WHY so SERIOUS

Disclaimer Masashi Kishimoto

Creative by Agiw Uzumaki

Present

Tokyo, April 25, 2017 (04.10 a.m)

'Moshi-moshi. Hinata Hyuuga desu.'

'Moshi-moshi? Hito ga imasuka?'

'Sumimasen na. Dore desuka?'

'Onegai.'

Panggilan terputus.

'Tut tut tut'

"Hhuh, siapa sih mengganggu jam tidurku aja." Ujarku sambil menaikkan selimutku yang agak merosot.

Disudut kota Hokaido, tepatnya di Sapporo.

Markas TAKA.

Seorang pria berpenampilan bak eksekutif muda yang duduk disinggasananya sebagai ketua dari kelompok mafia terbesar di Jepang, Uchiha Sasuke. Ingat bukan hanya ketua yakuza! Tapi dia beneran CEO di perusahaan Uchiha loh! Dengan masih menggenggam handphonenya yang baru saja ia gunakan untuk menelpon seseorang disebrang sana hingga kini belum menampilkan ekspresi apapun yang berarti, hanya wajah dingin lah yang ia punya sementara pikirannya masih teringat pada suara seseorang yang baru saja menutup telepon darinya. Smartphonenya masih tergenggam dengan sangat kuat ditangan kanannya, terlihat rahang wajah yang kaku karena merasa telah dipacu jiwa liarnya. 'H-I-N-A-T-A' gumamnya dengan seringai menghiasi wajah tampannya. Hanya seringai! Ingat seringai! Tapi dibalik itu semua mengandung beberapa kemungkinan termasuk sesuatu yang tak akan kau perkirakan.

End Prolog.

[Hehehe maaf ini baru prolog loh! Tapi tenang tetap berlanjut kok soalnya gak enak loh kalo belum tuntas serasa ada yang tertinggal gitu. Stop thor! Lo niat bikin cerita gak sih! Oke aku lanjut ya, maaf mengganggu! Wkwkwkwk *visss

Chappie selanjutnya release! !!]

Normal pov

Selasa pagi ini adalah hari yang sangat berat bagi Hinata karena harus mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Diumurnya yang ke 18 tahun ini akan memasuki jenjang perkuliahan, setelah mendaftar dirinya diwajibkan mengikuti ujian masuk ini karena sebagai penentuan di universitas mana ia akan kuliah. Intinya Hinata berusaha keras untuk mendapat nilai terbaik untuk mencapai universitas impiannya, Tokyo University.

Hinata pov

"Ohh ahh! ! Matte! Matte!" Aku ketinggalan bis lagi, bisa-bisa diriku tambah kurus lagi. Pagi ini sangat merepotkan, dikejar-kejar anjing tetangga, ketinggalan bis, uang jajanku habis. Lengkap sudah penyiksaan kami padaku. Andai saja Hanabi, kaachan dan touchan masih ada pastilah hidupku tak semenyedihkan ini, setidaknya masih ada Hanabi yang selalu menghibur, kaachan dan touchan yang selalu menyayangiku. Semakin ku mencoba hidup lebih baik lagi semakin menyakitkan cobaan hidup yang ku alami. Bagiku ini tidak ada apa-apanya ketimbang aku yang sudah kehilangan keluarga. Mengapa kami-sama hanya menyisakan diriku yang seorang diri disini.

Keberuntungan sedang tak berpihak padaku, hari ini ada ujian tes masuk dan aku masih disini terjebak dalam segala kerumitan. Hujan turun dengan sangat deras dan aku masih jauh dari tempat yang ku tuju mungkin sekitar 100 m lagi. Bagaimana lagi sudah begini adanya. Aku berlari menantang hujan, aku percaya usaha ini pasti akan membantu ku. Meski harus berkeringat bercampur air hujan aku tetap berlari secepat mungkin. Hingga akhirnya gerbang Universitas Tokyo ada dihadapanku, ku lirik jam beludru ku yang usang menunjukkan pukul 07.49 a.m. Ku menghela nafas lega saat sang waktu masih memberikan cukup waktu untukku merapihkan penampilanku yang jauh dari kata baik. Ku lihat gedung-gedung dan taman-taman yang ada di universitas impianku, semoga ada sedikit peluang. Bukan, bukan sedikit maksudku tapi banyak harus banyak peluang untukku agar hidupku semakin maju. Ku lepas jaket kulit pemberian almarhum kakekku, beruntung kemejaku tak basah hanya rambut dan jaketku yang menjadi korban ganasnya hujan dipagi hari. Ku tatap diriku dipantulan kaca jendela fakultas hukum yang masih sepi, kemeja biru tosca lengan pendek dengan renda didepan dadaku, rok biru dongker sepanjang 5 cm diatas lutut dan sepatu booth coklat melekat dengan pas ditubuhku. Saat dirasa cukup akhirnya aku berjalan cepat menuju gedung utama.

