Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Dari luar mereka terlihat seperti kakak adik yang saling menyayangi, tapi di mata Kuroko Tetsuya tidaklah demikian.

Adalah Kagami Taiga yang sedang menikmati hari yang lain di Maji Burger, kasirnya bahkan sudah berganti entah berapa kali sejak lelaki berambut merah bergradasi hitam itu menjadi pelanggan setia. Di sampingnya ada Himuro Tatsuya yang menelan gigitan terakhir burgernya, dan Kuroko di hadapan mereka dengan segelas milkshake—bukan di sebelah Kagami, kekasihnya.

Sejujurnya milkshake itu sudah mencapai dasar gelas putih, tapi sedotannya masih tersembunyi di balik mulut si rambut biru muda. Bukan salahnya kalau suasana jadi terasa canggung karena Kagami dan saudara berambut hitamnya duduk di hadapannya dengan mereka yang memakai sepasang cincin yang disulap menjadi kalung. Terima kasih karena dia terlahir sebagai orang yang biasa dibilang pandai menyembunyikan emosi, biasanya

"Oi! Kuroko!"

Mata biru laut itu cuma melirik, mendengarkan. "Minggu depan aku akan ke Amerika." Gigitan kuat pada sedotan putih menjadi respon tak terlihat dari Kuroko.

"Maafkan si bodoh yang selalu lupa memberitahukan hal penting seperti ini padamu, Kuroko." Lanjut Himuro.

Kepala biru muda itu menggeleng, "Tak apa. Kagami-kun memang begitu." Kemudian satu dari sekian banyak kebohongan terulang disusul dengusan geli dari Kagami. Satu hal lagi yang bukan kesalahan Kuroko adalah dia mencintai lelaki tidak peka seperti Kagami Taiga.

Karena cinta tidak bisa dipaksakan dan hadir begitu saja.


-o-o-o-


Sore itu kamar mereka dipenuhi wewangian khas Kagami, dari baunya Kuroko tahu belum terlalu lama ruangan ini dalam keadaan kosong. Masih ada sedikit kehangatan lelaki tinggi itu di sana.

Dalam diam dia melepas satu persatu pakaian yang digunakannya mengajar hari ini. Dia, Kuroko Tetsuya seorang guru Sejarah Jepang di Seirin. Sejujurnya dia bisa meminta izin untuk mengantar Kagami ke bandara tadi siang, tapi tidak dilakukannya karena ada Himuro. Faktanya mereka memang pergi berdua karena undangan dari Alex, wanita yang Kuroko kenal suka mengumbar ciuman sekaligus guru basket Kagami dan Himuro sewaktu menetap di Amerika beberapa tahun silam.

Lagipula mereka sudah 25 tahun hidup di dunia, dan bandara bukanlah hal yang tabu bagi Kagami. Jadi tak ada alasan bagi Kuroko untuk melewatkan jadwal padatnya hari ini ditambah si lelaki bodoh itu memang tidak memintanya. Tapi tetap saja, saat tetes-tetes air jatuh membasahi kepalanya dan berakhir di ujung kaki, ada sakit yang merambat bersama.

Bohong kalau dia merasa baik-baik saja saat tahu Kagami akan pergi tanpa mengajaknya atau setidaknya berbicara lebih dulu padanya. Fakta menunjukkan seandainya Himuro tak ada di sana minggu lalu, mungkin dia baru tahu kemarin atau bahkan tadi pagi.

Karena ditinggalkan Kagami bukanlah yang pertama bagi Kuroko.

Sebagai seorang pemadam kebakaran dengan semangat yang menggebu, Kagami bisa sangat betah berada di kantornya sampai tengah malam dan akan berangkat lagi pagi-pagi sekali. Tipikal pegawai teladan. Wajar saja kalau meminta cuti seminggu untuk mengunjungi keluarganya dan Alex adalah hal yang mudah.

Jangankan makan malam, sarapan pun beruntung jikalau ada dua kali dalam seminggu mereka habiskan di meja yang sama. Justru di hari Minggu, yang sangat jarang, dia berharap sesuatu yang lebih baik dari Kagami. Tapi kenyataan seolah menamparnya, yang ada malah berita kepergiannya dengan Himuro.

Merasa sudah bersih, Kuroko mematikan shower dan meraih handuk yang tak jauh dari jangkauan. Saat hendak mengusap wajahnya dia tertegun sesaat. Tak tahu sejak kapan air mata itu mengalir di pipinya.

Kedua tangannya mengepal erat, menangis bukanlah hal yang sering dia lakukan, sangat jarang malah. Tapi kenyataan bahwa dari sejak hubungan mereka dimulai Kuroko Tetsuya bukanlah seseorang yang sanggup mengalahkan Himuro Tatsuya di hati Kagami membuatnya terkadang tanpa sadar menangis di bawah hujaman air di kamar mandi, atau di tengah tidurnya.

