Bunga Krisan, Simbol Cinta Kita Berdua
Summary: Kiku memikirkan seorang wanita sawo matang yang dulu pernah disakitinya. Lalu bencana melanda negara wanita itu... Dan Kiku tidak tinggal diam...
Bunga Krisan.
Itulah arti namaku, Kiku. Dan anehnya, juga arti dari nama gadis itu.
Seruni.
Itulah namanya dan artinya juga krisan. Bisa dibilang kalau nama kami sama.
Dan entah kenapa, aku senang sekali kalau nama kami memiliki arti yang sama.
Aku ingat sekali saat pertama aku bertemu dengannya. Saat itu masih zaman perang dan Jepang memerlukan bahan pangan yang banyak untuk prajurit-prajuritnya. Kudengar Indonesia adalah negara yang sangat subur dan kaya dengan alamnya dan sudah banyak negara Eropa memperebutkannya. Inilah yang kudengar dari Allied...
"Dia cantiiiiiik sekali! Sangat imuuuut dan seksi! Tamparannya keras sekali... Kalau saja dia lebih menurut..."
"Dia teman baikku! Dia baik kepada semua orang! Dia juga hebat mengurus saudara-saudaranya dan 'anak-anak' di negaranya, aru!"
"Dia benar-benar cantik dan baik. Beda sekali dengan negara-negara cewek yang telah kita temui. Dia masih ada sopan santun dan pernah membantuku menemukan Rafflesia."
"Dia bertanggung jawab dan berani. Dia benar-benar beda dengan saudari-saudariku. Kuharap mereka bisa lebih seperti dia."
"Oh, Nesia! Dia benar-benar kuat! Aku yang hero saja terkesan dengan kekuatannya! Dia benar-benar jadi kuat kalau sudah menyangkut 'anak-anaknya'!"
Singkat kata, dia mengesankan semua dari Allied. Walau France sepertinya melecehkannya... Itu membuatku semakin penasaran orang seperti apa dia. Akhirnya aku pergi ke Indonesia dan langsung terkesima dengan keindahannya, walau ada bekas-bekas pertempuran disana-sini. Aku juga melihat banyak gedung yang sepertinya dibuat oleh Netherlands, negara Eropa yang paling lama disini. Kudengar dia sudah cekcok dengan berbagai negara untuk mempertahankan Indonesia dan walau pun dia teman baikku, aku membutuhkan pangan dari Indonesia.
"Eh... Siapa laki-laki itu? Dia tidak seperti orang-orang tinggi aneh itu!"
"Dia kayak orang Asia... Dari negara mana ya dia?"
"Sssst! Jawa! Dia bisa mendengar kita!"
Aku menoleh dan melihat sekelompok anak-anak berkulit sawo matang bersembunyi di belakang pohon-pohon kelapa, mamandangku dengan mata hitam besar yang penasaran.
"Eeeh! Sumatra! Dia melihat ke arah kita!"
"Kalimantan! Diam!"
"Waaah! Dia berjalan ke arah kita!"
"Kabur!"
Mereka semua berbalik dan berlari, padahal aku hanya ingin menyapa mereka. Karena tidak ada orang pribumi lainnya, aku pun mengejar mereka. Karena kakiku lebih panjang aku bisa menyusul mereka tapi supaya mereka tidak lebih ketakutan lagi, aku menjaga jarak dengan mereka.
"Eeeeh! Sulawesi! Cepat dong larinya!"
"Papua! Jangan cepat-cepat! Pelanan dikit dong!"
"Yeee! Gimana bisa cepat! Orang yang mengejar kita itu pria dewasa!"
"Kak Nesiaaaa!"
"Kakak! Kakak Indonesia! Orang itu mengejar kami!"
"Waaaa! Takut!"
"Sssshhh. Ambon dan Sofifi. Jangan nangis ya. Biar kakak yang urus orang ini. Masuk ke dalam rumah ya? Ya?"
Satu demi satu anak-anak tersebut masuk kedalam rumah kayu yang bobrok dan wanita berambut panjang yang dari tadi memunggungiku akhirnya berbalik. Aku menahan napas.
Wanita itu CANTIK.
Tubuhnya yang berlekuk dipeluk dengan pakaian tradisionalnya yang bewarna hijau hijau toska dan kain cokelat bercorak bunga dan daun (Kalau tak salah namanya batik). Kulitnya yang sawo matang seperti anak-anak tadi berkilat dibawah sinar matahari. Rambut ikalnya hitam dan mencapai lututnya. Bibirnya yang bewarna pink terang terkatup rapat. Mata besarnya yang bewarna hitam pekat memandangku dengan curiga dan ancaman tersirat. Di tangan kanannya terdapat celurit tajam yang dipegangnya dengan erat yang aku sangat yakin, dapat membunuhku dalam sekejap kalau aku macam-macam.
"Siapa kau?" Matanya berkilat berbahaya. Lebih berbahaya dibanding mata Belarus, adik perempuan Russia. Aku tahu, kalau perempuan Asia ini kuat, sangat kuat. Aku pun sadar lehernya dibalut perban, tanda bahwa ia telah berperang sebelumnya. Tanda bahwa ia telah bertahan hidup di tengah kerasnya perang.
"Namaku Jepang. Aku datang untuk membebaskanmu dari tangan penjajah."
Wajahnya perlahan-lahan melunak tetapi matanya meneliti setiap senti tubuhku. Aku pun diam. Biarlah perempuan ini memutuskan untuk percaya padaku atau tidak.
"Kau datang untuk apa?"
