Naruto dan semua nama karakter di dalamnya milik MasKishi

Tapi cerita dan ide gajenya hanya milik MbakShinKUrai

ABOverse

BL, OOC, Typo(s), GJ, Abal, Flat, dll.

Rate masih T-desu~

HAPPY NARUSASU DAY

,,

,

(Naruto mengoceh sendiri.)

NARUTO POV

"Hmm.. rambut oke, pakaian oke."

Wajah ganteng berkarisma terpantul dicermin dengan bercahayanya. Mata biru bak sapphire yang menawan, alis pirang yang rapi, rambut spike yang sudah diberi gel, terlihat keren dan memancarkan semangat darah muda. Tidak akan ada yang sanggup mengelak dari pesona wajah tampan berahang kokoh ini, termasuk nenek-nenek buta sekalipun. Ho-ho-ho. Sungguh ukiran sempurna untuk makluk hidup terseksi di dunia, dengan pahatan tubuh indah bak dewa. Sekarang siapa yang berani memanggilku udik dan dekil?

Aku menurunkan tanganku dari pose V jempol dan telunjuk yang beberapa saat tadi bertengger di dagu sambil menyeringai-menyeringai tampan. Setelah beberapa lama berada di depan cermin untuk bernarsis ria – aku ingatkan kembali kepada diriku sendiri – jika ini sudah lewat waktunya berangkat untuk sekolah.

Mata biruku yang dari tadi fokus ke cermin untuk menikmati anugrah dari Tuhan kini beralih pada jam weaker di atas meja nakas.

'Oh crap! Jam 07.10' Bel sekolah pasti sudah berkumandang dari tadi. Yaampun ngapain saja aku dari tadi? Wajah ini bahkan terlalu mempesona sehingga membuat pemiliknya tidak lekas untuk mengalihkan pandangan.

Segera kusambar tasku dan berengkat secepat mungkin. Menyadari bahwa perutku sempat berbunyi ketika menutup pintu membuatku menepuk jidat – aku lupa untuk memakan ramenku.

"Oiy Naruto!" Baru saja aku bersedia-siap-grak untuk mulai berlari, tiba-tiba suara yang sangat kukenal datang untuk mengintrupsi. Terpaksa aku lari di tempat sambil berbalik dan menyapa.

"Kau belum berangkat?" pria besar berambut putih, panjang, tebal, tidak lurus itu menatapku dengan heran, tampilannya yang tidak biasa cukup seram untuk menakuti manusia. Dia adalah wali sekaligus guru Alpha-ku. Jelek dan sudah tua begitu dia adalah Alpha yang sangat kuat hingga namanya sebagai pertapa besar terkenal di penjuru Jepang. Dia adalah -Ero Sennin-

"Maaf Jii-san! Aku sedang terburu-buru nih." Ucapku sambil berlari di tempat, mengitari pak tua gagah yang berjalan dengan membawa kantong sampah besar itu. Kelihatannya Jii-san baru saja keluar dari gudang.

Pantas saja dari tadi sepi tidak ada yang memanggilku untuk segera turun, rupanya kakek angkatku itu baru saja sibuk membersihkan gudang.

"Hah? Memangnya sejak tadi apa saja kau di dalam!" Pak tua itu membuang sampahnya di bak yang berada dekat dengan rumah kami. "Kau selalu saja mengulur-ulur waktu. Apa kau sudah mengerjakan PR-mu? Belum lagi tidak mungkin kau akan lolos dari hukuman setelah ini." Peringat dari lelaki 50 tahunan yang memiliki nama Jiraiya itu. Dia memang adalah waliku setelah kedua orang tuaku meninggal. Tapi sebenarnya kami tidak memiliki hubungan darah.

"Errrh~ hehehh"

"Apanya yang hehe?" Tanyanya, sambil manatap padaku seolah bertanya 'kenapa anak ini makin hari makin tidak jelas?'.

Aku jarang mengerjakan PR, dan untuk hari ini memang aku tidak mengerjakannya. Dan untuk menyelinap ke sekolah memang merupakan pekerjaan yang mustahil untuk tidak ketahuan, sementara Alpha komite kedisiplinan memiliki hidung yang teralu tajam untuk membiarkan para pelanggar peraturan lolos.

"Katamu terburu-buru, lalu kenapa kau tetap cengengesan." Jiraiya jii-san melihatku dari bawah ke atas, memperhatikan kaki panjangku yang masih berlari tepat di sebelahnya.

"Err eto- aku belum sarapan. Jadi uem…" Aku mengusap tengkukku dan menyengir seperti anak kecil. "bisa Jii-san berikan aku uang saku?" Sungkan juga sih meminta uang saku seperti ini. Biasanya aku bisa mendapatkan uang saku sendiri dari membantu beberapa orang. Tapi setelah kami pindah- kami juga berpisah dengan orang yang biasa meminta bantuanku. Jadi apa boleh buat sekarang kantungku sekarat. Lagipula ini sudah jadi tanggungan Jii-san untuk memenuhi biaya hidupku yang telah dititipkan oleh orang tuaku.

Pak tua itu menatapku dengan pandangan bosan plus tajam. "Berhenti menyeringai bodoh seperti rubah autis begitu. Atau tanganku juga akan melayang sebagai bonus."

"Huihh,.. Jii-san sadis." Tidak biasanya pak tua mesum itu mengeluarkan kalimat kasar, biasanya mendapati semerepotkan apapun anak asuhnya ini dia hanya akan menghela nafas. Mungkin moodnya sedang buruk karena ditolak Tsunade baa-chan lagi. Hihih, pasangan perjaka dan perawan – ops bukan, maaf! aku hanya asal memberikan sebutan. Mengingat betapa genitnya pak tua itu di sekitar gadis-gadis tidak mungkin juga kan dia masih perjaka. Hanya saja aku tidak dapat menolong, mengetahui kenyataan mereka berdua – belum pernah di klaim werewolf lain – jadi apa boleh buat sehingga aku gatal menyebut mereka seperti itu.

Aku heran pada umur mereka yang sudah tua – kenapa mereka tidak memiliki pasangan? Walaupun Tsunade adalah Beta, jika mereka berdua sama-sama single bukankah sebaiknya saling meng-klaim satu sama lain? Daripada kesepian. Karena hakekatnya kan semua makhluk di dunia ini berpasangan satu sama lain.

Aku sendiri malah tidak sabar untuk segera menemukan mate-ku. Tapi setelah puas bersenang-senang dengan berbagai macam wanita tentunya.

"Ini." Jiraiya-san mengeluarkan beberapa lembar yen dan aku menerimanya dengan gembira.

"Terimakasih Jii-san. Aku pergi dulu." Lambaiku, berdada-dada dengan lembaran uang itu.

"Ingat Naruto! Jaga sikapmu di sekolah!" Teriaknya.

"Hai' hai'!"

Aku menuruni pagar tinggi sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak ada security sehingga aku memberanikan berjalan dengan mengendap-endap.

Loker sepatu juga terlihat lenggang. Aku terkekeh dengan bangga sambil menyincing sepatuku. Mungkin komite kedisiplinan belum berpatroli. Ini bisa menjadi kesuksesan besar dalam penyelinapanku selama beberapa kali dalam dua minggu ini.

"Oiy – kau!"