Dari luar ponselnya berdering, dengan kasar dia mengusap wajahnya menggunakan handuk hingga sedikit memerah.

Aomine Daiki is calling.


-o-o-o-


"Jadi si bodoh itu ke Amerika tanpa bicara apa-apa sebelumnya?"

Kuroko mengangguk sambil menatap lurus ke arah mata lelaki biru gelap di hadapannya. Aomine menguap malas sambil bersandar pada sofa empuk di belakangnya, beberapa saat lalu dia baru saja menyelesaikan urusannya di sekitar tempat tinggal lelaki di hadapannya. Karena kesibukannya yang semakin padat dia jadi jarang mengunjungi sahabat lamanya ini, terakhir dua bulan lalu kalau dia tidak salah mengingat.

"Aomine-kun sendiri bagaimana?"

Pundak lebar Aomine semakin merusut, Kuroko yakin seragam polisinya akan semakin kusut karena itu. "Aku? Yah seperti yang kau lihat."

"Kise-kun?" Lagi-lagi lelaki berkulit gelap itu menguap. "Baik." Jawabnya.

Diam sesaat, "Jadi kapan dia kembali?" Aomine menyesap kopinya setelah bertanya. "Katanya hanya seminggu. Mungkin Minggu atau Senin nanti." Polisi itu mengangguk paham.

"Kalau kau bosan hubungi saja Kise."

Kuroko tersenyum. Setidaknya dia punya sahabat yang selalu mengerti dirinya. Tanpa Kuroko beri tahu Aomine akan datang, selalu seperti itu, walau kadang seperti sebuah kebetulan. Tentu mengingat dulu mereka adalah partner basket yang sempurna saat SMP, kemudian Kagami menggantikan Aomine sebagai partner Kuroko di SMA sampai saat ini, walau dalam arti yang lain.

Hampir pukul tujuh malam waktu mereka berpisah di hadapan kafe itu dengan Aomine melambai sekali dari jendela mobilnya.


-o-o-o-


Jantung Kuroko berdetak lebih cepat saat mendengar kegaduhan dari dalam rumahnya dan Kagami. Sudah seminggu dan sedikit banyak dia berharap ada Kagami dengan apronnya saat dia membuka pintu di hadapannya—seperti saat mereka baru tinggal bersama.

"Oh Tetsu. Maaf aku menghancurkan dapurmu."

Adalah Aomine yang sedang berusaha memotong rapi sayuran terakhir dari persediaannya minggu ini. "Aomine-kun?" Suaranya sedikit terkejut dan kecewa membuat Aomine tersenyum mengejek.

"Kenapa? Kau kira Kagami?"

Kuroko masih berwajah datar seperti biasa dan melangkah masuk melewati ruang tamu luas yang tersambung dengan dapur minimalis di rumah itu. "Tidak. Hanya saja, bagaimana Aomine-kun bisa masuk?" Lelaki yang lebih pendek berhenti di dekat meja makan yang berjarak dua meter dari tempat Aomine berdiri.

"Kau lupa mengunci pintu, Tetsu." Kuroko tertegun saat mendengar bisikan yang terlalu dekat dengan telinganya, kemampuan Aomine dalam hal kecepatan belumlah berubah—malah semakin baik mengingat profesinya sekarang. "Aomi—"

Satu tubrukan antarbibir melukai gusi Kuroko, matanya membulat. Butuh dua detik sampai dia sadar dan mendorong Aomine dengan sekuat tenaga. Aomine mendecih sebelum menarik paksa lengan putih yang sedang mengusap bibir itu, membuatnya mendekat. Terlalu dekat. Kuroko bisa merasakan napas panas Aomine di lehernya dan dua lengan kekar melingkari tubuhnya.

"Aomine-kun—"

"Tetsu." Suara yang lebih berat dari biasa membuat Kuroko ingin menangisi jantungnya yang berdetak sangat cepat kala itu. "Maaf, aku—"

Aomine tak tahu harus memulai dari mana, yang dia tahu hanyalah dia yang merasa kesepian seusai bekerja hendak mengunjungi sahabatnya, lagi. Tapi kurang beruntung karena yang bersangkutan belum pulang saat dia sampai di sini, atau mungkin beruntung karena pintunya tidak dikunci. Haruskah dia jujur kalau dia hanya ingin menghibur sahabatnya yang juga merasakan kesepian dengan menyambutnya dalam balutan apron dan dapur yang hancur.

Pelukan Aomine semakin mengerat membuat Kuroko tak tega melepaskannya, tidak mau, tidak bisa.

Tidak, dia tidak mungkin mengatakan kalau keinginan gila untuk mencium Kuroko dan memeluknya seperti sekarang datang begitu saja—saat melihat Kuroko berdiri dengan wajah kusut di hadapannya. Atau, mungkin karena jauh di lubuk hatinya dia menginginkan hal ini. Aomine tak tahu. Untuk itu dia diam, memaksa Kuroko mengerti tanpa perlu dia beri tahu. Bukankah dulu mereka seperti itu.