"Ohayou gozaimasu!" Ku berojigi saat hendak memasuki ruangan, ku melihat siswa-siswi yang juga hendak mengikuti tes sama seperti ku. Para sensei belum datang, beruntung kurasakan. Mungkin nasib sebagian peserta tes bernasib sama seperti ku terjebak derasnya hujan, karena saat ku perhatikan masih banyak bangku yang masih kosong. Berjalan kearah bangku paling pojok dan terbelakang, ku tersenyum dalam setiap kesempatan untuk memberikan kesan ramah. Tak sedikit dari mereka yang memberikan sikap kurang menyenangkan mungkin karena dalam situasi dimana dirimu harus menunjukkan kemampuan untuk bisa menjadi yang terbaik.

"Ohayou!" Ku lihat seorang gadis menyapaku, ku tersenyum membolehkan dirinya duduk disampingku.

"Onamaewa? Aaa kimi wa Hinata Hyuuga desune?" Dia bertanya padaku, ku tau pasti dia membaca nama yang tertera di bangku. Ku anggukan kepalaku sebagai jawaban.

"Ne Hinata-chan, ku perhatikan kamu tak berkata apapun. Oh ku tau kau pasti orang yang tak terlalu banyak bicara ya?" Ku hanya memandangnya biasa.

"Oke mungkin ini pertemuan yang pertama untuk kita, kuharap kita bisa berteman baik ya. Baik namaku Haruno Sakura, panggil saja Sakura tanpa embel-embel apapun oke?" Aku hanya mengangguk. Dia kemudian sibuk dengan smartphone nya yang sedari tadi bergetar, dia melirik ku dan menganggukkan kepalanya meminta izin dan mau gimana lagi aku jelas mengangguk menjawab anggukannya.

Sakura Haruno. Sudah jelas dari namanya saja dia putri seorang pejabat atau mungkin pengusaha kaya, penampilannya saja trendy sesuai dengan mode saat ini. Kalo kupikirkan tipikal cewek manja yang minta ini itu langsung dikasih sama orangtua nya. Memikirkan itu membuat ku tersenyum kecut. Oke Sakura kita lihat apa kau bisa menjadi teman baikku?

SKIP TIME

'Hinata!'

'Hinata!'

'Hinata-chan!'

Entah perasaan ku atau apa, ku merasa ada yang memanggil-manggil namaku. Ku hentikan langkah ku dan terkejut ketika ada seseorang menepuk bahuku.

"Oi Hinata-chan!" Huhh ternyata Haruno yang memanggil-manggilku, ku kira siapa.

Ku menoleh kearah nya, dia tersenyum ceria.

"Hinata-chan, apa kamu lulus seleksinya?" Dia bertanya hasil seleksiku, yah sudah jelas bukan nama siapa saja yang lulus seleksi toh dipapan informasi juga ada. Baik mungkin ini hanya basa basinya, karena diriku sendiri tau bahwa dirinya itu lulus seleksi meski sedikit payah karena nilainya pas-pasan.

"Ohh Sakura. Un begitulah kurasa sedang beruntung." Jawabku.

"Seharusnya kita merayakan kelulusan kita, mari kita jalan-jalan Hinata-chan!" Ucapnya bersemangat, huhh dasar cewek shopaholic.

"Eto ... ano... Sakura mungkin lain kali saja." Jawabku pelan, mana mungkin aku menghabiskan uang paruh waktuku untuk have fun yang gak jelas. I say NO.

