Disclaimer: "I don't own all characters in here. They are belongs to them selves. If I can, I would do it ! xD I make no money from this—please don't sue me. But the plot is MINE!"

Title: Picture Of You

Author : kurorenji aka blackorange

Rating : T

Genre : AU, Drama, Fluff

Length this chapter : 15 pages MsW

Beta reader: Dee chan-tik aka dintaririn


"One"

Suasana stasiun kereta api tampak begitu sepi ketika malam semakin larut. Hanya ada beberapa orang yang menunggu kedatangan kereta di peron masing-masing, ada yang terlihat menunggu sambil membaca buku, ada pula yang mendengarkan music dengan menggunakan earphone dikedua telinganya, namun ada juga yang terlihat tenang tanpa melakukan apapun, seperti halnya yang sedang dilakukan seseorang yang menunggu kedatangan kereta dengan duduk diam disebuah bangku besi tua yang terpasang dan tersusun rapih disetiap peron. Ia melipat kedua tangan didepan dada, ujung hidungnya terlihat begitu memerah ketika hawa dingin diawal musim dingin malam ini terasa menyelimuti, membuatnya tanpa sadar semakin mengeratkan kedua tangannya yang bersilang dada sambil sesekali menggoyang-goyang pelan tubuhnya untuk menghilangkan rasa dingin yang menusuk. Ia cukup beruntung butiran-butiran salju tidak turun malam ini.

"Ehem.."

Ia berdehem pelan seraya menenggelamkan sebagian wajah pada syal hitam yang melingkar di lehernya. Ia ingin cepat-cepat tiba di rumah, lalu merasakan hangatnya pemanas ruangan ketika hawa dingin itu semakin membuat tubuhnya serasa membeku. Manik matanya bergerak-gerak liar pada jalur rel yang memanjang hingga pandangannya tersamarkan oleh gelapnya malam.

Umpatan pelan terdengar dari bibirnya ketika kereta yang ditunggunya belum juga tiba. Menurut jam berukuran besar yang tergantung disalah satu pilar stasiun itu –yang entah disengaja atau memang rusak, kereta malam yang ditunggunya sudah terlambat selama satu menit dari jadwal kedatangan.

Ia mulai menggosokkan kedua telapak tangannya yang mati rasa ketika penyakit lupanya tidak pernah menghilang. Mungkin setelah ini, ia akan membeli lusinan sarung tangan kemudian menyimpannya di semua tas miliknya dengan berjumlah masing-masing dua pasang agar kedua tangannya tidak lagi kedinginan.

Ia menolehkan kepalanya ke sekeliling untuk memperhatikan suasana di setiap peron. Ia bisa merasakan suasana yang begitu berbeda. Suasana jaman dulu dari stasiun tua itu terasa begitu kental dari Kota Jeonju –sebuah kota kecil berjarak dua jam perjalanan menggunakan kereta api dari Seoul. Sebuah kota yang menawarkan berbagai wisata khas tradisional Korea. Itulah alasannya mengapa ia berada di sini untuk dua bulan ke depan.

Bunyi kereta yang baru tiba di stasiun terdengar menyalang-nyalang ketika gaungannya begitu bergema di langit malam yang lepas. Bunyi deritan rem yang bergesakan dengan rel besi yang sedikit berkarat terdengar memekakan telinga hingga membuat semua orang yang berada di stasiun mengernyitkan dahinya saat kereta itu tiba.

Kereta tua itu benar-benar membutuhkan perawatan khusus, atau mungkin menggantinya dengan kereta cepat yang baru.

Setelah menunggu dua menit dari waktu tiba yang seharusnya, kereta terakhir menuju Seoul akhirnya tiba juga. Laki-laki itu berdiri dari bangku seraya menyampirkan tas selempang di bahu kanan dan tas kamera di bahu kirinya, lalu melangkahkan kaki menuju belakang garis kuning untuk menunggu kereta berhenti dan membukakan pintu untuknya.

Tidak seharusnya ia berada di stasiun pada jam malam seperti ini. Seharusnya sekarang ia berada di dalam Hanok –rumah tradisional yang sudah ada sejak jaman Dinasti Joseon– yang telah ia sewa untuk dua bulan ke depan lalu merasakan nikmatnya tidur di rumah tradisional itu sambil menanti rencana esok pagi menuju bukit lalu memotret panorama matahari terbit yang terlihat dari atas sana dengan suasana khas atap Hanok yang membentang horizontal sebagai tema untuk project yang sedang diusungnya. Namun sepertinya, ia harus menunda rencana itu ketika siang tadi ia menerima telepon dari eomma nya yang mengatakan bahwa ia harus kembali ke rumah malam ini.

Ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh wanita paruh baya itu pada anak sulungnya.

Helaan nafas kini terdengar darinya ketika ia sudah memposisikan diri di atas salah satu bangku kereta yang terlihat begitu kosong dan lenggang. Rasa dingin yang tadi dirasakannya perlahan menghilang yang digantikan dengan rasa hangat yang mengudara di dalam kereta. Mungkin dua jam adalah waktu yang cukup untuk tidur dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

~.~.~.~.~.~

Sungguh, ini bukan sesuatu yang ia harapkan ketika ia kembali ke rumahnya yang berada di Seoul. Ia pikir, ia akan merasakan perasaan nostalgia yang rindu akan suasana rumah setelah selama hampir tiga tahun ini, ia tidak kembali ke rumah yang menjadi tempat dimana dirinya tumbuh. Ia sedikit menyesali keputusannya untuk pulang ke rumah, tapi apa ia mampu menolaknya ketika suara wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini terdengar begitu ringkih dan rapuh? Oh iya, ia sedikit melupakan kenyataan kalau eomma nya adalah mantan aktris pemain theater.

Ia termakan tipuan klasik itu –lagi.

"Eomma, sungguh, ini masih pagi. Aku sedang tidak ingin bercanda." Suaranya masih terdengar berat ketika ia baru saja bangun dari tempat tidurnya setengah jam yang lalu karena eomma tercintanya itu begitu rajin untuk membangunkannya di pagi hari yang terasa dingin dengan membawa kabar yang sungguh membuatnya hampir terkena serangan jantung ringan. Ia bahkan belum sempat untuk menyesap teh hangatnya ketika ucapan wanita paruh baya itu langsung menyita seluruh perhatiannya.

"Yunho, eomma serius!"

"Eomma!"

