[A Secret Splendor ― Sandra Brown]

DON'T LIKE! DON'T READ!

pichaa794 present

remake novel HunHan ver

A Secret Splendor

Chapter 1

.

.

Ia ada di situ lagi...

Umpat Sehun dalam hati sambil mengayunkan raketnya. Sudah ketiga kalinya dalam waktu seminggu ia menempati meja yang sama di pelataran yang menjorok ke arah lapangan tenis itu. Payung meja yang bercorak garis-garis cerah itu hanya setengah menaungi wajahnya.

Meja itu masih belum ditempati sewaktu ia dan Chanyeol mulai main tadi. Namun ia tahu persis kapan wanita itu melangkah keluar dari serambi yang merupakan bagian dari bar di klub itu. Pukulan Sehun luput saat ia membiarkan perhatiannya terpecah pada cara luwes wanita itu merapikan letak roknya waktu akan duduk.

"Makin hari makin baik,"

Puji Chanyeol saat mereka bertemu di dekat net untuk mengatur napas, mereguk Gatorade, dan menyeka keringat yang sudah tidak mampu diserap lagi oleh ikat kepala mereka.

"Tapi masih belum cukup,"

Sahut Sehun sebelum menenggak isi botol minumannya. Saat mengangkat botol, ia melirik ke arah si wanita yang duduk di pelataran di atas mereka. Wanita itu telah mengganggu perhatiannya sejak hari pertama ia melihatnya di sana.

Sekarang wanita itu mengetuk-ngetukkan pensil ke atas sebuah notes, yang dianggap Sehun sebagai ciri khas dirinya.

Apa sih yang ia tulis di atasnya?

Sehun menurunkan botolnya perlahan-lahan, matanya menyipit. Apakah wanita itu termasuk salah satu reporter yang usil - usil itu? Mudah-mudahan tidak. Tapi bukankah itu cara khas sebuah majalah tabloid untuk memancing perhatiannya demi mendapatkan sebuah kesempatan wawancara.

"Sehun? Kau dengar apa yang kukatakan?"

"Ya?"

Ia mengalihkan perhatiannya kembali kepada lawan mainnya, yang begitu bersahabat.

"Maaf, Kau bilang apa?"

"Kubilang staminamu membaik sejak minggu lalu. Kau sudah membuatku kelabakan tadi, tapi tampangmu masih segar."

Sudut mata Sehun berkerut saat ia tersenyum. Sebuah senyuman yang mengingatkan akan hari-hari sebelum ia mengenal apa arti sebuah tragedi.

"Permainanmu bagus, tapi kau kan bukan Gerulaitis, Borg, McEnroe, atau Tanner. Maaf, Sobat, tapi aku masih tetap harus bekerja keras sebelum menghadapi mereka. Dan itu akan memakan waktu. Ehm, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."

"Terima kasih," ujar Chanyeol datar. "Aku sudah tidak sabar menghadapi saat di mana aku kehabisan napas sementara kau masih memiliki cukup banyak energi untuk melompati net begitu pertandingan usai."

Sehun menepuk pundak Chanyeol "Begitu dong semangatnya," ujarnya, sambil memuntir raketnya dengan lihai seolah benda itu kepanjangan dari lengannya.

Tepuk sorak antusias terdengar dari arah sekelompok penonton wanita. Mereka bergerombol di salah satu sisi pagar yang mengelilingi lapangan tenis itu. Sorak sorai mereka semakin ramai saat Sehun melangkah kembali ke garis belakang.

"Seluruh penggemarmu hari ini hadir semua dan habis-habisan," ujar Chanyeol terkesan.

"Tak ada kerjaan!"

Gerutu Sehun sambil memelototi wanita - wanita yang menempel di pagar seperti penghuni kebun binatang yang kelaparan. Dan dirinyalah yang mereka anggap sebagai santapan. Sehun mengumpat, tapi mereka bukannya mundur malah semakin menjadi.

