Bagi sebagian orang bercermin adalah hal biasa, kegiatan yang selalu dilakukan setiap orang di setiap pagi, siang ataupun malam. Atau bahkan cermin itu ada di sudut tas jinjingmu, menunggu dalam diam untuk diraih dan memperlihatkan wajah si pemilik. Well, itu tidak untukku, karena aku benci padanya, ya..aku membenci cermin dan terlebih cerminan di dalamnya.
Mirror
Psychological Fiction by Missmomotan
Genre: Angst/Psychology
Chapter 1: Eleanor Royal Witchburn
"Len..lenny.. come down sweet heart.. you are late…"
Suara sayup dari bawah menghentikan pergerakan kecil tangan gadis yang sedang berdiri di sudut kamar kecilnya. Eleanor Royal Witchburn, gadis itu berhenti dari kegiatannya memasukan barang yang akan dibawanya pada hari pertamanya di sekolah hari ini. Ia melihat sekelilingnya, memastikan tak ada yang terlewat, meluruskan baju barunya dan beranjak menuju pintu, menjawab panggilan ibunya yang sibuk di bawah. Sejenak sebelum membuka pintu ia berhenti menoleh lagi ke dalam kamarnya, tersenyum samar.
"Hurry litte lenny..we are late…" dengus kakak perempuannya. Ya, sejak kecil hingga saat ini meski dikaruniai otak yang di atas rata-rata tetap saja kekurangan kecilnya tak bisa pernah hilang, lamban dan selalu terlambat.
"Apa dia tak bisa pergi sendiri? Dia sudah 17 tahun mom dan aku tak perlu selalu jadi pengasuhnya.." gerutu Brigette.
Eleanor menarik nafasnya ingin membalas sindirian kakaknya, sampai suara ibunya menahan perkatannya sampai di giginya saja. "Brii…kamu naik mobil, masa mau adikmu naik bus ke sekolahnya..dan hari ini hari pertamanya" sanggah ibunya, Helena Royal Witchburn. Wanita yang hampir berusia 45 tahun ini akan tetap cantik, tampaknya usia tak akan pernah mengalahkan kecantikannya, tapi sayangnya kecantikan itu tak akan pernah dimiliki Eleanor, atau seperti itu yang selalu ada dipikirannya.
"ya.. ya.. ya… little Lenny always be little Lenny.." gumam Brigette jelas. Eleanor memutarkan matanya malas, nafsu makannya hilang seketika, mungkin lebih baik ia membeli makanannya di sekolah saja.
"I'm stuff.." gumam Eleanor pendek, ia meraih tas ransel merahnya. Brigette menggeser kursinya, mendekati ibunya dan mencium pipinya hangat.
"We go now.." kata Bri tersenyum, Helena balas tersenyum, mengeser bola mata hazelnya ke arah putri bungsunya, mengharap ciuman hangat sama dari little Lenny-nya, tapi yang ia dapat hanya tatapan dingin dan decakan kecil dari putri bungsunya. Helena menghela nafas kecil, ia tak pernah mendapatlam hati putri bungsunya, tak seperti 'orang itu'. Helena bangkit dari kursinya mengawasi kedua putrinya yang berjalan menuju pintu rumahnya.
"Little Lenny, apa kau tak punya cermin di kamarmu? Rambutmu berantakan.." kata Brigette lagi, mata hazelnya mengawasi rambut keunguan tak beraturan milik adiknya, lambang pemberontakan Eleanor.
"I don't have one..and my hair always like this.." jawab Eleanor pendek, melangkahkan kakinya ke arah pintu dan membantingnya tepat di hidung Brigette. Lagi-lagi helaan nafas meluncur halus dari bibir melihat ibunya, tercabik antara kesal dan sedih.
"I go.." kata Brigette sebelum menutup pintu di belakangnya.
#######
"Len.. Can we not do that in front mom? You know she—" Kalimat Brigette terputus saat dengan nada sadis Eleanor memotong ucapannya, "You started.. and clearly I don't know how she feel, I'm not her precious daughter, am I?". Brigette memutar matanya malas, ia dan Helena tak pernah mengerti apa yang terjadi pada Eleanor, seingatnya adiknya tak pernah sedingin ini dulu, ya dulu. Entah sejak kapan Eleanor berubah menjadi dingin, pemberontak dan tak pernah bisa ditebak.
"Aku pulang sendiri..tak perlu menunggu…" kata Eleanor lagi sebagai pengganti ucapan terima kasih untuk kakaknya.
"Mom pasti Tanya kau kemana" balas Brigette.
"Then, karangkan alasan yang baik dengan otak pintar mu itu…" jawab Eleanor sambil lalu. Menyebalkan memang, Ia selalu bertingkah menyebalkan di hadapan keluarganya. Mendelik dan berkata sadis seakan selalu menyalahkan mereka atas kehidupannya yang tidak , semua ini salah mereka, salah kakak yang cantik dan selalu menawan, salah ibunya yang selalu jadi wanita hebat, dan salah 'orang itu' yang pergi meninggalkannya.
"Len.."sapa Emily, gadis tinggi semampai itumenepuk pundak Eleanor pelan. Sedetik kemudian Emily duduk di sebelahnya, tangannya menyisir rambutnya yang berantakan.
"ouch.." ringis Eleanor, rambut yang sedang disisir itu kusut di bagian bawah.
"Sorry.. " Emily menarik tangannya, "that's fine…" jawab Eleanor tersenyum kecil, bukan salahnya kalau rambutnya memang tak akan seindah rambut Spencer atau Allison.
"Bangun kesiangan lagi?"Tanya Emily lagi.