"Wae?" wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik meskipun umurnya yang sudah lebih dari setengah abad itu melengking frustasi ketika anak sulungnya mulai bertingkah.

"Apa ini sesuatu hal 'penting' yang ingin eomma katakan padaku?" Yunho bergumam pelan sambil memijat pangkal hidungnya yang mancung. Kepalanya mulai terasa berdenyut ketika mendengar 'candaan' eomma yang menurutnya sangatlah tidak lucu.

Single parent itu mengangguk antusias sambil tersenyum lebar. "Kau mau ya?" suaranya terdengar memelas. Yunho menaikkan salah satu alis matanya menatap eomma yang kini menyerangnya dengan bakat akting yang selama ini dimilikinya.

"Shirheo."

"Yunho yah~~~"

"Andwae~ andwae. Jangan menggunakan nada seperti itu lagi padaku. Aku bukan lagi anak usia 10 tahun yang dengan mudah diperdaya oleh eomma nya sendiri." Jawab Yunho menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Yah! Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu pada eomma mu sendiri?! Haish~! Tiga tahun tidak kembali ke rumah membuatmu tidak berperasaan seperti ini? Aigo~ rasanya hatiku seperti di sayat-sayat hingga begitu perih dan sesak."

"Eomma, kita tidak sedang melakukan adegan di theater." Yunho menanggapinya dengan dingin, membuat wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya sebal.

"Haish~! Bagaimana bisa pribadimu berubah menjadi semakin keras kepala dan berhati dingin? Eomma dan appa sudah begitu berbaik hati padamu dengan mengizinkan mu mengejar mimpi menjadi seorang fotografer dan membiarkanmu menelantarkan usaha keluarga hingga akhirnya adik perempuanmu –Jung Jihye yang harus meneruskannya. Hingga akhir hayatnya sekalipun, appa mu masih berharap kau mau meneruskan usaha keluarga, meskipun dia akan selalu menghargai semua keputusanmu yang bebal. Kami memaklumi kesibukanmu yang selalu berkeliling dunia dengan 'kekasih' hatimu yang berwarna hitam yang selalu kau bawa kemanapun itu hingga kau lupa perasaan rindu akan rumah. Bahkan, setelah kau kembali ke Korea seminggu yang lalu, kau bukannya langsung pulang ke rumah tapi kau malah pergi ke Jeonju dan menetap selama dua bulan disana untuk melakukan pekerjaanmu. Lalu sekarang? Tsk~ kau bahkan tidak bisa mengabulkan satu permintaan eomma yang sederhana ini." Wanita paruh baya itu beringsut sebal. Ia melipat kedua tangan di depan dadanya –menunjukkan bahwa ia sedang kesal dan kecewa.

Yunho menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan.

"Eomma.."

"Wae?! Apa kau sekarang merasa simpati pada eomma mu, ohng?"

"Bukan begitu, tapi –"

" –molla! Eomma tidak akan bicara padamu kalau kau tidak mengatakan 'ya'!" lengking wanita paruh baya itu memotong ucapan anak sulungnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.

Yunho mengerang pelan. Sedikit frustasi dengan sikap eomma nya yang keras kepala. Sekarang ia mengerti, sifat keras kepala yang dimilikinya itu memang diwariskan dari eomma. Lagi-lagi ia hanya menghembuskan nafas sambil membanting tubuhnya di atas kursi meja makan. Kepalanya semakin berdenyut sakit memikirkan perkataan eomma nya tadi. Meskipun terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan dirinya, namun apa yang dikatakan eomma tentang dirinya memang benar.

Selama ini ia begitu egois, ia lebih mementingkan ego daripada keluarganya sendiri. Ia sudah memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang fotografer dan menolak untuk menjadi penerus usaha keluarganya yang bergerak di industri percetakan. Ia bahkan sudah membuat Jihye –adik perempuannya itu mengorbankan mimpinya menjadi pemain theater seperti eomma untuk meneruskan usaha keluarga yang diwariskan oleh appa nya. Tidak cukup sampai disitu, ia juga jarang sekali pulang ke rumah –yang terlama adalah selama tiga tahun terakhir ini. Bukan karena ia dibuang keluarganya, atau karena ia melarikan diri dari rumah. Tentu saja bukan. Percayalah, mereka begitu menyayanginya hingga ia bisa bersikap begitu egois dan bebal.

Selama ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkeliling dunia dan berada di tempat-tempat berbeda yang selalu terasa asing namun menantang baginya untuk mendapatkan banyak pengalaman baru. Setelah ia lulus dari kuliahnya di Chung-Ang University dengan program studi fotografi yang selama ini menjadi passion nya, ia memulai karirnya sebagai fotografer lepas untuk mengabadikan indahnya setiap sudut dunia dalam bentuk seni fotografi. Keunikan dan keindahan dunia yang selalu ia abadikan dalam kameranya membuatnya mendapatkan penghargaan bergengsi fotografi terbaik dalam kategori 'Landscape' 4 tahun lalu –yang membuatnya kini menjadi fotografer yang dipandang dunia.

"Pagi yang indah, hum?"

Yunho mendongakan kepala ketika suara seseorang menyadarkan lamunannya. Manik mata coklatnya menatap Jihye yang duduk di sebrang kursinya sambil meletakan segelas teh herbal hangat di atas meja makan lalu mengambil selembar roti tawar lalu mengolesinya dengan selai strawberry. Yunho tersenyum tipis ketika melihat adik perempuannya sudah tumbuh menjadi wanita yang terlihat begitu cantik dan dewasa.

"Bagaimana kabarmu, Jihye yah?"

"Baik~ setidaknya, lebih baik darimu karena eomma jarang mengomeliku." Jawab Jihye terdengar seperti meledek kakak laki-lakinya.

Yunho mengerang pelan. "Baiklah, sepertinya aku sangat dibenci di rumah ini."

"Oppa~ bagaimana bisa kau berkata seperti itu ketika kami begitu menyayangimu?" tanya Jihye tersenyum menyeringai yang membuat laki-laki bermata coklat itu kini memutar kedua bola matanya.

"I feel pressure here."

"Glad to hear that, oppa~" Jihye terkekeh pelan sambil menggigit roti selai strawberry menikmati sarapan paginya kemudian melanjutkan, " –lagipula, apa yang dikatakan eomma ada benarnya juga. Memang sudah saatnya kau menikah oppa~ kau sudah tua."

"Hey –! Umur 27 tahun belum lah tua." Bela Yunho tidak terima dirinya dikatakan tua.