Mereka menyerukan kata-kata tak senonoh ke arahnya. Tanpa rasa malu, salah seorang di antara mereka menaikkan blus ketatnya untuk memamerkan tulisan "Oh Sehun" dalam dekorasi bunga, hati, dan burung-burung kecil yang ditato di atas kulit tubuhnya. Seorang lagi memakai sebuah bandana di paha, persis seperti yang ia kenakan di kepalanya setiap kali bermain tenis. Sehun membuang muka dengan sebal.

Sehun mengertakkan giginya. Apa mereka tidak tahu bahwa hal terakhir yang ia inginkan saat itu adalah berurusan dengan seorang wanita?

Ya Tuhan, YoonA-kan baru saja meninggal...

Sialan, Sehun , jangan biarkan pikiranmu melantur ke YoonA lagi.

Ia tidak boleh melakukan hal itu, saat ia akan berkonsentrasi. . . atau seluruh permainannya akan kacau.

l..l

l..l

l..l

"Tuan Oh?"

"Saya sendiri," sahutnya dalam nada ringan, pada hari yang cerah dan indah itu.

"Anda sendirian?"

Sehun masih sempat menjauhkan gagang telpon dari telinganya dan menatap alat itu dengan heran bercampur geli. Kemudian ia tertawa.

"Ya, aku cuma sendirian dengan putraku. Anda sedang becanda, ya?" sahutnya.

Sama sekali tidak terpintas dalam dirinya betapa seriusnya tragedi yang kemudian harus dihadapinya itu.

"Tuan Oh, aku Letnan Scoot dari Honolulu P.D. Telah terjadi sebuah kecelakaan."

Sehun tidak ingat banyak mengenai apa yang terjadi setelah itu. . .

l..l

l..l

l..l

Sehun menangkap bolanya dengan tangannya untuk kemudian dilambung-lambungkannya ke atas seakan ia sedang mencoba mereka-reka beratnya. Namun yang sebetulnya ia lakukan adalah mencoba menghapus bayangan yang sedang mengganggu konsentrasinya, menghapus kenangan yang membuat pikirannya menjadi kacau.

Matanya melirik ke arah si wanita yang masih duduk di pelataran itu. Wanita itu sedang bertopang dagu sambil melamun. Sepertinya ia tidak peduli pada apa yang sedang berlangsung di sekelilingnya.

Apakah ia tidak terganggu oleh suara ramai wanita - wanita yang berkerumun di sisi lapangan itu?

Apakah keberadaan Sehun sama sekali tak menggugah rasa ingin tahunya sedikit pun?

Sepertinya memang tidak. Sekadar melirik ke arah lapangan tenis pun tidak ia lakukan. Entah kenapa sikap tidak pedulinya itu membuat Sehun menjadi semakin penasaran—yang tentunya tidak masuk akal, karena sejak YoonA meninggal tahun lalu, ia betul-betul tidak ingin diganggu.

"Hei, Sehun!"

Terdengar suara nyaring dari arah para penggemarnya,

"Kalau kau sudah bosan main dengan bolamu itu, kau boleh main dengan punyaku!"

Undangan itu begitu melecehkan di telinganya, sehingga membuatnya marah. Dan ketika bolanya kemudian melesat di udara, yang tampak hanyalah sebuah kilasan. Permainan selanjutnya berlangsung dengan amat sengit dan pada akhirnya ia hanya menyisakan dua angka saja untuk Chanyeol.

Dengan napas terengah-engah Chanyeol menyampirkan handuk di lehernya.

"Kalau aku tahu bahwa kau cuma butuh digoda oleh wanita - wanita untuk bermain seperti itu, aku sudah sewa mereka dari dulu-dulu."

Sehun meraih tasnya, setelah menutup ritsleting sarung raketnya, dan beranjak ke tangga menuju ke pelataran yang menghadap ke lapangan tenis.

"Aku yakin mereka bisa kau sewa kapan saja kau mau."

"Jangan sinis begitu. Mereka kan penggemarmu"

"Rasanya lebih relevan punya penggemar yang juga merangkap sebagai reporter atau kritikus olahraga. Yang mereka lakukan hanya menyatakan kepada dunia bahwa aku ini sudah bukan apa-apa lagi. Bahwa karierku sudah berakhir. Bahwa aku cuma seorang pemabuk."

"Dulu kau memang banyak minum."