Jantungku melompat kaget satu kali. 'sepertinya aku tertangkap basah lagi'. Aku mematung dengan posisi satu kaki terangkat, dan menoleh patah-patah kepada sumber suara. Ketika mendapati mata tajam berkilat merah di sudut ruangan yang gelap- "Gyaah~" aku menjerit mundur hingga pungungku bertabrakan dengan lemari loker.

"Ada apa denganmu?" sosok itu melangkah mendekat- keluar dari sudut ruangan yang gelap. Menatapku aneh karena heran dengan reaksiku.

Mengenali siapa ternyata sosok itu; akupun menegakkan tubuh sambil mengusap belakang kepalaku canggung. "Hehehh," Dia pasti heran kenapa Alpha keren sepertiku ini sangat mudah sekali terkejut. Jujur saja.. walaupun aku seorang werewolf – sebenarnya aku takut dengan hantu dan kawan-kawan. Apapun makhluk menyeramkan yang tembus pandang dan tidak bisa dihajar dengan tangan kosong; aku membenci mereka. Wajarkan jika seseorang memiliki satu hal yang ditakuti.

Tapi setelah melihat dengan jelas siapa gerangan sosok didepanku ini – dia sama sekali tidak menyeramkan.

Justru malah sebaliknya.

"Jadi kau terlambat?" Tanya pemuda raven dengan emblem merah di lengan kiri gakurannya tersebut.

"Ikut aku!" Perintahnya singkat.

Kluk . Kepalaku tertunduk ke bawah, tidak memiliki pilihan untuk berjalan mengikutinya. Tidak tertangkap komite kedisiplinan yang biasanya malah tertangkap Boss monsternya langsung.

.

Namaku Uzumaki Naruto. Baru beberapa minggu yang lalu kembali ke Konoha kota kelahiranku, sehingga statusku masih murid baru disini. Dulu sekali aku tinggal di kota ini bersama kedua orang tuaku. Tapi karena masalah yang kelihatannya cukup besar kami pindah ke luar kota, lalu setahun kemudian orang tuaku meninggal.

Aku tengah diasuh oleh Jiraiya yang merupakan guru dari ayahku. Jiraiya sebenarnya adalah orang yang cukup penting di dalam dunia werewolf, tapi dia suka berpindah-pindah kota mengelilingi Jepang untuk berpetulang. Sudah beberapa tahun aku ikut bersamanya berpetualang, belajar banyak hal dan bertemu berbagai macam werewolf.

Sebelum pada akhirnya kami memutuskan untuk menetap di kota kelahiran kami. Mengingat umur yang sudah seharusnya untuk hidup tenang dan bersantai, terlebih mementingkan pendidikan dan masa depanku, akhirnya Jiraiya jii-san membeli rumah sederhana di kompleks dekat bukit.

Aku hanya perlu berjalan kaki karena sekolah hanya beberapa kilo meter dari apartemen kami. Walau begitu aku masih saja sering terlambat. Apa boleh buat, sudah beberapa tahun aku tidak terikat peraturan sekolah seperti ini. Jadi aku tidak seperti kebanyakan siswa lainnya.

"Sudah berapa kali kukatakan – bukan seperti itu Dobe!" Lakukan dengan sungguh-sungguh seperti ini."

"Ee.." Aku melepaskan tongkat pel yang sudah beberapa menit kupegang ketika ketua OSIS menyautnya dengan gemas – untuk menunjukan padaku bagaimana cara mengepel yang baik. Menggosok sudut tembok dengan cekatan (cepat+keras) dan dalam beberapa menit menyodorkan tongkat pel itu kembali kepadaku.

"Kau paham? Sekarang lakukan dengan sungguh-sungguh!" Perintahnya dengan raut galak mirip bibi-bibi cerewet.

Demi hukuman yang harus kujalani, aku mendorong tongkat pel dengan lebih cepat. Sementara sang ketua OSIS yang menjatuhi hukumanku itu masih betah mengawasi, dan sepertinya malah menikmati menyela pekerjaanku; peras lebih kuat kain pelnya, gosok semua sudutnya, yang itu masih kotor, lebih bersih, bla-bla-bla, hingga membuatku jengah.

Padahal aku adalah seorang Alpha. Maklumlah jika bersih-bersih bukanlah keahlianku.

Pemuda berambut raven itu dari dulu sama sekali tidak berubah.

Tidak banyak orang-orang yang kuingat semasa kecil dulu tinggal di kota ini. Namun untuk orang yang berdiri bersandar di tembok situ, tidak mungkin aku dapat melupakannya.

Uchiha Sasuke, sang ketua OSIS itu adalah temanku waktu SD. Di sekolah yang sama jurusannya untuk werewolf itu kami selalu satu kelas dan sering bertengkar. Mengingat hal itu sekarang terasa seperti nostalgia. Wolf bermarga Uchiha tersebut dulu suka sekali menindasku, dan sekarang lihat apa yang dia lakukan dengan memandoriku seperti pesuruh. Terlebih sifat angkuh nan stoicnya itu sama sekali tidak berubah. Aku dan dia kalau dipikir-pikir bagaikan kucing dan anjing, hingga sampai saat inipun tidak mungkin rasanya jika kami dapat menjadi teman akrab. Untungnya aku tidak bisa langsung masuk ke kelas 2, sehingga tidak mungkin satu kelas dengannya lagi.

"Hihi, dia dihukum." Mendengar kikikan suara gadis aku langsung menoleh, dan menyadari dua orang gadis yang sedang lewat itu sedang membicarakanku; aku tersenyum pada mereka dan mengedipkan mata. Mereka menjadi salah tingkah dan tampak tersipu malu.

Gadis-gadis SMA benar-benar manis.

"Dia anak baru itu?" – "Iya, bukannya dia cukup keren?". Bisik kedua gadis itu setelah berjalan cepat pergi jauh dari tempatku mengepel. Sayang sekali masih dapat didengar oleh telinga tajamku ini, membuatku terkekeh besar kepala.

"Oiy! Kau disini ini itu untuk dihukum Naruto. Bukan untuk flirting dengan gadis-gadis." Telapak sepatu ketua OSIS tersebut mendorong pantatku sambil mengomel. Aku melanjutkan pekerjaanku dengan mulut mencibir; mempraktekan omelan yang tidak penting tersebut.

Sok berkuasa sekali sih.

Aku tahu aku harus menyelesaikan hukumanku. Apa sih pentingnya mengepel sehingga dia harus terus mengawasiku? Bukankah ketua OSIS memiliki tugas-tugas yang lebih penting?

"Setelah selesai mengepel koridor lantai dasar gedung B ini – kita pindah ke perpustakaan."

"A-apa?" aku tidak salah dengarkan? Hukumannya masih ada lagi? Ternyata masih lebih mendingan hukuman anak buahnya. Setelah menyuruhku membersihkan beberapa bilik WC – sudah selesai, dan mereka cukup percaya bahwa aku pemuda yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaanku. Tapi ketua OSIS ini- koridor lantai satu gedung B tidak hanya seluas beberapa belas meter, bukankah seharusnya sudah cukup.

"Iya Dobe… hukumanku belum selesai." Ujarnya memperjelas.

"Tapi-tapi-tapi, aku sudah capek, pergantian pelajaran beberapa menit lagi jadi aku harus masuk kelas. Bahkan aku juga sangat lapar… belum sarapan." Aku memegang pel menghadapnya sambil memasang tampang babu yang sudah beberapa hari tidak diberi makan oleh majikan.