Jihye memutar kedua bola matanya ketika mendengar pembelaan Yunho. "Setidaknya, di umurmu yang sudah matang dan mapan, kau memiliki pasangan untuk kau jadikan pedamping hidup. Percayalah oppa, 'kekasih' mu yang berwarna hitam yang selalu kau bawa kemana pun itu tidak akan bisa memberikan eomma seorang cucu."

"Ha-ha-ha.. lucu sekali." Yunho tertawa datar ketika mendengarnya.

"Umur eomma sudah lebih dari setengah abad. Sangat wajar kalau dia ingin memiliki seorang cucu."

"Lalu, kenapa tidak kau saja yang menikah?" tanya Yunho membalikkan keadaan. Jihye menatap tajam kakak laki-lakinya.

"Haish~ apa oppa tidak mengerti situasinya, ohng?" tanya Jihye sedikit frustasi. Yunho hanya mengangkat kedua bahunya tidak peduli.

"Eomma merasa kesepian setelah meninggalnya appa lima tahun yang lalu. Dia semakin merasa kesepian ketika kau selalu berkeliling dunia dan aku yang mulai bekerja di percetakan, membuat rumah terasa sangat sepi dan lengang. Dia ingin sekali suatu saat jika kau menikah, istrimu akan tinggal disini untuk menemani eomma ketika kau begitu sibuk dengan pekerjaanmu. Memang tidak mudah untuk menjadi fotografer terkenal seperti yang sudah kau raih saat ini –dan tentu saja kau sudah membuat kami bangga atas prestasimu itu. Eomma selalu bahagia jika kedua anaknya bahagia, tapi setidaknya.. kau harus bisa mengerti dengan perasaan eomma."

Perkataan Jihye membuat Yunho terdiam karenanya. Ia memikirkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang diucapkan adik perempuannya itu, lalu mencernanya sedikit demi sedikit di dalam kepala. Manik mata coklatnya menatap mata coklat Jihye. Mata coklat yang sama seperti yang dimiliki eomma dan juga dirinya, membuat Jihye terlihat begitu mirip dengan eomma mereka. Kini ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa dua wanita yang sangat disayanginya itu kini terkesan menyalahkan dan menyudutkannya meskipun apapun yang dikatakan keduanya memang (selalu) benar.

Selama ini ia sudah bersikap begitu egois dan bebal. Apa begitu sulit jika ia mengabulkan satu saja permintaan eomma nya?

Suara decakan pelan bisa terdengar dari bibir penuhnya. Ia menggeleng pelan melihat sikap dewasa Jihye. "Baiklah~ kalian menang." Jawab Yunho menyerah yang membuat Jihye terkekeh karenanya, " –aku akan memikirkannya."

"Ouh~ kau tidak perlu memikirkannya. Kau hanya perlu menyetujuinya dan suatu saat nanti, kau akan berterimakasih pada eomma. Dia sangat luar biasa untuk menjadi pendamping hidupmu!" Jawab Jihye terdengar begitu antusias dan yakin. Yunho mengerutkan keningnya samar.

"Jinjja? Apa kau pernah bertemu dengannya?" tanya Yunho mulai penasaran dengan seseorang yang ingin dijodohkan eomma nya. Jihye tersenyum lebar.

"Percayalah padaku, kau akan menyukainya." Jawab Jihye memberikan informasi seminim mungkin untuk membuat kakak laki-lakinya semakin penasaran, " –aku berangkat dulu oppa~ ada deadline yang harus dikerjakan hari ini~ ja~" lanjut Jihye sambil bangkit berdiri lalu mendekati kursi Yunho dan mencium pipi kanannya.

"Jihye~ yah! Haish~" Yunho menggerutu pelan ketika Jihye tidak menanggapi panggilannya dan melangkahkan kaki keluar rumah dengan diiringi suara tawa yang renyah.

Lagi-lagi Yunho menghembuskan nafasnya perlahan. Manik mata coklatnya bergerak menatap pintu kamar eomma yang tertutup rapat. Banyak hal yang berputar-putar di dalam kepalanya. Sedikit ragu dan bimbang dengan keputusan yang harus ia ambil. Ia sudah berumur 27 tahun –umur yang matang dan dengan karirnya yang sekarang, ia yakin ia sudah cukup mapan untuk menikah. Seharusnya memang seperti itu, tapi, apa ia yakin bisa menikahi seseorang yang tidak ia kenal? Lagipula, selama ini kata 'menikah' belum pernah terlintas di dalam benaknya sekalipun.

Laki-laki itu bangkit berdiri dari kursi yang didudukinya kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya untuk kembali berpikir.

Sungguh, ini sangat memusingkan.

~.~.~.~.~

Mungkin ia sudah sedikit gila, mungkin memang gila –atau mungkin tidak. Tiga hari berada di rumah, membuatnya begitu lelah secara mental dan nyaris kehilangan akal sehatnya.

Di hari pertama, ia nyaris terkena serangan jantung ringan ketika mendengar bahwa eomma akan menjodohkan dirinya dengan seseorang. Lalu, di hari kedua, setelah seharian kemarin eomma mendiaminya, ia dibuat kewalahan dengan wanita paruh baya yang meloncat-loncat kegirangan ketika ia mengatakan bahwa ia akan menyetujui permintaan eomma nya dengan persyaratan tertentu. Oh sungguh, hari kedua adalah hari yang sangat melelahkan baginya ketika apapun persyaratan yang ia ajukan, selalu dianggap seperti angin lalu karena eomma dan juga Jihye terlalu antusias bahkan begitu cerewet ketika menceritakan tentang calon pendamping hidup yang –menurut mereka akan sempurna untuknya. Seolah tidak memberikannya kesempatan untuk dapat menolak.

Well, eomma dan Jihye mengatakan kalau calon pendampingnya itu sangatlah cantik. Begitu cantik hingga membuat eomma begitu menginginkannya –atau bahkan terdengar sedikit terobsesi untuk menjadikannya sebagai menantu. Ia belum pernah melihatnya atau sekedar melihat fotonya. Mereka bilang, itu akan menjadi sebuah kejutan untuknya nanti karena akan terasa lebih berkesan jika ia bertemu dengannya langsung. Yunho hanya memutar kedua bola matanya melihat dua wanita yang terlihat semakin tidak masuk akal. Lagipula, menurutnya cantik itu relatif. Mereka juga bilang, calon pendampingnya itu sangat pintar memasak. Eomma bahkan begitu tergila-gila dengan masakannya. Baiklah, itu bisa menjadi poin lebih untuknya nanti mengingat ia tidak bisa memasak.

