Aku tidaklah lebih dari seorang bocah kecil ingusan ketika aku melihat dengan mata kepalaku sendiri orang-orang yang kusayangi satu persatu mati terbunuh. Sekelompok ronin berkostum hitam dengan wajah-wajah mereka yang sangar mulai menyerang kami secara mendadak pada malam itu. Menebaskan katana kepada para wanita yang saat itu menemani perjalananku untuk pergi menuju kota Edo.

Para ronin itu menusuk tubuh mereka hingga mengeluarkan cairan berwarna merah pekat dengan bau anyir yang menyengat indera penciumanku. Sungguh sebuah mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ronin pemburu yang akhirnya menemukan keberadaan kami setelah akhirnya kami bisa meloloskan diri dari sebuah malam pembantaian yang tragis.

Keluargaku… habis dibunuh oleh mereka tiga hari yang lalu karena sebuah alasan yang tidak bisa aku pahami sama sekali.

.

.

disclaimer : Selamanya Bleach adalah milik Tite Kubo, saya gak akan protes~!!!

.

Sebuah masa lalu yang kelam akan membawa kepada masa depan dan kehidupan yang terlalu kejam bagi seorang gadis remaja yang telah yatim piatu sejak kecil. Akankah takdir selalu berjalan seperti itu?

~ Heart of the Sword ~

by shiNomori naOmi

Angsty/Family/Romance ; AU (Authentic Universe) ; rate T+ karena sedikit bloody

.

.

Bagian Pertama : Prolog

Aku… sebagai satu-satunya anak di bawah umur dalam kelompok itu, hanya bisa diam menatap ngeri dengan tubuh gemetaran pada tubuh-tubuh yang mulai ambruk bersimbah darah. Mataku tak bisa terpejam, seolah-olah memaksa otakku untuk merekam semua kekejaman ini menjadi sebuah memori yang tak akan pernah terlupakan oleh seorang bocah kecil yang bahkan belum memahami hitam putihnya kehidupan.

Bunyi-bunyi sabetan pedang dan teriakan kesakitan semakin terdengar dengan jelas di telinga kecilku. Mereka benar-benar semakin brutal. Tidak bisa dimaafkan!

Pengecut!

Walaupun aku seorang perempuan seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk menolong mereka. Aku benar-benar seorang pecundang. Tidak bisa melindungi orang-orang yang sangat aku sayangi. Orang-orang yang menjagaku selama beberapa tahun ini.

"Larilah… Rukia. Kau harus tetap hidup."

Perempuan berwajah cantik itu jatuh tersungkur di hadapanku. Sebuah luka sabetan yang cukup dalam tampak menganga di bahu kanannya, menyilang di punggung dan merembeskan darah yang menodai kimononya yang berwarna peach. Ia… mengharapkanku untuk tetap hidup. Sebuah permohonan tulus sebelum ia benar-benar menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya tanpa menutup kedua matanya yang tetap terbuka walaupun jiwanya telah pergi, seolah-olah tubuhnya tidak merelakan sang jiwa meninggalkannya jauh, kesepian bersama tubuh-tubuh lain yang juga mulai tak bernyawa.

Aku benci itu semua. Aku benci! Dan mereka harus mati! Ronin-ronin itu harus menerima pembalasan yang setimpal atas perlakuan keji ini.

Aku berteriak dalam hati. Mengutuk mereka habis-habisan sambil berusaha meraih sebuah katana yang sepertiga ujungnya telah patah yang tergeletak tak jauh dari tempatku bersimpuh tak berdaya karena kaki-kakiku yang lemas.

Aku masih bisa melihat dengan sangat-sangat jelas, pada bayangan mereka yang tengah menghunuskan pedang kepada orang-orang tak berdosa terpantul begitu nyata di kedua bola mataku yang sedikit sembab.

Kupaksa tubuh kecil ini untuk berdiri meskipun terhuyung-huyung. Kuseret katana patah itu yang walaupun terasa sangat berat bagi ukuran tangan kecil seorang bocah sepertiku. Kutatap mereka dengan pandangan penuh kebencian dan nafsu membalas dendam yang meluap-luap. Kuabaikan nafasku yang sangat sesak di dada, seolah-olah udara di sekitarku menjadi begitu mampat. Aku hanya ingin, mereka mati dan menerima pembalasan atas dosa-dosa mereka. Entahlah… aku merasa bahwa hati dan otakku tidak lagi bisa berpikir secara rasional. Instingku telah begitu mempengaruhiku. Insting membunuh yang pertama kali kurasakan selama 8 tahun aku hidup di dunia ini.