Ketua OSIS itu mengerjabkan matanya sekali dan tampak tengah berpikir. Namun kemudian dia tetap tidak peduli "Tetap hukumanmu belum selesai. Setelah jam istirahat temui aku langsung di perpustakaan. Tidak ada tapi." Tegasnya, tanpa aku dapat memprotes lagi pantat ayam itu sudah melenggang pergi ke dalam gedung.

"uuhh.. dasar Teme!" Aku mengangkat sebelah pahaku dan memposisikan tongkat pel yang kupegang siap dipatahkan. Namun sebelum terjadi pikiranku kembali tersadar. Merusak prasarana milik sekolah sungguh tidak bagus. Bisa-bisa aku dihukum lebih dari ini.

Akhirnya hanya dapat kembali mengepel dan sesekali mengelus perutku yang sangat lapar. Masak iya aku harus puasa seharian ini. Sadis sekali sih ketua OSIS pantat ayam tersebut. Betul-betul bos monster.

.

"Naruto, ayo ke kantin?" Seorang wanita cantik berambut panjang tiba-tiba menggampit lenganku. Bel istirahat sudah berdering dan aku baru saja keluar kelas untuk secepatnya pergi menghadap, sebelum rajaku marah dan aku kembali dijatuhi hukuman sebagai budak bersih-bersih seumur hidup.

"Maaf Shion-chan, aku masih harus menjalani hukuman karena terlambat tadi." Ucapku jujur. Padahal aku sendiripun ingin segera menyantap mie ramen di kantin. Perutku dari tadi belum terisi apapun. Kasihan sekali cacing-cacing diperut.

"Hah? Belum selesai."

"Umm." Aku menganggungguk dengan raut tak berdaya.

"Serius kau tidak bisa ke kantin terlebih dahulu." Seekor lagi Omega menggampit lenganku yang satunya, "-Padahal aku ingin mentraktirmu loh…" Ujar gadis cantik lain yang kali ini tak kuingat namanya itu. Tawaran itu terdengar menggoda sehingga mungkin aku akan menyesal jika harus menolak rezeki ini. Siapa yang tidak senang sih.. diapit dua perempuan cantik di kanan dan di kiri "Nee, bagaimana?" sementara dua pasang bobs tersebut menempel di samping kedua lenganku. Terasa hangat dan empuk. Bau yang mereka keluarkan juga kelewat manis. Antara bau asli mereka sebagai Omega bercampur dengan parfum yang semakin memperkuatnya. Sungguh kombinasi yang bikin klenger.

Aku tetap menggelengkan kepala, tidak dapat mengiyakan ajakan itu walaupun sangat ingin.

"Memangnya kau tidak lapar?"

"Aku sangat lapar TwT… tapi aku tidak ingin hukamanku bertambah." Melasku memasang wajah sedih hingga kedua wanita itu menepuk punggungku iba.

"Kasihan…" Ujar shiun dengan bibir mengucrut sedih, namun hanya bercanda "kalau begitu berjuanglah." Mereka akhirnya melepas lenganku dan melambaikan tangan. Menyemangatiku untuk segera pergi, padahal kakiku masih berat untuk melangkah.

"Iyaa, aku pergi dulu."

Apa boleh buat. Aku membalas lambaian tangan mereka dan segera berlari menuju perpustakaan. Berniat segera menyelesaikan hukuman lalu membolos untuk menyelinap ke atap sekolah setelah membeli roti.

"Kau sudah datang rupanya."

Lagi-lagi aku terkejut, begitu memasuki perpustakaan ketua OSIS berambut raven tersebut sudah berada di balik pintu.

'urgh, hobi sekali sih membuatku kaget.'

"Angkat kardus itu dan ikuti aku." Perintahnya tanpa bosa-basi menunjuk kardus yang berisi tumpukan buku di atas meja petugas.

Rasanya seperti pelayan pribadi ketua OSIS, kalau begini harga diri Alphaku bisa-bisa turun. Aku tidak berdaya melawan ketua OSIS yang juga berstatus Alpha tersebut. Memprotes perintahnya sama saja mengajak battle pemimpin yang sudah diakui penjuru sekolah itu. Dan aku sama sekali tidak ingin membuat keributan. Yang aku inginkan hanyalah menjadi popular setelah beberapa tahun kembali ke kehidupan sekolahku lagi.

Aku selesai menata semua buku di kardus tadi pada lemari buku ruang OSIS. Ini benar-benar ruang OSIS atau perpustakaan kedua sekolah? Ada dua lemari di pinggir ruangan luas ini, dan ukurannya bukan main menutupi tembok. Belum lagi aku disuruh membersihkannya satu persatu. Gila apa? Kapan selesainya.

Aku melirik Sasuke yang sibuk membaca berkas di singgasan OSISnya. Kemana anggota yang lain ya? Bahkan dari tadi pagi aku hanya melihat ketua OSISnya saja.

"Ada apa menatapku?"

"Ah tidak." Ucapku mengelak. Memangnya dilarang keras ya - untuk menatap Uchiha Sasuke. Wajah mulusnya tidak bernilai setinggi itu kurasa. Kita berduakan juga sama-sama Alpha.

"Jika kau lapar- aku punya sushi dua kotak yang baru kupesan. Karena Neji tidak ada – jika kau memintanya aku berbaik hati akan memberikan jatah Neji padamu." Ujar pemuda stoic itu yang tidak kuduga –Sushi! Air liurku serasa ingin menetes.

"Kau serius?" Seruku, bangkit dari kesibukanku diantara jejeran buku dan menghampiri meja OSIS tempat kotak sushi itu berada. Sasuke mengambilkannya dan menyerahkan satu kotak kepadaku. "Kau bilang kau lapar bukan"

"Setelah bertahun-tahun - aku tidak mengira kau akan menjadi sebaik ini." Pujiku, ini semua berkat rasa syukurku di tengah rasa lapar yang melanda sejak tadi. Walau sushi tidak seenak daging hewan segar – tapi tetap saja adalah makanan yang cukup mahal di dunia manusia.

Segera aku menggeret kursi untuk duduk berhadapan dengan Sasuke. Pemuda raven itu merapikan dokumennya dan menyisihkannya di sisi lain meja. Lalu membuka tutup kotak sushi tersebut bersama-sama.

"Kenapa aku jadi makan siang denganmu ne, Sasuke?" Gumamku.

Sasuke manatapku dengan mata onyxnya yang tajam itu "Kenapa? Tidak suka?"

"Tidak. Justru sebaliknya. Terimakasih sudah memberikanku shusi. Huemm, aku benar-benar lapar" Kataku sambil menyuap sebuah gulungan nasi, mengunyahnya dengan nikmat.

Rasanya aneh saja. Dulu hanya untuk mendekatinya terasa begitu sulit sehingga aku malah sering menantangnya bertanding. Dan tiap kali menantangnya- aku tidak pernah menang sekalipun darinya. Terlebih lagi dulu Sasukepun sering sekali mempermalukanku hingga aku... urgh– menangis tidak terima. Tapi saat ini aku malah dengan mudahnya makan berdua ketika dia sudah menjabat sebagai siswa dengan status paling tinggi.

"Bagus kalau begitu." Katanya. Aku tersenyum dengan pipi penuh.