Cerita eomma sedikit berlebihan –menurutnya– ketika eomma mengatakan padanya bahwa calon pendampingnya itu memiliki hati seperti malaikat, bersuara dan bertutur kata lembut, sangat perhatian, dan memiliki senyum manis yang selalu mengembang di bibirnya –dan segala pujian lain yang dilontarkan dua wanita itu untuk membuat Yunho menyukainya.

Yunho hanya bisa terdiam pasrah ketika mendengarnya dan memberikan sedikit komentar pada keduanya untuk tidak berlebihan. Namun jitakan mentah yang ia dapatkan ketika ia berkomentar, jadi sekarang ia lebih memilih untuk diam.

Dari sekian banyak cerita yang diceritakan keduanya, hanya satu hal yang membuat Yunho mulai sedikit tertarik pada calon pendampingnya itu, ketika Jihye mengatakan bahwa calon pendampingnya juga menyukai seni fotografi.

Setidaknya, mereka cukup berhasil membuat Yunho penasaran dengan calon pendampingnya itu.

Lalu, di hari ketiga, ketika ia akan kembali ke Kota Jeonju, ia dipaksa untuk menetap dan kembali tinggal di rumah. Jika ia akan melakukan pemotretan di kota kecil itu, ia harus melakukan perjalanan selama dua jam dari Seoul, lalu kembali setelah selesai dengan pekerjaannya. Eomma ingin ia dan calon pendampingnya itu bertemu dan mencoba untuk saling memahami satu sama lain.

Sungguh, itu akan sangat melelahkan jika ia harus melakukan perjalanan Seoul-Jeonju-Seoul setiap harinya.

Ketika Yunho ingin menolak permintaan eomma nya yang semakin aneh itu, ia teringat perkataan Jihye tentang eomma yang selalu merasa kesepian. Ada perasaan bersalah yang perlahan mulai menggerogoti hingga membuatnya kini begitu lemah ketika dihadapkan pada situasi dimana eomma yang memohon padanya dengan tatapan penuh harap. Mungkin ini alasan mengapa eomma memintanya untuk menetap di rumah, karena eomma tidak ingin merasa kesepian lagi.

Jung Yunho adalah anak sulung dari keluarga Jung, seharusnya ia yang menjadi kepala keluarga ketika appa nya meninggalkan dunia ini lima tahun yang lalu. Pernyataan itu sungguh membuat dirinya merasa sangat tersindir. Baiklah, ia menyerah. Sekarang ia akan bertanggung jawab dengan perannya itu dan mengesampingkan ego yang selama ini menjadi prinsipnya.

Dan sekarang –ia berada di tengah dinginnya malam di stasiun tua di Kota Jeonju –menunggu kedatangan kereta malam menuju Seoul yang –entah mengapa selalu saja terlambat.

Ia menenggelamkan sebagian wajah di balik syal hitam yang selalu melingkar di lehernya. Beruntung kali ini ia membawa sarung tangan, jadi setidaknya, jari-jari tangannya tidak lagi kaku karena membeku.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Ia mengambil ponsel hitam itu dari saku jaket tebalnya kemudian menjawab panggilannya.

"Yoboseyo?"

"Yunho yah~"

"Ne, eomma~ waeyo?"

"Kenapa kau belum juga pulang, hm?" tanya wanita paruh baya itu dengan nada suara yang terdengar begitu rendah. Yunho hanya menghembuskan nafasnya seolah mengerti.

"Eomma~ bukankah kita sudah sepakat? Karena banyak pekerjaanku yang tidak bisa ditunda, aku akan pulang setelah lewat dari jam 9 malam dengan menggunakan kereta terakhir –dan eomma sudah menyetujuinya." Jawab Yunho sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut stasiun. Seperti kemarin, suasananya tetap terlihat begitu sepi.

"Yah! Apa kau tidak membaca pesan eomma, ohng? Bukankah eomma sudah bilang kalau tunanganmu tiba-tiba datang berkunjung ke rumah dan memasakkan makan malam untuk kita?"

Yunho menjauhkan ponsel dari telinga kanannya ketika lengkingan itu membuat telinganya berdengung bising.

"Kita belum bertunangan eomma." Jawab Yunho kembali berbicara dengan eomma nya di telepon, " –bukankah aku sudah membalas pesanmu? Aku bilang tidak perlu merepotkannya. Lagipula, aku memang akan pulang malam seperti persyaratan yang kuajukan."

"Tapi... tapi... bagaimana bisa aku menyuruhnya pulang ketika dia tiba-tiba datang membawa dua keresek berisi bahan makanan dan tersenyum begitu manis menanyakan bagaimana kabarku?" tanya eomma terdengar sedikit merengek, " –aku yakin, dia sengaja datang untuk bertemu denganmu ketika kemarin aku mengatakan pada keluarganya bahwa kau setuju dengan perjodohan ini."

Ucapan eomma membuat Yunho terbatuk karenanya. Ia tersedak ludahnya sendiri ketika kabar ia menyetujui perjodohan itu sudah tiba di telinga keluarga calon pendamping hidupnya. Haish, sepertinya eomma memang menganggap persyaratan yang diajukan olehnya seperti angin lalu. Ia mengajukan berbagai persyaratan ketika ia menyetujui permintaan eomma nya, dan salah satunya adalah tidak memberitahu dulu keluarga calon pendampingnya ketika ia sendiri masih belum begitu yakin dengan keputusannya.

"Eomma! Jadi kau sudah memberitahu mereka?"

"Tentu saja~ kabar bahagia harus secepatnya disebarkan~"

"Haish~" Yunho menggerutu frustasi. Ia mengacak rambut coklat tuanya dengan asal-asalan. Ia sudah terjebak dalam situasi yang sekarang mengurungnya. Ia yakin, eomma sengaja melakukannya agar ia benar-benar menyetujui perjodohan ini.

Ia mulai menatap liar setiap sudut stasiun ketika rasa panik mulai menyelimutinya. Kalau saja bisa dan kalau saja ia tidak begitu peduli dengan perasaan eomma dan Jihye, bisa saja ia kembali melakukan perjalanan keliling dunia selama bertahun-tahun lamanya. Tapi, tentu saja ia tidak sampai tega hati melakukan itu pada mereka ketika situasinya sudah seperti ini.