"Iie Hinata. Aku akan mentraktir mu sebagai tanda pertemanan kita. Onegai! Hanya kau satu-satunya temanku disini!" Ucapnya memohon.

Melihat wajah cerianya menjadi lesu mana mungkin aku tega merusak suasana hati orang.

"Gomen to arigatou, tak apa kah?" Cicitku pelan.

"Hei kau ini, jelas tak apa-apa. Ayo!" Dia menarik lengan ku dan berjalan dengan riang disepanjang jalan.

Sakura mengajakku berkeliling mall. Dirinya bercerita banyak tentang kehidupan nya. Hello! Apa pada setiap orang yang dia temui dirinya akan menceritakan hidupnya? Hhah entahlah. Si Haruno itu sangat cerewet. Katanya mall ini juga milik ayahnya, sudah ku duga. Katanya dirinya tak punya teman, aku tak percaya. Tapi... ada satu hal yang menarik darinya. Dia ternyata memang tak punya teman sama sekali, karena dirinya selalu tertipu oleh temannya sendiri karena terlalu mudah untuk dimanfaatkan, so itu sudah terbayang tapi ini yang aku tak habis pikirkan. Dirinya mempunyai dua orang sahabat, keduanya lelaki. Tapi mereka terpisah ketika masih sangat kecil hingga sekarang tak pernah bertemu lagi. Oke, menurutku itu adalah hal menarik bagiku. Disaat dia ditipu oleh teman wanita justru dia malah mempunyai sahabat dua orang lelaki dan hal itu sungguh tak mungkin bagiku.

Ku lihat dirinya memilah-milih baju yang harganya selangit tentunya. Ku hanya terdiam memperhatikan.

"Hinata! Kemarilah!" Mau tak mau aku menurutinya.

"Sini-sini, kesebelah sini. Aku menemukan baju yang cocok untukmu. Biar ku pas kan." Aku diam. Dirinya heboh sendiri.

"Aww wahh! !! Hina-chan kau sangat cocok memakai nya. Oke aku belikan satu untukmu." Belum ku menjawab dia mendahuluiku.

"Iie. Aku tak menerima penolakkan!" Tegasnya dengan wajah marah yang dibuat-buat. Mau bagaimana lagi, berurusan dengan cewek keras kepala sungguh merepotkan.

Sakura pov

Entah kenapa rasanya aku sangat nyaman ketika bersama Hinata, teman baruku. Meski tak banyak bicara malah diriku yang heboh sendiri tapi ku merasa dia sangat menghargai diriku, tunggu bukan hanya aku saja tapi dia ramah terhadap orang lain.

Saat ini aku mengajak nya ke mall, meski diriku yang memaksa. Di hanya diam mendengarkan ocehan-ocehan ceritaku, tapi ku yakin dia mendengarkannya dengan jelas. Aku bertambah penasaran akan sosok Hinata. Dia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata yang tak perlu. Tipikal cewek introvert. Sudah jelas ia sandang. Matanya yang sewarna batu amethys menyiratkan kesenduan tersendiri, mungkin karena hidupnya yang berat. Aku masih lebih beruntung darinya. Hidup glamour lebih dari cukup membuat kebutuhan ku terpenuhi. Tapi satu hal, aku lah yang beruntung berteman dengan Hinata. Karena dirinya sama sekali tak tertarik dengan kekayaan yang ku miliki berbeda dari temanku yang dahulu.

Dirinya melihatku memilah-milih baju yang ku suka tentunya. Hinata hanya terdiam memperhatikan.

"Hinata! Kemarilah!" Ku tau dirinya terpaksa, Hinata cenderung anti sosial tapi dirinya tak bisa menolak permintaan orang. Mau tak mau dirinya menurutiku.

"Sini-sini, kesebelah sini. Aku menemukan baju yang cocok untukmu. Biar ku pas kan." Dirinya hanya diam. Aku lah yang heboh sendiri.

"Aww wahh! !! Hina-chan kau sangat cocok memakai nya. Oke aku belikan satu untukmu." Belum dia menjawab aku mendahuluinya.