Jika dipikir-pikir aku dulu memang sangat lemah. Aku menjadi malu menyadari dulu aku cukup cengeng sebagai anak laki-laki, menangis tiap kali tidak berhasil menang dari anak yang lainnya. Nilai palajaranku juga paling rendah, Saking bodohnya semua orang selalu meremehkanku dan mengatakan bahwa aku sama sekali tidak cocok jika di bandingkan dengan Sasuke. Bahkan sampai ada yang mengejekku Omega tak terkecuali Sasuke sendiri.

Aku melirik pemuda tampan dengan surai hitam didepanku, memakan sushinya dengan tenang dan sopan, sama sekali tidak terburu-buru seperti yang aku lakukan. Saat makanpun pemuda Uchiha tersebut tampak elegan dan berkarisma salayaknya werewolf dari keluarga ningrat.

Aku akui dari lahir pemuda di depanku ini dianugerahi dengan kesempurnaan. Wajahnya sangat tampan dengan kulit mulus tanpa celah, ditunjang dengan tubuhnya yang tinggi ramping dan pastinya atletis itu. Semua Omega baik perempuan maupun laki-laki pasti akan terpikat dengan sosoknya. Jujur aku dulu juga sempat mengagumi sosok ini, dan mungkin sampai saat ini masih. Sasuke selalu berada di tingkat pertama - sementara aku ditingkat terakhir, Sasuke hebat dalam segala jenis olahraga – sementara aku berlari mengejarnya hingga terjatuh, Sasuke hebat dalam menangkap rusa yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya – dan aku terpaku melihat bagaimana dia melakukannya. Semua orang mengaguminya dan dia selalu populer, hingga sekarang menjabat sebagai ketua OSIS tidak ada yang dapat menentang perintahnya.

Wajar saja dulu orang-orang berkata aku seperti upil yang berusaha mengejar permata onyx.

Tujuanku dari dulu adalah untuk dapat disandingkan dengan Sasuke, dan sampai sekarangpun tidak berubah, walaupun setelah menginjak dewasa hal itu menjadi satu dari beberapa tujuan yang kumiliki. Pada saat ini aku sudah dapat dipastikan akan menjadi Alpha sejati, status kita sama, tidak ada lagi yang akan mengejekku Omega, bahkan aku sekarang lebih tinggi daripada Sasuke. Aku juga cukup populer walaupun baru dua minggu masuk, Semua gadis-gadis menyukaiku, semua orang kagum padaku karena telah tumbuh dengan sosok yang berbeda. Aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang. Dulu di tendang sekang ku disayang. Dulu dulu dulu ku dipandang rendah, sekarang semua orang memuja.

Namun untuk mendapatkan status kepemimpinan - yang satu itu mungkin sangat sulit. Aku belum pernah berpengalaman memimpin sesuatu. Rasanya akan lebih mudah jika mendapatkan hal itu dengan batle. Untuk masalah bertarung; beberapa tahun ini aku belum pernah kalah dari siapapun kecuial Ojii-san. Tapi batle untuk memperebutkan posisi pemimpin hanya berada di dalam pack – untuk memutuskan siapa pemimpin selanjutnya. Sementara aku tidak termasuk dengan pack dari keluarga manapun karena yatim piatu. Tapi mungkin setelah aku mendapatkan Omega nanti.

"Aku harap sikap baikmu ini bertahan lama." Ucapku. Merasa was-was Sasuke akan kembali menindasku dengan menyuruh-nyuruhku lagi.

Sasuke melirik namun hanya diam saja, sibuk mengunyah makanannya.

"Yeah.. jangan-jangan setelah ini kau akan menyuruhku bersih-bersih lebih banyak lagi sebagai pengganti sushi?"

"Tidak juga, tapi kalau kau tidak keberatan masih banyak yang dapat kau bersihkan." Sasuke menjawab kalimatku dengan santainya. "Aku sudah selesai membersihkan, jangan tambahi hukumanku lagi hanya karena tidak ikhlas memberikan sushi ini!" Sementara aku ogah kalau harus disuruh bersih-bersih lagi, bukannya hukumanku juga sudah selesai.

"Sayang sekali kau sudah hampir menghabiskannya."

"Kau sengaja ya Teme?" Masih sambil menyuapkan makanan itu ke dalam mulut aku menggerutu. Sungguh! Aku sudah capek bersih-bersih.

"Hahahh, aku hanya bercanda."

Aku tertegun manatapnya lebar dengan mulut penuh dengan sushi. Tidak salah? Sasuke baru saja bercanda? Jika aku tidak melihat wajahnya saat ini – pasti aku tidak akan dapat percaya; jika Sasuke bisa memiliki niat untuk bercanda. Rasanya seperti mimpi melihat ekspresi lain yang kini mampir di wajah stoic Uchiha Sasuke, yang bertahun-tahun aku menilainya sebagai bocah judes.

Apa setelah empat tahun lebih banyak perubahan di dalam diri Sasuke ya? Tapi senyumnya – aku tidak pernah membayangkan dia tersenyum selebar itu, lebih dari harapan; benar-benar indah, tidak hanya wajah itu terlihat sangat tampan, namun juga manis dan menggemaskan.

Perasaan gemas seperti lusa kemarin saat aku pertama kali melihat sosoknya setelah sekian lama datang lagi. Darahku berdesir dengan perasaan hangat melihat cara tertawanya. Debaran jantungku terasa semakin lama semakin keras. Aku tidak dapat mengerti, perasaan aneh ini baru pertama kali kurasakan, dan anehnya muncul ketika aku melihat pada Sasuke.

"Telan makananmu Dobe! Wajahmu lucu sekali."

Aku sedikit terkejut ketika tangan putih itu berada di pipiku.

"Di pipimu ada nasi." Ujarnya. Ibu jarinya menggiring sebutir nasi itu ke sudut bibirku dan aku menjemputnya dengan ujung lidahku untuk dikunyah bersama yang lain. Bau harum dan manis tercium. Entah darimana bau enak ini – bau ini membuat makanan yang kukunyah terasa lebih lezat. Tapi bau itu tidak bertahan dan segera menghilang.

"Enak?" tanya pemuda cantik itu sambil menopang dagu menatapku.

Entah ada gerangan apa sosoknya berubah lemah lembut seperti ini. Membuat pikiranku terhisap padanya.

"Uem." Akupun mengangguk seraya menelan makananku.

"Sushimu sudah habis sementara punyaku masih banyak. Bantu aku menghabiskannya." Sasuke menyodorkan gulungan nasi salmon itu ke hadapan mulutku – dan bau manis itu tercium lagi.

'apa sushinya memang tercium seenak ini?' Karena aku panasaran- akupun membuka mulut dan mengigit suapan tersebut, saking penasarannya jari Sasuke sempat masuk kedalam mulutku hingga dapat kurasakan.

"Bisakah kau bersabar untuk pelan. Lihat sushi-nya jadi remuk."

Tangannya tadi – seperti ada sesuatu.

Melihat remukan sushi di tangan Sasuke- dengan penasaran kumenarik tangan itu dan memakannya langsung dari telapak tangannya. Agaknya dia kaget ketika bibirku tertempel, tapi aku tidak peduli dan malah mengeluarkan lidah untuk menjilat sisa remah-remahnya.

Tidak salah lagi! Bau manis ini tercium dari tangan Sasuke. Baunya enak sekali, sehingga membuatku penasaran untuk menjilati tangan itu meskipun sudah tidak ada nasi yang menempel padanya. Tangan Sasuke sangat lembut, terasa nyaman, jari jemarinya juga lentik; putih, bersih dan harum. Tanpa sadar aku memasukannya ke dalam mulut satu persatu sambil lidahku membelit menjilatinya.