Hampir lima menit mereka tetap dalam posisi yang sama sampai suara tas yang bertubrukan dengan marmer memanggil perhatian keduanya. Mata biru laut itu membulat lebar melihat Kagami mengepalkan tangan terlalu kuat kemudian menarik lengan Himuro yang dari tadi menonton di belakangnya menjauh dari sana.

Kuroko tidak mengejarnya, lagipula dia tidak bisa, lengan Aomine masih melingkari tubuhnya walau tidak sekuat sebelumnya. Kedua tangannya yang tadi berada di sisi tubuh terangkat pelan dalam kepalan yang erat, terlalu erat sampai buku jari itu memutih—memaksa pelukan Aomine terlepas. Kemudian kepalan itu mendarat pelan di dada lelaki yang menunduk mencoba menebak air muka Kuroko yang tersembunyi di bawah poninya.

Satu isakan terdengar, Aomine yang membeku sesaat kemudian tersenyum lembut. Perlahan mengangkat dagu Kuroko hanya untuk mendapatkan aliran air mata di sana. Untuk pertama kali dalam 25 tahun hidupnya Aomine melihat Kuroko menangis.

Pelukan itu kembali namun ditambah gesekan lembut penenang di punggung ringkih Kuroko. Dalam hati dia mengucap maaf karena terlalu banyak menyakiti.


-o-o-o-


Tepukan di pundak tak cukup membuat Kagami mengalihkan pandangannya dari pemandangan mata hari terbenam di jendela kamar Himuro. "Taiga—" Panggilnya untuk yang kedua kali.

Kagami akhirnya berbalik namun Himoro tak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena tak ada penyinaran selain cahaya matahari yang mulai tenggelam di belakang lelaki berambut merah itu. Himuro maju selangkah sampai kedua ujung kaki mereka bersentuhan, satu tangannya mengapit pinggul Kagami dan menariknya mendekat.

Tangan yang satunya lagi mengapit surai merah yang basah karena keringat kemudian mempertemukan bibir mereka. Satu lumatan disusul jilatan dan napas berat keduanya, terus menerus sampai paru-paru mereka mendesak akan udara. Himuro tersenyum dalam napasnya yang terengah. Berhasil membuat adik kecilnya lebih tenang. Kagami menarik sudut bibirnya, berjalan ke arah kasur yang terbalut seprai biru muda dan menghempaskan tubuhnya di sana. Merasakan tekanan di sampingnya mata merah itu terbuka.

"Jadi, kau akan menginap malam ini?"

"Ya, kurasa begitu." Kagami memiringkan tubuhnya menghadap lelaki yang setahun lebih tua di sampingnya, tangan kecoklatannya terangkat membelai surai hitam yang menutup sebelah mata figur kakaknya itu. Dia tak tahu pasti sejak kapan dan mengapa mereka memulai kebiasaan aneh ini, tapi Himuro Tatsuya tahu karena dia yang memulai.

Pernah ketika mereka berselisih seperti ini, Kagami datang dan hampir menghancurkan isi kamarnya kalau saja dia tidak segera memeluknya. Kemudian dia yang awalnya hanya berniat menenangkan menjadi lupa diri sampai saat dia mendengar erangan Kagami yang entah sejak kapan berada di atas tubuhnya dengan wajah yang tersembunyi di lehernya disusul gigitan keras yang membuatnya mengeluarkan suara yang dia tak yakin itu adalah miliknya.

Sejak saat itu mereka akan melakukan hal yang sama kalau-kalau Himuro merasa Kagami sedang tertekan atau dalam masalah, dimulai dari sebuah pelukan kemudian ciuman. Dia tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena mereka belum pernah melangkah lebih jauh. Satu yang pasti dia sama sekali tidak keberatan dengan semua itu, sekalipun mungkin akan terlihat sangat jahat kalau dilihat dari sisi Kuroko. Tapi selama Kagami baik-baik saja dan mereka masih bisa menguasai diri Himuro merasa tak ada yang salah.

"Istirahatlah, kau baru melewati perjalanan panjang."

Kagami tersenyum lima jari, "Ya, bokongku rasanya keram terlalu lama duduk di pesawat." Himuro balas tersenyum melihat adiknya benar-benar lebih baik sekarang.

Benar, tak ada yang salah.


-o-o-o-


"Aominecchi!"

"Berisik, Kise!"

Lelaki pirang itu merenggut karena tidak dipedulikan dan akhirnya dibentak, "Apa kau mendengar apa yang kukatakan tadi?" Aomine yang terdiam membuat Kise tersenyum getir, tapi dia tidak peduli. Sudah biasa.

