan duduk berdekatan, membicarakan masa depan sampai lupa daratan. Jaehwan tidak membenci ini, meski ia lebih suka bila interaksi mereka dibumbui komedi gagal atau nyinyiran hambar. Apapun yang membuat Sewoon menutup muka sambil berguling menahan tawa.
(―karena Sewoon terlihat lebih berharga saat merespon tingkah konyolnya, daripada saat mendengar pengalamannya unjuk kemampuan di panggung besar.)
"Hyung sudah melompati tangga pertama, kan? Setidaknya ada rencana ke depan lah." Balasan Sewoon terdengar seperti bocah yang sedang merajuk, Jaehwan jadi ingin menarik kedua pipinya ― namun begitu ingat kalau tendangan spontan Sewoon lumayan brutal, ia buru-buru menahan diri. Cita-cita anak satu itu memang sudah tergantung jauh, wajar bila sensitivitasnya melonjak begitu istilah 'tampil' atau 'manggung' dibawa-bawa. Jaehwan tidak pernah melewatkan gejolak panas yang terpancar tiap beredar kabar idola muda sukses menggelar konser skala besar dan mendapat penghargaan bergengsi.
"Hmm. Tapi aku belum berminat naik tangga selanjutnya." ― Sombong sekali. Orang lain mungkin akan menganggap Jaehwan merendah untuk meninggi. Padahal kenyataannya Jaehwan memang belum ada keinginan debut menjadi idola kekinian dalam waktu dekat, sekalipun ia sudah mendapat tiket tampil di ajang pencarian bakat. Sebelum Sewoon mulai menggigit bibir dan menceramahinya panjang lebar soal 'Buang ketakutan abstrak jauh-jauh dan melangkah maju!', ia menyambung kalimat awalnya dengan pertanyaan bernada retoris, "Acara nanti kujadikan pengalaman saja. Debut juga bukan garis final, kan?"
Mudah ditebak, Sewoon tidak lekas menanggapi dan mengalihkan pandangannya kembali ke arah gitar di pangkuan. Siapapun yang menggeluti musik; mengikuti perkembangan industri independen maupun mainstream-nya, akan memandang bahwa debut bukan sebuah pencapaian utama, tapi titik permulaan baru. Tiap orang bisa debut lewat jalan manapun, dengan paduan usaha dan keberuntungan. Sayangnya, persaingan di luar sana tidak main-main. Belum lagi disusul goncangan media dari berbagai sisi. Talenta luar biasa dan visual yang menonjol bukan jaminan untuk bisa bertahan di posisi aman. Sewaktu-waktu, imej dan idealisme yang susah payah dibangun akan terjegal, terjun bebas, bahkan terinjak sampai tak terdengar.
Baik Jaehwan dan Sewoon sudah memahami ini sejak pertama kali mereka bertukar pandangan, tapi entah kenapa, Jaehwan merasa Sewoon lebih sering mengabaikan deretan konsekuensi; menganggap debut adalah gerbang menyilaukan yang bisa membangunkan para pemimpi, membawa mereka menuju persinggahan baru yang lebih hidup. Yang membuat mereka bergerak setelah lama berdiri di tempat. Jaehwan menebak-nebak, mungkin Sewoon baru mendengar gosip baru tentang debut grup idola dengan usia rata-rata 14 tahun, atau menonton ulang episode Produce yang menguras air mata, sehingga malam ini nekat membawa topik yang berpotensi mengaduk emosi. Padahal lebih asyik bila mereka membahas lirisan baru band favorit dan rencana-rencana cover akustik.
"Sewoonie, hei." Jaehwan memainkan sweater rajutan yang dikenakan Sewoon, lalu menggelitik tengkuknya untuk mengembalikan perhatian. Didiamkan oleh partner mengobrol tidak pernah menyenangkan. Selama lima menit, Jaehwan konsisten menganggu Sewoon yang (sepertinya) pura-pura fokus bermain gitar sampai kesabarannya habis. Walhasil, ia harus rela ditampik dengan gerutuan panjang.
"Aku mendadak badmood." Gumam Sewoon pelan, semacam tidak ingin Jaehwan mendengar padahal yang bersangkutan selalu siap pasang badan dan telinga kalau berada di dekat orang-orang tersayang.