Sehun terenyak satu anak tangga di atas Chanyeol. Dengan marah ia memutar tubuhnya. Namun ekspresi di wajah sobatnya itu begitu polos dan apa adanya. Dan apa yang baru saja ia katakan itu memang benar. Amarah Sehun mereda.

"Begitukah?" sahutnya sambil menghela napas.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kini kau Sehun yang dulu. Pukulan - pukulanmu mematikan. Sial! Setiap kali sebuah bola melayang ke arahku, aku merasa seakan nyawaku yang mau kau sambar." Sehun tertawa.

"...Manuver dan strategimu penuh perhitungan, dan tidak menyia-nyiakan titik lemah kiri-ku."

Sebuah senyum membayang di wajah Sehun ."Aku tidak sangka kau memperhatikannya."

"Dasar!"

Mereka tertawa akrab saat meneruskan langkah menuju ke pelataran di atas mereka. Sehun langsung melihat bahwa wanita itu masih duduk di sana.

Berkas - berkas kertasnya berserakan di atas meja, dan sebuah gelas berisi air mineral ada di dekat tangan kanannya. Ia sedang mencorat-coret sebuah notes berwarna kuning.

Sehun harus melewati mejanya untuk menuju ke tempat ganti pakaian. Ia hanya akan menjadi pusat perhatian orang kalau ia mengambil jalan lain.

Mereka hampir sampai di dekat mejanya saat wanita itu tiba - tiba mengangkat wajahnya. Suatu gerakan refleks, seakan kemunculan mereka mengganggu konsentrasinya, sehingga mau tak mau ia harus mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya. Pandangan mereka bertemu. Dampaknya membuat Sehun menyipitkan matanya dan telinganya tidak lagi menyimak ocehan - ocehan Chanyeol.

Wanita itu mengalihkan perhatiannya kembali ke kertasnya, namun Sehun masih sempat melihat bahwa nuansa matanya adalah cokelat memesona dengan bingkai bulu mata berwarna gelap dan lentik.

Pada saat itulah ia memutuskan. Ia akan taruhan dengan dirinya sendiri. Kalau wanita itu masih di sana saat ia keluar dari kamar ganti nanti, ia akan menegurnya.

Kalau tidak, ya sudah. Ia tidak sungguh-sungguh merasa butuh untuk berkenalan dengan seorang wanita, siapa pun wanita itu. Cuma yang ini membuatnya sedikit penasaran. Dan kalau ia mau jujur pada dirinya, alasan utama mengapa wanita ini menggugah rasa ingin tahunya adalah karena sikapnya yang acuh tak acuh terhadap dirinya.

Ya, lihat saja nanti. Kalau ia masih ada di situ saat ia keluar dari kamar ganti, Sehun akan menyapanya. Toh tidak ada salahnya.

Masih ada satu hal lagi, ujarnya dalam hati. Jangan mandi terlalu lama.

l..l

l..l

l..l

Jantung Luhan berdegup dengan kerasnya.

Sudah lima menit berlalu sejak laki-laki itu lewat di dekatnya, sejak ia melihat wajahnya dari dekat dan secara langsung untuk pertama kalinya. Degup jantungnya masih juga belum reda. Ia melap keringat ditelapak tangannya dengan tisu yang sudah menggumpal di dalam genggamannya. Es batu di dalam gelasnya berbunyi ramai saat ia meneguk sedikit dari air mineralnya yang dipersegar irisan jeruk limau.

Laki-laki tadi menatapnya langsung ke matanya. Mereka bertemu pandang. Sekilas. Namun ia merasa dirinya seperti terkena sengatan listrik, karena sebetulnya memang ada sesuatu di antara mereka. Meskipun mereka tidak mengenal satu sama lain, sesuatu yang istimewa membuat mereka saling terikat seumur hidup mereka.

Luhan meminum seteguk air dan bersyukur karena keberhasilan taktiknya menemui Sehun. Sudah merupakan rahasia umum, sejak laki-laki ini mengurung diri di rumahnya di pulau ini yang selalu dijaga ketat, ia mengelak semua wawancara serta menghindari publisitas dalam bentuk apa pun.