Kedua matanya masih menyapu setiap sudut peron stasiun karena rasa panik yang semakin menyelimutinya, hingga tiba-tiba saja, manik mata coklatnya menangkap sosok seseorang yang duduk di sebrang peron nya –peron yang selama ini selalu terlihat kosong.

Yunho menatapnya tanpa berkedip. Memperhatikan orang itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya yang hitam legam terlihat begitu kontras dengan kulit putih dan syal putih yang melilit di lehernya. Kedua matanya terlihat begitu besar dan berbinar ketika ia menatap gelapnya gerbong menunggu kereta tiba. Yunho hanya bisa terdiam ketika melihat sorot mata itu. Sorot mata yang begitu menyita perhatiannya. Ada sesuatu yang menarik darinya hingga Yunho merasa ditarik oleh medan magnet ketika ia menatap mata hitam yang perlahan kini bergerak hampir menatap matanya.

Suara gaungan kereta yang baru tiba dengan diiringi deritan rem di atas rel membuat Yunho tidak bisa mendengar apa yang diucapkan eomma di sebrang telepon. Kereta yang bergerak cepat, tiba-tiba saja menghalangi pandangannya ketika sepasang mata besar itu hampir menatap ke arahnya. Yunho bergumam kecewa lalu buru-buru berdiri di belakang garis kuning dan menunggu kereta itu berhenti untuk melihat orang yang duduk di sebrang peronnya dengan tidak sabar.

"Yoboseyo? Apa kau mendengarku, Yunho yah?"

"Ne, eomma." Jawab Yunho dengan tatapan tetap terfokus pada kereta yang perlahan mulai bergerak lambat dihadapannya. Ia sendiri bahkan tidak begitu yakin dengan apa yang tadi dikatakan eomma padanya.

"Kalau lain kali dia datang lagi ke rumah, aku harap kau bisa langsung pulang dan bertemu dengannya, ne?"

"Apa dia masih menungguku?" tanya Yunho harap-harap cemas tanpa menjawab pertanyaan eomma nya. Ia langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam kereta ketika pintu kereta secara otomatis terbuka. Ia memposisikan posisi duduknya di sisi kiri untuk melihat orang berambut hitam yang entah mengapa sangat membuatnya begitu penasaran.

Ini aneh.

"Ani, dia sudah pulang sejak tiga jam yang lalu ketika aku mengatakan padanya, bahwa kau masih di Jeonju. Dia bilang padaku dia tidak ingin mengganggu pekerjaanmu dan membuatmu merasa dipaksa pulang ketika dirinya berada disini. Haish~ kau sungguh beruntung memilikinya."

"Hhm~" Yunho hanya bergumam pelan. Kedua matanya masih memperhatikan orang berambut hitam itu, " –baiklah. Aku segera pulang, aku sudah berada di dalam kereta. Eomma tidak perlu khawatir, ne?" lanjut Yunho cepat kemudian langsung menutup sambungan teleponnya.

Manik mata coklatnya menatap orang berambut hitam yang masih duduk di kursi tunggu dengan kepala yang kini tertunduk sambil menatap sebuah ponsel putih yang berada di dalam genggaman tangannya. Tangan putihnya terlihat begitu putih pucat karena orang itu tidak mengenakan sarung tangan, membuat hati Yunho tergerak ingin memberikan sarung tangan yang sedang di pakai padanya. Ia pernah mengalami rasa dingin itu –dan percayalah, ia sampai lupa bagaimana rasanya memiliki jari-jari tangan.

Desiran lembut terasa begitu menggelitik dadanya ketika orang berambut hitam itu mendongakan kepala. Desiran lembut di dalam dadanya semakin terasa ketika Yunho melihat wajah orang itu dari jarak yang cukup dekat di dalam kereta. Ekspresi wajahnya yang terlihat sendu namun begitu mempesona dalam satu waktu membuat Yunho begitu tertarik padanya. Belum pernah ia melihat ekspresi seseorang yang seperti itu. Tatapan kedua mata hitamnya terlihat begitu kosong, namun ia bisa merasakan adanya sebuah pengharapan dari tatapan kosong itu.

Orang itu seperti mengharapkan sesuatu. Sesuatu hal yang tidak bisa Yunho tebak dan terka hingga membuatnya menunjukkan ekspresi wajah seperti itu. Tanpa disadari dan tanpa bisa dicegah, perasaan ingin tahu itu perlahan mulai menggerogoti Yunho.

Tiba-tiba saja orang itu berdiri dari bangkunya. Ia mulai berjalan perlahan meninggalkan peron dengan kepala menunduk. Manik mata Yunho terus mengekori setiap langkah kakinya ketika kereta yang ditumpangi mulai berjalan meninggalkan stasiun dan juga laki-laki misterius yang entah mengapa sangat membuat laki-laki bermata coklat itu begitu tertarik padanya.

~.~.~.~.~.~

Yunho memposisikan kamera di depan mata kirinya dan melihat keseluruhan ruang dari viewfinder kemudian menekan tombol shutter hingga terdengar bunyi 'click' –menandakan objek yang masuk ke dalam lensanya sudah terekam di dalam memori kamera. Ia menjauhkan kameranya untuk melihat hasil foto yang berhasil ia ambil di layar LCD. Mata coklatnya memperhatikan setiap detail objek, posisi, pencahayaan, dan komposisinya. Semuanya sudah seperti yang ia inginkan, namun ia sedikit kurang puas dengan 'feel' yang ada di dalam fotonya.

Ia mencoba menambah ukuran ISO, memperkecil ukuran diafragma, lalu memperbesar ukuran rana untuk mendapatkan objek yang masuk ke dalam lensanya semakin meluas dan terfokus. Ia mencoba kembali mengambil gambar objek suasana pasar tradisional dengan latar kuil tua yang tertutupi putihnya salju sebagai background.

'SNAP!'

Yunho berhasil mengambil objek gambar kemudian melihat hasil foto itu dari LCD kamera Canon miliknya. Ibu jari tangannya menekan tombol zoom untuk memastikan setiap objek yang tertangkap kameranya terfokus dan tidak blur. Ia tersenyum ketika detail komposisinya sudah sesuai dengan apa yang ia inginkan dan 'feel' yang diharapkan sudah sesuai dengan seleranya. Namun senyumnya perlahan menghilang bahkan keningnya sampai berkerut samar ketika tatapan mata coklatnya menangkap sebuah objek yang begitu menyita perhatian. Ia menekan tombol zoom hingga kelipatan 16x dan menatap Si Objek tanpa berkedip.

