"Hhhh! Fang!"
"Hah? Engh—apa?"
"Aku berjumpa dengan Fang! Uuu! Kekuatan kamu memang hebat! Nanti kita coba menggabungkan kekuatan mau tidak?"
"Hhh?"
"Api dan kegelapan! Uuh! Seharusnya terbaik! Ya kan?"
Aku membuka mataku ketika sinar fajar merembes—membias pada kaca kamar tidurku, menerpa wajahku—membangunkanku secara paksa.
Sebenarnya aku sudah merasa terbangun walau kedua mataku masih kututup. Mengistirahatkan kedua mataku untuk membuka, bisa dibilang belum siap untuk bangun.
"... kolaborasi...," aku membuka mataku sambil berucap dengan nada kecil.
Mengapa aku bermimpi tentang saat Boboiboy Api mengajakku bicara tentang kolaborasi dengan wajah tersenyum?
"Api... dan kegelapan...?"
.
.
Kolaborasi Api dan Kegelapan
BoBoiBoy © Animonsta Studios
Greget dengan episode 16 saat BBB Api berbicara dengan Fang (sebenarnya sih saat memeluk Gopal yang bikin lucu). Nada suaranya itu loh! Astaga saya baru nyadar Boboiboy bisa manja juga hueks!
.
.
Warning! Cerita ini hanya fiktif belaka yang tidak ada dalam cerita aslinya. BBB Api x Fang.
.
.
Enjoy!
.
.
"Pagi Fang," sapa hangat Yaya dan Ying dalam kelas. Kedua gadis yang telah lama menjadi sahabat bahkan sebelum aku datang ke sekolah sini tumbenan sekali menyapaku.
"Hai," balasku pendek. "Ada apa kemari?"
"Itu Fang, kami mau berterimakasih karena kamu saat itu mau mencoba melindungi kami dari Boboiboy," mulai Ying dengan gaya malu-malunya seperti biasa saat ingin berbicara.
Soal melindungi, sebenarnya aku hanya melakukan sesuatu yang memang hanya laki-laki saja yang harus lakukan. Spontan merentangkan tangan kananku saat menyadari Ying dan Yaya ketakutan melihat wajah pemimpin geng kami bertampang garang—meski sempat tertidur dalam posisi pantat ke atas saking tidak bisa menahan kantuk setelah mendengar sejarah kedai kakek Boboiboy.
"Juga melindungi Gopal saat nyaris diserang Boboiboy," sambung Yaya. Gadis berkerudung merah muda tersebut menatapku lembut lama setelah mengatakan hal barusan.
"Lagian dia memang tidak sadar dengan tingkahnya. Santai saja," balasku. "Sebagai teman kita memang harus saling membantu."
"Kita terlalu mengandalkan Boboiboy sebagai pemimpin, dan tanpa sadar kita membebankan dirinya," timpal Yaya merenungi.
"Dia bilang dirinya tertekan. Mengerti sih, aku juga pernah merasa tertekan karena memiliki tugas banyak yang harus secepatnya diselesaikan," Ying membetulkan posisi kacamata bundarnya.
"Aku ingat sewaktu dia pertama datang kelihatan sekali bocahnya. Dan sejak membebani tugas menjadi pahlawan, dia perlahan menjadi dewasa—bukan, harus dewasa," sambung Yaya.
Entah mengapa kami bertiga malah jadi mengobrol mengambil kesimpulan apa yang membuat Boboiboy menyebabkan kekacauan dimana pelakunya sendiri tidak sadarkan diri.
Memikul beban menjadi pahlawan itu berarti secara langsung mau atau tidak mau, menerima tanggung jawan secara besar juga. Mungkin awalnya kau bakal terus-menerus menggunakan kekuatanmu tanpa merasa terbebani—bahkan menganggapnya seperti permainan. Namun bila sudah mencapai titik lelah dan saat itu orang mengambil tes kelayakan predikat sebagai 'superhero', disanalah awal pikiran kita untuk ingin kembali melengok ke belakang.
Bukannya tidak bersyukur, hanya saja namanya juga manusia kadang ada yang namanya titik jenuh.
Bisa juga, itu cara respon kesadarannya yang lain mengajukan protes.
Bisa dibilang, ini alasan aku tidak terlalu mencolok ingin menggunakan kekuatanku untuk menolong orang. Disamping karena aku benci diperalat.