"Yup..as always…tidur ku kurang nyenyak.." kilah Eleanor. Selalu dengan alasan yang sama, saat teman-temannya menanyakan kenapa rambutnya selalu berantakan, kenapa dia tak pernah bisa memakai baju yang rapi, kenapa wajahnya selalu pucat dan tanpa riasan, "They're coming…"kata Eleanor pada Emily lagi. Emily menolehkan wajahnya ke arah yang di tunjuk Eleanor dengan bangkit dari duduknya, tersenyum kecil menyambut dua gadis cantik yang berjalan menuju ini adalah hari pertama sekolah, hari pertama mereka masuk ke jenjang senior.Well 11th grade always be fun!, tapi tidak dan tak akan pernah bagi Eleanor.
"Em..Len…" sapa Spencer. Eleanor meneliti "sahabat"nya, rambut mahogany nya terurai dengan ombak alami, wajah runcing, mata bulat dan polesan make up sederhana, Spencer selalu bisa memadukan gayanerdy but trendy, gaya yang selalu berhasil untuknya. Sedangkan Allison tampil luar biasa hari ini, ya, Allison selalu suka jadi pusat perhatian, dan hari pertama sekolah adalah hari yang cukup baik untuk menarik semua perhatian.
"Ayoo.." kata Allison, menyibakkan rambut pirang panjangnya. Mini dress bermotif bunganya mengembang seiring putaran kaki jenjang , Emily dan Spencer mengikuti Alison, mengamitnya sehingga ia makin mencolok di tengah teman-temannya. Emily dengan gaya manisnya, Spencer yang superior, dan terakhir berdiri agak lebih belakang, Eleanor. Seisi sekolah tak pernah mengerti mengapa Eleanor bisa menjadi salah satu dari gadis popular kurus dengan rambut keunguan acak, wajah pucat tanpa riasan. Banyak gadis cantik lain yang bisa menggantikan posisinya, tapi nyatanya hingga saat ini Eleanor masih berdiri di sana mempertahankan eksistensinya.
"Len… rambut ungumu semakin memudar mungkin kamu perlu ke salon untuk mengecatnya ulang.."Allison berkomentar, Eleanor menaikan alisnya sebelah, "maybe…" jawabnya pendek. Allison tersenyum kecil, Eleanor satu-satunya tak pernah bisa ia kontrol secara langsung, dia bukan Emily yang mudah didominasi atau Spencer yang mudah dimanipulasi. Allison sadar, temannya cukup pandai untuk menggunakan eksistensinya. Ia harus pandai menekan Eleanor untuk terus berada di sisinya, setidaknya jika ia ingin lulus dengan nilai yang menurutnya baik.
####
Kelas hari ini dimulai dengan kasak-kusuk penjuru kelas, menceritakan liburan musim panas mereka, dengan pacar dengan keluarga. Allison dan Spencer asik berdebat seru tentang koleksi designer mana yang lebih baik musim ini, Michael Kors atau Valentino. Emily tersenyum kecil mendengar pembicaraan mereka, mata coklatnya terpaku pada setiap gerakan Allison, dengan tatapan memuja. Sedangkan Eleanor duduk manis di kursinya, menatap layar Phonepabletnya, menekan asal tanpa tahu jelas apa yang ia cari, sejenak lampu phonepabletnya mati menampilkan cerminan wajahnya di sana. Mata sekelam malam, rambut ungu acak, wajah runcing, wajah yang mengingatkannya pada 'orang itu', wajah yang menghancurkan semua kenangan indah dan manisnya.
"bruk.." serentak ketiga temannya menoleh ke arahnya, menatap bingung.
"Len…" kata Emily
"Where are you going?"tambah Spencer, tapi jawaban belum juga keluar dari bibir pucat Eleanor. Eleanor bangkit dari kursinya, bersiap pergi dari kelas yang bahkan belum dimulai., "Len! You shouldn't go anywhere" kali ini Allison yang mencegah kepergiannya.
"no worries, I know all the subject even before we start the class.. you still gonna graduate besties.." desis Eleanor, menekan kata terakhirnya agar Allison tau ia tak ingin diganggu saat ini. Allison mundur selangkah, memberikan jalan bagi Eleanor, bukan waktu yang baik untuk melawan teman kecilnya saat ini.
Eleanor menggerakan kaki kurusnya dengan cepat, menahan rasa sesak di dadanya. Kakinya mengarahkannya ke tempat paling sepi di sekolahnya, gedung belakang yang kabarnya angker. Tapi ia tak peduli, mungkin saat ini hantulah yang harus takut dengan mata onyx yang bisa membunuh siapapun yang menatapnya saat ini. Tas ranselnya terlempar saat ia tiba di rerumputan, merogoh tasnya dan mengambil lintingan dan menyulutnya pelan.
"God..I hate mirror…" bisiknya sambil menidurkan tubuhnya di rerumputan. Matanya menatap langit dan membiarkan tetesan bening membasahi pipinya.
#####
Sepasang mata biru sapphire mengawasi gadis yang kini menangis dalam diam sambil menyesap rokoknya. Rencana pemuda itu untuk tidur tenang di hari pertamanya masuk ke sekolah barunya hancur saat melihat gadis berambut keunguan itu datang dekat tempatnya berbaring. Hanya dipisahkan oleh semak tak beraturan, tampaknya gadis itu tak menyadari kehadirannya di sana, gadis itu hanya sibuk menyalakan rokoknya-yang ia yakini bukan rokok biasa-dan tidur telentang di atas rumput. Matanya terpaku melihat gerak gerik gadis itu, sedikit penasaran mengganggunya saat aliran bening terpantul cahaya matahari turun di pipi pucat si gadis. Ia bukan tipe pria yang suka mengusap air mata di pipi wanita tapi entah kenapa saat ini tanggannya gatal untuk melakukannya.
"ya… ok we meet at lunch.." suara Eleanor terdengar parau. Ia kembali merogoh tasnya, mengeluarkan botol parfume dan tissue basah untuk menghilangkan bau rokok yang mungkin melekat di tubuhnya, tak boleh ada yang tau apa yang ia lakukan di masa-masa hilangnya. Tanpa sadar bahwa kenyataannya sepasang mata sapphire yang sejak tadi mengawasinya, tak pernah berhenti untuk memandangnya.