Sudah berhari-hari Luhan memusatkan seluruh pikirannya untuk menemukan suatu cara yang tepat untuk dapat melakukan pendekatan.

Sekarang pilihan Luhan adalah tetap bersikap tenang sambil memastikan dirinya diperhatikan, kemudian menunggu perkembangan selanjutnya. Ia akan berpura-pura tidak peduli padanya. Tidak sulit untuk melihat bahwa ulah para penggemarnya yang terlalu antusias itu membuat Sehun jengkel.

Instingnya mengatakan bahwa Sehun sudah mulai menaruh perhatian padanya. Luhan sudah memberikan kesan bahwa ia sama sekali tidak tertarik pada Sehun, meskipun diam-diam ia mengikuti setiap gerak-gerik Sehun. Sesekali Sehun melirik ke arahnya, terutama setelah melakukan pukulan bagus. Namun ia tidak sekalipun mendapatkan dirinya sedang diperhatikan Luhan. Selebriti seperti Oh Sehun tidak terbiasa dirinya tidak menjadi pusat perhatian orang.

Ya, Luhan merasa yakin bahwa taktiknya betul-betul tepat. Hari ini ia sudah menyadari keberadaan dirinya. Mungkin besok...

"Rupanya Anda punya banyak teman dan saudara"

Suara maskulin itu membuat Luhan terkejut dan menoleh. Pandangannya tertuju pada celana pendek berwarna putih. Tiba-tiba ia merasa tidak enak.

Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya, mengikuti tubuh laki-laki yang mengenakan jaket nilon biru laut yang dibiarkan setengah terbuka, dan menyingkapkan dada bidangnya. Senyumnya merupakan impian para dokter gigi yang ahli merapikan gigi. Gigi-geligi yang rata dan putih tertanam dalam rahang yang kuat.

"Maaf?"

Ujar Luhan dalam nada yang ia harapkan tidak mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.

"Sepertinya Anda sibuk sekali. Mungkin surat rindu untuk orang-orang di rumah."

Suaranya bersih, bernada bariton, tanpa aksen, dan entah kenapa kesannya akrab sekali. Luhan tersenyum, begitu ingat bahwa ia haru tetap tampil tenang sesuai dengan skenario.

"Bukan surat. Karena memang tidak ada yang merasa kehilangan aku."

"Kalau begitu tak ada yang akan berkeberatan kalau aku duduk menemani Anda."

"Mungkin aku yang akan berkeberatan."

"Anda berkeberatan?"

Hati Luhan melambung tinggi, meskipun ia tidak berani memperlihatkannya. Karenanya dengan tenang ia berkata,

"Oh, tidak."

Setelah menyusupkan tas kanvasnya ke bawah kursi di seberang Luhan, laki-laki itu duduk, kemudian mengulurkan tangannya di atas hamparan kertas yang memenuhi meja, untuk memperkenalkan diri.

"Oh Sehun ."

Luhan menyambut tangannya. "Xi Luhan."

Mereka sedang saling menyentuh! Sambil melihat tangan mereka yang masih saling berjabatan, Luhan mencoba menghayati kontak fisik pertama mereka setelah...

"Anda sedang berlibur?" tanya Sehun dengan sopan.

Luhan menarik tangannya dan kembali duduk di kursinya, sambil mencoba mengatasi perasaan yang sedikit mengusiknya.

"Tidak sepenuhnya. Katakanlah bekerja sambil berlibur."

Sehun melambai ke arah pelayan yang berada di belakang meja bar. "Anda mau tambah?" tanyanya sambil menunjuk gelas Luhan.

"Jus nenas boleh," sahut Luhan, sambil tersenyum.

"Anda betul-betul seorang turis. Anda belum bosan dengan minuman itu."

Andai kata laki-laki ini tidak begitu menarik saat ia tersenyum,

Ujar Luhan dalam hati. Daya tariknya yang luar biasa mulai membuat perhatian Luhan teralih dari tujuan utamanya, yaitu untuk berkenalan dengannya, untuk mendapat kepercayaannya, dan kalau mungkin, untuk menjadi temannya.