Terkejut. Ia mendongakan kepala untuk melihat seseorang yang tidak sengaja tertangkap di dalam lensa kameranya. Kakinya sampai berjinjit-jinjit di keramaian pasar untuk melihat pedagang buah yang berjarak sekitar 10m dari tempatnya berpijak. Ia tersenyum tipis ketika melihat Si Objek masih berada disana. Ia bisa melihat orang itu mengambil sekotak strawberry dan menunjukkannya pada ahjumma yang menjual –mungkin menanyakan harga.

Tanpa sadar, Yunho mengangkat kameranya. Ia memutar lensa kamera hingga jarak pandangnya semakin mengecil dan terfokus pada orang itu. Tombol shutter ia tekan ketika sebuah senyuman melengkung di wajah cantiknya.

'SNAP!'

Yunho menjauhkan kamera dari depan wajahnya dan melihat hasil foto itu melalui LCD kamera. Ia tersenyum menyeringai ketika foto yang berhasil ia ambil terlihat sempurna. Ia bisa mengatakannya sempurna ketika eskpresi wajah yang terekam itu terlihat begitu cantik dan natural seperti standar seleranya selama ini.

Sungguh cantik.

Ia mendongakan kepalanya untuk melihat orang yang tiba-tiba saja merebut perhatian lensanya. Namun senyum yang sedari tadi mengembang di bibirnya terlihat menghilang seiring orang yang dicari juga menghilang dari pandangannya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berusaha untuk mencari Si Objek, namun pencariannya terhenti ketika ponsel di dalam saku jaket tebalnya berdering tidak sabar. Ia buru-buru mengambil ponsel itu lalu menjawab panggilannya.

"Yoboseyo?"

"Yunho yah~~ apa kau bisa pulang sekarang?"

"Eomma~ aku baru tiba di sini satu jam yang lalu. Bagaimana bisa kau menyuruhku untuk kembali ke Seoul sekarang?"

"Haish~ eomma tahu kau baru tiba disana. Tapi sepertinya dia akan datang berkunjung ke rumah, karena baru saja dia menelpon eomma."

"Eomma~ aku mengerti kau ingin mempertemukanku dengannya sesegera mungkin. Tapi sepertinya dengan pekerjaanku yang seperti ini, rasanya akan sedikit sulit untuk bertemu dengannya dalam waktu dekat." Jawab Yunho beralasan. Ia tidak ingin waktu dua bulannya terbuang begitu saja hanya untuk melakukan perjalanan Seoul-Joenju-Seoul berkali-kali hanya untuk bertemu dengan calon pendamping hidupnya yang bahkan ia sendiri masih belum yakin dengan keputusannya itu. Masih ada project yang lebih penting yang harus ia selesaikan.

"Yah~ bagaimana bisa kau tidak pernah menemui tunanganmu jika kau begitu mementingkan pekerjaanmu?"

"Eomma~ bukankah kita sudah membahasnya? Haish~ sepertinya kita harus melakukan perjanjian hitam di atas putih?" nada suara Yunho mulai terdengar jengkel.

"Tapi setidaknya, kau menunjukkan sedikit saja rasa antusias dengan perjodohan ini dan bertemu dengannya."

"Nanti malam akan kubuatkan lembar perjanjiannya." Yunho menanggapinya dengan dingin.

"Ish~ arasseo, aku mengerti. Dasar, sifat keras kepalamu itu tidak pernah berubah bahkan lebih keras dari sebelumnya."

Yunho memutar kedua bola matanya ketika ia mendengar gerutuan eomma. Apa perlu ia mengucapkan terimakasih dengan sifat keras kepala yang diwariskan eomma nya itu, eh?

"Baiklah. Sesuai perjanjian kita. Eomma jangan memintaku untuk melakukan hal yang akan memperlambat selesainya pekerjaanku. Aku akan cepat menyelesaikan project ku disini, jadi aku bisa bertemu dan melakukan kencan dengannya lebih cepat. Lalu setelah itu, kami akan memutuskan apakah kami cocok atau tidak untuk meneruskan ke langkah yang lebih serius. Bagaimana? Bukankah eomma sudah setuju dengan ini?"

"Baiklah~baiklah~ kau menang. Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu lagi. Lagipula, lebih cepat, lebih baik. Jadi, sebaiknya kau bersungguh-sungguh untuk menyelesaikannya lebih cepat dan serius untuk menikahinya, aracchi?"

"Saranghae eomma~"

"Kalau kau ada maunya, kau benar-benar bisa bersikap manis, ohng?"

Yunho berdecak ketika mendengar gerutuan pelan dari eomma nya. Lalu setelahnya, ia bisa mendengar kalimat eomma yang menyuruhnya untuk tetap menjaga kesehatan, tidak melewatkan jam makan, dan jangan sampai terserang flu di musim dingin ini sebelum akhirnya eomma memutuskan sambungan telepon untuk memberikan ruang dan waktu agar Yunho dapat menyelesaikan pekerjaannya.

Well, setidaknya sekarang ia bisa bekerja dengan tenang tanpa ada gangguan dari eomma yang begitu antusias dengan perjodohan ini.

Hm~ ia harap.

~.~.~.~.~.~

Mungkin selama ini ia tidak pernah percaya dengan yang namanya suatu kebetulan –atau apapun itu yang bentuknya seperti ketidaksengajaan. Sudah hampir seminggu ini, setiap kali lensa kameranya mengambil objek, orang yang ia lihat di stasiun dan juga pasar tradisional itu selalu tertangkap dan terperangkap oleh lensanya. Entah memang secara tidak disengaja, hanya kebetulan, atau entah viewfinder kameranya yang memang selalu berusaha mencari-cari sosok itu.

Suatu kebetulan yang terjadi secara terus menerus, sebenarnya sedikit tidak masuk akal dalam logika Yunho. Setiap hari ia selalu bertemu dengannya di stasiun saat ia menunggu kedatangan kereta terakhir menuju Seoul –yang memang selalu terlambat dua menit itu. Manik mata coklatnya selalu melihat orang itu duduk di sebrang peron nya. Orang itu hanya duduk diam sambil memandangi ponsel putih yang digenggamnya, lalu sesekali menatap gelapnya gerbong kereta seperti menanti sesuatu, kemudian pergi meninggalkan stasiun begitu saja seiring dengan berangkatnya kereta terakhir menuju Seoul.