"who are you sad princess?" gumam pemuda itu dalam hati, sambil mengawasi punggung kurus itu semakin mejauh ke arah sekolah.
####
Eleanor duduk di kursi kantin favorit Allison, tak perlu menebak terlalu banyak dimana letak kursi itu, dengan kepribadian Allison, ia akan memilih kursi yang berada di tengah kantin, agar semua orang yang masuk bisa melihat rambut pirang panjang dan tubuh idealnya duduk di sana.
"so how's the class?" tanya Eleanor pada ketiga temannya yang baru saja duduk.
"not bad actually…" Spencer yang pertama kali menjawab, "you miss the part that the teacher is freaking hot Spenc.." sambung Allison. Eleanor menaikan alisnya, menunggu perkataan Allison selanjutnya, yang sebenarnya sudah bisa ia tebak dalam hati, "and I think He has hot on me.." sambung Allison. Gottcha!
Sisa makan siang mereka dihabiskan dengan perdebatan bodoh Allison dan Spencer lagi tentang mana yang lebih mempesona Four atau Eric di film Divergent atau siapa yang lebih pantas menang Neil atau Mamee di ANTM.
"Len..habis ini English Literature.. kamu ikut kan?" Tanya Emily di antara perdebatan seru antara Allison dan Spencer menoleh ingin tau jawaban Eleanor. Eleanor mengangguk kecil, tanda bahwa ia setuju bahwa ia akan ikut kelas.
Sejak kecil Eleanor suka membaca, baginya membaca sama seperti menjalani hidup, membayangkan bagaimana hidup seperti tokoh dalam bacaan yang ia baca. Bertingkah seperti tokoh tersebut dan mungkin mengharapkan akhir dari tokoh yang selalu ia sukai. Eleanor melirik bukunya, buku klasik karangan Shakespeare berjudul Midsummer night's Dream, kisah Helena mengejar cinta Demetrius yang terus mengharapkan Hermia. Atau kisah raja Oberon dan istrinya Titania. Eleanor menimbang mana yang tokoh yang lebih ia sukai dalam buku itu. Jelas pilihannya tak akan jatuh pada Hermia, dia tidak pernah merasa dicintai seperti itu.
"he is damn hot!" bisik Allison kepada Spencer yang duduk di sebelahnya.
"indeed.. who is he…" sambut Spencer.
Eleanor dan Emily menolehkan kepalanya ke arah pintu, sedetik kemudian iris sekelam malam dan biru cerah beradu. Eleanor menangkap sosok pemuda tinggi tegap, mungkin sesuai dengan bayangannya akan Demetrius yang dicintai Helena.
"sad princess" bisik pemuda itu saat sapphire cemerlangnya menangkap bayangan itu lagi, kali ini lebih jelas dari sebelumnya saat ia diam-diam mengawasi si pemilik onyx siang tadi. Wajah runcing pucat ditambah rambut keunguan yang tertata kurang rapi.
"Terry.." sapa Noel, sepupunya. Noel merangkul Thersius untuk duduk bergabung dengan gank nya. Mata Thersius menyapu pandangan ke arah tempat Eleanor duduk bersama teman-temannya, meski saat ini gadis itu sibuk menatap buku bacaannya, hanya gadis berambut pirang dan mahogany yang kini menatapnya sambil tersenyum.
"well you still popular!" kata Noel lagi.
"no cousin… who is that by the way?" Tanya menunjuk pada sekelompok gadis yang duduk tak jauh dari mereka.
"Allison.. Allison D'laurentis.." kata Allison mengulurkan tangannya. Mata Thersius cukup membesar saat tangan putih itu terjulur ke arahnya, tapi sedetik kemudian juluran tangan Allison disambut hangat olehnya.
"Thersius Grandchaster…but you can call me Terry" sapanya manis. Kemudian tangan lain lagi terulur dari gadis berambut mahogany yang ia ketahui bernama Spencer Hasting. Thersius mengeser matanya ke arah gadis berambut hitam yang tersenyum kecil.
"that's Emily…" sambung Spencer, Thersius mengangkat tangan ber-Hi pada Emily, mata sapphirenya bergerak lagi, sungguh berharap sad princess-nya berbalik memperkenalkan diri, atau usahanya sia-sia. Lama menunggu dalam kecanggungan, sambil mengabaikan kerjapan mata Allison dan Spencer, akhirnya suara halus Emily terdengar, "ini Eleanor.. Eleanor Royal Witchburn"
Gadis berambut keunguan itu menoleh ke kanan dan ke kiri dan akhirnya menatap Thersius. Onyx dan Saphhire bertemu lagi. Senyum terulas di bibir Thersius
"Hi.. I'm Thersius.." kata Thersius menjulurkan tangan ke arah Sad Princess-nya.
Eleanor menatap kikuk tangan itu, "Eleanor…" katanya sambil menyambut uluran tangan Thersius. Eleanor menarik tangannya tepat saat Mr. Stanford masuk ke kelas mereka. Ia kembali berkonsentrasi kepada bacaannya.
"sorry.. she is really shy person.." kata Allison yang tanpa Thersius sadar telah berpindah ke bangku di sebelahnya.
"no apologize needed…" jawab Thersius tersenyum
"logat British kamu kental sekali ya…" kata Allison lagi, perhatiannya benar-benar tercurah pada pria baru di sampingnya ini.
"not obvious if he come from Ireland" kali ini bukan Thersius yang menjawab tapi Filli, satu dari si kembar. Kembarannya mengangguk setuju.
Allison mencoba tersenyum pendek karena percakapannya dengan Thersius jelas terganggu oleh si kembar. Thersius membuka bukunya, menyibukan matanya dengan bukunya. Sesekali mata birunya melirik 3 bangku ke depan dimana Sad Princessnya duduk. Gadis itu terlihat menikmati cerita yang ia baca bersama guru literaturnya, tampaknya ia benar-benar mencintai buku.