"Urgh~"

Aku tersadar dan mengerjab bingung – tangan Sasuke yang dari tadi kutahan sudah basah oleh air liurku. Apa yang aku kulakukan?

Aku menatap Sasuke yang juga menatapku beberapa detik dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

"Ma-maaf!" Segera aku melepaskan tangannya. Perasaan campur aduk segera menghantuiku. 'ugh, kenapa aku bisa-bisanya menjilati tangannya?'

"Kau jorok sekali sih Dobe!" Sasuke maraih tisu dan mengelap tangannya.

Aku tidak berani menatap kepadanya dan sibuk mencari pemandangan lain di sudut-sudut ruangan. Rasanya semakin aneh karena jantungku berdebar semakin kencang dari tadi. Harusnya aku tidak merasakan ini di dekat Alpha lain.

"Baumu enak sih... kau cuci tangan dengan sabun apa?" Tanyaku sambil menutupi salah tingkahku.

"Aku selalu membawa cairan pembersih tangan di sakuku." Jawabnya.

Aku sesekali meliriknya tanpa melihat Sasuke dengan jelas.

Ya Tuhan... kenapa jadi nervous begini?

...

"Tadaima!" kondisi rumah terlihat sepi sepulang sekolah. Tanpa pergi ke kamar terlebih dahulu aku langsung membuka isi lemari dapur; tapi sama sekali tidak ada ramen yang kucari. Giliran kini aku membuka lemari es – yaela! Kulkasnya juga kosong, bahkan telur satu butirpun tidak ada.

"urgh- aku lapar sekali." Setelah kegiatan klub yang lumayan melelahkan hingga pulang sekolah; aku berharap ada nasi yang mengepul panas untuk di makan. Tapi jangankan nasi, jii-san saja jarang belanja.

"Jii-san!" Panggilku terhadap orang tua asuh; satu-satunya orang yang dekat denganku tersebut. Memeriksa ruang tv dan kamarnya.

Beberapa menit berlalu dan tidak ada satupun suara yang terdengar. Bahkan jangkrikpun tidak menyahut.

Kemana perginya pak tua itu?

Aku melihat jam yang menunjukan sebentar lagi memasuki waktu makan malam.

Jangan-jangan saat ini Sennin mesum itu sedang berada di tempat biasanya. Itu artinya makan malam kali ini di luar lagi.

Segera aku pergi ke kamar dan berganti pakaian.

.

Aku memasuki bilik kedai tempat dimana Jiraiya Jii-san biasa nongkrong. Bau alcohol langsung mengepul di udara. Untuk hidung seekor serigala sebenarnya bau ini cukup menusuk. Tapi entah kenapa bangsaku malah meniru gaya hidup manusia yang tidak sehat, dan ikut ketagihan dengan minuman yang disebut anggur beras.

"Oiy Jii-san!" Panggilku, pak tua dengan rambut putih itupun menoleh.

"Ahh kau rupanya." Jawabnya, seraya meminum sake yang dituangkan seorang wanita pelayan di sampingnya. Tidak hanya satu, ada tiga wanita disini – mengitari pria tua itu. Seperti biasa, yang namanya Sennin mesum adalah guru dari orang-orang mesum. Lihatlah bagaimana dia menggoda wanita-wanita itu dengan muka merahnya yang terpengaruh alcohol.

"Berhentilah minum-minum dan bermain wanita! Pantas saja Baa-chan selalu menolakmu." Nasihatku seraya duduk di bantalan tatami sebelahnya.

"Kau itu bocah kemarin sore Naruto! Berani-beraninya menasehati orang tua." Semprot jii-san.

"Kau ingin minum sake atau jus jeruk seperti biasanya." Tanya wanita cantik yang menyodorkan botol kepadaku. Botol sake itu terlihat masih penuh, kelihatannya enak.

"Sake-"

"Beri dia jus seperti bisanya. Dia itu bocah tengik yang masih di bawah umur." Sela Jii-san, membuatku mengucrutkan bibir.

"Ini, silahkan!" Jusku telah dating, dan wanita yang mengantarnya dengan lembut menaruhnya di depanku, tak lupa untuk duduk di sampingku dengan posisi yang menempel. Mau bagaimana lagi, rumah makan ini juga adalah tempat seperti itu – bisnis untuk melayani plus memanjakan tamunya.

"Hmm.. baumu kuat sekali. Kau pasti belum mandi." Tebak wanita itu, dan – oh ya.. memang benar.

"Heheh, maaf jika aku bau." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena malu. Sebenarnya aku memang jarang mandi sih.

"Wuah.. iya! Baumu kuat sekali. Tapi aku menyukainya, bau Alpha muda sangat segar dan menggairahkan."

"err.." aku sedikit terkejut ketika wanita yang lain sudah mendekat di bawah ketiakku yang terangkat. Akupun segera menurunkan tangan sementara mereka berdua merapat padaku.

"Lihat dirimu! Tadi kau berani menasehati orang tua, sekarang kau malah merebut wanita-wanitaku padahal kau belum cukup umur." Omel Jii-san yang membuat lainnya tertawa.

"Araa… jangan cemburu. Kan masih ada aku." Rayu wanita yang masih setia bergelayut padanya.

"Memangnya kau umur berapa Naruto? Tubuh sebesar ini seharusnya sudah akan menginjak dewasa bukan?" Tanya wanita di samping kiriku sambil memenceti bahuku dan memperhatikan otot menonjolku.

"Enam belas tahun." Sebenarnya aku sudah terbiasa di kelilingi perempuan. Tapi jujur aku kurang tertarik dengan wanita yang lebih tua. Jadi sedikit aku merasa risih karena sungkan.

"Baru enam belas tahun? Tapi kau sudah tinggi dan sangat manly. Alpha lain di sekolahmu pasti tidak dapat mengalahkanmu." Mereka semakin menempel padaku hingga bau merekapun tercium sangat jelas.

Sepertinya mereka semua beta, karena dominan baunya tertutupi oleh parfum. Kepalaku sedikit menjadi pening, ruangan ini bercampur dengan berbagai macam bau dari alcohol, rokok dan parfum wanita. Sangat tidak menyenangkan di hidungku, membuatku ingin segera keluar, lalu menemukan sesuatu yang berbau enak, seperti bau tangan Sasuke misalnya. Mungkin lebih baik aku membeli cairan pembersih tangan seperti milik Sasuke. Tiba-tiba aku merasa merindukan bau tersebut.

"Maaf aku harus segera pergi."

Dua wanita itu mendongak dengan raut kecewa ketika aku berdiri dari tempatku."Yeah... kenapa? Padahal kau baru saja datang."

Mereka masih memegangi tanganku, namun aku tetap memohon permisi untuk berpamitan pergi. "Persediaan kosong, jadi aku harus pergi berbelanja."

"Kan bisa nanti saja."

"Hahah.. maaf. – oiy Jii-san! Minta uang belanjanya." Aku menjulurkan tangan untuk segera menerima uang. Pak tua itu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

"Bukannya tadi pagi sudah kuberi?"

"Itukan uang sakuku, sedangkan keperluan dapur Jii-san juga menggunakannya."

Pak tua itu menghela nafas sebelum akhirnya mengeluarkan dompetnya.