"Iie. Aku tak menerima penolakkan!" Tegasku dengan wajah marah yang ku buat-buat.

Mungkin dia berpikir berurusan denganku yang keras kepala sungguh merepotkan. Tapi jika benar, aku membenarkannya.

Normal pov

Setelah selesai menemani Sakura jalan-jalan dan akhirnya pulang membawa beberapa bag papper pemberian gadis itu, Hinata menghela napas panjang. Memang sih hari ini dia diliburkan dari kerja paruh waktunya, tapi kan dirinya juga membutuhkan istirahat. Tear for Hinata. Hinata berpikir tak usah keluar flatnya hanya untuk membeli makanan, karena tadi sebelum pulang Sakura mentraktirnya makan di cafe langganannya.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 08.00 p.m Hinata berjalan kearah kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Setelah keluar dari kamar mandi, Hinata membaringkan tubuhnya di futon. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan beralih ke dunia mimpi.

4 bulan kemudian

Tokyo, Agustus 25, 2017 (04.50 a.m)

Drrt...drrt...drrt

'Moshi-moshi. Hinata Hyuuga desu.'

'Moshi-moshi. Hinata Hyuuga desu.'

'Moshi-moshi? Hito ga imasuka?'

'Sumimasen na. Dore desuka?'

'Onegai.'

Panggilan terputus.

'Tut tut tut'

Hinata pov

Ada seseorang menelponku pagi-pagi, tapi sama sekali tak ada jawaban. Kejadian ini pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, bila ku pikirkan nomor yang menghubungi sama dengan yang dulu. Ku kira dia iseng, tapi setelah ku pikirkan pasti ada yang tidak beres. Agak takut memang, disaat hidupmu sendiri lalu ada orang yang menguntitmu atau semacamnya pasti akan merasakan sesuatu yang mengganggu dihatimu. Dan itu terjadi padaku saat ini. Aku takut ada orang yang berniat menyakiti ku atau menjadi kan diriku bahan perloncoan atau bahkan membunuhku dan itu sungguh membuatku takut. Ku termenung dalam futonku memikirkan banyak hal tanpa ku sadari handphone ku bergetar. Ku angkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon, ku pikir masih orang yang tadi menelpon. Tapi ...

Drrt drrt drrt

'Moshi-moshi.' Jawabku dengan nada bergetar, mungkin takut ku rasa.

'Hinata-chan!' Suara melengking itu aku tau siapa, Sakura Haruno. Ku merasa sedikit lega saat tau bahwa yang menelpon adalah Sakura.

'Anou... Sakura nande?' Tanyaku tanpa basa-basi.

'Aaa .. Hinata chan hari ini kamu libur?' Bila ku tebak dia akan mengajakku main dan ternyata ...

'Aku ingin mengajakmu ke toko baju yang ada di jalanan Shibuya. Sepertinya akan ada banyak diskon disana. Bisa kan?' Dan yah perkiraanku tepat 100% dan pastinya aku menolak.

'Doumo sumimasen, aku ada jadwal bekerja Sakura. Mungkin lusa bisa.' Tolakku yah bisa dibilang terlalu blak-blakkan.

'Benarkah? Oke lusa nanti aku jemput kamu di rumahmu jam 07.00 pagi.'

'Hai, jaa mata aimasu Sakura.'

'Jaa.'

Tut tut tut

Panggilan terputus.

Ahh aku lupa bahwa sekarang aku punya teman yang cerewet nya selangit. Setelah kelulusan seleksi masuk universitas, Sakura sering kali menghubungi dan mengajakku jalan. Setelah dirasa dekat dia mulai bercerita lebih banyak tentang dirinya dan aku menanggapi dengan sangat singkat. Tapi dia tak mempermasalahkan kebiasaan ku itu.

Normal pov

Markas TAKA.

"Kemana saja kamu teme?" Pemuda bersurai blonde bertanya pada pemuda didepannya tanpa memberikan jawaban, pemuda itu melenggang pergi mengabaikan pemuda bersurai blonde itu.

"Teme!"

"Teme!"