"Hei. Aku tidak bermaksud," Jaehwan berdehem, "meremehkan debut atau semacamnya." Hyung dari dulu selalu mendukung apa yang ingin kamu raih, lho. Kalimat terakhir hanya bisa Jaehwan simpan dalam hati. Ia harus berpikir keras sebelum memberikan kode bahwa sekalipun mereka sering berbeda pendapat dari hal remeh sampai topik esensial dalam hidup, Jaehwan tetap menghargai dan menjunjung selarasnya hubungan … hubungan pertemanan. Momen adu mulut dan berhenti saling sapa memang tidak bisa dihindari, tapi ya jangan lama-lama.
Klarifikasi Jaehwan justru membuat raut muka Sewoon makin muram. Dengan kening berkerut, ia mengetuk-ngetuk badan gitar seperti menunggu sesuatu yang tidak kunjung datang. Biasanya Sewoon melakukannya saat inspirasi menulis sedang tersendat, melodi yang ia buat tidak sesuai bayangan, atau kesal karena rencana bersifat akademisnya terhambat. Apa ulah Jaehwan seharian ini berlebihan? Tidak biasanya Sewoon tersulut semudah ini. Mereka baru bertemu sepulang kuliah, lalu mampir ke toko buku tanpa membincangkan hal-hal aneh. Perkara debut pun baru dibahas beberapa menit, tidak sampai berjam-jam. Rasanya kan tidak wajar, pasti ada hal lain yang turut mengompori.
"Sewoonie, kau marah?"
"Iya."
"Karena perkataanku, atau karena wajahku?"
Bukan Jaehwan namanya kalau tidak bisa membalikkan suasana. Ia tahu Sewoon sangat blak-blakan, tidak bisa menutup-nutupi kegelisahan atau bibit amarah yang mulai memancar. Membalasnya dengan diam hanya akan membuat suasana jadi canggung. Ia juga bukan tipe yang sembarangan melempar 'ya sudah, terserah apa maumu' sebelum tahu penyebab orang cuek padanya. Jadi saat Sewoon menoleh dengan bingung; tergelitik mendengar pertanyaannya barusan, Jaehwan cukup menyunggingkan seringai kecil.
"Sayang sekali kalau kau marah karena wajah gantengku. Maaf ya, Hyung sudah begini dari lahir. Sudah biasa membuat anak orang lelah sampai meriang."
"Gimana bisa meriang―"
"Merindukan kasih sayang."
"..."
Satu, dua, tiga detik, sebelum Sewoon mendorong Jaehwan dengan kesal. Mengabaikan gitarnya yang jatuh terantuk lantai. Tawa renyah pun memenuhi ruang, Jaehwan ingin sekali mengabadikan ekspresi Sewoon saat merespon ungkapan percaya dirinya yang berkobar. Ia terbelalak, tidak siap dan tidak menyangka akan digoda detik itu juga. Kalau mau mempertahankan posisi, harusnya ia tak mengacuhkan tingkah Jaehwan seremeh apapun, menahan kebiasaannya mengomentari ungkapan aneh-aneh. Intuisi lebih cepat bergerak, rupanya. Begitulah bila terlalu sering bersama ― ujar oknum Daniel suatu hari, sambil mengedipkan sebelah mata.
Benar, mereka sudah seperti sejoli (atau anak kembar, bila sedang denial) yang terjebak dunia milik berdua. Usia mereka terpaut satu tahun, tapi karena masuk di tahun ajaran yang sama, frekuensi bertemu di dalam atau di luar aktivitas akademik pun terjaga. Mungkin awalnya mereka hanya disatukan lewat kesukaan yang sama terhadap musik, tapi lambat laun, mereka harus mengakui telah saling mempengaruhi. Sesederhana lamunan dan degup jantung. Lihat saja, begitu Sewoon menyandarkan kepala di pundak Jaehwan, menetralkan ekspresinya sebelum berujar 'Dengarkan aku', Jaehwan langsung berhenti tertawa dan spontan memegangi area dada. Seolah menahan sesuatu agar tidak melompat seenaknya.
"K-kenapa?" Jaehwan merutuki diri yang mendadak grogi. Padahal dianya sendiri sering tidur di pangkuan Sewoon. Sampai liurnya meluber dan harus dicubit sekuat tenaga.