"Terimakasih." Aku tersenyum dan segera pergi.

.

"Obat cuci tangan , obat cuci tangan…" Nama benda itu terus terulang di otakku sambil mataku sibuk melompat pada satu botol ke botol lainnya. Aku tidak menanyakan merk apa yang dipakai Sasuke – jadi sekarang aku bingung memilih yang mana. Jika aku salah pilih percuma saja membeli sedangkan baunya tak sama. Sayang sekali kemasannya tersegel jadi tidak bisa untuk mencobanya satu per satu.

Apa sebaiknya aku bertanya dulu pada Sasuke besok ya?

Tep . aku berjengit ketika sebuah tangan tersampir di bahuku dan segera menoleh. Kali ini aku tidak menjerit setiap kali sosok itu muncul, mempergokiku dan mengagetkanku tanpa persetujuan. Ini semua gara-gara hanya dengan melihat wajah itu- sudah sanggup membuat jantungku berlarian.

"Kau ada disini juga?" Bibir tipis itu berucap. Wajah mulus yang putih itu seperti biasanya, selalu tampan dan menawan.

"E-em iya."

Aku tidak menyangka jika akan bertemu dengan Sasuke juga disini.

Onyx itu menatap botol yang berada di kedua tanganku. "Sedang memilih hand sanitizers?"

"Ohh ya.. apa nama merk yang biasa kau beli. Aku tidak bisa memutuskannya karena tidak tahu mana yang kau pakai."

"Untuk apa kau membeli obat yang sama denganku?" Tanyannya dengan heran.

"Tentu saja karena aku sangat menyukai baunya. Ayolah tunjukan yang mana!" Terangku tidak sabar.

Sasuke tidak langsung menjawab pertanyaanku, beberapa saat kemudian dia menghampiri rak dan terlihat sedang mencari produk yang kumaksud.

Aku berdiri dengan rasa penasaran di sebelahnya.

"Ini!" diapun mengambil botol berwarna biru dan menyerahkannya kepadaku.

Botol itu bertuliskan 'Lifeman hand sanitizer'. "Yang ini ya.. terimakasih." Ucapku tanpa lupa untuk tersenyum- walaupun Sasuke mengalihkan pandangannya begitu saja.

"Ohh ya, apa kau belum makan malam?" Tanyaku, berambut raven itupun menoleh. "Bagaimana jika aku mentraktirmu? Tadikan kau sudah mentraktirku sushi, jadi sekarang gantian."

Alis hitam itu berkerut sedikit tampak tengah berpikir. "Baiklah." Aku tersenyum lima jari ketika dia mengiyakan ajakanku.

Aku duduk dan memeriksa barang belanjaan yang kutaruh dibawah meja. Bibi pemilik kedai membawa daging yang kami pesan dan sebotol sake.

"Kenapa kau membeli sake?" Tanya teman makanku yang kalian tahu siapa.

Aku hanya menyengir – memang sengaja memesannya. Walaupun Jii-san melarangku karena masih di bawah umur – sebenarnya aku sudah beberapa kali menikmati minuman beralkohol tradisional jepang ini. Lagian seorang Alpha tidak mungkin mabuk hanya gara-gara sebotol Sake.

"Hanya sedang ingin." Jawabku singkat sambil menyusun irisan daging di pemanggang.

Ibu pemilik kedai datang lagi dan menyerahkan segelas teh olong kepada Sasuke. "Kita kan masih di bawah umur Dobe!"

"Memangnya kenapa?"

"Terserah kau saja." Ucapnya jengah.

Aku menuangkan sake itu ke dalam gelas kemudian menaruhnya di depan Sasuke. "Ayo cobalah! Mungkin kau akan suka."

"Tidak."

"Ayolah.. cobalah dulu!" Aku mengangkat gelas itu lagi dan meraih tangan Sasuke agar memegangnya.

Sasuke mengernyit, dia mendekatkan gelas itu lalu menciumnya, masih terlihat berpikir sebelum meneguk cairan itu.

Kernyitan yang lebih jelas tergambar di wajahnya ketika menyecap rasa sake.

"Bagaimana?" Aku ingin mendengar pendapatnya.

"Masih lebih enakan anggur." Pemuda raven itu meletakkan gelasnya dan beralih pada daging panggang.

Aku mengerjab. "Kau pernah minum anggur?" Tanyaku tidak menyangka. Tapi tidak mengherankan jika Sasuke juga sesekali pernah mencoba minuman alkohol yang mahal. Biasa… Anak laki-laki kan penuh dengan rasa penasaran.

"Tidak juga."

"Hah?" Aku melotot sweatdrop. Jadi sebenarnya dia pernah atau tidak?

"Aku hanya pernah mencium baunya."

Pertanyaannya membuatku tepuk jidat.

"Kalau hanya mencium sih – banyak yang pernah kucium namun tidak bisa kumakan. Coba tebak salah satunya apa!"

"Apa?"

"kentut."

Sasuke mendelik tidak suka." Jangan berkata jorok sementara kita sedang makan Dobe!"

"Maaf-maaf. Minumlah lagi sakenya!"

Aku merogoh obat cuci tangan yang tadi kubeli dan segera memakainya sedikit untuk digosokkan di telapak tangan. Ku dekatkan tanganku ke hidung untuk tidak sabar membauinya. Menghirup aromanya dan menghirupnya lagi.

Baunya memang mirip. Tapi serasa ada yang kurang.

"Sasuke! Boleh aku pinjam tanganmu?"

"Untuk apa?"

"Aku ingin mencium bau tanganmu karena rasa baunya mungkin sedikit berbeda."

Sasuke manatapku datar beberapa saat – sebelum kembali berkutat dengan daging."

"Sebentar saja Sasuke!" Pintaku. Tapi pemuda stoic itu tidak juga menanggapi permintaanku.

"Tidak penting. Kita kesini datang untuk makan, jika kau tidak makan aku akan menghabiskan daging ini sendiri." Ketusnya.

Aku mengecukan bibir. "Huhh – dasar pelit!"

Kami memanggang daging dan memakannya dengan tenang. Hanya sedikit bahasan yang dapat kami bahas. Itu karena Sasuke pendiam dan cuek sekali, berbanding denganku yang tidak betah jika harus diam.

Sasuke menuang botol sake itu yang rupanya telah kosong. "Sudah habis Dobe." Ucapnya kepadaku.

Aku menatap pemuda itu heran. Tadi katanya tidak- tapi sekarang dia malah menghabiskan sake itu sendirian. Aku sangat ingat baru meminum satu gelas kecil tadi. Jadi semuanya Sasuke yang meminumnya.

Pemuda itu masih menatapku seperti memintaku untuk memesannya lagi.

"Baiklah akan kuambilkan." Tapi begitu aku berdiri – aku tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita yang datang dengan terburu-buru, tubuhnya cukup berisi hingga aku terpental dan kembali terduduk di kursi. Aku masih sempat melihat wanita itu juga sempoyongan ingin jatuh, tangannya berpegangan dengan meja namun kemudian tubuhnya terpental balik dan jatuh ke pangkuanku.

'urgh! Berat.' Tubuh wanita ini memang cukup gemuk rupanya. Kedua tangan berlemaknya tersampir dibahuku, sedangkan wajahnya masih tertunduk menempel di dadaku. Terasa sekali bebannya di paha. Rasanya seperti sudah jatuh, tertimpa gajah pula.

