Naruto belongs to Masashi Kishimoto
.
.
Purnama menggantung di atap gelap yang hanya dikelilingi benda berkelip lainnya. Tak banyak seperti biasanya. Gumpalan berwarna pekat itu menyingkirkan pencahayaan. Mendominasi. Seakan mewakili situasi saat ini.
Sudah hampir satu jam dentingan logam tak jua berhenti. Mungkin malah semakin menjadi. Dwa dewi kematian mungkin tengah bersorak diatas kemengangan mereka. Merekrut belasan roh yang semula mendiami tubuh-tubuh bergelimpangan diatas tanah dengan darah yang menggenang. Mulut terbuka, mata melotot, beberapa lukisan berwarna merah terpeta jelas di tubuh-tubuh itu.
"Aaarrrghhhhhh!" lolong sesosok pria yangkini sudah terjatuh dengan isi perut yang terburai. Di depannya nampak seorang pria yang bagai Shinigami. Tatapannya hanya ada emosi yang mampu terbaca dari manik coklat itu. Tak lama setelahnya dia membelalak lebar saat merasakan ujung logam yang tajam menembus dan mengoyak kulitya.
TES
Menyeringai saat cairan merah menetes dari ujung bibirnya. Mengelapnya kasar lalu dimajukan tubuhnya agar terlepas dari benda itu. Sedikit raut kesakitan saat terlepas. Matanya memandang datar sosok pria yang berdiri angkuh di depannya. Rambut perak sosok itu melambai saat angin malam mempermainkannya. Diarahkan katananya kearah sosok itu. Adu pedang tak terelakkan. Matanya tak pernah terlepas dari manik jelaga sosok di depannya yang kini mencoba untuk menebas lehernya. Mendecih saat merasa kemampuan orang itu sedikit meningkat, terbukti dengan goresan yang timbul di pinggangnya. Merobek kimono biru miliknya. Menggeram lalu diayunkannya katana miliknya dan berhasil mengenai sisi wajah pria itu namun hanya berupa goresan yang tak lebih dari enam centimeter.
Menebas, menghindar. Begitulah seterusnya. Dibelakangnya, beberapa prajurinya sudah mulai tumbang satu demi satu. Menyisakan sepuluh orang termasuk mereka bersua myang masih bertarung sengit tanpa berniat mengalah. Tentu saja, siapa pula yang saking baik hatinya mau mengalah dalam pertarungan yang mempertaruhkan nyawa itu. Berakir dengan roh yang tercabut paksa dengan gelar pecundang? Tidak, bukan itu kemauannya. Dia hanya ingin melindunginya. Malaikat kecilnya yang masih terlampau polos. Satu-satunya harta yang masih dimilikinya dan ddia tak ingin kehilangan lagi.
Lengah. Asa sakit luar biasa seakan mencabut nyawanya secara perlahan.
Tidak, masih belum!
Terbatuk dengan darah yang mengalir dari mulutnya. Merasa waktunya semakin sempit, ditelengkan kepalanya kearah pemda berambut hitam kebituan yang saat itu baru saja mencabut paksa katananya yang sebelumnya tertanam paksa di kerongkongan pria di depannya. Bunti 'bruk' terdengar setelah tubuh tambun itu mennggelepar diatas tanah merah yang dipijaknya.
Kedua rang itu bertatapan selama beberapa detik. Pemuda itu seakan mengerti arti tatapan yang sarat akan putus asa yang ditujukan padanya itu.
Mengangguk pelan lalu tangannya yang menggenggam katana itu menebas membabi buta empat orang yang tersisa. Selesai, langkah kakinya terburu-buru saat menapaki lantai dingin rumah yang sebelumnya memancarkan aura bahagia serta hangat itu. Sepi, dingin. Itulah yang langkah sebelum mencapai ruangan yang menjadi tujuannya.