"Aku tak akan bicara jika kamu berhenti membuat bibi Mikoto menangis! Kamu tak kasian apa melihat wanita itu terus-terusan mengkhawatirkan kamu! Sementara kamu sendiri mengabaikannya. Brengsek!" Naruto, nama pemuda yang sedang kesal pada pemuda yang ia panggil teme itu.

Sementara pemuda itu yang tak lain dan tak salah lagi bernama Uchiha Sasuke menghentikan langkahnya.

"Diam dobe, urus saja ibuku jangan menggangguku." Ucap pemuda bersurai biru dongker itu. Mendengar ucapan Sasuke, Naruto bertambah geram dan menerjang kearah Sasuke berniat memukulnya. Tapi usahanya gagal karena segera ditepis oleh Sasuke sehingga membuatnya terbanting kebelakang.

"Kuso teme! Dasar bajingan! Berhenti memperlakukan keluargamu seperti sampah. Apa yang kau inginkan? Ha! Apa hanya dendam yang ada dalam otak jeniusmu itu he!"

Sasuke hanya diam, menatap dingin temannya.

"Setidaknya berilah ia kabar. Jangan pergi begitu saja. Dan jangan lupa! Urus juga perusahaan ayahmu itu, kau tak kasian melihat Itachi-nii harus bolak-balik Jepang-London! Itachi juga punya kerjaannya di Jerman dan kerjakanlah tugasmu di Jepang sebagai pimpinan yang baik dan dihormati."

Sasuke melangkah pergi, sebelum itu Naruto bersikeras melanjutkan ucapannya.

"Apa gunanya menjadi Yakuza tanpa ada seorang yang mencintaimu dan menantimu di tempatmu pulang! Baka!" Naruto pergi meninggalkan markas itu, dan meninggalkan seseorang yang sedang beraura gelap dalam jiwanya. Sasuke mengepalkan kedua tangannya, marah. Ia kini sedang marah karena perbuatan temannya itu. Akhirnya ia mengangkat smartphonenya dan ...

'Sekarang waktunya dia harus berada disini! Lakukan sesuai perintah ku.' Ucapnya pada orang yang ditelpon.

Seringai tipis muncul dibibirnya yang tipis.

Hinata pov

Hari ini jadwal kuliahku sangat padat, dosennya bener-bener menjengkelkan. Kalo tak salah sekarang sudah pukul 07.23 pm. berarti cukup lama, tidak maksudku sangat lama aku menghabiskan waktu dilab komputer. Yah ini resiko jika kau tak punya komputer untuk mengerjakan tugas-tugasmu. Beruntung belum pukul 8 jadi aku bisa mengganti shift jaga Aoi di minimarket tempatku bekerja. Ku langkahkan kakiku diterotoar dan terlihatlah Mise dan disana berdiri Aoi yang sedang melayani pelanggan.

Saat aku akan pergi ke Mise, dengan tiba-tiba ada sebuah tangan dengan kain yang membekap mulut hingga hidungku dan tercium aroma asing yang membuatku ingat bahwa ini adalah obat bius ku mencoba mempertahankan kesadaranku dengan menekan tombol panggilan cepat pada smartphoneku tak lama panggilan terangkat oleh seseorang dan perlahan kesadaranku hilang. Semuanya gelap.

Ku buka kedua mataku perlahan, dan semuanya tampak putih dan silau. Ku yakin diriku tengah diculik seseorang. Kepalaku sedikit pening mungkin efek dari obat biusnya. Ku tau ini adalah sebuah kamar, bahkan bagiku ini terlalu nyaman untuk dikatakan tempat untuk orang yang diculik. Dan kurasakan tangan dan kakiku terikat tali, memang berniat sekali orang ini untuk menculikku tapi untuk apa? Jika kau cermat pasti dapat mendengar suara musik dj samar-samar dari luar. Dan sekarang aku tau aku berada dimana, Club / Pub / Bar atau sejenis nya. Tempat yang sangat tak ku sukai.