Ujung katana yang kupegang menorehkan sebuah goresan berupa garis lurus saat kuseret benda itu bersama diriku untuk mendekati salah seorang ronin yang tengah menusukkan bilah katananya pada tengkuk seorang wanita paruh baya yang biasa aku panggil dengan sebutan Bibi.

Ia masih terlihat cukup jauh dari tempatku berada saat ini. Tapi langkah kedua kakiku membawa tubuhku semakin mendekat. Sedikit demi sedikit.

Aku berjalan tanpa emosi. Mungkin aku memang tidak dalam sepenuhnya sadar ketika berjalan semakin mendekat ke arah pembunuh itu, menghantarkan nyawaku sendiri kepadanya. Ia tidak melihatku karena memang aku berjalan di belakangnya. Masih cukup jauh untuk kujangkau dengan pedang yang bahkan aku belum pernah memegang benda sejenis seperti itu di tanganku.

Aku tersadar ketika dua buah lengan berkimono kuning dengan motif bunga matahari mendekap tubuhku erat-erat dari belakang. Telapak tangannya menutup kedua bola mataku dari pemandangan yang seharusnya tidak kulihat.

"Tutup matamu, Rukia. Jangan mendekat! Kau tidak boleh melihatnya."

Wanita itu berbisik di telingaku seraya mempererat dekapan pada tubuhku. Salah satu telapak tangannya yang berukuran sedang berusaha menghalangi pandangan dan yang lain memelukku erat-erat di dadanya. Memaksaku untuk menutup mata dan telinga.

Namun hati dan kedua inderaku menolaknya.

Aku masih bisa mendengar dengan sangat jelas. Aku masih bisa melihat dari balik sela-sela jari wanita itu walaupun hanya samar-samar karena air mata yang mulai tumpah, pada seorang ronin yang tengah mengayunkan rantai besi panjang bergerigi yang kemudian menjerat dengan cepat pada tubuh korbannya. Menariknya hingga sang korban terjatuh ke tanah yang ditumbuhi rumput-rumput liar yang menari-nari tertiup angin malam musim panas.

Aku meronta. Tubuhku ingin membebaskan diri, berlari kepadanya dan membebaskannya dari lilitan besi lentur mematikan itu. Kemudian, kepala itu pun terlepas dari tubuhnya, mengalirkan beratas-ratus milliliter cairan merah pekat memabukkan.

"Jangan, Rukia! Jangan kesana!"

Wanita itu menahan tubuh kecilku. Melarangku pergi dan semakin mempererat pelukannya ketika kami merasakan hawa penuh bahaya yang begitu kuat kami rasakan dari arah belakang. Jantungku berdetak cepat. Semakin kencang hingga terasa bagai ingin meledak.

Crash!!!

"Akh~!"

Kudengar bunyi sabetan pedang yang diiringi dengan teriakan tercekat dari wanita yang mendekapku. Sekonyong-konyong tubuhku mulai terjatuh karena tidak kuat menopang tubuhnya yang mulai ambruk tak berdaya.

"Nee-chan."

Aku memanggilnya, walaupun suaraku begitu parau nyaris tak terdengar. Ia telah melindungiku dengan nyawanya, dengan segenap jiwa dan raganya walaupun kami sebagai sebuah keluarga tidak memiliki ikatan darah karena hubungan persaudaraan yang terjadi di antara kami semua terjadi karena nasib dan takdir yang begitu tak bersahabat padaku.

Aku hanyalah bocah yatim piatu yang dibuang oleh keluargaku sendiri saat aku masih belum bisa menapakkan kakiku dengan tegak. Aku tidak pernah menyangka, mereka tega meninggalkan bayi yang masih merah di jalanan Rukongai yang sangat keras. Satu-satunya yang mereka tinggalkan hanyalah sebuah cincin emas putih bermotif ukiran sakura yang kini tergantung di leherku.