CKLEK
Matanya menelusuri ruangan itu. Mendesah lega saat menemukan seorang gadis kecil meringkuk nyaman diatas ranjang king size itu. Dengan hati-hati diangkatnya tubuh mungil itu secara hati-hati dan perlahan tanpa berniat untuk membangunkannya. Tak lupa diambilnya beberapa barang yang sekiranya memang diperlukan. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, diintipnya pemandangan diluar sana melalui celah jendela.
Jrash
Sosokitu tumbang dengan kepala yang menoleh kearahnya. Senyum tulus yang tak pernah dilihatnya, malam itu terlihat dari wajah yang biasanya datar itu. Memantapkan hati, dilihatnya seilas gadis yang kini tengah mendengkur halus dalam gendongannya lalu melesat melalui jendela yang terbuka. Membelah malam. Menapakkan kaki entah kemana. Hanya aman yang dicarinya. Serta jauh...jauh dari kenangan pahit malam itu.
.
.
"Tou-channnnnnn!" seorang gadis kecil berseru senang saat melihat sosok yang dirinduannya sudah berdiri menjulang di depannya selama dia masih sibuk dengan beberapa bunga yang sempat dirangkaunya sebelum dia hancurkan karena kesal tak ada yang menemaninya.
"Hey..Tuan Putri kau bisa membunuh ayahmu jika memelukku degan cara begini" kekeh pria itu lalu mengacak gemas rambut putrinya. Gadis itu hanya mengerucutkan bibirnya kesal. Kesal karena merasa sang pria yang dipanggilnya ayah itu tidak mengerti rasa rindunya yang entah sudah dalam level berapa.
"Aspa yang kau buat..hm?" tanya pria itu sambil menggendong gadis kecilnya yang tengah menggenggam 'rangkaian bunga' miliknya yang kini sudah tak berbentuk itu.
"Membuat rangkaian bunga"
"Hm? Rangkaian bunga?" tanya pria itu geran karena benda itu tak nampak seperti rangkaian bunga. "Kenapa penampilannya seperti itu?"
"Tou-chan jahat!" rengek sang gadis sambil memukul kecil dada bidang ayahnya itu.
"Haha maaflan ayah..baiklah, bunga itu untuk siapa..hm?" dikecupnya sayang pucuk epala hadis kecil itu. Wangi strawberry memenuhi hidungnya.
"Aku sering melihat ayah meletakkan rangkaian bunga di makam Kaa-chan. Aku juga pernah melihat foto Kaa-chan yang memegang bunga bersama Tou-han. Jadi aku pikir aku ingin membuatkannya untuk Tou-chan. Kupikir Tou-chan menyukai bunga" hati pria itu trenyuh mendengar alasan putri semata wayangnya itu. Matanya memanas. Betapa bersyukurnya pada Kami-sama karena mengirimkannya permata tak ternilai untuk menggantikan wanitanya yang kini mungkin telah beristirahat dengan tenang disana.
"Tou-chan? Kenapa Tou-chan menangis? Rangkaian bungaku jelek ya?" gadis kecil itu menunduk sedih. Dagunya terangkat dan dia bisa merasakan kecupan bertubi-tubi meluncur di wajahnya.
Pria itu terkekeh saat melihat gadis kecilnya mengusap kasar sisi wajahnya yang barusan diciuminya itu.
"kau pasti belum makan siang, ayo makan siang berdua"
"Berdua dengan Tou-chan? Yeaaayyy" Pria itu kembali tersenyum melihat putrinya tersenyum bahagia.
.
.
"Ma..afkan ayah..Saki" air mata menetes membasahi pipi yang penuh dengan darah itu. Tak lama guyuran air membasahi seluruh tubuhnya secara perlahan lalu menderas. Tubuhnya masih tak bergerak. Tertelungkup dengan menyedihkan diatas tanah bersama beberapa tubuh tak bernyawa lainnya.
Bibirnya semakin membiru. Dengan sisa tenaganya digerakkan tangannya, menyentuh kalung yang melingkari lehernya. Dikecupnya benda itu.
Itu adalah hadiah dari putri keculnya saat peringatan hari kelahirannya yang ke-37. Tersenyum miris lalu kembali terbatuk darah.