Tubuh proporsionalnya menunduk dan memeluk leher gelap itu dari belakang, hampir menangis saat melihat genggaman Aomine pada gelas kosong di tangannya mengerat. Kise Ryouta tahu, kekasihnya sedang marah. Tapi bukan padanya dan bukan karenanya. Namun dia tak punya pilihan lain, dia yang seorang model memang cukup sibuk bahkan untuk melihat Aomine berangkat di pagi hari. Jadi apalagi yang bisa dia berikan padanya selain cinta dan kesetiaan.

Menjadi kekasih Aomine Daiki seperti 'dream comes true' bagi Kise, tapi kenyataan bahwa kekasihnya masih menyimpan rasa pada sahabat lama mereka tak bisa dia pungkiri. Mereka memang bersama dan sahabatnya itu juga sudah memiliki kekasih, tapi tetap saja Kise merasa cemburu saat tahu kalau mereka sering bertemu di waktu senggang—tanpa Kise.

Aomine bangkit dari kursi membuat lehernya lolos dari pelukan kekasihnya, "Aku lelah." Kise tersenyum, beruntung semua lampu sudah dimatikan saat dia kembali dan menemukan Aomine termenung di meja makan, jadi lelaki itu tak bisa melihat kalau wajahnya sudah basah. Terkutuklah dirinya yang lahir sebagai pria dengan perasaan lebih sensitif dari bokong bayi.

"Aominecchi—" Langkah itu terhenti tanpa menoleh. "Kau dengar tadi aku bilang apa kan? Kau setuju kan?"

"Terserah."

Debaman pintu meninggalkan Kise dengan sebuah travel bag di sudut ruangan gelap dan isakan pelan yang mengudara.


-o-o-o-


Tiga hari berlalu dan Kuroko masih terbaring di atas tempat tidur menunggu kapan demam yang menahannya sejak kemarin mereda. Sepeninggal Aomine dia berakhir tertidur dalam bath tub sampai pukul lima pagi dan kesakitannya berhasil melipat ganda—hatinya, pikirannya, dan tubuhnya.

Kagami sama sekali belum menampakkan tanda-tandanya sejak malam itu, di balik selimut tangannya mengepal. Merutuki kebodohannya yang jatuh dan terbuai dalam pelukan sahabat sendiri di saat kekasihnya kembali. Kepalanya terasa lebih berat, obat yang tersedia dalam kotak pertolongan pertamanya tidak membantu sama sekali.

Dengan begini dia merasa tak ada bedanya dengan seorang pengkhianat. Dia yang mengkhianati Kagami dan secara tak langsung mengkhianati Kise, sahabatnya. Bukan rahasia bagi Kuroko kalau Aomine pernah menyimpan rasa padanya, bukan rahasia karena dia juga merasakan hal yang sama. Namun perasaan mereka tak pernah bertemu sampai saat Kagami hadir dan mengikisnya sedikit demi sedikit, tapi dia tak yakin dengan Aomine. Lelaki itu memang bersama Kise sejak mereka lulus SMA hingga sekarang tapi kelakuannya belum sepenuhnya berubah.

Kuroko tahu mereka bahagia dan dia yakin mereka saling mencintai, tapi ada saat dimana dia akan mendapati Aomine bersikap kelewat cuek pada Kise. Kuroko tersenyum getir, bukankah sifat Aomine dan Kagami tak jauh berbeda. Dalam bermain basket maupun kehidupan sehari-hari mereka. Ada yang tidak peka, ada yang tidak peduli dan tentu saja sama-sama bodoh.

Bodoh karena menyakiti orang yang mencintai mereka.

Mata biru laut itu terpejam, ingatan yang telah dia kubur muncul ke permukaan. Terlalu kuat melawan kuasanya, terlalu banyak. Bukan keinginannya melihat kekasihnya bermesraan dengan orang lain—orang yang Kuroko dan Kagami hormati sebagai kakak—lebih dari sekali. Bukankah dia juga bodoh—sama bodohnya dengan sahabat pirangnya.

Bodoh karena rela disakiti orang yang mereka cintai.


-o-o-o-


"Aku pulang!"

"Selamat datang, Taiga."

Himuro meletakkan mangkuk berisi sup untuk pelengkap makan malam mereka di atas meja, "Sepertinya kau semakin pandai memasak, Tatsuya." Kagami mencicipi sup buatan Himuro dan menggugam 'lezat' saat potongan wortel dan kuahnya melumer sempurna di dalam mulutnya.

"Aku anggap itu pujian. Mandilah, lalu kita makan malam."

Kagami menyeringai sesaat, "Aku mau mandi dengan Tatsuya." Himuro hanya mendegus geli sambil mendorong punggung lelaki itu ke dalam kamar dan menutup pintunya dari luar. Di balik pintu Kagami terkekeh pelan sambil melepas bajunya kemudian tangannya meraba ponsel yang sedari tadi dia letakkan dalam tas kerja.