Aku menatap kesekeliling.

Dan mendapati semua orang kini melihat ke arahku, tak terkecuali Sasuke yang juga nampak terkejut. Situasi macam apa ini? aku jadi bingung harus berkata apa pada situasi semacam ini. Bagaimana tidak? Aku sendiri saja tidak pernah membayangkan untuk memangku seorang wanita yang agak- gemuk di tempat ramai seperti ini.

Harusnya wanita itu juga segera beranjak bukan? Kenapa lama sekali.

"Ano- maaf! Bibi tidak apa-apa?" Aku menggoyang bahu wanita itu. Dengan perlahan wanita itupun mendongak, wajahnya merah, dan menatap wajahku dengan sayu, bibir berlipstiknya bergerak dan berucap "Sentuh aku!"

Beberapa detik semuanya hening. Wajah wanita paruh baya itu menatapku dengan sangat hopeless, membuatku semakin tersadar dengan artinya barusan. "Hieehh?" Akupun menjerit dengan horor. Wajah menggoda bibi-bibi itu benar-benar mengerikan. Sudah kubilang aku tidak suka dengan wanita yang terlalu setengah baya.

"Kumohon!" Wanita itu meremas kaosku dan kembali menenggelamkan wajahnya di dadaku. Bukan hanya itu, aku merasa sedang dibaui. Wanita itu menghirupi dalam-dalam aromaku hingga aku membeku dibuatnya. 'Apa yang harus aku lakukan?' aku tidak dapat mendorong wanita itu untuk menjauh dariku. Wanita tetaplah ibu dari anak-anak werewolf, sebagai lelaki sejati aku harus bersikap terhormat untuk tidak berbuat kasar.

Aku menoleh pada Sasuke dan mengisyarakan padanya untuk segera membatuku. "Sasuke, tolong aku!"

Pemuda raven itupun berdiri, namun ia tidak jadi melangkah ketika melihat seorang laki-laki besar menghampiri kami. Laki-laki itu menyentak wanita yang menempel di pangkuanku hingga terjatuh ke lantai.

"Kau Omega murahan!" Makinya dengan suara keras sambil menunjuknya hina. Aku hanya meneguk ludah melihatnya sudah bersimpuh di lanta seperti itu. Sepetinya bapak-bapak ini pasangannya. Dan selanjutnya tatapan penuh amarah itu beralih kepadaku, tangan besarnya menarik kaosku sehingga aku harus berdiri menatapnya wajahnya yang berewokan dari dekat.

"Berani-beraninya kau menggoda istriku."

"Bu-bukan seperti itu. Aku tidak sedang menggodanya atau apapun." Aku mengangkat kedua tangan di antara kami berharap pria itu melepaskan kaosku yang sebentar lagi robek, berharap dapat membicarakannya dengan baik.

Tapi pria itu malah semakin menjadi, berdesis dengan mata yang berkilat merah. "Kau pasti gigolo yang hidup dari seorang wanita. Tapi seharusnya kau tidak mengincar istriku." Geramnya dengan tuduhan yang tidak berdasar.

"Sudah kubilang aku tidak menggodanya."

"Diam kau brengsek! Mari kita selesaikan ini dengan bertarung."

"Apa?" Aku melirik pada sekeliling. Orang-orang melihat kami dengan tegang. Sedangkan aku sendiri kebingungan dengan situasi ini. Aku ditantang oleh seorang Alpha separuh baya, untuk memperebutkan wanita yang juga paruh baya yang tidak sama sekali ku kenal. Bisa menjadi se-absurd apalagi kondisi ini?

Tiba-tiba seseorang mendorong pria itu sehingga cengkramannya terlepas dariku, dan seseorang itu adalah Sasuke. Pemuda raven itulah yang kini mencengkram baju pria itu dan tanpa bosa-basi meninjunya dengan keras sampai pria itu tersungkur beberapa meter.

Semua orang terkejut tak terkecuali wanita yang masih terduduk di lantai, kesadarannya mungkin telah kembali.

"Sudah dia bilang jika dia tidak menggoda istri murahanmu pak tua!" Ucap Sasuke penuh menekanan.

Pria itu kembali berdiri dan melangkah cepat menghampiri Sasuke. "Bocah brengsek sialan!" Umpatnya. Namun sebelum dia menyerang Sasuke, pemuda raven itu sudah menendang duluan selangkangan pria itu "Arrgh!" dan tanpa memberinya ampun Sasuke menyatukan kepalan tangannya dan mengayunkannya keras terhadap punggung yang menunduk kesakitan tersebut hingga berguling di lantai.

"Arrgh! Sakit sekali brengsek!" Pria itu terlelungkup di lantai sambil memegangi sesuatunya yang sakit, tapi tetap saja sanggup untuk mengumpat.

"Begini saja kau sudah meringkuk. Bagaimana seorang Alpha lemah sepertimu bisa-bisanya menantang battle? Urus saja wanitamu itu! Untuk apa bertarung demi benda yang tidak bernilai!"

Aku menatap Sasuke dengan tertegun.

Pemuda yang tengah mengeluarkan sisi sadinya itupun menoleh ke arahku. "Bayar itu dan kita pergi dari sini!"

Seperti robot- aku menganguk dan mengeluarkan lembaran uang yang kutaruh dimeja. "Jangan lupakan belanjaanmu." Mengambil katung belanjaan, lalu mengikuti majikan keluar dari kedai. Sama sekali tidak ingin berargumen dengan remaja yang penuh percaya diri menghajar bapak paruh baya tersebut.

Setelah berjalan pergi dari kedai itupun aku baru tersadar. Cara yang digunakan Sasuke benar-benar efektif dan cepat, sangat menolong sehingga aku tidak perlu menerima tantangan untuk bertarung demi sesuatu yang ambigu. Sebelumnya aku memang selalu menerima tantangan dengan senang hati tanpa pernah kalah sebelumnya. Tapi dengan sebab akibat dan kondisi yang memalukan di tempat umum tersebut, siapa saja yang berada di posisiku juga pasti ingin menghindar.

"Kau benar-benar keren!" Pujiku terhadap pemuda raven di sebelahku ini. Namun yang mendapatkan pujian hanya melengos.

Dari dulu kemampuan Uchiha Sasuke memang tidak diragukan. Dia kuat dan tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam berbagai bidang. Dia bahkan sangat ahli sekali mempermalukan orang yang membuat keributan dalam beberapa menit saja, tidak peduli bahwa lawannya adalah Alpha dewasa, menghajarnya tanpa mengindahkan kesopanan jika tidak baik mempermalukan orang tua. Talentanya sama sekali tidak munurun. Hebat! Aku jadi mengaguminya walau dulu aku pernah menjadi korbannya juga.

"Ini juga salahmu Dobe! Kenapa baumu kuat sekali? Wajar saja jika wanita yang sudah menikah itu sampai menempel padamu." Ucapnya pedas dengan death glare yang tersampir di onyxnya.

Aku mengangkat bahuku dan mencium aromaku sendiri. Memang iyasih.. aku belum mandi. Aku baru tahu jika tidak mandi dapat memancing masalah seperti barusan. Mungkin juga karena bauku semakin hari bertambah kuat. Biasanya itu terjadi karena siklus pendewasaan pada wolf Alpha yang masih belum matang.