Ada sesuatu hal yang membuat Yunho begitu penasaran dan tertarik padanya. Wajahnya yang cantik dengan kulit putih dan mata besarnya yang hitam, tentu menjadi daya tarik utamanya. Namun, bukan itu yang membuat Yunho begitu tertarik padanya. Tatapan matanya yang kosong namun penuh harap dan ekspresi sendu sekaligus mempesona itu lah yang justru membuat Yunho tertarik padanya.

Ia yakin, orang itu terlihat begitu bahagia saat lensa kameranya tidak sengaja mengabadikan ekspresi candid wajahnya ketika sedang tersenyum malu-malu, tertawa lepas, terkejut, melamun, bahkan ketika ia mengerucutkan bibirnya yang terlihat begitu manis dan menggemaskan di mata Yunho. Namun entah mengapa, setiap kali ia melihatnya di stasiun, ekspresi wajah orang itu begitu sendu –ekspresi yang begitu bertolak belakang dengan ekspresi yang ia lihat di luar stasiun.

Mungkin ini akan terdengar aneh, atau mungkin gila –atau mungkin juga tidak. Tapi sepertinya ini memang terdengar gila ketika Yunho menyadari bahwa ratusan foto yang ada di dalam kameranya ternyata berisi orang itu sebagai objek utamanya.

Well, katakan saja secara kebetulan, ia selalu mengikuti kemanapun orang itu pergi ketika secara kebetulan juga, ia menemukannya di setiap sudut kota Joenju. Kota ini sungguh terlalu kecil dengan penghuni berjumlah kurang lebih 600 orang, sehingga ia selalu bertemu dengannya kemanapun ia pergi. Sekarang semuanya terdengar wajar dan logis ketika orang itu selalu tertangkap dan terperangkap di dalam lensa kameranya. Walau pada kenyataannya, orang itu memang menjadi objek yang selalu dicari viewfinder nya.

Yunho menatap jam yang tergantung di salah satu pilar. Seperti biasanya, kereta terakhir menuju Seoul selalu datang terlambat dua menit. Namun kini ia tidak begitu mempedulikannya ketika ia sudah terbiasa dengan keterlambatan itu.

Ia melipat kedua tangan di depan dada kemudian menunggu kedatangannya. Manik mata coklatnya menatap bangku besi yang ada di sebrang peronnya. Dari posisi dan jarak yang seperti ini, seharusnya ia akan 'terlihat' di matanya. Namun entah mengapa tatapan mata orang itu tidak pernah bertemu dengan tatapan mata coklatnya. Sepasang mata hitam itu selalu menatap ponsel yang digenggamnya atau menatap gelapnya gerbong kereta. Mungkin jika orang itu menyadari 'kehadirannya' selama ini, mereka bisa saling kenal dan berteman.

Uhm well, Yunho berharap seperti itu.

Suara langkah kaki seseorang membuat Yunho menolehkan kepalanya ke samping kiri. Ia melihat orang yang ditunggunya berjalan mendekati bangku yang sedang ia duduki. Debaran jantung Yunho terasa berdetak sedikit lebih cepat dari kecepatan normal ketika langkah orang itu semakin mendekatinya. Kedua tangannya yang kedinginan sekalipun, mulai terasa berkeringat. Mungkin memang karena sarung tangan yang ia kenakan –atau mungkin bukan. Tapi sungguh, ia merasakan tangannya terasa dingin namun berkeringat dalam satu waktu.

Ini semakin aneh.

"Eh?"

"Ne?" secara spontan Yunho merespon ketika orang itu terlihat terkejut melihat dirinya duduk di bangku yang selalu ia duduki. Kepalanya yang sedari tadi menunduk menatap ponsel putih, membuatnya tidak menyadari kehadiran Yunho di bangku 'nya'.

"Maaf mengejutkanmu, kukira tidak ada orang." Suara lembut itu perlahan mengalun melodis di kedua telinga Yunho. Suara melodis dengan perpaduan wajah yang cantik membuatnya terlihat begitu sempurna dan memikat. Membuat Yunho merasa nyaman ketika mendengarnya, hingga rasanya ia ingin mendengar suara itu lagi dan lagi.

"Ti –tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah duduk di tempat 'mu'." Jawab Yunho cepat. Bahkan terlalu cepat hingga ia merasa seperti orang bodoh sekarang.

Kening orang itu terlihat berkerut samar ketika mendengar ucapan Yunho, lalu setelahnya ia tertawa pelan. Suara tawa yang terdengar begitu lepas dan renyah di kedua telinga Yunho.

Hhm~

"Kenapa kau meminta maaf? Lagipula, ini tempat umum. Kau bisa duduk dimana pun yang kau inginkan. Bangku itu bukan milikku."

Sekarang Yunho mengerti mengapa ia merasa seperti orang bodoh.

"Ah ya –tentu saja. Maksudku, aku sering memperhatikanmu duduk di bangku ini. Jadi kupikir, ini adalah tempat 'mu'."

Kini Yunho berharap ia berhenti berucap sebelum ia membuat dirinya semakin terlihat seperti orang bodoh.

"Kau sering memperhatikanku?" tanya orang itu terdengar terkejut. Namun tak bisa dipungkiri ada rasa antusias dari nada suaranya. Hanya saja, Yunho terlalu terpaku pada sosok yang berdiri di sampingnya hingga laki-laki bermata coklat itu tidak menyadarinya.

Wajah Yunho tiba-tiba saja terasa menghangat. Ia yakin kalau sekarang wajahnya sudah sangat terlihat memerah. Beruntung syal hitam yang melilit di leher dapat menyembunyikan sebagian wajahnya.

"Well... secara tidak sengaja, aku selalu memperhatikanmu. Kau selalu duduk di sini –tepat di sebrang peron dimana aku menunggu kedatangan kereta terakhir menuju Seoul." Jawab Yunho beralasan –berusaha terdengar logis dan masuk akal untuk menyembunyikan rasa malunya yang tertangkap basah selalu memperhatikannya.

"Ah~ sekarang aku ingat. Kau orang yang selalu duduk di sebrang sana. Kita duduk saling berhadapan, jadi tidak mengherankan kalau tanpa sengaja kau memperhatikanku disini." Ucap orang itu mengerti ketika mengingatnya seraya memperhatikan peron di sebrang sana, " –lalu, apa yang kau lakukan disini?" lanjut orang itu kembali menolehkan kepalanya menatap Yunho.