"Dia kan populer. Kuat lagi. Biarkan saja dia mengikuti gayanya seperti apa," kataku malas. Yaya langsung menatapku dengan wajah tidak terima akan alasanku.
"Kamu ini, aku paling sebal dengan tingkahmu yang selalu cuek dengan kondisi orang," protes Yaya.
"Dia sendiri yang ingin berbuat baik. Biarkan saja. Tunggu sampai dia meminta untuk menjadi egois terhadap orang sekali-kali."
Aku melangkahkan kakiku menuju bangku paling belakang dekat jendela, meninggalkan kedua gadis yang sudah menyiapkan raut wajah kesal padaku di kejauhan. Kulepas tas selempangku dari bahuku dan menaruhnya di atas meja, menarik kursi agak belakang hingga aku dapat duduk di atasnya, lalu menopang dagu melengok ke luar jendela.
"Kalau kita berkolaborasi mau tidak?"
'Khhh, kenapa aku selalu memikirkan ucapan Boboiboy! Itu bukan keinginan Boboiboy sebenarnya!' jeritku dalam hati.
"Pagi Boboiboy!"
Aku reflek menggerakkan leherku menuju asal suara yang memnggil nama rivalku barusan. Pria bernama Boboiboy itu hanya merespon dengan ulasan senyum kecil ketika disapa Yaya.
"Kau baik-baik saja, Boboiboy?" tanya Ying prihatin.
"Baik kok Ying. Makasih untuk bertanya."
Selesai mengucapkan kalimat yang membuat sang yang bertanya lega, ia meneruskan langkahnya menjelajahi lorong dan langsung duduk di bangku miliknya—di depan bangkuku.
"Baikan Boboiboy?" tanyaku basa-basi, karena tidak enak dengan raut wajah Boboiboy yang murung ketika selintas aku mengintip wajahnya.
"Baik kok Fang," katanya sembari menaruh tas ransel di atas mejanya. "Aku sudah minum coklat panas dari kakek juga lagian. Pasti bakalan segar bugar deh."
"Kau kelihatan kelelahan. Kau tidak bisa berbohong di depanku," sahutku cepat, sebal dengan kalimatnya yang menutupi kondisi asli akan dirinya. Dia sedikit terlihat menegang di depanku.
"Hngg... Mungkin sedikit ngantuk—hoamm," ia terduduk dan membaringkan kepalanya di atas meja setelah melipat kedua tangannya sebagai landasan bantal.
Tanpa bicara pun aku sudah paham akan keadaan pemimpin geng kami ini yang kelihatannya stres setelah menyadari dia benar-benar pelaku segala kerusakan—tepatnya kebakaran—pada Pulau Rintis akhir-akhir ini. Siapapun yang berada dalam posisi dia pasti akan frustasi ketika mendapati dirinya menjadi orang gila sampai merugikan orang lain.
Aku hanya bisa merespon dengan menghela napas kecil, membiarkan sang cucu kakek Aba ini beristirahat. Setidaknya menjernihkan pikiran itu penting bagi setiap manusia.
.
.
"Hei Fang kamu sibuk tidak?" tanya Ying yang kini mengambil tas kecil berwarna biru laut dari atas mejanya.
"Tidak. Mengapa?" aku ikut mengambil tas selempang unguku. Memang hanya tinggal aku dan Ying yang masih tertinggal di dalam kelas karena belum kelar membereskan semua perabot alat tulis kami.
"Aku mau minta catatan kamu—engh... pinjam!"
"Pinjam? Seperti tidak bermodal saja."
"Soalnya aku terlalu fokus memikirkan hal lain sampai tidak sempat mencatat," Ying terkekeh kecil.
Suara jangkrik pun terdengar nyaring walau masih fase siang.
"Iya. Boleh kok," izinku. Ying bersorak girang.
"Hei Boboiboy, kau kenapa?!"
Terdengar suara Yaya menjerit dari lorong luar pintu kelas, membuat aku dan Ying yang ada di dekat lokasi saling bertatapan dan berlari menuju tempat perkara.
"Ada apa—BOBOIBOY?!" teriak aku dan Ying bersamaan. Boboiboy kini pingsan pada lorong sekoah, dan Yaya tengah berusaha membangunkan teman sekelas kami ini. Wajahnya begitu panik.
"Eh kenapa Boboiboy pingsan?"
"Eee—itu karena aku lah."
Suara yang menyahut pertanyaanku barusan...
"Ochobot?!" aku kaget dibuatnya. "Kau ada disini?"
Ochobot terkekeh kecil padaku.