"Saat berita kelolosanmu menyebar, mereka memilih untuk menginterogasiku, Hyung. Seolah-olah aku ini ajudan Kim Jaehwan. Hari ini saja, Donghyun menghadangku sambil membawa buku catatan ala jurnalis kampus." Masih ada nada kesal yang mengiringi penjelasan Sewoon berikutnya. Jaehwan jadi tahu kalau selama ini mereka ― anak-anak lintas angkatan di departemen, lebih suka menyanyakan macam-macam ke pihak kedua daripada menghampirinya secara langsung. Ia tidak pernah merasa sebagai sosok intimidatif dan pelit ilmu, kenapa harus memakai perantara kalau ia saja sekali ditanya bisa cerita panjang lebar? No edit, lagi. Dari situ Sewoon merasa terganggu dan mungkin, makin tidak bisa melepaskan pikirannya dari perkara debut yang masih jauh. "Bayangkan, Hyung. Anak-anak dari departemen lain saja rela ke sini, tapi menemuiku. Belum lagi para pengajar, teman-teman lamaku, tetangga sebelah apartemen, sampai Eomma-ku sendiri. Saat ditanyai gimana Kim Jaehwan di dunia nyata, kan aku bingung, memang selama ini Hyung tinggal di dimensi sebelah?"
Setelah menumpahkan gunungan negatif dari benaknya, termasuk episode pemaksaan 'kenalkan kami pada temanmu itu!', Sewoon menghela napas panjang. Ia menengok ke bawah, mendapati jari-jarinya mendarat di atas celana denim ― berdampingan dengan jari-jari milik Jaehwan. Butuh beberapa saat hingga Jaehwan nekat menyatukan jari-jari mereka dan mengayunkannya senatural mungkin. Untung mereka sedang di balkon dengan pencahayaan minim, kalau mereka berdiskusi di ruang tengah, mungkin sudah dari awal mereka memergoki pipi yang bersemu merah.
"Apa kau menyesal jadi ajudan Kim Jaehwan?" tanya Jaehwan, berusaha menahan diri tidak memakai sebutan 'orang dekat Jaehwan' atau yang lebih memalukan, 'kesayangan Jaehwan'. Ranahnya sudah bukan komedi gagal lagi, tapi cari mati.
"Menyesal sekali." Balas Sewoon tanpa basa-basi.
"Meski Kim Jaehwan memberimu tempat berteduh dan makan gratis di apartemennya selama seminggu?"
"Kau terdengar seperti penculik, Hyung."
"Benar kan? Penculik hatimu―uhuk-uhuk." Jaehwan langsung berpura-pura batuk begitu sadar pilihan katanya semakin menjurus. Ia memang suka menggoda Sewoon, melihatnya tertawa atau malu berat. Namun ia tidak ingin membuat hubungan renggang karena desakan rasa yang belum terselesaikan. Sedikit membingungkan, mengingat keduanya tidak merasa terganggu dengan sentuhan-sentuhan kecil dengan tendensi yang dipertanyakan. Untungnya, kali ini Jaehwan tidak perlu berprasangka dan berpikir terlalu mendalam karena Sewoon tidak memberi respon berarti (hanya senyum tipis, untuk dirinya sendiri).
"Hyung."
"Hmm?"
"Kadang Hyung itu, terlihat sangat jauh." Sewoon membentuk teropong dari tangan kanan dan memposisikannya tepat di depan mata. Jaehwan ingin merespon 'Lah aku kan sedekat ini', tapi didahului narasi pendek yang membuatnya tetap terdiam sambil berkedip-kedip bingung.
"Selama ini aku bergaul dengan Jaehwan-hyung tanpa ada kesulitan, karena sejak awal kita punya beberapa persamaan. Tapi saat melihatmu tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan orang-orang, mendapat pujian di sana-sini dan mungkin, sebentar lagi menjadi perhatian nasional … kurasa aku paham kenapa orang-orang jadi segan mengajakmu ngobrol secara kasual."
Batin Jaehwan mengelak, tapi bagian dirinya yang lain mulai mengiyakan. Apalagi setelah Sewoon mengungkapkan pengalamannya menjadi perantara dadakan. Jangan-jangan, Sewoon tidak hanya kesal karena terus ditanya-tanya sesuatu yang tidak ia jalani, tapi karena Jaehwan sendiri mendiamkan semua itu. Apakah ia tidak sadar sudah menjadi sosok yang berbeda semenjak diberitakan lolos ajang pencarian bakat? Apa ia pura-pura lupa sudah mendapat pujian dari CEO agensi besar sekali melihat penampilannya di babak penyisihan? Apa ia menutup diri dari kenyataan kalau dua minggu depan, ia akan memulai syuting, menjadi salah satu peserta unggul yang dinanti-nanti kehadirannya di televisi, bukan sekedar video viral lagi. Jaehwan bisa saja menganggap hari-harinya berjalan seperti biasa; kuliah, mengerjakan tugas, hangout dan mengobrol bersama Sewoon di apartemennya. Bagaimana dengan orang lain? Hanya karena ia belum berminat debut, masih terganjal banyak asumsi, tidak membuat orang lain berhenti memandangnya sebagai calon idola.
