Notes:Another TakaShin for my nutrition #sorrynotreallysorry. Ini juga birthday fict untuk Hachan yang mengenalkanku sama situs ini huehehe. Happy birthday, sista. Wish you all the best (and love this not-that-good fanfiction #yha). I used your last birthday present as a reference to write this fiction, btw :3

p.s: without further ado, enjoy!

p.p.s: versi ini sudah di-edit typo-nya xD


.

Gintama © Sorachi Hideaki

Narcissus (poem) © Sapardi Djoko Damono

.

narcissus

© Moon Waltz

.

Taka-Shin's poem project, first story.

.

AU, OOC, TakaShin

.

.

.


.


seperti juga aku: namamu siapa, bukan?

Ada bayang yang terpantul pada cermin bundar itu. Ada sosok yang menatap balik dengan tatapan sedingin salju.

Ada ekspresi yang terlalu sering ia lihat, terlalu familiar, terkadang hingga membuatnya muak.

—ada dirinya.

"Cukup, Shimura."

Ah, kata-kata itu lagi, pikirnya.

Apa dia tidak bosan mengucapkannya, sama seperti dirinya yang bosan mendengarnya?

Lagipula apa maksudnya dengan 'cukup'? Memangnya apa yang Shinpachi lakukan adalah sesuatu yang berlebihan? Memangnya menatap lama refleksi dari balik cermin setiap hari adalah sesuatu yang berlebihan?

Baiklah, itu berlebihan. Lalu apa salahnya bertindak berlebihan?

.

pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam

Pria itu melangkah, mengeliminasi jarak, merapatkan spasi. Sepasang lengan bergelayut pada lehernya, merengkuhnya erat-erat dalam sebuah pelukan hangat.

Shinpachi selalu menyukai kehangatan itu.

Selalu.

Tapi tidak sekarang, tidak ketika kehangatannya mengacaukan pantulan di cermin itu, memberi riak pada permukaannya yang tenang dan damai.

Shinpachi tidak menyukai kehangatan itu lagi.

"Lepaskan," bisiknya lirih.

Lengan itu tak bergeming. Pemiliknya pura-pura tak mendengar permintaan yang baru saja ia dengungkan.

"Kubilang lepaskan."

"Tidak mau," jawabnya, keras kepala.

Shinpachi menggenggam lengan-lengan itu, berusaha melepaskannya sendiri.

Dia harus segera melepaskannya. Kalau tidak, bayang itu akan menghilang, refleksinya akan pudar.

Dan ia tak akan bisa menjumpainya lagi.

"Cukup, Shimura."

Kata itu terdengar lagi.

.

tetapi jangan saja kita bercinta

Ia menyerah. Ia biarkan lengan itu bergelayut sesukanya.

"Kau tidak bosan?"

"Padamu? Tak akan."

Pada segalanya.

Pada matahari yang terbit setiap pagi, pada bulan yang di suatu malam muncul lalu di lain malam lenyap, pada bumi yang tak pernah berhenti berputar, pada bintang gemintang yang dengan angkuh merajai singgasana langit malam, pada semesta dan isinya—

Karena ia pun tak bisa jemu pada pantulan di cermin itu. Tidak, ketika kedua lengannya tak mampu menjangkau bayang itu.

"Sungguh?"

"Sungguh," jawabnya tanpa nada keraguan.

"Tapi aku," Shinpachi meraih permukaan cermin di hadapannya, membelainya lembut, "tak bisa berhenti. Kau tetap akan mencintaiku?"

Ada jeda.

"Selalu."

Tapi aku, lebih mencintai bayang itu ketimbang dirimu, kau tahu.

.

jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

"Kenapa?"

"Apanya yang kenapa, Shimura?"

"Kenapa kau menjawabnya dengan penuh keyakinan, Takasugi-san?"

"Karena kau separuh jiwaku?" ia terkekeh pelan saat menjawabnya, menutupi rasa malu yang timbul saat mengucapkan kata-kata klise barusan.

Separuh jiwa, huh?

Kenapa dia tidak mencintai separuh jiwa yang satunya saja kalau begitu? Akan lebih adil untuk mereka berdua, bukan? (—karena biarkan dirinya saja yang mencintai separuh jiwa yang ini. Cukup dirinya saja yang berhasrat pada separuh jiwa ini.)