5 missed call . 2 new messages

Tanpa membuka pesan yang dia terima Kagami meletakkan ponsel itu di atas meja kecil dekat dengan tempat tidur dan memasuki kamar mandi, membiarkan air mengguyur kepala dan tubuhnya. Dia merasa tak harus membuka pesan ataupun menjawab panggilan dari orang yang sama sejak tiga hari terakhir. Karena lelaki itu merasa tahu tanpa harus diberitahu. Ini bukan yang pertama kali bagi mereka, jika dalam sudut pandang Kagami sekarang dialah yang benar dan Kuroko yang salah, maka semua pesan atau panggilan yang dia terima hanyalah permintaan maaf yang sejujurnya tidak dia butuhkan.

Karena dia hanya manusia biasa yang punya rasa jenuh.

"Taiga." Ketukan pelan dan panggilan tersamarkan oleh tumbukan air dengan marmer basah kamar mandi. Kagami memutar kran shower, bermaksud mematikannya. "Ya?" Jawabnya setelah menyingkirkan beberapa tetes air di wajah.

"Ponselmu—"

"Biarkan saja." Potong Kagami terlalu cepat. "Ini dari Aomine." Lanjut suara di balik pintu.

Pintu di hadapan Himuro terbuka menampilkan Kagami dan sehelai handuk putih, tangan kecoklatan itu meraih ponsel bergetar yang terulur ke arahnya. "Apa?"

Himuro yang mendengar respon to the point Kagami hanya menggeleng kemudian berniat keluar dari kamar itu. "Di mana?" Tapi suara berat Kagami membatalkannya, kemudian dia berputar menghadap wajah kusut dan khawatir itu. "Ada apa?" Tanyanya setelah menyaksikan percakapan itu berakhir.

Lelaki berambut merah gradasi hitam itu terlihat bingung sekaligus khawatir. "Kuroko—masuk rumah sakit." Mulut Himuro terbuka sedikit, "Pergilah." Adalah respon pertama darinya.

Kagami menggeleng pelan "Tidak. Lagipula ada Aomine di sana." Kemudian dia membanting pintu kamar mandi setelah melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan membuang senyum getir di hadapan wajah kakaknya.

"Taiga—" Bisikan Himuro ditelan suara mesin pendingin ruangan.


-o-o-o-


"Aomine-kun!"

Lelaki berkulit gelap itu tersentak. "Hah? Apa?" Kuroko tersenyum, "Kau melamun." Kali ini Aomine tidak memasang wajah bosannya seperti biasa, tidak jika menghadapi seorang Kuroko Tetsuya yang seolah tahu segalanya.

"Masalah Kise-kun?" Tanya Kuroko ketika melihat sahabatnya itu tidak merespon pernyataannya barusan. "Sudah seminggu ponselnya tidak aktif."

Alis Kuroko mengkerut, "Memangnya dia kemana?" Dia bertanya sambil berusaha bersandar pada bantal yang sudah disusun di belakangnya dengan hati-hati, takut bekas tusukan jarum infus di pergelangannya kembali mengeluarkan darah. Minggu lalu Midorima Shintarou, dokter sekaligus temannya dari SMP Teiko mendiagnosanya dengan gejala tifus. Beruntung Aomine yang saat itu bermaksud mencari kise di rumahnya menemukan dirinya yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat meja makan. Besok dia sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya yang cenderung membaik.

Aomine menggeleng tak tahu, "Aku pikir dia mengunjungimu." Kuroko tersenyum mendengar sedikit nada khawatir dari sahabatnya itu. "Mungkin dia sedang sibuk?"

"Dia tidak pernah menonaktifkan ponselnya." Sanggah Aomine terburu, gagal menutupi kekhawatiran dan rasa bersalahnya. Toh bagi Aomine tak ada gunanya berpura-pura kalau itu dengan Kuroko. "Apa dia tidak pernah mengatakan sesuatu?"

Hening sesaat sampai mata biru laut itu menangkap kepalan kuat Aomine bergetar menahan luapan emosi. "Aomine-kun—" Panggilan Kuroko berarti permintaan implisit untuk Aomine agar menceritakan semuanya. Satu helaan napas menjadi awal pengakuan Aomine.

"Minggu lalu dia bilang ingin pergi, tapi aku tidak begitu memperhatikannya—" Kuroko lagi-lagi tersenyum melihat Aomine yang bercerita sambil memandang jauh dari jendela yang dibiarkan terbuka. "—aku pikir dia hanya menyelesaikan job seperti biasa, satu atau dua hari bahkan seminggu pun dia tidak akan pernah menonaktifkan ponsel kecuali jika dia—" Kalimat itu terhenti saat Aomine tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri.

"Aomine-kun?"

"Ke luar negeri?" Tanya Aomine lebih kepada dirinya sendiri. "Maksudmu, Kise-kun ke luar negeri?" Mata Kuroko sedikit membola.