Aku cukup beruntung ketika seorang wanita yang aku panggil Bibi yang kini tergeletak bersimbah darah di depanku itu memungutku dari kejamnya dunia. Ia mengasuhku hingga saat ini. Memberiku makan dan pakaian. Menyayangiku seperti putrinya sendiri. Tidak seperti keluargaku… tch, mereka yang mencampakkanku tidak pantas disebut keluarga. Ikatan darah tidaklah berarti bila kau mengabaikan saudara atau temanmu sendiri. Aku lebih menghargai keluarga angkatku dibandingkan mereka yang telah membuangku.

Aku memanggilnya. Lagi dan lagi, berusaha untuk tidak membiarkannya memejamkan mata. Saat itu aku tidak habis pikir, kenapa wanita yang kupanggil nee-chan itu tersenyum padaku walaupun matanya sudah terlihat kosong dan mulutnya mengalirkan darah yang mulai tumpah dari dalam tubuhnya.

Itu… membuat hatiku semakin sakit dan terkoyak. Karena aku yakin, ia akan segera meninggalkanku sendirian atau mungkin ronin itu akan berbaik hati untuk memanggil dewa kematian untuk segera menjemputku. Menyusul orang-orang yang telah lebih dahulu pergi.

"Te -taplah hidup, Rukia. Kau… harus melihat dunia."

Itulah sebuah kalimat terakhir yang terdengar darinya karena beberapa detik kemudian kesadarannya mulai menghilang dan telingaku dipenuhi oleh suara besi yang saling beradu dan tubuh-tubuh yang berbenturan dengan tanah dengan cukup keras.

Aku menatap penuh tanya dan juga terima kasih pada orang yang telah membunuh para ronin itu. Tapi sedetik kemudian, perasaan takut kembali menyergapku karena ada kemungkinan besar ia juga akan membunuhku. Aku tidak takut mati, karena aku akan bertemu dengan mereka. Tapi aku takut akan prosesnya yang kelihatannya sangat menyakitkan.

Orang itu semakin mendekat. Ah… aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup topi jerami. Aku hanya bisa melihatnya menyunggingkan senyuman yang bersahabat.

Ia kemudian berjongkok di hadapanku. Aku menutup kedua mataku ketika ia mengulurkan tangan kirinya yang lumayan besar menurutku. "Kau baik-baik saja, Nak?" tanyanya seraya mengelus kepalaku dengan lembut. Aku membuka mataku perlahan, menatap matanya yang terlihat sangat ramah. Aku mengangguk dengan canggung namun penuh rasa terima kasih.

"Aku… masih hidup hingga saat ini."

~ ~ H-ot-S ~ ~

-7 tahun kemudian-

"Tatapan mata itu… Katana putih itu… "

Seorang samurai tanpa sadar berucap ketika ia melihat siapa orang yang ada di hadapannya saat ini. Samurai berdarah dingin yang mampu membunuh seratus orang dalam enam bulan pertama karirnya. Rambut berwarna hitam pendek dengan tatapan mata violet sedingin es dan teknik pedang Sode no Shirayuki yang telah menjadi ciri khasnya, sebuah teknik pedang legendaris dengan gerakan gemulai bagai tarian indah di padang salju.

Ia tersenyum tipis. Sisa-sisa darah tampak mengalir mulus dari bilah katananya. Mata violetnya berkilat kejam dan dingin. Ekspresi wajah dingin disertai noda darah di pipi kanannya tampak membuat gentar segerombolan samurai berkimono biru itu. Rintik-rintik air hujan membasahi rambut hitamnya yang tergerai hingga sebahu. Percikan air yang tergenang di jalanan salah satu gang di sudut kota Edo mengiringi langkah-langkah kakinya yang semula lambat menjadi semakin cepat, dengan sebuah katana berbilah tajam tampak tercabut dari sarungnya yang terselip di pinggang kiri, tergenggam erat di tangan kanannya yang ia rentangkan sedikit ke belakang untuk mempermudah larinya.

Sekelompok samurai berseragam kimono biru tua itu semakin mempererat genggaman katananya dan memperkokoh kuda-kuda kakinya. Siap atau tidak siap, mereka harus menghadapi sang pembantai demi mempertahankan dan melindungi idealisme yang mereka junjung tinggi.

