Disclaimer : Kurobasu is not mine
Alternate Universe. OOC. Shounen ai.
…
Aku lewat sini lagi. Pedestrian yang kulalui tiap hari dalam perjalananku menuju stasiun. Jalanan yang sepi dan tenang. Mungkin kau menganggapku seperti orang tua, tapi aku suka kedamaian yang ditiup-tiupkan oleh angin musim semi, di mana pucuk-pucuk daun muda saling bergoyang menari. Seolah menyapa dan mengucap selamat pagi. Tidak banyak orang yang lewat sini, jadi aku bisa menguap lebar tanpa perlu menutupi mulutku. Atau kentut dengan bunyi keras di tengah jalan semauku. Tidak ada yang akan menegurku.
Yang lebih menarik lagi, di ujung jalan sana ada sebuah toko kue yang wanginya selalu menggoda. Tiap perjalanan pulang aku tak pernah absen menolehkan kepala, sekedar ingin tahu apa yang terpampang di etalasenya. Aku tidak terlalu suka makanan yang manis-manis, aku hanya senang memandangi kue-kue yang berjejer rapi berwarna-warni. Sebenarnya, bukan cuma cup cake yang ingin aku lihat. Karena akhir-akhir ini ada hal yang membuatku penasaran. Sesuatu yang menarik perhatianku.
Seseorang lebih tepatnya.
Sudah seminggu ini aku melihatnya di sana, di dalam toko kue, duduk di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Ia selalu duduk di situ, dengan secangkir teh dan sepotong kue mandarin di hadapannya. Kupikir tidak ada yang aneh dengan hal itu. Karena, hei, aku juga akan senang menghabiskan waktu soreku untuk duduk santai di tempat senyaman itu. Tidak ada yang aneh, sampai aku memperhatikannya lebih lekat dan menyadari bahwa kepingan coklat madu itu tidak benar-benar melihat ke deretan pohon mapel yang menghiasi kanan kiri jalan. Aku ingin memastikannya sendiri, jadi aku memutuskan untuk masuk ke dalam toko, memesan teh dan kroket, kemudian duduk tak jauh dari tempatnya. Dan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tanpa dibatasi kaca, sosoknya yang terlihat seperti manekin di toko baju. Dengan kulit krim susu tanpa cela dan rambut kuning keemasan yang menawan. Tadinya tidak ada yang aneh, sampai jari-jari pianis itu meraba permukaan meja dengan hati-hati, sedangkan kepingan coklat madu hanya mengerjap, masih menerawang jauh ke luar.
Aku mengernyitkan kening.
Entah Kami-sama begitu adil atau kejam, memberi kekurangan pada makhluk yang secara fisik nyaris sempurna seperti dirinya.
"Kise Ryouta-kun."
Aku mengangkat kepalaku, sedikit terkejut dengan pelayan yang tiba-tiba datang membawa pesananku. Mukanya datar tanpa ekspresi, dengan tenang meletakkan secangkir teh dan sepotong kroket di atas meja. Kuroko Tetsuya, begitu bordiran nama pada seragamnya.
"Apa?"
"Namanya." Kuroko mengendik ke arah pemuda yang duduk sendiri di dekat jendela.
Mukaku sedikit memerah karena sadar aku telah tertangkap basah sedang memperhatikan seseorang. Aku hanya berdehem dan menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal.
"Dia akan senang kalau kau mau mengobrol dengannya." Dengan itu ia berlalu. Pelayan yang aneh.
Aku menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk menyesap secangkir teh, sambil mencuri-curi pandang ke arah pemuda tunanetra yang berjarak satu meja dariku. Memperhatikan bagaimana jari-jari tangannya yang kurus dan panjang melingkupi cangkir porselen dengan sepenuh hati seperti induk ayam yang melindungi anak-anaknya di balik sayap hangatnya di musim dingin. Kemudian masih dengan super pelan dan hati-hati ia membawa cangkir mendekat ke mulutnya, membuatku harap-harap cemas apakah ia bisa meminum tehnya dengan baik atau salah memasukkannya ke hidung. Aku sendiri sering mengalaminya, jika mencoba untuk minum saat asyik menonton televisi.
Dan karena itu aku jadi memperhatikan bibir tipis yang bersentuhan dengan mulut cangkir.
Sejenak aku dibuat terpana. Tiba-tiba saja matahari sore musim semi memutuskan untuk menunjukkan sinar keemasannya dan jatuh membayangi pemuda yang katanya bernama Kise Ryouta itu. Membuat rambut kuning keemasannya berkilauan dan kulit krim susunya terlihat bersinar. Kalau ada halo melingkari kepalanya dan sayap putih mengembang dari punggungnya, ia akan jadi sosok malaikat yang sebenarnya. Meski aku sendiri tidak yakin kalau malaikat terlihat demikian, tapi itu bayangan yang kudapat dari masa kecilku!