Memang benar, setiap model itu melakukan perjalan ke luar negeri sangat jarang baginya untuk mengaktifkan ponsel. Alasannya sungguh simpel dan bodoh 'Aku tak mau menghabiskan waktu dengan ponselku untuk menghubungi Aominecchi karena terlalu rindu, jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat dan melihat Aominecchi lagi'.

Aomine tersenyum getir, sadar betapa bodoh dirinya yang menyianyiakan orang yang begitu tulus mencintainya. "Tetsu—aku ini bodoh ya."

Kuroko terdiam sejenak kemudian terkekeh geli "Ya, Aomine-kun memang bodoh." Lelaki berkulit gelap itu hanya mendengus mendengar jawaban jujur sahabatnya.

"Dia juga bodoh."

Tiga kata dari Aomine sukses membungkam Kuroko. Mengerti siapa yang dimaksud Aomine. Kenyataannya, kekasihnya memang jauh lebih bodoh dari lelaki di hadapannya ini. Sekalipun dirinya sudah melarang Aomine untuk memberitahu Kagami, toh lelaki itu tetap tidak peduli dan menghubunginya. Kuroko melarang bukan tanpa alasan, dia terlalu tahu akan jawaban seperti apa yang diberikan kekasihnya itu.

Aomine bahkan tak habis pikir mengapa selama seminggu Kuroko dirawat dengan belasan bahkan puluhan botol cairan yang dipaksa masuk kedalam tubuhnya tak mampu membuat Kagami bergeser dari pangkuan Himuro—atau mungkin dari pegangan pompa pemadamnya. Mungkin hampir seluruh penyebabnya adalah kejadian minggu lalu di mana lelaki tinggi itu melihatnya berpelukan dengan Kuroko, kekasihnya.

Well, setidaknya Aomine sekarang merasakan karma karena perbuatannya. Sekarang dia juga harus menerima kenyataan ditinggal kekasihnya. Jika besok saat Kuroko keluar dari rumah sakit dan Kise belum kembali, maka sudah genap sebelas hari Kise di luar negeri tanpa kabar—untuk pertama kalinya. Ditambah dia yang tak tahu negara mana yang kali ini jadi tujuan si pirang.

Kuroko menghela napas, dia tak boleh larut dalam kesedihan lagi. Sekarang dia harus memikirkan keadaan sahabat berambut biru gelap yang sudah merawatnya seminggu ini.

"Hubungi manajernya saja." Saran yang sejujurnya sempat dipikirkan Aomine. Tapi justru inilah yang membuatnya semakin terpojokkan—dia bahkan tak tahu nomor siapa yang harus dia hubungi untuk berinteraksi dengan Kise, bahkan manajernya sendiri.

"Aku tak tahu nomornya." Suara Aomine yang sarat akan keputusasaan memaksa Kuroko menghela napas berat. Sepertinya Aomine tak punya pilihan lain. "Datangi agensinya." Dan membuat isu hubungan mereka semakin meruak di media. Kenyataan yang berusaha mereka sembunyikan dengan baik selama hampir tujuh tahun demi karir Kise. Karena tidak semua orang di luar sana bisa menerima seorang model super tampan namun homoseksual untuk dijadikan idola.

Aomine terdiam, memikirkan saran sekaligus pilihan terakhir yang sejujurnya tidak dia harapkan dari Kuroko. Setidaknya untuk saat ini dia akan menunggu sampai sejauh mana dia mampu menahan rasa bersalah dan mungkin saja, kerinduannya.

Kemudian sampai saat itu tiba, mungkin, Aomine terpaksa mengambil pilihan terakhir yang sungguh tak pernah Kise pikirkan untuk dipilih oleh kekasihnya.


-o-o-o-


Rumah itu berdebu tipis di beberapa bagian, Kuroko sempat bersin sekali saat baru masuk tadi siang. Terima kasih kepada Aomine yang rela membantunya membersihkan ruang tamu dan dapur. Saat ini mereka sama-sama bersantai di sofa dengan dua gelas teh hangat buatan Kuroko. Baru menghirup udara bebas bukanlah alasan bagi Kuroko untuk membiarkan Aomine mengurusi segala hal yang bisa dilakukannya.

"Kapan kau akan bekerja?"

"Besok?"

Aomine mendengus, "Jangan bodoh, istirahatlah dulu." Kuroko terkekeh, jarang-jarang lelaki di hadapannya ini mengkhawatirkan sesuatu—selain Kise tentunya.

Kemudian pintu yang lagi-lagi lupa dikunci oleh Kuroko terbuka tiba-tiba, sadar atau tidak dirinya menahan napas melihat Kagami dalam balutan kaos oblong putih dan jeans hitam melangkah tanpa peduli ke arah kamar mereka. Seolah tak ada dirinya ataupun Aomine di sana. Tidak sampai lima menit Kagami keluar dengan satu-satunya travel bag miliknya yang tersisa di rumah itu.

"Kagami-kun!" Kuroko masih sempat meraih lengan Kagami dengan tangan dinginnya yang entah mengapa bergetar. "Kau mau kemana?"