Apa aku harus pasrah atau berontak. Aku sendiri tak tau. Karena menurutku tak ada gunanya juga untuk melawan sementara aku sendiri tak ada yang harus diperjuangkan. Aku bingung untuk apa mereka menculikku yang tak ada apa-apanya. Atau mungkin mereka akan membunuhku dan kemudian mengambil organ-organ vitalku dan kemudian dijual dipasar gelap atau kemungkinan terburuknya aku dijual dan dipaksa menjadi pelacur. Oh tidak ku harap bukan kemungkinan yang terakhir itu. Lebih baik diriku mati daripada harus menjadi alat untuk memuaskan hasrat busuk lelaki hidung belang. I say NO!

Uhh aku terlalu sibuk dengan pemikiran ku sehingga tak menyadari pintu itu terbuka dan kembali tertutup rapat. Terlihat seseorang berpakaian serba hitam dan berambut biru dongker, ku rasa dialah dalang dari penculikanku ini. Dia menatapku dengan sangat intens dan jangan lupa ekspresi dingin di wajah rupawannya.

Orang itu melangkah mendekat ke arah diriku yang terbaring dikasur, aku terus menatap kearahnya. Namun yang ku lihat adalah senyuman yang menawan dan tahukah kalian senyuman itu sangat tulus dan mempunyai maksud lain.

Tampan-tampan ko penjahat, eh jaman sekarang kan penjahatnya keren-keren. Hush diam Hinata kamu ini jangan banyak bergurau, ingat dirimu sedang dalam tak aman.

"Hinata." Dia mengetahui namaku.

"Hinata." Dia berada disampingku.

"Gomen." Dia mengelus lembut pipiku. Dan tunggu apa itu yang dikatakannya? Gomen? Kau yakin dia mengatakan itu.

"Gomen, kau pasti tersiksa ya." Oh dia memang mengatakannya, tapi kenapa dengan kata maaf itu? Bukankah dirinya yang menyuruh anak buahnya untuk menculikku dan apaan ini dengan kata maafnya.

"Kenapa hanya diam saja." Dia masih sama seperti tadi mengelus-elus kulit wajahku. Dan aku masih terdiam.

"Bicaralah. Aku ingin mendengar suaramu." Apa kau yakin dia seorang penjahat? Oh ya ku yakin sekali. Mungkin saja dia salah satu dari penjahat. Misalnya penjahat kelamin.

"Oke. Kamu pasti tak suka dengan kejadian ini apalagi kedua tangan dan kakimu yang terikat. Aku akan menjelaskannya padamu tapi itu nanti aku harus pergi. Riza akan membawakan makanan kesini. Ku harap kamu tak merepotkannya." Dia pergi, tapi sebelumnya dia mengecup keningku dan mengusak ujung kepalaku.

Sekarang apa lagi. Aku tak mengerti dengan semua ini. Di menculikku, mengikatku dengan tali dan apa tadi memberikan aku makanan. Okeh master sepertinya kamu memang seseorang yang misterius. Dan entah kenapa aku tak merasa takut ataupun sedih. Ku merasa aman. Memang terdengar gila, tapi itulah perasaanku saat ini.

'Tok tok tok' suara pintu yang diketuk. Well kurasa untuk seorang penculik tak usah mengetuk pintunya.

Tak lama munculah seorang wanita cantik dan seksi. Tunggu bukan seksi dalam arti memakai bikini dengan thong. Tapi baju ketat warna coklat lengan panjang dengan rompi dari kulit sapi dan celana jeans yang juga ngetat. Terlihat seksi dan berani. Aku harap dia bukan pengguna snipper, karena aku tak suka senjata itu.

Ku menatapnya tajam, setajam apa ya tak bisa ku gambarkan. Tapi tatapan ini adalah tatapan khas orang Hyuuga.

Wanita itu tersenyum, dan itu membuat ku iri karena dia bertambah dua kali cantik dengan senyumannya. Dia menaruh nampan berisi sup dan susu ke nakas.

"Maaf membuatmu bingung." Aku mengernyitkan satu alisku.

"Kau pasti bingung harus apa. Marah, benci, sedih, pasrah, ataupun takut. Ku harap bukan salah satu diantaranya." Dia menyendok supnya kearah mulutku. Tapi ku menolak.

"Ayolah. Jangan membuat aku mati konyol karena tak membuatmu memakan makanan ini." Wajahnya tampak sedih.