"Segelas jus nenas, dan aku minta empat gelas air," ujar Sehun kepada si pelayan.

"Baik, tuan Oh. Permainan Anda bagus sekali hari ini."

"Terima kasih. Tolong antarkan airnya segera. Aku haus sekali."

"Baik, Tuan."

"Permainan Anda memang bagus tadi," ujar Luhan begitu si pelayan berlalu untuk memenuhi pesanan mereka.

Sehun menatap wajah Luhan sebelum ia berkata, "Aku tidak menyangka bahwa Anda memperhatikan permainanku tadi."

"Aku kan tidak buta ataupun tuli. Aku memang tidak tahu banyak tentang tenis, tapi aku tahu bahwa permainan Anda jauh lebih baik sekarang daripada beberapa bulan yang lalu."

"Kalau begitu Anda tahu siapa aku?"

"Ya. Aku pernah melihat penampilan Anda di televisi sekali-dua kali." Raut wajah laki-laki itu tiba-tiba kecewa sekali. Luhan tersenyum. "Anda seorang selebriti, tuan Oh," tambahnya. "Semua orang tahu siapa Anda."

"Tapi tidak semua orang menjadi lupa diri begitu melihat aku di tempat umum." Nadanya lembut menantang.

"Seperti para penggemar Anda di bawah?"

Sahut Luhan sambil mengangguk ke arah pagar tempat cewek-cewek itu berkumpul sebelumnya. Mereka sudah bubar sekarang.

Sehun mengerang. "Anda percaya bahwa aku memilih latihan di sini karena mereka menjanjikan privasi kepadaku? Selain itu lapangan mereka memang yang terbaik di Maui. Cuma yang tidak kami perhitungkan adalah bahwa para tamu di tempat peristirahatan ini juga dapat mengakses fasilitas itu. Begitu mereka tahu bahwa aku mulai latihan..." Ia menghela napas. "Yah, lihat saja apa yang terjadi."

"Biasanya seseorang akan senang kalau disanjung-sanjung."

Sehun mengernyitkan dahi, kemudian cepat-cepat mengganti topik pembicaraan

"Ngomong- ngomong ini apa?" tanyanya sambil melihat ke kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

"Catatanku. Aku seorang penulis paruh waktu."

Sehun langsung menutup diri meskipun ia tidak beranjak dari situ. Ekspresi di matanya menjadi dingin dan tidak simpatik. Lengkung bibirnya yang sensual membentuk garis tipis. Dalam amarah, jari-jarinya mencengkeram gelas berisi air dingin yang baru saja diantarkan pelayan.

"Begitu," ujarnya dalam nada tegang.

Luhan mengalihkan perhatiannya dengan memindahkan sehelai kertas dari bawah gelas jusnya.

"Kukira Anda salah menilai. Aku seorang penulis, bukan reporter. Aku tidak punya maksud untuk mewawancarai Anda. Lagi pula Anda yang memulai percakapan ini, bukan aku, tuan Oh."

"Panggil aku Sehun saja." Sehun memilih untuk berdamai, dan Ia menyambut ulurannya

"Oke, Sehun. Dan aku Luhan."

"Penulis apa? Novel?"

Luha tertawa. "Belum. Mungkin kelak. Sekarang aku baru mencoba untuk menjajaki semua kemungkinan yang ada untuk menemukan arahku. Sudah lama aku ingin kemari, tapi baru kesampaian sekarang. Aku akan menulis beberapa artikel untuk mensubsidi perjalananku. Dengan cara ini aku dapat tinggal di sini lebih lama dan melihat lebih banyak tanpa perlu mengkhawatirkan uangku di bank."

Sehun menyukai nada suaranya, cara kepalanya bergerak ke sana kemari saat ia berbicara. Cara rambutnya yang berwarna gelap menyapu leher dan pundaknya yang terbuka. Angin dari arah laut mengembus ikal-ikal rambutnya yang kemerahan dari mukanya, Luhan memiliki kulit yang lembut sekali. Seperti juga rambutnya. Dan bibirnya.

Sehun menelan ludahnya. "Artikel tentang apa?"