"Aku mau bilang, kalau Boboiboy harus bisa menguasai kuasa apinya," kata Ochobot. "Makanya aku memicu dirinya bertransformasi menjadi Api, lalu kita berusaha sekuat mungkin memulihkan ingatannya pada diri Api ini. Tapi baru saja mau membuatnya berubah malah pingsan dia."
"Lemah," simpulku, dan kini aku merasakan tatapan tajam dari kedua gadis pada lokasi aku berdiri. Aku berusaha tertawa walau terdengar memaksakan. "Canda saja. Maaf."
"Bagaimana caranya? Dia ingat punya kakek dan kawan-kawan tapi yang dia tidak ingat adalah apa yang tengah dia lakukan saat menjadi Api," sahut Yaya yang kini berfokus menatap wajah Boboiboy yang tertidur. Topi jingganya ia coba pasangkan sebaik mungkin di atas kepala orang yang terbaring dalam pangkuan gadis muslim itu.
"Hmm, benar. Sebenarnya teori mudahnya itu begini, mereka memang sama namun memiliki memori ingatan yang berbeda," mulai Ochobot. "Ingat bagaimana Halilintar dan Taufan muncul? Bahkan Tanah saat itu tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang yang membuat kedua sisi—Taufan dan Halilintar, muncul. Misalnya saat Yaya mendatangi Tanah dan Petir untuk menanyakan Angin, mereka berdua tidak tahu kemana Angin—bahkan merasakan firasat buruk saja tidak kan?"
"Betul," Ying membenarkan. "Jadi intinya walau mereka sama, namun sebenarnya beda kan?"
"Yap. Seperti itu jugalah Api. Boboiboy itu seperti satu orang ketika tanpa kekuatan. Namun saat berpecah, sebenarnya yang condong mirip dengan Boboiboy asli itu Gempa. Saat itu Tanah berubah menjadi Gempa juga munculnya Golem Naga Tanah karena kawan-kawan dalam bahaya bukan? Sifat Boboiboy yang sayang pada kawan-kawannya lebih hanya pada Gempa."
"Dan letak topinya pun sama," kataku.
"Untuk itulah aku memberi kesimpulan, bagaimanapun dia bilang saat menggunakan kekuatan Api selalu lupa, sebenarnya yang melakukan semua kekacauan adalah 'Boboiboy' yang melakukan. Bukan karena statusnya 'Boboiboy Api'."
"Jadi intinya, ada program yang salah yang menyebabkan Boboiboy tidak bisa mengingat semua kejadian yang telah dilakukannya kan?" simpulku.
"Betul. Dan yang bisa kuberi kesimpulannya adalah—kalau saat menjadi Api, Boboiboy memblokir memori hingga tidak tersimpan pada otaknya sang 'yang asli'. Seakan memori tersebut hanya boleh tersimpan dalam memori dia saja, dengan mengambil contoh kopi dari otak pribadi asli. Mengingat semua keseharian Boboiboy saat menjadi manusia biasa, dan saat menjadi Boboiboy Api dia takkan membagi hasil datanya atau saat dikirim lewat mimpi justru error untuk diingat."
"Aku sedikit kurang mengerti, namun kelihatannya aku paham sedikit," celetuk Yaya.
"Intinya, Boboiboy itu seperti mabuk. Manusia itu terbagi dua, punya akal sehat yang tinggi apa napsu yang tinggi. Mungkin saat menjadi Api dia punya tingkat napsu yang tinggi jadi akal sehatnya untuk tidak membuat kekacauan itu kurang terkontrol," jelas Ochobot.
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
"Kita harus membuat Boboiboy Api ini mematuhi perintah Boboiboy."
"Hah mematuhi? Dengan apa?"
"... Adu Du."
Semua menarik napas terkejut, termasuk aku.
"TIDAK MUNGKIIIIIIIINNNNNNNN!"
.
.
Tengah malam pun tiba. Disamping para kawan-kawan yang menjaga Boboiboy di dalam kamar dia sampai tertidur, aku membuat diriku terjaga dengan menatap langit malam yang kebetulan sangat terang. Bulan purnama, bintang-bintang bertaburan di langit. Cuaca dingin malam tidak membuat mataku berat untuk turun sekedar menutup mata.
"Heh, aku malah disuruh membangunkan mereka. Mengapa seakan aku yang berada dalam posisi paling tua disini? Padahal umurku lebih muda dari Boboiboy dan Gopal," gerutuku.