"how about coffee after school?" kata-kata Allison menginterupsi pandangan Thersius pada Eleanor. Thersius menimbang sebentar, one more chance to know her. Ia melirik Noel dan si kembar mengisyaratkan mereka untuk ikut bergabung dengannya. Noel mengangkat bahunya tanda setuju, diikuti anggukan si kembar.
"sure…" Thersius memberikan jawaban pada Allison, sedikit kecewa bahwa Thersius mengajak sepupu dan temannya, padahal dia hanya ingin berdua.
"after class then…" kata Allison, ia mengedipkan mata pada Spencer yang tersenyum juga mendengar rencana sore ini.
###
Eleanor duduk di sofa empuk besar, menyesap Americano-nya. Matanya memandang ke sekeliling, mengawasi Allison dan Spencer mengintrogasi pemuda-yang ia lupa namanya-tentang asal negaranya Irlandia. "he is indeed not a leprechaun.. more like Demetrius" pikir Eleanor dalam hati. Tiba-tiba mata sapphire itu menyapa mata onyxnya, memandangnya teduh.
"kalau kamu.. hmm Eleanor.. boleh kupanggil El? Atau kamu punya panggilan lain?" Tanya Thersius pada Eleanor, pemuda itu tau jelas sejak tadi Eleanor mengawasinya dengan mata onyx dinginnya.
"Len..panggilannya Len.." Jawab Allison, mengalihkan pembicaraan agar kembali padanya, setidaknya kali ini saingannya bukan Spencer. Eleanor lawan yang mudah apabila berhubungan dengan pria. Pria mana yang lebih memilih gadis kusam yang tak bisa dimengerti ketimbang dirinya si ratu sekolah.
"I see.. Len.. Lenny?" kata Thersius lagi, mata Eleanor sejenak tersentak mendengar panggilan itu, dengan nada yang sama seperti 'orang itu' selalu memanggilnya. Ucapan pemuda di hadapannya tak lagi terdengar karena memori buruk mulai mengerogoti pikiran dan logikanya, ia butuh 'obat penenang'nya saat ini.
Mata sapphire Thersius melebar saat melihat Eleanor berdiri dari kursinya dan bersiap pergi, apa ia salah bicara, seingatnya ia hanya menanyakan apa yang diceritakan dalam buku Midsummer night's dream yang tadi dibacakan di kelas.
"Len..mau kemana?" Tanya Emily mencegah kepergian Eleanor, mungkin ini bukan pengalaman pertama Eleanor tiba-tiba meninggalkan acara bersama mereka dengan berbagai alasan atau tak ada alasan sama sekali.
"Aku baru ingat aku ada urusan" jawab Eleanor cepat, menekan rasa sesak di dadanya. Emily baru saja ingin menahan Eleanor lagi saat Spencer menahan tangannya, percuma menahan Eleanor yang tengah berada dalam "mood swing"nya saat ini. Eleanor berpamitan pada empat pemuda yang lain dengan sekenanya saja, tanpa peduli mata sapphire Thersius memandangnya heran bercampur khawatir.
"Am I doing something wrong?" Tanya Thersius heran, Spencer tersenyum kikuk, Ia no idea mau memberikan penjelasan apa kepada Thersius, dan akhirnya menoleh penuh harap pada Allison untuk memberikan penjelasan kepada pemuda itu. Harus ada yang memberikan penjelasan mengapa Emily memandang kepergian Eleanor dengan wajah khawatir langganannya dan kenapa Eleanor pergi begitu saja.
"nope.. dia memang selalu begitu.. seenaknya… jangan dimasukan ke hati ya…" jawab Allison pada Thersius. Mata biru Thersius menatap Allison yang menampilkan senyum termanisnya, mengingatkan Thersius pada mantan pacar yang ingin ia lupakan, Anny. Thersius hanya mengangkat bahu, namun tak yakin sama sekali bahwa apa yang dikatakan Allison itu benar. Tak mungkin hanya karena sifat seenaknya, mungkin ia akan percaya jika tak pernah melihat Eleanor menangis dalam diam di gedung yang biasanya ditakuti oleh para gadis pada umumnya.
"well, we better off.. I got something to do..go with me Em?" kata Noel pada akhirnya, siapapun dapat melihat wajah penuh pengharapan dari Noel saat mengajak Emily untuk pulang bersamanya.
"em.. aku.." kata Emily ragu, Ia menatap kedua temannya yang tersisa, Spencer tampak menganggukan kepalanya, tapi Allison tampak tidak peduli, ia hanya fokus memandang Thersius yang memainkan smartphonenya.
"ok.." kata Emily pada akhirnya, melihat Noel berdiri dan bersiap pergi. Thersius juga bangkit, ia berencana menelusuri jalanan di kota kecil ini, well siapa tau ia akan bertemu sad princessnya di tengah jalan.
"any plan?" kata Allison pada Thersius, "mind if you ride me home?" lanjut Allison, senyum manis ditambah helaian pirangnya memang bisa meluluhkan pemuda manapun, well plan's changing pikir Thersius, mungkin ini ide yang tidak buruk mengantar Allison pulang.
"sure.." kata Thersius setuju, ia berjalan berdampingan dengan Allison, mengantar Spencer untuk ke mobilnya sendiri dan akhirnya duduk berdua di mobil Lexus kesayangannya.
Mobil silver Lexus itu membelah jalanan Rosewood, kota kecil tempat kini ia tinggal bersama sepupunya Noel Khan.
"so.. seperti apa tempat mu tinggal di Irlandia?" Tanya Allison.
"Letterkenny.. nama kota dimana aku tinggal dulu.. hampir sama seperti Rosewood, kota kecil tapi tenang.. tapi mungkin kami punya lebih banyak padang dari pada danau" jelas Thersius.
"ooo.. wow.. then kenapa kamu pindah kemari?" Tanya Allison lagi.