Luhan menjelaskan bahwa ia sedang meliput sesuatu untuk rubrik pariwisata majalah Los Angeles Times, dan sebuah lagi untuk sebuah majalah mode. Sehun hampir tidak dapat berkonsentrasi pada apa yang dikatakannya.

Untuk pertama kali setelah ia bertemu dengan YoonA, ia menaruh perhatian kepada seorang wanita lain. Hal itu cukup mengejutkan, karena tidak pernah terpintas di dalam dirinya untuk terlibat dengan seorang wanita lagi. Namun perkenalannya dengan Luhan membuatnya merasa bahwa mungkin kelak ia dapat menerima kematian YoonA dan kemudian menjalin suatu hubungan dengan seorang wanita lain.

Mau tidak mau keberadaan Xi Luhan menggugah dirinya. Biar bagaimanapun ia bukan gay. Wanita ini betul-betul cantik. Dan sesuatu yang terpancar dari dalam dirinya ia anggap menarik sekali. Ia mencoba untuk berkonsentrasi dan menyimak apa yang dikatakannya dengan tidak membiarkan pikirannya sendiri melantur ke mana-mana.

Sejak Sehun duduk di situ, ia telah mencoba untuk tidak memikirkan apakah lekuk-lekuk tubuh Luhan yang indah di balik gaun bernuansa hijau itu alami atau tidak.

Ah, apa peduliku?

Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya yang semula ia anggap sudah ia kuburkan bersama YoonA. Dan ia tidak tahu apakah ia harus merasa malu atau justru senang bahwa ia dapat merasakannya kembali.

Ia tidak pernah secara sungguh-sungguh menaruh perhatian pada seorang wanita sejak terakhir kali ia bercinta dengan YoonA. Sejauh ini tubuh yang terlalu seksi tidak pernah membuatnya tergugah. Minatnya terhadap wanita sebetulnya tidak jauh berbeda dari laki-laki lain, namun kali ini... kali ini ada sesuatu yang lain. Ia bukan hanya tertarik pada penampilan fisik wanita ini, tapi juga kepribadiannya, kecerdasannya, serta sikapnya yang tidak berlebihan menanggapi ketenarannya.

"Sudah berapa lama kau tinggal di pulau ini?"

"Hampir seluruh masa dewasaku. Setelah aku mulai menjuarai beberapa pertandingan dan menghasilkan uang. Tempat ini ideal sekali untuk seorang bujangan. Aku tinggal di Honolulu ketika aku bertemu dengan YoonA. Ia..."

Tiba-tiba Sehun berhenti. Ia mengalihkan matanya ke gelasnya, dan pundaknya lunglai.

"Aku tahu tentang istrimu, Sehun ," ujar Luhan pelan. "Kau tidak usah merasa bersalah untuk menyebut namanya."

"Setelah ia sudah tiada, aku membutuhkan suatu perubahan suasana, karena itu aku pindah kemari, ke Maui, yang lebih terisolir. Aku menginginkan lebih banyak privasi untuk melindungi Minguk dari orang-orang yang suka usil."

Tubuh Luhan tidak bergerak. "Minguk?"

"Putraku." Wajah Sehun tampak bersinar.

Luhan merasa tenggorokannya seperti tersumbat dan jantungnya berdebar dengan lebih cepat, namun ia toh bisa menjawab.

"Oh ya. Aku juga pernah membaca tentangnya."

"Anak yang luar biasa. Paling pintar dan manis di seluruh dunia. Tadi pagi..." Sehun menelan kata- katanya kembali. "Maaf. Aku menjadi terbawa begitu mulai bercerita tentang dia."

"Tidak apa, aku mengerti," ujar Luhan cepat-cepat.

"Ya, tapi aku sering melantur. Pendek kata ia merupakan satu-satunya milikku dalam hidupku belakangan ini yang dapat kubanggakan. Kami tinggal di pantai. Ia senang sekali di situ."

Luhan berusaha menguasai emosinya dengan memandangi garis horizon. Bayangan matahari di atas permukaan air laut tampak agak kabur. Dan memandang dari tempat mereka duduk amat menyilaukan. Pohon-pohon palem berayun mengikuti alunan irama angin yang berembus lembut. Gulungan ombak berbuih putih menerpa pantai pasir sebelum akhirnya kembali mengikuti arus.