"He aku baru tahu kau lebih muda dariku."
"APA?"aku langsung berdiri dan mendapati Boboiboy dengan mengenakan topi ke depan kini tersenyum ke arahku. Mata merah kejinggaan itu menatapku lembut.
"Jangan kaget kamu Fang. Nanti semua anak-anak terbangun di bawah nanti," bisik Boboiboy (Api). Yang tadinya aku berdiri tegang, berangsur lemas dan duduk disampingnya. Untuk apa takut dengan bocah kelas 5 SD yang hobi mengeluarkan kekuatan bertema permainan bola seperti sepak bola atau voli? Kecuali bola besar saat mengalahkan Adu Du dan Probe itu.
"Aku memang disuruh untuk membangunkan mereka kok," kataku dingin.
"Jangan dong. Nanti acara kita berdua tidak seru!"
"Hah? Acara apa?" tanyaku. "Janjian aja belum pernah."
"Dulu aku menawarkan untuk kolaborasi kan? Bagaimana kalau kita lakukan sekarang?" rujuk Boboiboy dengan seringai kecil, membuatku bergidik hebat.
"Latihan begitu?"
"Iya! Mau ya mau? Please!" pintanya. Aku memperbaiki kacamataku sambil berpikir.
Bila saat aku menerima tawarannya, ketika dia mengamuk bagaimana? Lagian apakah dia bisa dipercaya? Sedangkan anak ini terakhir bertemu saja langsung main serang tanpa peduli lagi itu musuh atau kawan.
Lelah berpikir aku. Aku menjawab dengan pasrah, "Bolehlah."
"Yey!" sorak Boboiboy Api. "Kalau begitu kita praktek pada lapangan sepak bolah sekolah yuk!"
"Terbang."
"Hah?"
"Kita kesana dengan terbang. Kalau berjalan, takut-takut suara tapak kaki kita kedengaran oleh Yaya atau siapapun yang pendengarannya peka," simpulku. Boboiboy yang sedari tadi terduduk dengan wajah cengo mengangguk mengerti. Ia berdiri cepat bersemangat, seperti bocah yang akan diajak bertamasya.
"Boleh! Aku bisa terbang kok! Seperti hantu~"
"Kita naik elang bayangku saja!" tawarku.
"Nanti keberatan lagi seperti sewaktu mengambil biskuit ketika kecil."
Muncul perempatan dari kepalaku.
"Itu Gopal yang berat, asal kamu tahu ya!" ketusku ketika berdiri dan menyilangkan kedua telapak tanganku berbentuk burung. "Elang bayang!"
"Aaaa!"
Boboiboy berteriak namun sempat kututup mulutnya ketika aku menarik tangannya untuk melompat turun dari atap. Kami berdua pun terduduk di atas punggung burung besar bernuansa gelap dengan mata merah yang kini melayang karena mengepakkan sayapnya.
"Sttt! Diam lah!" desisku. "Elang bayang! Jalan!"
Sang burung pun mengepakkan sayapnya kuat lalu terbang menyusuri malam purnama. Bintang-bintang seakan menjadi saksi perjalanan terbang kami malam itu.
-Bersambung-
A/N: Mumpung senggang, besok udah punya kerjaan dobel.
Jadi ceritanya ini terfokus pada cerita power (alasan pertama saya suka BBB karena power mereka) dan sedikit romance buat fujoshi ehe (tenang kissu masih dipertimbangkan). Bersambung karena malas ngetik lebih banyak dan lagian ngetik di lappy itu gak boleh lama.
Saya udah bayangin sih gimana kalau mereka kolaborasi sejak pertama aku dengar ada Api dari promosi Sfera Kuasa, tepatnya sebelum fandom ini muncul di ffn. Tapi menunggu mempelajari personaliti Api baru deh dibuat.
Saya cuma mau minta voting tentang scene cerita selanjutnya. Butuh sekali saran dari author reader sekalian (TERUTAMA FUJOSHI, TOLONG KALIAN KELUARLAH). Tapi yah kalau tidak ada inspirasi paling di delete, dan juga cerita tentang Dikejar Setan saya delete karena tidak mampu lanjutkan (wong edan kau thor / Lah saya mana tahu kalau esok setelah saya restore ceritanya itu kemudian kerja). Bahkan cerita BBB Gakuen mau didisconnect juga kok sebab error sendiri mau lanjutin. Ini akibat hiatus kelamaan sih, hueks.
Maafkan author yang labil ini.