"Hyung, aku tidak marah karena pandanganmu soal debut. Kita berbeda dan it's your choice, really." Seolah mampu mendengar suara hatinya, Sewoon berujar tegas, walau masih menghindari tatapan mata. Padahal Jaehwan ingin sekali melihat ekspresinya dengan lebih jelas. "Juga bukan karena ditanya-tanyai orang. Capek sih iya, tapi bukan marah. Jung Sewoon marah ketika Kim Jaehwan lebih populer darinya? Astaga, itu kekanakan sekali. Justru Sewoon ikut bangga teman baiknya dikenal bertalenta." Lanjutnya, seperti memberikan ceramah di podium.
"Tapi karena aku terlalu cuek dengan posisiku sekarang?"
Begitu Jaehwan menyahut, Sewoon langsung menoleh dan memandanginya lekat-lekat. Ada jeda sebelum salah seorang di antara mereka memecah hening.
"Benar."
"Kamu khawatir nantinya aku dianggap sombong karena minim motivasi, begitu?"
"Aku," Sewoon menutup mata sejenak, kemudian membukanya sebelum mengutarakan dengan hati-hati, "merasa Hyung belum siap menerima perubahan."
(―termasuk tentang kita.)
Jaehwan meneguk ludah. Kalimat terakhir tidak pernah diucapkan oleh Sewoon, tapi seperti ada bisikan nyata yang melewati daun telinga. Ia paham arah pembicaraan mereka. Kekhawatiran Sewoon terhadap sikap pasifnya menjelang tampil di hadapan jutaan mata adalah hal wajar. Tapi tanya kenapa, di saat seperti ini ia justru teringat sindiran tentang kepastian hubungan mereka? Memangnya Kang Daniel sedang di sini? Tidak kan.
"Aku bukan orang paling bijak, bukan hakku juga buat memaksa Jaehwan-hyung bertindak. Tapi … aku hanya ingin Hyung lebih peka saja." Lanjut Sewoon sambil menutupi setengah mukanya dengan telapak tangan. Entah karena refleks atau malu pernyataannya terdengar ambigu. "Maksudku, bila Hyung nanti masih membawa prinsip 'debut itu susah. nanti saja, sekarang masanya cari pengalaman' di ajang bergengsi, apalagi mengutarakannya di depan publik … itu akan terdengar angkuh dan menyakitkan sekali."
"Jadi buatmu aku masih kurang peka?"
"… Banget. Coba kalau Niel-hyung dengar percakapan kita soal 'naik tangga', Hyung pasti langsung dijotos." Ada penekanan di tiap kata yang membuat Jaehwan makin terpojok. Berbagi inspirasi sih oke, tapi di mata Sewoon, sepertinya ia belum bisa jadi panutan yang baik. Gimana ceritanya ingin jadi imam keluarga?
"Ya maaf lho."
"Kalau sampai kebawa debut kan susah."
"Tidak. Aku akan membuka mata, hati, dan telingaku lebih lebar mulai detik ini." Bukan basa-basi, semoga. Jaehwan bukan anti kritik, jika ia dianggap punya kekurangan yang merugikan, maka ia akan coba memperbaikinya sedikit demi sedikit. Harusnya ia merasa beruntung punya lingkaran pergaulan yang peduli, sanggup menunjukkan sesuatu di luar penginderaannya sendiri.
"Untuk semua hal?"
"Uhh, mungkin?"
Disadari atau tidak, sebenarnya kedua orang ini juga sedang berputar-putar dan melempar kode. Sayangnya mereka belum bisa melempar status teman baik atau senior-junior jauh-jauh. Tinggal menunggu waktu hingga keduanya mengeksplor hubungan lain yang akan menghapus kegelisahan terpendam. Kapan tanggal mainnya, hanya mereka yang tahu. Jaehwan mungkin ingin bertapa di bawah air terjun dulu, lalu menanti datangnya pesan suci lewat mimpi. Atau, setelah melewati periode syuting dan gempuran dunia baru yang akan ia lewati sampai beberapa bulan ke depan (itu pun kalau ia bisa lolos sampai babak final).