"Apa hubungannya hidupmu dengan aku tak mau makan?" Ucapku ketus.

"Sungguh tak masuk akal." Dia tampak kaget dengan ucapanku. Ohh sungguh aku terlalu marah saat ini, semuanya tampak abu-abu. Ya benar, abu-abu sangat membingungkan.

"Aku tak bisa memberitahumu. Karena ku tau master akan marah jika ada yang memberitahumu lebih dulu daripada dirinya." Aku diam dan tatapanku berubah dingin.

"Ayolah jangan mempersulit. Jangan berharap kau akan mati dengan tak mau makan. Kalo tidak ... " dia menjeda ucapannya dan menyimpan piring dan sendok ke nakas.

"Aku akan bunuh diri disini sekarang juga." Ucapnya tegas dan yakin. Aku diam tak menanggapi seolah-olah dia hanya sedang membuat lelucon yang tak seru.

Tunggu, apa itu berwarna merah. Merah darah. Aku tersentak dan tiba-tiba ...

"Tunggu! Kau membunuh dirimu sendiri hanya untuk membuat ku makan? Oh tuhan! Nyawamu tak sebanding dengan makanan-makanan itu." Aku menyentak wanita itu.

"Cantik sih tapi bodoh." Dia hanya terdiam, tak lama tersenyum setelah mataku melirik makanan itu. Ku tau dia mengerti dengan isyarat yang ku buat. Dia mengambil makanannya tapi ...

"Aku bisa makan sendiri. Lepaskan ikatannya." Dia diam tak menuruti kemauanku. Dia akan membuka mulutnya tapi sebelum itu aku memotongnya.

"Jangan khawatir. Aku tak akan kabur. Lagipula aku tak terlalu memikirkan hidupku lagi." Cerocosku. Dia mengangguk. Dan akhirnya aku makan dengan tenang. Well aku masih punya tatakrama kesopanan. Itu adalah pelajaran sehari-hariku waktu aku masih bersama keluarga.

Aku selesai makan. Dia tak langsung membereskan piringnya. Malah dia memegang tangan dan bahuku dan memapahku sambil berkata.

"Ohh terima kasih. Kau sangat peduli terhadap orang lain. Maka dari itu aku akan membantumu mandi." Dan apa yang dia katakan? Membantuku mandi? Seolah-olah aku ini seorang bayi atau pesakitan yang membutuhkan orang lain untuk mandi. NO!

"Ku harap kau tak melecehkan ku nanti." Ancamku. Dia hanya tersenyum.

"Aku tau, dilecehkan itu tak menyenangkan. Aku hanya melaksanakan perintah." Dia terdiam tak lama melanjutkan ucapannya.

"Kau bisa menganggapku pelayan pribadimu." Well aku semakin bingung, adakah seorang sandra mendapat seorang pelayan. Itu terdengar sedikit istimewa.

"Bagaimana bisa aku mendapat pelayan? Dan juga apa ada pelayan yang mengikat majikannya dengan tali? Itu terlalu konyol." Aku muak dan sangat bingung untung saja aku tak mempunyai riwayat hipertensi.

"Kamu terlalu dingin dengan sentuhan jutek nona." Dia tertawa.

"Tapi aku menyukainya. Kamu terlihat seperti master." Dia mengelap semua tubuhku hingga kering dan memakaikan gaun selutut berwarna violet. Dan aku hanya diam seperti boneka diriku saat ini. Dan ku tebak master yang dikatakan wanita itu adalah pemuda yang tadi menemuiku.

"Aku terlihat seperti boneka. Iya kan Riza-san?" Dia menggelengkan kepalanya.

"Bukan nona, anda terlalu indah dibandingkan boneka. Mungkin malaikat lebih cocok." Huhh menggodaku Riza, sayangnya itu tak berpengaruh padaku. Well dia tak menanyakan aku tau darimana namanya, dia wanita cerdas juga cepat tanggap.

Dan kehidupanku di tempat asing ini di mulai.

a.n

Normal pov : sudut pandang author

Kutip satu (') : obrolan via telepon ato gumaman

Kutip dua (") : percakapan langsung

Italic word : bacot author

Gomen sekedar pemberitahuan! !