"Kurenai..maafkan aku..Saki..maafkan ayah" Matanya terpejam. Tubuh tegap itu dihujani tetesan-tetesan menyakitkan yang berasal dari langit. Tapi tubuhnya sudah mati rasa untuk merasakannya. Merasakan sakit di sekujur tubuhnya yang basah oleh air hujan serta darah yang masih saja mengalir bersama air kiriman dari langit.
Bulan sudah tak menggantung dengan sombongnya. Tertutup gumpulan hitam yang mendominasi. Gelap yang mewakili Konoha di malam ke-27 bulan Oktober. Meninggalkan mayat-mayat menyedhkan itu bergelimpangan diatas bumi yang menangis.
.
.
Masih segar dalam ingatannya. Senyum putus asa itu. Tatapan putus asa itu. Dan titipan darinya yang kini masih terlelap dalam dekapan protektifnya.
Matanya menerawang langit yang gelap denga disertai air yang tutun jatuh ke bumi. Semakin deras dan semakin kelam. Sekelam bola matanya yang kini memangdang lembut sosok kecil dalam dekapannya. Gadis itu masih terlalu kecil. Masa depannya masih panjang. Tapi kini entahlah bagaimana dengan masa depannya. Dia bingung dan belum siap jika esk matahari terbit, membangunkan gadis itu. Membangunkan sifat ingin tahunya. Tentu saja dia pasti akan bertanya tentang keberadaannya, keberadaan keluarganya, keberadaan ayah tercintanya.
Jawaban apa yang harus dia berikan? Mengatakan dengan gamblang dan dengan ekspresi datarnya bahwa ayahnya telah mati? Bodoh. Jawaban paling bodoh yang prnah terselip dalam otak jeniusnya.
"Engghhhh" gadis kecil itu melenguh pelan lalu menggeliat manja. Mata hijaunya memandang sayu pemuda yang mendekapnya. Dikuceknya pelan kedua matanya lalu kembali memandang pemuda itu. Mengeluarkan suara serak khas orag bangun tidur.
"Engghh..Sasuke-nii??"
"Hn"
"Ini..dimana? kenapa ruangan ini tak ada pintunya. Jelek lagi" Sasuke memandang datar tuan putri di pangkuannya itu. Menatap manik hjau yang sebelumnya memandang sekitarnya lalu bertemu pandang dengannya. Debaran aneh muncul di dadanya.
"Sasuke-nii kenapa wajahmu merah? Kau sakit?" Gadis itu menempelkan telapak tangan mungilnya pada dahi Sasuke, semakin membuat Sasuke gelagapan dalam hati.
'Apa yang terjadi padaku? Dia hanya gadis kecil yang selalu memainkan rambut mencuatku dan mencampuri tomatku dengan pasta gigi!"
"Tidak. Tidurlah" perintah Sasuke mutlak lalu mendekap tubuh gadis itu dan menenggelamkan dalam tubuh tegapnya. Gadis itu hanya mengangkat bahu lalu kembali memejamkan mata setelah sebelumnya menguap lebar.
"Kepala Sasuke-nii seperti ayam. Aku ingin memakannya" Darah Sasuke berdesir saat lidah gadis itu menjilati leher putihnya. Matanya mendelik namun hanya sesaat saat melihat gadis itu sudah tertidur. Tak urung membuatnya trsenyum kecil.
"Tumbuhlah menjadi gadis yang kuat, Hime" dikecupnya pucuk merah muda itu sebelum menyusul empunya menuju alam tidur.
Bulan sudah tak menggantung dengan sombongnya. Tertutup gumpulan hitam yang mendominasi. Gelap yang mewakili Konoha di malam ke-27 bulan Oktober. Meninggalkan dua manusia yang meringkuk menyatu bersama alam mimpi indah melarikan diri sesaat dari kenyataan menjemukan nan kelam.
"Tumbuhlah menjadi gadis yang kuat, Putriku..." Bisik seorang wanita cantik bersurai hitam seraya mengecup pipi tembem gadis kecilnya sebelum melebut mejadi kunang-kunang.
.
TBC
Review, comment please?