Tiba-tiba Jaehwan dihantui rasa cemas. Apa ia bisa menjamin, seusai ajang pencarian bakat, Sewoon tetap mau menjadi teman berbagi? Bisa saja ia mencari teman-teman diskusi dan bermusik yang lebih menyenangkan. Juga gebetan baru yang lebih keren dan peka. Bukannya mau sok hebat, tapi kalau benar-benar ada agensi yang merekrutnya menjadi trainee siap debut, ia tidak yakin bisa menjaga komunikasi secara teratur. Sudah tahu kalau dunia hiburan itu penuh dengan tantangan dan pengorbanan, tidak bisa main-main saja sekali masuk. Terjebak dalam bayangan-bayangan buram, Jaehwan berusaha mengatur ekspresinya agar tidak terlihat kacau balau.
Kenapa baru terlintas di benaknya ― kalau ia bisa saja kehilangan sesuatu, atau seseorang setelah ini?
"Tidak, tidak, Woonie, aku tidak akan meninggalkanmu."
"Hah?"
"Katakanlah aku berhasil debut, solo, atau jadi bagian grup idola remaja dengan jadwal super padat, tidak akan ada yang menghalangiku untuk menghubungi dan mengobrol denganmu. Walaupun kita terpisah benua dan samudera, tinggal di zona waktu yang saling berseberangan ― uhh you say good morning, when it's midnight, selama kita berdiri di bawah langit yang sama, aku … aku akan terus mengingatmu!"
"Hyung,"
"You and I, You and I, hana gateun uri deul!" *)
"Hyung, kau meracau." Sewoon menepuk pipi Jaehwan keras-keras, kemudian tertawa untuk pertama kalinya. Tawa yang terdengar seperti lonceng kecil; menyaingi permainan instrumen klasik yang Jaehwan hafal sejak kecil. Begitu tepukan di pipi beralih menjadi sapuan hangat, Jaehwan baru sadar kalau ia sudah mengatakan sesuatu yang sangat menggelikan. Sudah begitu, sempat-sempatnya menyisipkan lirik lagu di tengah-tengah kalimat. Bukan lagi mengisyaratkan pernyataan cinta, tapi senada dengan perjaka yang terbata-bata melamar gadisnya. Jaehwan jelas tidak bisa menyuruh Sewoon mengabaikan atau berpura-pura amnesia ― 'Sssh, tidak ada peristiwa penting malam ini!'. Jadi ia pasrahkan semua pada jalannya takdir. Mengumpulkan sisa-sisa kewarasan dan harga diri, ia melingkarkan tangannya untuk memeluk tubuh Sewoon dan menyandarkan kepala tepat di ceruk lehernya.
"Sewoonieee."
"Aku masih mendengarmu." Nada rendah Sewoon hampir membuat Jaehwan ingin meninggalkan kecupan singkat. Tapi seperti biasa, ia hanya mampu menautkan kembali kedua tangan mereka. Berharap Sewoon mengerti, itulah cara terbaiknya mentransfer ribuan ungkapan cinta yang menumpuk di sudut terdalam, setidaknya untuk sekarang.
"Kau benar, aku belum siap berubah ― menjadi orang populer, atau apapun itu. Rencana tampil dua minggu lagi saja tak punya." Jaehwan berbisik, merapatkan bibir pada telinga, seperti membeberkan satu rahasia. Padahal hanya ada mereka berdua di balkon apartemen: saling mendekap, beradu napas, mendengarkan degup yang berpacu keras.
"Bagaimana kalau kau bantu aku menghadapi semua ini?"
"Ya ampun. Hyung, aku benar-benar direkrut sebagai ajudan?"
...
"Tidak, sebagai kesayangan."
end
notes.
*) You and I, You and I, we are like one.
harusnya ada adegan sewoon kabedon masnya sambil bilang "nggak capek apa hubungan kita muter-muter tanpa status gini! udah tau sama-sama suka juga!" waduuu cinta itu memang rumit (di kepalaqu).
anyway mohon maaf bila karakternya ngga on point bikoz saya [menghela napas panjang] belum nonton broduce dan udah lama ngga nulis soft fics ehm. big thanks to galacticnik and citation cause i'd never understand howons beautiful dynamics without their 'help'.
chim, 2017 ― yang harusnya lagi hiatus.