"Aku pulang. Berhati-hatilah di jalan agar tidak dikeroyok bibi-bibi." Ucap pemuda raven itu, memperingatkan dengan wajah stoicnya sebelum berlalu pergi.

Aku melambaikan tangan walaupun Sasuke sudah tidak lagi melihat ke arahku. Entah kenapa aku merasa sedikit kecewa karena ingin berbincang-bincang dengannya sediki lebih lama lagi.

Yasudahlah, besok juga ketemu di sekolah. Ohya, besok juga ada hunting ritual.

...

..

.

Putih

Semuanya serba putih, beberapa diantaranya bersemu merah, terlihat sangat lembut dan nyaman.

Tanganku menyentuh gumpalan-gumpalan awan yang bergeser menjauh. Mereka semua menghindari sentuhanku - seolah berkata jika bukanlah awan-awan dan gulali-gulali manis itulah yang seharusnya kuraih.

Aku kembali berjalan, menyerusuri kapas putih yang menjadi pijakanku. Mata biru sapphireku akhirnya menemukan kumpulan dari gumpalan awan yang sangat besar. Rasa panasaran muncul – dan akupun melangkah mendekatinya. Mataku menelusuri sudut gunung awan itu, hingga penglihatanku menangkap sesuatu yang ganjil, sesuatu yang lebih menarik dan bersinar.

Sepasang kaki, kulitnya yang putih bercahaya di balik awan, membuatku panasaran seperti apa sosok malaikat di baliknya.

Akupun semakin mendekat dan awan-awan itu perlahan bergerak memisahkan diri. Seperti tirai yang menunjukkan kejutan di dalamnya sedikit-demi sedikit. Kulit putih seseosok malaikat yang semakin jelas terlihat ketika awan-awan tersebut bergeser, membungkus tubuh rupawan sempurna tanpa cacat, bahkan terlihat lebih lembut dan nyata jika dibandingkan dengan gumpalan yang tidak bisa dipegang. Sosok itu duduk di singgasana kapas, terlihat sangat suci dengan tubuh indah layaknya malaikat. Membuatku ingin menghampirinya... dan menyentuhnya.. setelah melihat seperti apa detail indah sosok tersebut.

Malaikat tersebut rupanya memiliki rambut hitam yang sangat kontras dengan kulitnya. Poninya yang terlihat dengan helaian yang jelas tampak lembut, menempel dipipinya yang kini sedang menunduk.

Setelah semua awan menyingkir barulah malaikat itu mulai mengangkat kepalanya, hingga aku dapat melihat keseluruhan wajahnya yang elok bagai dewa setengah dewi. Matanya yang tertutup kemudian perlahan terbuka. Iris hitam permata onyx, mengerjab dengan durasi yang pelan beberapa kali. Tampak indah dengan kilaunya yang hitam; menghisap mataku hingga seluruh otakku terhipnotis; untuk hanya berpikir tentang sosok itu, yang rupanya sangat kukenal.

"Sasuke?"

Tangan putih dengan jemari lentik mengisyaratkan padaku untuk mendekat. Dia tersenyum menggoda ala malaikat hingga membuatku meneguk ludah. Kakiku melangkah dengan sendirinya untuk memenuhi undangan. Menatap wajah itu dengan intens, tanganku di tariknya hingga bibirku memagut benda merah muda selembut kapas itu.

Lembut dan manis. Aku meyukainya. Terlebih aroma disekitarku tercium harum dan mengundang terdorong untuk merengkuh erat sosok yang tengah kupagut.

"Naruto"

Wajah itu, wajah yang sangat kukenal, namun dengan ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Menatapku dengan pasrah namun menggoda, memohon kepadaku untuk menjadikannya miliknya. Hingga tak kuasa aku terbius dengan semua pesona itu, untuk menginginkannya, untuk segera mengklaimnya dan menggenggamnya selamanya.

Tangan lembut itu merengkuh leherku, medorongku untuk memeriksa dibagian mana biasanya tanda kepemilikan berada. Hindungku mengendusi lehernya yang harum, dan lidahku menjilat untuk menelusuri sepanjang jenjangnya. Sosok yang kurengkuh tengah mendongak dan mendesah, membiarkanku bebas mengeksplor permukaan tubuhnya yang lembut dan harum.

Hasratku membuncah, ketelusuri semua yang dapat kuraba, hingga aku mulai tidak sabar ingin bersatu dengannya.

Tanganku terus ke bawah dan terus ke bawah, meremas dua bantalan lembut sekenyal balon. Lalu merambat lebih ke bawah lagi dan menelusupkan jariku pada lubang surga di bawah sana.

"Ahh~"

...

..

.

"Naruto! Oiy Naruto!"

Bluk

Aku gelagapan ketika lubang hidungku tidak dapat menghirup udara. Sebuah bantal menahan mukaku - dan aku segera menyingkirkannya dengan terbangun panik.

"Akhirnya kau bangun juga." Aku melotot pada si pelaku yang membekap mukaku dengan bantal yang tidak lain adalah Jiraiya jii-san.

"Jii-san mencoba membunuhku ya? Mengapa membekap mukaku dengan bantal sekuat itu." Teriakku di pagi-pagi begini.

"Kau tidak dengar jam weakermu berdering dari setengah jam yang lalu? Sementara jammu terus berisik aku mematikannya dan berusaha membangunkanmu Naruto. Tapi wajahmu yang berliur itu – terlebih gundukan basah itu." Jii-san melirik ke bagian selatanku. "Sungguh membuatku geli. Hahahh, kau benar-benar pemuda yang sehat rupanya." Ujar pak tua itu sambil menggeleng-geleng keluar ruangan.

Aku mengerjab bingung dengan kesadaran yang telah penuh. Boxerku benar-benar basah. Astaga.. aku tidak pernah bermimpi basah sebasah ini sebelumnya. Mimpi barusan benar-benar sesuatu.

Aku memutar otakku untuk menayangkan kembali seperti apa mimpi itu, dan sosok yang menjadi bintang mimpi basahku. Kulit putih bersinar, rambut hitam, dan mata onyx.

"Ergh – bukankah itu Sasuke?" Aku terngagah horor dengan sesuatu yang masih teringat jelas di otakku. Aku benar, sosok di mimpiku itu adalah sang Uchiha Sasuke, tidak salah lagi jika rambut hitam sependek itu memanglah dia.

Aku tidak dapat percaya semua ini. Aku menggeleng-gelengkan kepala keras-keras.

Bagaimana aku dapat memasukkan seorang Alpha sebagai bintang mimpi basahku?

Apa insting wolfku tengah eror?

Seharusnya seorang Alpha tidak akan tertarik dengan Alpha yang lain. Itu sudah hukumnya. Karena aroma mereka tidak dapat mempengaruhi atau menimbulkan efek pada werewolf yang berstatus sama dengannya.

Jangan-jangan ada yang salah dengan wolfku?

Mengapa harus seorang Alpha seperti Sasuke? Kenapa bukan Shion atau Omega-Omega lainnya? Yang memiliki bantalan besar di depan dan bukan papan bidang milik laki-laki.

Author POV.

Tidak hanya wolf Alpha Naruto yang miring, orentasi sexsual Naruto sepertinya juga ikut belok dalam sekejab mata. Hanya karena bertemu dengan Uchiha Sasuke. Ketua OSIS yang tingkat keseksiannya terlalu tinggi hingga mampu untuk menghipnotis Alpha autis seperti Naruto.

XD.