"—dan karenanya, kau melengkapiku."

Shinpachi tak perlu lengkap. Dia hanya perlu mendamba dan berhasrat. Dia hanya perlu menatap dan melihat.

(—dia hanya memerlukan bayang itu, dan baginya segalanya akan lengkap.)

.

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun

"Pernahkah kau mendengarnya, Takasugi-san, sebuah cerita tentang seorang pemburu yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri?"

Pria itu menghela napasnya, "tidak pernah," dustanya.

Tidak mungkin ia tak pernah mendengarnya, kan? Shinpachi telah menceritakan kisah ini nyaris setiap hari.

Mungkin dinding-dinding yang melingkupi mereka, atap yang menyaksikan malam-malam penuh cumbu mereka, jendela-jendela yang membisu itu, udara yang mengisi ruangan ini, sudah terlalu jemu untuk mendengar pertanyaan yang sama (—atau kisah yang sama, atau tanggapan penuh dusta yang sama, Shinpachi tidak peduli yang mana, karena yang jadi pertanyaan di sini kenapa pria itu masih saja bertahan, masih saja menolak untuk bosan.)

"Dia berakhir mati."

Shinpachi tak ingin bersusah-susah menjelaskan detilnya lagi. Mereka sudah sama-sama tahu kelanjutannya (dan akhir dari kisahnya).

"Begitukah?"

"Ya."

.

dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?

"Biarkan saja," katanya.

Biarkan saja, itu hanya dongeng semata. Biarkan saja, itu hanya secarik kisah lama yang tertulis pada buku cerita berdebu di loteng rumahnya (—rumah mereka).

Biarkan saja, toh ia tak pernah peduli dengan akhirnya.

"Biarkan saja, karena kau bukan dia," ulang pria itu lagi.

Aku memang bukan dia, pikirnya, tapi aku menyerupainya, jelmaannya. Kau tak paham juga, ternyata.

"Lagipula, aku akan menjadi daun-daun itu."

"Daun-daun apa?"

"Yang mengacaukan pantulan di telaga. Yang akan mengembalikanmu pada dunia yang sesungguhnya."

Daun-daun itu.

Hei, Shinpachi tak pernah memperhitungkan hal itu sebelumnya. Yang ia tahu kisah ini hanya bercerita tentang pemburu itu dan bayangannya dari balik telaga nan dalam, bukan tentang pemburu itu dan dedaunan yang berguguran,—dedaunan yang berusaha memudarkan refleksi yang tercipta.

(—bukan tentang dirinya dan Takasugi Shinsuke yang berusaha mengembalikan akal sehatnya.)

Meski demikian, memangnya ia ingin kembali?

.

cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?

"Maka dari itu, biarkan saja, Shimura. Biarkan saja," rengkuhan mengerat, kecupan mendarat.

Shinpachi memilih diam, tak menolak, tak membalas.

Deru napas pria itu memberat, lengan-lengan yang merengkuhnya berpindah tempat.

Shinpachi melirik cermin bundar yang tergantung di dinding kamar itu sekilas. Refleksi yang selama ini menjeratnya terhalang pria yang sedang memeluknya kuat-kuat.

Refleksi itu kacau, pudar, nyaris lenyap.

"Biarkan saja," ulangnya sayup-sayup, di antara ciuman hangat yang memanas saban detiknya, di antara gejolak hasrat yang melingkupi keduanya.

Shinpachi menutup matanya rapat.

Biarkan saja.

Cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?

.

FIN


A/N:

Huwo, udah lama enggak nulis dengan gaya ngeselin ini lagi. Oke, iya, ini gak jelas. Biarkan saja #LOL

Buat yang bingung, Shinpachi ini kayak Narcissus gitu, obsesif sama bayangannya sendiri dan nolak cintanya Takasugi *ajegile

Endingnya diasumsikan sendiri, ya, wkwkwk. Bikinnya juga ngebut *cri

Trus, yep, yang di tengah dan di-italic itu puisinya Bapak Sapardi, salah satu yang kusuka. Kemungkinan bakal ada kisah-kisah selanjutnya TakaShin lagi yang berdasarkan sama puisi beliau wkwk, semacem project buat asupan sendiri huehehe.

Last but not least, Happy birthday, Hachan!

*plis maapin gw ngasih cerita yang absurd ini*