Sangat jelas di telinga Aomine bagaimana Kagami menghela napas kesal kemudian menjawab "Bukan urusanmu." pada Kuroko yang masih setia menggenggam lengannya, malah semakin mengerat di pandangan Aomine.

Kuroko marah dan Aomine tahu itu.

Maka sebelum kepalan tangan kanan pucat itu mendarat di pipi Kagami, tinjunya lebih dulu mendarat di sana.

Tiga detik berlalu dalam keterkejutan disusul Kuroko yang membawa matanya yang membola dari Kagami yang berdarah di sudut bibir pada Aomine yang terengah dengan tangan terkepal. "Kagami-kun!" Dirinya yang panik refleks berseru dan memegang pipi kecoklatan yang memerah itu.

"Aomine-kun kena—"

"Bukankah tadi kau ingin melakukannya?" Potong Aomine memaksa Kuroko menunduk dengan telapak yang masih menyentuh pipi Kagami. "Jangan biarkan tanganmu membuat semuanya jadi semakin berantakan, Tetsu."

Kagami mengumpat dan berusaha bangkit. "Sialan kau, Aomine!"

"Lalu bagaimana denganmu?" Aomine tersenyum meremehkan seperti biasa, senyum yang selalu membuat Kagami merasa terbakar dan ingin menghantam wajah itu detik dimana dia melihatnya. "Dinginkan kepalamu." Lelaki berambut biru gelap itu pergi meninggalkan Kagami terduduk di lantai dan Kuroko yang masih menunduk namun dengan tangan terkepal yang sudah menjauh dari Kagami.

Tiba-tiba saja kepala Kuroko terasa berputar, fisiknya memang terlalu lemah. Hal terakhir yang dia ingat adalah wajah panik Kagami.

Kuroko tersenyum sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya.


-o-o-o-


Mata biru laut itu mengerjap berkali-kali sebelum mendapat fokus wajah Kagami yang memandang cemas ke arahnya. "Kagami-kun." Suaranya terdengar parau membuat Kagami segera menyambar gelas bening berisi air dan sedotan yang kemudian dia dekatkan pada bibir dingin Kuroko.

"Terima kasih." Kata Kuroko saat air itu telah melewati tenggorokannya yang kering. Kagami masih diam, namun Kuroko sulit membaca wajahnya karen penerangan yang minim. "Kagami-kun." Panggilnya lagi.

"Ya?"

Kuroko tersenyum dan mencoba bangkit, refleks Kagami membantu mengakibatkan wajah pucat itu agak memerah saat mata Kagami terlalu dekat dan mentapnya tajam. Hal seperti ini tidak pernah gagal membuat jantung Kuroko bekerja dua kali lebih cepat. Kalau bukan Kagami yang sadar dan menjauh lebih dulu, mungkin mereka bisa lebih lama lagi berada dalam posisi itu. Lelaki berambut merah itu kembali duduk di tempatnya semula—di samping tempat tidur.

"Aku minta maaf."

Kuroko yang pertama membuka suara setelah hampir lima menit hening menguasai. "Aku minta maaf, waktu itu aku benar-benar kacau dan Aomine-kun mungkin hanya bermaksud menghiburku, aku be—"

"Tetsuya!"

Seruan Kagami menghentikan racauannya. Jika Kagami sudah memanggilnya dengan nama belakangnya berarti dia sedang serius. "Dengar, aku rasa lebih baik kita sudahi saja."

Siapapun bangunkan Kuroko Tetsuya dan katakan dia sedang bermimpi.

"Aku tidak mau mebuatmu sakit lebih dari ini." Mata Kagami menatap lurus ke arah Kuroko yang membuang pandangannya jauh ke depan—tidak mau melihat langsung di mata merah itu. Dirinya takut kalau Kagami tahu bahwa sedikit lagi dia akan menangis. Sungguh dia tak mau terlihat lemah di hadapan lelaki ini.

"Kagami-kun!"

Kuroko yang awalnya diam malah bereaksi setelah melihat Kagami lagi-lagi menyeret tas merahnya keluar dari kamar itu. Saat kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin kepalanya berdenyut ngilu. Satu pelukan di punggungnya menghentikan Kagami.

Dia sudah memutuskan, pantang baginya untuk mundur.

Akhirnya tangan besar itu menjauhkan lengan dingin yang melingkar di perutnya. "Kuroko, kumohon mengertilah." Sungguh Kuroko tak pernah berharap Kagami akan mengatakan hal seperti ini. Haruskah hubungan yang mereka jaga selama hampir sembilan tahun itu berakhir seperti ini. Seseorang tolonglah, Kuroko bahkan belum siap untuk ini.

Apapun itu yang bisa menghentikan Kagami dari keputusannya.