"I want find some new air..and—" Thersius terdiam sebentar menimbang jelas dalam otaknya apa sebenarnya alasan ia pindah dari Irlandia ke kota kecil di Amerika, "maybe I need to meet a girl like you" kata Thersius tersenyum kecil, Allison balas tersenyum, sadar bahwa Thersius tengah menggodanya.
"then you find me really well.." kata Allison.
###
Eleanor bersimpuh di salah satu kursi gereja tua yang sepi pengunjung. Gereja itu kosong dan suram, saat ini penduduk Rosewood lebih senang pergi ke gereja besar dekat sekolahnya, tapi Eleanor suka dating kesini, memandang patung besar Bunda Maria yang kusam karena usia.
["Len..Lenny?"]
Suara Thersius terngiang kembali ditelinga Eleanor, suara yang mengingatkan Eleanor pada mimpi buruknya. Eleanor melihat sekeliling, gereja itu seakan mati, ia merogoh tasnya, menyulut batangan rokoknya, lagi-lagi tetesan bening harus jatuh di pipi pucatnya.
"why you lie?" isaknya pelan
###
Allison menatap Thersius, tersenyum manis sebagai ganti ucapan terima kasihnya, Thersius yang balas menatap gadis itu paham, ia bukan orang baru dalam hal flirting seperti ini, tak terhitung berapa banyak gadis yang sudah dikencaninya sampai saat terakhir saat ia bersumpah tak akan melihat kota Letterkenny lagi.
"well see at school…" kata Allison, menyudahi acara tatapannya. Ia harus bermain pelan, Thersius terlalu misterius jika hanya bermain seperti biasa. Sedetik sebelum ia membuka pintu, tangannya ditahan oleh pemuda berambut coklat medium itu, dan kecupan hangat mendarat di bibirnya, "maybe I like lake than wood itself" kata Thersius, tersenyum kecil.
Allison balas tersenyum, lidahnya menjilat pelan bibir sewarna cherry milknya, "see you tomorrow" kata Allison lagi dan beranjak keluar dari mobil, tak pernah adanya bisa lari dari pesona seorang Allison D'laurentis.
###
Eleanor melangkahkan kaki ke dalam rumahnya dengan langkah malas dan helaan nafas harus memutar otak memikirkan alasan apa yang harus diberikan pada ibunya karena sudah pulang selarut ini.
"Len…" Helena menyambut Eleanor di ruang tamu melirik jam yang sekarang menunjukan pukul 11 malam. Eleanor berdiri diam di tempat, menimbang untuk menghadapi ibunya.
"kemana saja? Kenapa tidak pulang dengan Bri tadi?" Tanya Ibunya lebih dulu, kepala ungu itu memutar menghadapi ibunya.
"hang out with Alli, Em and Spenc with other friends" jawab Eleanor.
"till this hour?"
"not really.. After that I go to back hill and oversleep" jawab Eleanor setengah jujur, ia memang ketiduran tapi jelas bukan di bukit belakang tempat biasanya masyarakat Rosewood menghabiskan akhir pekan mereka. Helena menghela nafas pelan antara percaya dan tidak, "Back hill is dangers at night, you should call me earlier…" kata Helena pada akhirnya, mengalah pada kekerasan hati putri bungsunya. Mata hazel Helena menatap Eleanor yang mengangguk kecil, tanda bahwa ia mengerti-atau tidak peduli-tubuhnya bergerak maju, meraih kepala putrinya. Tinggi mereka hamper sama walau ia memakai stilletonya. Helena mencium pelan kepala Eleanor, bau asap seketika membaui indra penciumannya. Well, sekeras apapun Eleanor menggunakan parfum untuk menutupi bau lintingan yang ia buat, Helena selalu bisa menciumnya. Eleanor menarik dirinya, menghindar dari sentuhan ibunya.
"good night.." katanya dingin.
"good night.." balas Helena melepas rengkuhannya dengan terpaksa, 5 tahun telah berlalu sejak kejadian itu, putri kecilnya yang selalu tersenyum, manja dan berisik telah menjadi monster dalam rumahnya sendiri, dan Helena tau ia yang melahirkan monster tersebut.
###
"She's wait you hours and hours, you know?" Brigette bersadar di bibir pintu kamar Eleanor, berusaha menekan suaranya serendah mungkin, ia tau jelas kini Helena sedang tenggelam dalam winenya di ruang tamu, Brigette terlalu hafal kelakukan ibunya.
"I don't ask her to do that..she can sleep whenever she want to.." jawab Eleanor tidak peduli. Tangan Brigette menahan Eleanor yang bergerak masuk ke kamarnya.
"len.. kamu tau itu semua bukan salah mom.. okee.. kamu.." Brigette mengeram marah, jujur dalam hatinya ia tak suka mengungkit kejadian 5 tahun lalu, kejadian yang membuat keluarganya hancur dan melahirkan monster dalam rumahnya.
"jadi salahku?" tantang Eleanor.
"bukan salah mu.. ini semua salah orang itu, salah mereka.. Mom hanya mau melindungimu..kau seharusnya tau itu!" geram Brigette, mata hazelnya membulat lebar menatap adik bungsunya. Brigette tak pernah mengerti mengapa Eleanor selalu membenci ibunya, ini bukan salah ibunya, 'orang itu' yang salah.
"melindungi? Coba jelaskan apa arti melindungi.." balas Eleanor lagi. Brigette baru saja akan berteriak marah pada Eleanor, kalau ia tidak mendengar langkah kaki Helena yang menaiki tangga.