Langkah sang pembantai semakin cepat ketika jarak mereka semakin dekat. Ia mengayunkan katananya dengan kecepatan tinggi… dan memutar badannya 360 derajat membentuk sebuah tarian yang lentur.

Bunyi pedang pun beradu namun itu bukanlah masalah besar baginya. Ia semakin mempercepat gerakannya, menorehkan luka-luka mematikan pada kawanan samurai yang jumlahnya tidaklah sebanding dengan dirinya yang hanya seorang diri. Sebuah lompatan tinggi ke udara dengan salto ke belakang tampak ia lakukan sebelum membisikkan salah satu jurus andalannya.

"Hakuren." Ia mengayunkan katana putih saljunya ke bawah. Salah satu tekniknya yang menimbulkan efek hembusan angin kencang namun juga tajam bagai pisau, mampu merobohkan puluhan lawan hanya dalam satu kali tebasan. Sebuah garis yang cukup panjang seperti sayatan pedang yang membentuk motif lengkungan bulan sabit tampak membelah bumi di bawahnya dengan waktu sepersekian detik sebelum menimbulkan pantulan energi dasyat ke berbagai arah yang menyebabkan lawan-lawan yang menjadi target jurusnya terpental ke udara diiringi bunyi angin yang lebih mirip bunyi sayatan pedang.

Crash! Crash! Crash!

Satu persatu mereka roboh, seiring dengan semakin banyaknya darah yang menggenang dan mengalir ke beberapa sudut jalan karena hujan. Ia menyarungkan katananya dengan gerakan yang luwes dan begitu tenang dengan latar belakang mayat-mayat lawan yang bergelimpangan bersimbah darah. Ia memejamkan mata sejenak dan menghela nafas lega.

Cipratan darah yang membumbung ke udara berjatuhan ke bumi karena gravitasi bersamaan dengan air hujan yang tumpah dari langit. Hujan di malam musim basah yang kini telah ia ubah menjadi hujan darah.

"Kau semakin hari semakin hebat saja, Rukia," kata seorang pria yang sedikit lebih tua darinya. Rekannya sesama samurai itu menunjukkan wajah kekecewaan ketika ia mengetahui bahwa dirinya datang terlambat.

Ia membuka matanya, menatap dengan pandangan tak berminat pada rekannya itu. "Ini giliranmu, Renji. Aku yakin bahwa kau bisa membereskan sisa-sisanya tanpa jejak, " sahut orang yang bernama Rukia itu dengan dingin dan sedikit tidak perduli sambil melenggang pergi.

.

To Be Continued

.

Author Note :

Wueeeh~ lagi-lagi saya bikin fic yang berdarah-darah dan holaaaaa… sebenarnya tadi malam saya publish di fandom Rurouni Kenshin tapi ternyata kagak ada yang baca –hiks pundung- Oleh karena itu saya edit sedikit dan jadilah sebuah fic yang lagi-lagi berada di fandom Bleach dengan rating T –sebenarnya mau saya bikin M tapi males dah- Trus yang di fandom RK saya hapus saja deh, mwuohoho… males juga nerusin kalo kagak ada yang baca. Maafin saya yah, Himura-san *bungkuk-bungkuk ke Kenshin yang ngambek*

Iya-iya, chapter ini sumpeh terinspirasi dari Rurouni Kenshin series dan OVA 1 –yang bikin saya istighfar berkali-kali karena amat sangat bloody sekali- Sadis tingkat tinggi !! dan judulnya juga dari OST animenya yang berjudul Heart of the Sword, tapi ceritanya bakalan beda kok. Beda banget tenang aja~! Gak bakalan sama *nunjuk-nunjuk genre* Ntar juga bakalan ketahuan kenapa saya mengambil judul itu, hags-hags-hags.

Haaah~! Lagi-lagi multichapter –ngelirik fic multichap yang menjadi 6 biji yang blom kelar- Oh yah… ada yang tahu siapa yang nolongin Rukia kecil? Gampang kok~!

Whoteper dah, saya mohon kritikannya okey. Ayooo –lah, Repiu yah~! *puppy eyes no jutsu*