"Aku bisa mengerti mengapa kau suka tinggal di sini. Suasananya memang indah."

"Efeknya memang baik sekali bagiku. Memberikan ketenangan baik secara jiwa maupun raga."

Sehun bertanya-tanya pada dirinya mengapa ia begitu terbuka pada wanita ini. Ia tahu jawabannya. Wanita yang penuh pengertian ini dapat dipercaya. Sebuah alis lebat naik begitu sesuatu terpintas di dalam pikirannya.

"Kau bilang tadi tidak ada yang akan merasa kehilangan dirimu. Kau tidak menikah?"

"Tadinya, ya. Kemudian kami bercerai."

"Anak-anak?"

"Seorang putri. Yuji," sahut Luhan sambil menatapnya. "Ia sudah meninggal."

Sehun menggumamkan sesuatu sebelum menghela napasnya, lalu berkata, "Aku menyesal sekali. Aku tahu betapa menyakitkannya untuk diingatkan kembali."

"Tidak apa. Yang aku tidak sukai justru saat teman-temanku berusaha untuk tidak menyinggung segala hal tentang dirinya, seakan ia tidak pernah ada."

"Aku juga mengalami hal itu. Mereka menghindari topik pembicaraan mengenai YoonA, seakan mereka khawatir bahwa air mataku akan jatuh berderai dan mereka akan menjadi kebingungan."

"Ya," sahu Luhan. "Aku ingin tetap mengenang Yuji. Anak yang cantik. Lucu. Manis."

"Apa yang terjadi? Kecelakaan?"

"Tidak. Ketika berusia empat bulan, ia terserang radang otak. Dan itu juga meyebabkan ginjalnya rusak. Sejak itu ia menjadi pasien cuci darah, dan kukira ia bisa hidup normal, tapi..."

Suara Luhan menghilang. Untuk sesaat mereka sama-sama diam. Sama-sama tidak mendengar suara-suara di sekitar mereka—gelak tawa yang berasal dari sebuah meja di sisi lain pelataran itu, suara bising blender yang sedang digunakan pelayan bar, dan jerit kemenangan dari lapangan tenis di bawah.

"Kondisinya terus merosot. Kemudian terjadi komplikasi, dan sebelum tersedia organ yang cocok untuk ditransplantasi, ia meninggal."

"Suamimu?" tanya Sehun hati-hati.

Sejak kapan Sehun meraih tangannya? Luhan tidak ingat. Hanya tiba-tiba ia menyadari bahwa tangannya sudah berada di dalam genggamannya.

"Kami sudah bercerai sebelum Yuji meninggal. Bisa dibilang bahwa ia menyerahkan seluruh perawatan Yuji kepadaku."

"Tuan Xi brengsek juga rupanya."

Luhan tertawa. Walaupun nama suaminya bukan Xi, namun ia sependapat dengan Sehun .

"Kau benar, ia memang brengsek."

Mereka tertawa pelan, sampai mereka menyadari situasi mereka. Suatu perasaan rikuh tiba-tiba melanda mereka berdua. Sehun melepaskan tangannya, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah tasnya.

"Aku sudah cukup lama menyita perhatianmu dari pekerjaanmu. Dan kebetulan aku harus menjaga Minguk sore ini supaya pengurus rumah tanggaku bisa pergi belanja."

"Kau punya pengurus rumah tangga untuk mengasuh Minguk? Apakah ia... cukup baik untuk anakmu?" Rasa ingin tahunya membuatnya sedikit antusias.

"Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dia. Ahjumma sudah bekerja untuk kami sebelum Minguk ada. Begitu YoonA meninggal, ia mengambil alih urusan rumah tangga dan kemudian tinggal bersama kami. Aku mempercayainya sepenuhnya."

Luhan dapat merasakan otot-otot tubuhnya yang tadinya tegang menjadi rileks.

"Kau beruntung memiliki seseorang seperti dia."

Sehun berdiri dan mengulurkan tangannya. "Menyenangkan sekali bisa berbincang-bincang denganmu, Luhan."