Kagami berbalik mendapati Kuroko yang tertunduk dengan tangan terkepal. "Tetsuya." Panggilnya lembut. Persetan dengan harga dirinya sebagai seorang lelaki dan seorang guru yang harusnya memberikan panutan bagi siswanya. Bagaimana bisa Kagami memanggilnya begitu lembut di saat seperti ini. Keadaan seperti hanya akan membuatnya semakin lemah. Jangan di depan Kagami, cukup Aomine yang melihat sisi terlemahnya.

Jangan sampai lelaki ini tahu dirinya sedang menangis. Menangisi segala ketidakmampuannya.

"Tetsu—"

Tangan Kagami ditampik kasar oleh Kuroko saat menyentuh dagunya, tidak, dia tidak akan membiarkan lelaki di depannya ini tahu wajahnya sudah basah karena air mata. Masih dengan kepala tertunduk Kuroko memunggungi Kagami yang masih kaget dengan respon tiba-tibanya.

"Baiklah kalau itu yang Kagami-kun mau."

Dalam hati Kuroko berharap agar suaranya tidak bergetar, bibir pucat itu dia gigit kuat-kuat menahan isakan. Kenapa dia harus selemah ini di hadapan seorang Kagami Taiga. Bukankah dia terkenal dengan wajahnya yang less expression itu?

"Dan, harusnya aku yang pergi. Ini kan rumahmu, Kagami-kun." Lanjut Kuroko yang berjalan ke arah satu-satunya lemari di kamar itu. Di atasnya ada koper hitam besar milik Kuroko yang dia bawa sewaktu memutuskan untuk tinggal bersama Kagami sejak lulus SMA.

Tangan itu bergetar hebat saat memindahkan bajunya ke koper yang susah payah dia ambil dari atas lemari lima centimeter di atas tingginya.

"Kau bisa pergi besok, atau kapan pun kau mau. Tapi jangan sekarang, kau masih sakit."

Kalimat itu menghantam tepat di dadanya. Kalimat yang berarti memang sudah tak ada jalan untuk mereka.

"Tidak—" Kuroko menelan ludahnya, susah payah dia berbicara agar lelaki di belakangnya itu tak tahu betapa hancur hatinya saat ini. "—aku akan pergi sekarang, ini belum terlalu larut." Jika Kagami mampu membuat keputusannya, maka dia juga harus mampu—sesakit apapun itu.

Karena cinta hadir tanpa bisa dipaksakan.

Jika cinta memilih pergi, relakanlah.


-o-o-o-


"Kise! Jelaskan apa maksudnya ini!"

Lelaki pirang yang tadi berbaring melepas lelah di atas sofa tersentak kaget mendapati tablet sepuluh inch mendarat tidak pelan di atas dadanya. "Ugh! Ada apa?"

Manajernya menatap garang, "Baca itu, bodoh!"

Iris madu itu membaca headline salah satu majalah elektronik yang tersohor karena kemampuan paparazzi yang mereka miliki.

KISE RYOUTA, MODEL DENGAN ORIENTASI MENYIMPANG

"Lalu?"

Wanita berambut hitam panjang itu mendidih, "Baca beritanya, bodoh!" Kise memutar bola mata, dia sudah biasa terjebak isu homoseksual dan sejenisnya. Toh dia tidak seperti kebanyakan public figur yang menutupi kedok mereka dengan menjalin hubungan dengan wanita. Tapi dia juga tidak mengakui secara gamblang karena masih sayang dengan karirnya, beruntung Aomine juga memaklumi hal itu.

Perlahan mata itu menelusuri tiap kalimat yang ditata sedemikian rupa, sampai pada paragraf kedua iris madu itu membola.

Tadi pagi, seorang lelaki yang selama ini sering digosipkan dengan Kise mendatangi kantor agensi model dengan tinggi 189 centimeter itu. Menurut sumber yang kami dapatkan, lelaki yang diketahui berprofesi sebagai polisi itu menanyakan keberadaan Kise Ryouta. Bukankah hal yang sangat tidak wajar—

Kise tidak melanjutkan bacaannya pada artikel sialan itu, secepat kilat dia menyambar ponsel manajernya dan menekan nomor yang dia hapal di luar kepala. "Hei! Apa yang kau—" Manajernya tidak jadi protes saat melihat wajah panik Kise. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tahu mengenai hubungannya dengan Aomine.

Cukup lama dia menunggu sampai suara operator yang terdengar memaksa Kise membanting ponsel itu ke sofa di dekatnya.

"SIAL!"


To be continue


Hallo, Minna!

Salam, ini adalah ff pertama saya di fandom KnB. Awalnya mau sy buat one-shoot, tapi sepertinya saya butuh sedikit waktu untuk itu, sedangkan hati ini sudah gatal(?) pengen publish ff KagaKuro yg seolah tenggelam #halah xDD

Jadi, saya minta komentar kalian semua, apakah ff ini pantas dilanjutkan atau tidak. Haha!

Anyway, thanks to read and review this story.

Best Regard,

Kitsune Haru Hachi