"one day when you know it all.. you will feel sorry little lenny" kata Brigette berlalu dari hadapan Eleanor, menyambut ibunya yang menaiki tangga, berceloteh pada ibunya untuk menonton film bersama besok. Sedang Eleanor? Ia hanya bisa masuk ke kamar kecilnya melorotkan tubuhnya di pintu dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya hingga pagi menjelang
###
Di tempat lain, Thersius menatap langit-langit kamar apartemen barunya. Noel benar-benar sepupu yang baik untuknya, kamar apartemen itu hanya memiliki 2 ruangan, kamar tidur sekaligus dapur dan ruang tamu dan kamar dindingnya berwarna coklat kayu menimbulkan kesan vintage dengan ranjang besi di ujung menyesap selang shisanya, mengulang memori hari ini, merutuki dirinya yang brengsek telah mencium Allison. Entah apa yang harus ia lakukan besok saat bertemu dengan gadis itu. Kepulan asap dari tabung shisanya masih terus bergulir, membawa Thersius keingatan lain, sad princessnya. Entah apa yang menarik dari diri gadis itu, jelas gadis itu punya masalah psikologis yang amat merepotkan untuk diketahui, belum lagi-Thersius tahu jelas- kecanduan akan mariyuana. Eleanor jelas bukan tipenya, selama ini wanita yang ia kencani hampir sempurna, tubuh indah dan kepribadian "baik" persis Allison, tapi Eleanor jauh dari sempurna, tubuhnya kurus, rambut ungunya tampak kusam, wajah tanpa makeup dan yang paling parah gadis itu jelas tak pernah memusingkan apa yang ia kenakan hari ini, T-shirt kusam dengan celana jeans yang robek di beberapa seperti itu jelas bukan tampilan yang menarik baginya, tapi tetap saja bayangan bulir air mata yang jatuh dari bola onxynya tak pernah bisa lepas dari ingatan Thersius.
###
Helena menata meja bundarnya, menata sarapan untuk kedua putrinya yang tengah bersiap di atas. Derap kaki turun dari tangga mulai terdengar, Helena membalikan badan melihat siapa yang datang pertama kali.
"Len?"Helena menatap putrinya heran.
"morning.." kata Eleanor, ia tau pasti ibunya heran melihat ia bangun lebih pagi dari Brigette. Eleanor mengambil pancakenya menuangkan sirup maplenya, Helena mengawasinya dalam diam.
Helena mengawasi putri bungsunya, wajahnya pucat, ia tahu jelas putrinya bukan baru saja bangun tapi tidak tidur semalaman. Rambut keunguannya yang makin memudar mulai menampilkan rambut hitam legam aslinya, tubuhnya makin lama makin kurus seperti penderita gangguan makan.
"wow what a day that little lenny bangun lebih pagi…" sapa Brigette saat tiba di meja makan. Brigette mendudukan diriya di sebelah Eleanor, meneliti penampilan adiknya hari ini, T-shirt tanpa lengan bertuliskan "Sex, Drugs and Drinks", celana jeans hitam dan sneakers lamanya.
"akhir minggu ini kita akan belanja.. apa kamu tak berniat mengganti sepatu belel mu itu?" Tanya Brigette melirik sepatu hitamnya yang memang sudah lama, tapi sepatu itu nyaman.
"sepatuku masih nyaman, lagipula aku bukan gurita yang punya 8 kaki sehingga harus punya sepatu baru terus menerus" sindir Eleanor pada ibu dan kakaknya. Mereka berdua gemar membeli barang baru, meletakan deretan sepatu berhak tinggi di lemari dalam berbagai warna.
Rahang Brigette mengeras, ia tak mau selamanya mengalah pada adiknya karena dia punya masalah psikis. Helena cepat tanggap pada keadaan kedua putrinya, keduanya bagai anjing dan kucing tak pernah bisa bersatu.
"well.. kalau begitu, kita saja yang pergi.." kata Helena memotong pertengkaran keduanya, Helena menarik kartu kreditnya dan menyerahkannya pada Eleanor. "mungkin kau lebih nyaman jika berbelanja dengan temanmu.. dan mungkin kamu mau mewarnai rambutmu lagi" kata Helena lembut, tangannya meraih helaian ungu miliki Eleanor. Eleanor terdiam sejenak, melihat kartu yang tergeletak di meja.
"aku pergi dulu.." kata Eleanor menghindar dari Helena, kartu yang diberikan Helena dibiarkan tergeletak di meja. Ia masih punya cukup uang untuk dirinya, ia tak perlu bantuan Helena.
Helena terhenyak terdiam, ia meraih kartunya, mungkin ia bisa menyelipkan di kamar Eleanor nanti, perlahan Brigette menghampiri ibunya, memeluk ibunya membagi perasaan terluka yang sama.
###
"hai…" sapaan hanya terdengar di telinga Eleanor, mata onyxnya menatap si penyapa, ah leprechaun!.
Thersius mengambil tempat di hadapan Eleanor, gadis itu terlihat lebih pucat dari kemarin dan sudah ada dua gelas kopi kosong di hadapannya.
"you are.." kata Eleanor, sedikit merasa bersalah, bahwa kenyataannya ia benar-benar lupa dia nama pemuda itu dan tak mungkinia memanggil pemuda itu dengan sebutan "leprechaun"
"Terry.. Thersius… we have coffee together" kata Thersius setengah tak percaya, gadis itu jelas tak mengingatnya sama sekali.
"ah.. ya.. Noel's cousin and the evil twin.." jawab Eleanor. Thersius tersenyum meng-iya-kan pernyataan Eleanor, dan keheningan kembali muncul karena saat ini Eleanor telah berkonsentrasi lagi pada bukunya.
"Advance chem?" Tanya Thersius, memancing pembicaraan, sungguh tak nyaman duduk bersama tanpa melempar percakapan satu sama lain. Entah apa yang membuatnya tetap duduk di sana. Eleanor menganggukan kepalanya sebagai ganti jawabannya. "aku ikut juga.. emm kamu sudah punya lab partner?" kata Thersius. Eleanor menatap bingung pemuda di depannya, menilai. Biasanya pemuda seperti Thersius tak akan pernah ia temui di kelas semacam Advance Chemistry. Apa dia tidak salah bertanya.
"kelasnya baru mulai siang nanti, jadi ya aku belum punya lab partner" jawab Eleanor.