Luhan menerima uluran tangannya. "Sama- sama."

Sehun tampak enggan melepaskan tangannya. Dan ketika pada akhirnya ia melakukannya, ujung jari nya dengan ringan menelusuri telapak tangan Luhan—tapi yang sebetulnya ingin ditelusurinya adalah pipi Luhan.

"Kuharap liburanmu akan menyenangkan."

Jantung Luhan berdegup lebih cepat. "Terima kasih."

"Oke, sampai ketemu."

"Sampai ketemu, Sehun ."

Setelah tiga langkah, tiba-tiba Sehun berhenti. Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum memutar tubuhnya. Ia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sejak ia berkenalan dengan Im Yoona. Ia akan mengajak seorang wanita lain berkencan dengannya.

"Ehm, begini, aku ingin tahu apakah kau masih di sini besok."

"Aku belum tahu,"

Sahut Luhan dengan nada tenang. Sebenarnya ia sedang menahan napasnya, dan diam-diam melambungkan sebuah doa.

"Kenapa?"

"Yah, Chanyeol dan aku akan main besok pagi." Ia mengubah posisi berdirinya. "Aku baru berpikir, andai kata kau masih di sini, mungkin kau bisa menonton sebentar permainan kami, kemudian kita makan siang sama-sama di sekitar tempat ini."

Luhan menundukkan kepalanya. Nyaris saja ia memejamkan matanya untuk mengungkapkan kegembiraannya.

"Tapi kalau kau...," tambah Sehun .

"Tidak," sahut Luhan cepat-cepat, sambil mengangkat wajahnya kembali. "Maksudku, baiklah... Akan menyenangkan sekali."

"Bagus!" ujar Sehun.

Rasa percaya dirinya tumbuh kembali. Mengapa ia begitu berharap agar Luhan mau menerima undangannya? Ia bisa mengajak siapa saja kapan pun ia mau. Dan tidak hanya sekadar untuk makan siang saja. Tapi kenyataannya memang begitu.

"Kalau begitu kita bertemu di sini agak siang?"

"Aku akan menunggu di sini."

"Bye." Senyumnya lebar sekali dan teramat menawan.

"Bye."

Luhan berharap bahwa getar di bibirnya tidak terlalu kelihatan saat ia membalas senyuman itu.

Dengan langkah-langkah ringan dan sigap Sehun melintasi pelataran. Luhan mengawasinya dari belakang, sambil mengagumi gerakannya serta tubuhnya yang atletis.

Ia menyukai laki-laki itu!

Dan ia merasa bersyukur karena hal itu. Sehun seorang laki-laki yang baik. Seorang laki-laki yang luar biasa. Bukan hanya sekadar seorang laki-laki. Bukan lagi sosok tanpa wajah dan tanpa nama yang selama ini ada dalam benaknya. Melainkan seorang laki-laki yang memiliki identitas dan kepribadian. Seorang laki-laki yang tahu artinya cinta dan kepedihan yang pernah dijalaninya dengan penuh ketegaran.

Luhan telah berhasil menggugah sesuatu di dalam diri laki-laki itu. Ia mulai merasa sedikit bersalah. Apakah ia juga akan diundang makan siang bersamanya? andai kata laki-laki itu tahu siapa dirinya sebenarnya? Apakah Sehun juga akan seantusias Luhan kalau ia tahu bahwa ia adalah wanita yang secara tidak alami pernah mengandung anaknya? Apakah Sehun juga akan membuka dirinya andai ia terus terang mengatakan padanya...

"Akulah ibu yang disewa kau dan YoonA. Akulah wanita yang mengandung anakmu."?

l..l

l..l

l..l

To be continue

l..l

l..l

l..l

6 Desember 2017

Haaiii~ ketemu lagii.. gimana gimanaaa??

Oiya di cerita kali ini bakal ada beberapa bagian yg alurnya mundur, jadi jangan ampe bingung yaaa, aku bakal tandain pake italic, daaan sengaja aku gak rubah nama lokasinya, biar gak bosen korea2an melulu, kkkk~

makasih buat temen2 yg udah review dan support *

see u next chap, byebyee...