Saat itu kedamaian dan keberpaduan yang memenuhi atmosfir sekitar tiba-tiba diretaskan oleh bunyi cangkir beradu dengan pinggiran ceper porselen, yang membuat cairan di dalamnya melompat keluar mengenai punggung tangan berkulit pucat. Kemudian genggamannya terlepas dengan sebuah sentakan dan cangkir warna putih susu terjatuh, menggelinding, menumpahkan isinya ke atas meja dalam kurun waktu kurang dari 3 detik.
Secara refleks aku bangkit dari kursiku dengan cepat dan menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa?!"
Tanganku membeku di udara, berdilema antara ingin meraih tangannya yang basah dengan hati-hati atau menariknya begitu saja.
"Ah, tidak apa-apa." Bibir itu membentuk seulas senyum mencoba untuk meyakinkan. Dari caranya mengusap-usap punggung tangannya, aku tahu ada sesuatu.
"Biar kulihat."
Aku mengulurkan tanganku, maksudnya ingin agar dia meraihnya. Kemudian aku sadar kalau ia tidak bisa melihatnya, sepasang mata coklat madunya mengerjap polos, menerawang jauh, melihat bukan ke arahku.
"Maaf," Aku menarik tangan itu, menyimpan dalam memoriku tentang teksturnya yang halus. "Sedikit melepuh di sini." Ada warna merah samar yang terbentuk di sana.
"Kau mau teh lagi, Kise-kun?"
Untuk kedua kalinya aku dibuat terkejut oleh kehadiran Kuroko yang tiba-tiba, dia berhasil membuatku hampir melompat kaget. Ia membawa serbet dan dengan cekatan membereskan kekacauan yang ditimbulkan tumpahan teh di atas meja.
"Tidak usah, Kuroko cchi. Aku sudah tidak haus."
"Kau akan haus setelah memakan kue. Akan aku ambilkan air mineral." Sebelum pelayan itu benar-benar pergi ia melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Tapi aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak hal yang lebih penting dari itu, tangan dalam genggamanku misalnya.
"Maaf-"
"Eh? Ada apa? Tanganmu sakit?" Aku memandangi pemuda di hadapanku dengan khawatir. Mencoba menemukan tanda-tanda kesakitan pada wajahnya yang simetris.
"Kau menahan tanganku."
"Huh? Ah, maaf, maaf. Aku tidak menyadarinya, haha." Tersipu malu, aku melepaskan tangan yang sempat kugenggam selama beberapa saat.
Hening.
Aku yakin si rambut kuning ini menganggapku aneh. Tiba-tiba muncul dan sok menanyakan apakah tangannya terluka. Kalau aku jadi dia, mungkin aku tidak akan ragu meninju muka orang yang berani menarik tanganku seperti yang kulakukan padanya tadi. Aku sendiri terkejut karena ia bersikap begitu tenang dan tidak berteriak panik ketika ada orang asing yang tiba-tiba datang dan menyentuhnya seperti itu. Kukira ketidakmampuan untuk melihat akan menjadikan seseorang begitu waspada. Atau karena tidak bisa melihat itu yang menjadikannya tak dapat membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak?
Kurasa hal seperti itu tidak akan pernah bisa kumengerti, kecuali jika aku merasakannya sendiri.
"Aku Kise Ryouta. Siapa namamu?" Ia tersenyum. Matanya yang cemerlang namun kosong itu juga tersenyum.
"Kagami. Kagami Taiga."
"Kagamicchi, eh? Senang bertemu denganmu. Apa kau juga sering makan kue di sini?"
"Iya. Kadang-kadang."
Senyumannya mengembang. "Apa kue favorit, Kagamicchi? Sudah pernah mencoba kue mandarin? Rasanya enak sekali."
"Benarkah? Mungkin aku akan mencobanya nanti."
Dan sejak hari itu, aku punya lebih dari sekedar alasan sederhana untuk menengok etalase toko. Ada sesuatu yang memaksaku untuk masuk, memesan kue dan duduk-duduk menikmati sore. Aku tidak terlalu suka makanan yang manis-manis, tapi aku mulai membiasakan diri dengan rasa manis krim yang memenuhi mulutku.
Bukan sesuatu yang buruk. Rasa manis itu.
…
AN : Ini belum selesai. Sama sekali belum. Semoga tidak banyak, tidak sampai dua digit chapter orz