"well then we be partner ok?" kata Thersius senang. Gadis dihadapannya terlihat menimbang sebentar, lalu mengangguk setuju. "Great! We will be good partner! You won't be sorry" kata Thersius menyodorkan tangannya, arwah bodoh apa yang merasukinya hingga bertingkah tolol seperti ini.
Eleanor menghela nafas kecil, setengah tak suka acara membacanya diganggu, tapi tangan pucatnya mengambut tangan Thersius, "ya we will—"
"Terry.. Len.." suara Allison tepat di belakang mereka, Allison menyeringitkan dahi melihat pemandangan Thersius sedang menjabat tangan Eleanor.
"Alli.." sapa Thersius, sedetik dia merasa bahwa Eleanor menarik tanganya. Thersius mengeser posisinya memberikan tempat bagi Allison, sedangkan Spencer dan Emily memilih duduk mengapit Eleanor.
"sobabe hari ini kamu ada kelas apa?" Tanya Allison lembut. Ketiga orang disana-minus Eleanor-menaikan alisnya mendengar panggilan Allison pada Thersius.
"emm.. PE, advance cham and history I guess" jawab Thersius, tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya, bel sekolah berbunyi tanda bahwa murid-murid harus masuk ke kelasnya.
"well we have same history classes.. I see you at lunch ok?" kata Allison, bibir cherrynya mengecup pipi Thersius.
"So Alli, kamu dan Terry?" tanya Spencer penuh selidik
"as you can see…" jawab Allison angkuh, ia tau ia telah menang satu langkah dari Spencer yang sama-sama mengincar pemuda baru itu. Spencer merenggut kesal, ia kalah lagi pada Allison.
"Em..are you ok?" Tanya Eleanor, gadis itu tampak menderita.
"yes, I'm fine Len.. thank you for being concern…" jawab Emily tulus, ia tau Eleanor bukan tipe orang yang mudah peduli pada orang lain.
###
Kelas aljabar hari ini demikian membosankan, kebanyakan anak-anak di kelas hanya mengobrol satu sama lain sedangkan Mrs Protia hanya mengoceh tak jelas kepada siapapun yang ingin mendengarkannya. Allison sendiri hanya melihat ke luar jendela, memandang kagum kekasih barunya yang sedang bermain baseball di mengambil posisi pitcher dan siap memukul bola. Eleanor memejamkan matanya, matanya sudah berat karena tidak tidur semalaman, 2 gelas kopi yang ia minum juga tidak membantu sama sekali. Sejenak Eleanor jatuh tertidur dan mimpi buruk kembali merasukinya
"Lennyyy.." panggil anak laki-laki dengan rambut hitam legam
"Liam…" Eleanor menoleh mendapati kakak kembarnya berlari ke arahnya, Liam mengeluarkan flower crown yang ia buat dari balik punggungnya menyematkan di kepala cantik adiknya.
"wow! Thank you Liam.." kata Eleanor, gadis cilik itu mendaratkan ciuman manis di pipi Liam, "I love you Liam.." kata Eleanor. Mata onyxnya memandang rambut Liam yang tertiup angin. Liam memainkan rambut hitam Eleanor memandang dalam mata onyx gadis itu dengan mata birunya, "I love more my princess Lenny.."
Liam mengawasi Eleanor yang asik dengan kertas gambarnya,"Lenny.."
"ya?"
"are we promise to always be together?" Tanya Liam. Eleanor menatap bingung Liam, "We always be together, aren't we?" kata Liam lagi memperjelas pertanyaannya.
"of course you silly.. we are twins.. we are together since we just made by heaven.. and we always be together..nothing can separate us.." jawab Eleanor, kedua tangannya terjulur memeluk kakak kembar yang ia cintai, Liam membalas pelukan Eleanor erat, merasakan setiap kehangatan yang selalu ia peroleh sejak ia bertemu gadis bermata onyx itu, bibirnya menyunggingkan senyum kecut
"I love you so much Lenny" bisik Liam lagi di ceruk leher adiknya.
"Eleanor.. Eleanor…Eleanor Royal Witchburn.."
Sayup sayup Eleanor mendengar suara yang menariknya ke mata onyxnya terbuka, Mrs Portia sedang menatapnya dengan tatapan marah dan bingung, demikian dengan teman sekelasnya.
"bisa kamu kerjakan soal di depan?" kata Mrs Portia, setengah jengkel. Eleanor menghela nafas, melirik soal yang di tulis di meluruskan badannya, berjalan ke depan kelas. Tangan pucatnya mengerjakan deretan fungsi yang ada di papan, seperti apa yang dikatakannya pada Allison, ia sudah menguasai semua pelajaran bahkan sebelum kelas dimulai.
"done.." bisiknya membelakangi papan. Mrs Portia menghampirinya memeriksa jawabannya, "well..lain kali cucilah muka mu jadi kau tidak tidur di kelasku." Pesan Mrs Portia, ia bukan tidak tau kalau gadis urakan di hadapannya peraih nilai tertinggi di angkatannya, menggalahkan Spencer Hasting.
Eleanor menghempaskan tubuh kurusnya ke bangkunya, "maaf Len aku sudah mencoba membangunkanmu tadi.."Emily meminta maaf padanya.
Eleanor tersenyum kecil, menggelengkan kepalanya, "tak apa Em..tidurku bagaikan orang mati.." kata Eleanor mencoba bercanda dan menghilangkan rasa bersalah Emily. Spencer dan Allison tersenyum kecil
"I know that you can do all that stuff.." kata Spencer.
###
Tepat pukul 4 sore Eleanor pulang ke rumahnya, tubuhnya sudah lemas luar biasa karena tidak tidur semalaman. Hari ini berlalu seperti hari nerakanya pada hari-hari yang lain, ditambah ia memiliki partner yang super berisik di pelajaran Advance Chemistrynya, belum lagi Allison rajin mengtekstingnya selama pelajaran hanya untuk memastikan apa pacar barunya memikirkannya selama pelajaran berlangsung. Geez!.Eleanor membaringkan tubuhnya ke ranjangnya yang empuk, mengingat mimpinya saat siang tadi.