Yunho terdiam, membisu –atau mungkin membeku ketika sepasang mata hitam yang terlihat kosong namun mempesona itu kini menatapnya dalam jarak yang begitu dekat. Begitu dekat hingga rasanya ia bisa melihat betapa dalamnya mata hitam itu. Seperti blackhole yang terus menariknya untuk semakin tenggelam di dalamnya.

"A –aku menunggu kereta terakhir." Jawab Yunho tergagap dan beralasan. Namun tiba-tiba saja ia bisa mendengar suara tawa yang terdengar begitu lepas dan renyah dari bibir orang itu. Yunho mengerutkan keningnya tidak mengerti mengapa orang itu tertawa hingga sebulir air mata terbendung di sudut matanya yang indah. Sepertinya apa yang dikatakannya sangat lucu walaupun Yunho yakin kalau ia tidak melontarkan lelucon padanya.

"Apa kau tidak tahu?" tanya orang itu berusaha meredakan tawanya. Ia berdehem pelan untuk kembali berucap, " –kereta terakhir di gerbong ini sudah meninggalkan stasiun satu jam yang lalu."

"Eh?" Yunho terkejut. Namun bukan terkejut karena kenyataan bahwa kereta terakhir sudah meninggalkan stasiun. Ia lebih terkejut dengan kenyataan kalau ternyata, orang itu selalu duduk di bangku ini, sendirian, hanya untuk menunggu sesuatu yang sudah pergi meninggalkannya. Tidak mengherankan jika peron-peron di sebrang selalu terlihat sepi dan kosong saat ia duduk di peronnya menunggu kedatangan kereta terakhir menuju Seoul.

Lalu, apa yang orang itu lakukan disini? Jika kesimpulannya benar, maka sesuatu yang orang itu tunggu di peron ini bukanlah kereta. Mungkin, seseorang?

"Kau tidak tahu?" orang itu kembali bertanya setelah melihat ekspresi terkejut Yunho.

"Ani... maksudku –tentu saja aku tahu. Tapi –haish, baiklah. Aku memang tidak tahu." Pikiran Yunho tiba-tiba saja blank. Suara decakan pelan terdengar dari bibir yang tersembunyi di balik syal putih yang melilit leher orang itu. Manik mata coklat Yunho kini memperhatikan orang yang berdiri tidak jauh di samping bangku yang sedang ia duduki.

Penasaran. Jung Yunho semakin penasaran padanya.

"Kalau kau tahu kereta terakhir sudah meninggalkan stasiun sejak satu jam yang lalu, apa yang kau lakukan disini?" mungkin terdengar tidak sopan ketika pertanyaan Yunho begitu personal. Tapi ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Sungguh.

Manik mata hitam orang itu bergerak menatap Yunho yang duduk di bangku peron. Ia hanya terdiam membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara seraya menggerakan matanya menatap gerbong yang gelap.

Lagi-lagi Yunho melihat ekspresi sendu itu –ekspresi sendu namun terlihat begitu mempesona dalam satu waktu. Ia bisa melihatnya, melihat tatapan kosong yang penuh dengan pengharapan.

"Maaf jika pertanyaanku terlalu personal." Yunho menyadari kesalahannya. Ia berdehem pelan sebelum kembali berucap, " –aku akan memperkenalkan diri. Jung Yunho imnida." lanjut Yunho seraya berdiri dari bangku itu lalu mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri.

Manik mata orang itu kembali bergerak menatap tangan Yunho yang terulur. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menyambut uluran tangan kanan Yunho dengan tangan kanannya yang terasa sangat dingin bahkan terasa membeku seperti es. Ia sudah membuka mulutnya untuk memperkenalkan diri.

Suaranya tersamarkan oleh gaungan kereta yang baru tiba dengan diiringi deritan rem di atas rel, membuat Yunho tidak bisa mendengar suara melodis orang itu. Suara deritan rem di atas rel yang berkarat benar-benar bergaung dan bergema hingga rasanya begitu memekakan telinga. Membuat Yunho ingin melempari kereta itu dengan batu.

"Maaf –aku tidak mendengarnya. Suara deritan rel itu sungguh menyamarkan suaramu." Yunho berteriak nyaring ketika suara deritan rem kereta perlahan mulai terdengar samar-samar seiring kereta itu berhenti.

Orang itu tertawa renyah. Ia menutup bibir dengan punggung tangan kirinya yang bebas. Membuat Yunho menyadari satu kebiasaan dari orang itu ketika sedang tertawa.

"Sepertinya kereta tua itu perlu mendapatkan perawatan khusus –atau mungkin menggantinya dengan yang baru." Orang itu mengomentari kereta api tua yang selalu saja terdengar bising di setiap kedatangannya. Namun sekarang Yunho tidak begitu tertarik dengan topik itu meskipun waktu dulu rasanya ia ingin melayangkan opini rakyat pada pemerintah daerah untuk mengganti kereta tua itu dengan yang baru –ketika kini, ia lebih tertarik dengan nama orang yang sedang menggenggam tangannya yang terbungkus rajutan wol tebal dengan tangannya yang terasa begitu dingin. Membuat hati Yunho berdesir-desir berkeinginan untuk menghangatkan tangan yang membeku itu.

"Kim Jaejoong."

Ah~ nama itu seolah bergaung dan terngiang-ngiang di dalam gendang telinga Yunho. Senyum yang tersembunyi di balik syal putih itu seolah tertangkap dan terperangkap di lensa matanya. Kini ia mengetahui nama orang yang selama hampir seminggu itu menjadi objek dalam viewfinder nya.

Kim Jaejoong.

- TBC -

Huanyeoooooong~~~~ xDDDD

Serius ini mah no comment bgt no comment~ cma mau bilang makasih buat dinta aka dee chan-tik aka dintaririn yg mau jd beta reader :3 *huggles* *u dun hv any idea how happy i'm xDD* really thanks for ur beta-ing this absurd ff *smoooch*

dan makasih jg berkat obrolan kita yg semaleman suntuk ampe jam 1 apa jam 2 mlm? xD yang berujung lahirnya plot untuk di bikin ff :D huehehehe~

Dari dulu pengen bgt bikin ff dengan konsep kyk gini, yunho as a potographer dan jaejoong as a misterious man that caught through yun's viewfinder :3 hohoho akhirnya kesampean jg ini dgn plot gabungan~

So no comment~ jadinya silahkan di baca, review, kritik dan saran sangat diharapkan! :)

Thank you~~~

*cough*dun ask me where is shine*cough*