"Liam…" gumam mata onyxnya dan seketika itu kantuk telah merenggut kesadarannya.
Eleanor berjalan menelusuri lorong gelap di dalam kastil neneknya, ya menoleh ke sekeliling, tampak asing, seharusnya tidak demikian, ia telah berlari di lorong ini selama bertahun-tahun, dulu bahkan dengan mata tertutup ia tak akan pernah tersesat, tapi sekarang ia tersesat, semuanya berbeda. Mata Onyxnya melihat ke ujung lorong, ada pintu kayu berlapis emas di sana. Eleanor mempercepat langkahnya menuju pintu itu, dengan sekuat tenaga ia mendorong pintu itu agar terbuka.
"Liam!" seru Eleanor. Eleanor mengenali sosok pemuda itu, wajah tak banyak berubah, masih sama seperti yang Eleanor ingat 5 tahun lalu.
"Lenny..!" Liam berlari menuju Eleanor, menarik gadis itu ke pelukannya. Keduanya berpelukan lama, Eleanor menyadari bahwa kini Liam sudah jauh lebih tinggi darinya, bahkan kepalanya tak sampai ke pundak Liam, dada pemuda itu juga lebih bidang dari yang terakhir Eleanor ingat.
"I miss you princess.." bisik Liam.
"I miss you too Liam..please don't leave me again.."
"I'm sorry len… I won't—" ucapan Liam terhenti saat Eleanor menyadari tangan alabaster yang semula merengkuhnya terlepas begitu saja. Mata Eleanor membulat sempurna saat ia menengadahkan kepalanya untuk melihat Liam.
"sorry Lenny but Liam is mine now.." bisik gadis itu. Dihadapan Eleanor kini Liam tengah merangkul gadis lain. Gadis berperawakan kurus, wajah runcing, bermata onyx dan dengan rambut hitam. Tubuh Eleanor mendadak gemetar ketakutan, kakinya melangkah kebelakang, menjauh dari Liam dan si gadis.
"maybe it's to long to you not seeing your self in the mirror and you start to forget Lenny.."
###
Eleanor membuka matanya, keringat mengucur di sekitar bisa merasakan getaran ketakutan masih tersisa di sekujur tangan dan kakinya. Eleanor mengatur nafasnya perlahan, mencoba kembali pada kesadarannya
"Cuma mimpii..itu Cuma mimpi…" gumam Eleanor. Tapi potongan mimpi buruknya tak kunjung hilang, terutama sosok gadis yang merebut Liam-nya, dan ucapan terakhirnya sebelum Eleanor kembali ke alam nyatanya.
Jemari kurusnya menyentuh wajahnya, sudah 5 tahun sejak ia mulai takut melihat bayangannya sendiri, mencoba melupakan wajahnya, oleh karena itu ia membenci cermin. Benci dan takut, ya ia takut pada bayangannya sendiri. Bulu kuduknya meremang, potongan mimpinya semakin menghantuinya, seakan Eleanor bisa mendengar kikikan mengejek dari gadis yang ada dalam mimpinya.
"len…" tiba-tiba pintu kamarnya dibuka, membuat Eleanor melompat ditempatnya karena terkejut."fu—" runtuknya pelan, jantungnya memompa cepat.
"Lenny are you ok?" Tanya ibunya, ia melihat wajah Eleanor semakin memucat.
"akutakapa-apa mom.." tepis Eleanor dingin.
"alright.. aku bawakan makanan kesukaan mu dari d'amore … lasagna with spinach cream cheese.. kamu pasti belum makan malam kan.." Helena mencoba lebih lembut pada Eleanor, meski Eleanor tak pernah bicara lagi padanya, ia tau jelas putri bungsunya sedang-tidak pernah- baik-baik saja. Eleanor menatap ibunya, "thanks mom..I will eat that…" kata tersenyum hangat, mengusap lembut rambut putrinya. Mata sekelam malam itu balas menatapnya, kosong seakan tak ada kehidupan di sana. Helena beranjak dari tepi ranjang Eleanor, menuju pintu untuk ke dapur menyiapkan jus pisang kesukaan Eleanor, bagaimanapun juga suasana hati anaknya agak melunak hari ini, mungkin apabila ia beruntung hari ini bisa diakhiri tanpa pertengkaran dan delikan sadis darinya.
"em mom.." kata Eleanor saat Helena tiba di pintu.
"yes darling?"
"em…" Eleanor berucap kikuk sambil menimbang apakah ia akan melanjutkan permintaan anehnya.
"do you need something?" Tanya Helena lagi.
"emm.. can I.. emm.. can you buy a mirror for my room?" kata Eleanor pada akhirnya. Helena membalikan badannya mengarahkan tubuhnya, lurus kepada Eleanor, wajahnya berkerut bingung, mengira bahwa ia salah mendengar, Eleanor meminta cermin di kamarnya.
"mirror?" ulang Helena memastikan pendengarannya tak salah.
"ya.. but if you mind I will—"
"I will get it for you..a nice princess mirror for my little Lenny" potong Helena.
"thank you.. mother.." kata Eleanor tulus. Helena mengangguk kecil, menekan segala keinginannya untuk menghampiri Eleanor, memeluk lalu menciumnya seperti dulu, "your dinner waits you down stair with nice banana juice…" kata Helena pada akhirnya dan menutup pintu di belakangnya.
Ketukan Stilleto warna ungu kelambu mengiringi langkah Helena ke dapur rumahnya yang cantik. Meski ia tak menolak permintaan Eleanor, tapi memori buruk tentang cermin dan Eleanor jelas bukan ingatan yang mudah dilupakan. Tanganya terkepal erat seraya berdoa, mungkin kali ini Eleanor sudah bisa menghilangkan kebenciannya pada cermin. Helena melirik cermin yang tergantung di dinding dekat dapurnya
"hope this time no more bloody mirror inside the house, Helena"
TBC