"Untuk membebaskanmu dari cengkraman penjajah Netherlands itu."
"eh? apa katanya?"
"Sssst. Kupang! Suaramu kebesaran!"
"Maaf, Jambi!"
"sssssttttt!"
Aku melirik ke belakang Indonesia, banyak anak-anak mengintip dari celah pintu dan jendela. Mereka semua berkedip heran. Entah kenapa rasanya gugup dipandang oleh 10... 20... 30.. pasang mata hitam besar milik anak-anak berkulit sawo matang... Dan itu belum termasuk mata Indonesia. Indonesia, tampak malu dan kesal, menoleh ke belakang dan semua anak langsung masuk ke dalam lagi. Indonesia menghela napas dan melebarkan jejakan kakinya, membuat kain batiknya tersingkap dan memamerkan kakinya yang 'bercahaya'. Dengan kesadaran penuh aku berusaha untuk tidak memandangi kakinya.
"Jadi, Jepang, kau ingin membebaskanku dari kepala tulip bodoh itu?"
"Ya."
Dia memandangiku lagi dengan matanya yang sekarang mengingatkanku akan mata elang. Tajam, dingin, dan berbahaya. Aku diam-diam terkagum-kagum dengan matanya itu. Setelah beberapa menit, dia menutup mata dan menghela napas. Dia pun menjatuhkan celuritnya. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum penuh kemenangan ketika...
Dia tersenyum.
Matanya kini tidak menyiratkan curiga namun kehangatan musim panas dan bening seperti mata air. Angin berhembus lembut menerpa kami dan entah bagaimana ikatan kepangnya lepas dan rambutnya yang tebal terurai dan bercahaya dibawah sinar mentari. Wajahnya tidak lagi masam dan sekarang terlihat berseri-seri, seiring rona pink menghiasi pipinya. Dalam sekejap, saat dia tersenyum, seluruh dunia menjadi putih. Senyumnya semakin lebar saat aku balas tersenyum.
"Namaku Indonesia, kau boleh memanggilku Nesia."
Mungkin, mungkin perasaan aneh yang hangat ini muncul di saat dia pertama tersenyum kepadaku.
Beberapa hari setelah itu, aku bertanya kepadanya nama aslinya setelah ia menidurkan 'anak-anaknya'.
"Nesia-san?" Aku mengajaknya bicara sembari dia menyeduh teh untuk kami berdua. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Ya?"
"Siapa namamu?"
"Kau penasaran, Jepang? Kuberitahu kalau kamu memberitahu namamu, Jepang!"
Kadang aku lupa, kalau Indonesia itu suka iseng.
"Baiklah. Namaku Kiku Honda." Indonesia tersenyum senang dan mendekat kepadaku. Kedua tangannya menopang dagunya dan ia menatapku dengan mata berbinar-binar.
"Artinya apa?"
"Artinya... Bunga krisan..."
Dia terlihat kaget. Mulutnya mengangga dan matanya melebar. Lalu ia tertawa kecil.
"Namaku Raden Ayu Seruni Nirmala." Dia tersenyum. "Raden itu gelar. Ayu berarti muda, Nirmala berarti suci dan Seruni artinya..." Dia tertawa lagi.
"Artinya apa?" Tanyaku sabar.
"Bunga krisan! Nama kita memiliki arti yang sama! Kebetulan sekali ya?"
"suit suit..."
Aku dan Indonesia menoleh ke arah pintu. Beberapa pasang mata menatap kami sedetik sebelum mereka menutup pintu.
...
...
...
"Kurasa sudah waktunya aku pulang."
"Eh? Oh. Ya..."
"Terima kasih atas tehnya."
"Sama-sama."
Indonesia mengantarku sampai pintu dan aku berbalik untuk tersenyum kepadanya. "Ne, Nesia-san? Bolehkah aku memanggilmu dengan nama aslimu?"
"Eh?" Semburat pink muncul di kedua pipinya. "B-Boleh... Aku boleh memanggilmu... Kiku?" Wajahnya tambah merah. Aku terpana sejenak sebelum tersenyum.
"Boleh."
Perasaan hangat itu semakin kuat dan sejak hari itu, kami saling memanggil nama asli masing-masing.
"Seruni-san, boleh tambah nasinya?"
"Tentu saja boleh, Kikkun~"
"Seruni-san, ohayou."
"Selamat pagi, Kikkun."
"Kikkun! Tolong! Ada ulat!"
"Wah! Hati-hati, Seruni-san!"
"Ulat! Kikkun! ULAT!"
"Iya! Aku taruh jauh-jauh!"
Kalau aku boleh jujur, kurasa senyumannyalah yang telah menguatkan hatiku dengan perang ini. Hubungan kami baik-baik saja sampai...
Sampai hari itu...
"Kikkun! Mana janjimu untuk memberikanku kemerdekaan! Yang kau lakukan hanya membuat rakyatku menderita! Kau membuat kami kerja paksa! Merampas semua makanan kami! Sekarang makin banyak orang jatuh sakit! Belum lagi kamu memaksa orang-orangku untuk menjadi prajuritmu! Adik-adikku semuanya terluka! Hal itu membuat kami makin susah! Ini sama saja dengan penjajahan! Kikkun! Jawab aku! Dimana janjimu padaku?"
Aku hanya memandang wanita berkulit sawo matang itu dengan mata dingin. Dia hampir menangis, air mata mulai menggenang dimatanya.
"Maaf Seruni-san. Tapi aku bohong tentang memberimu kemerdekaan. Sekarang kau milik negara Jepang. Kau harus mendengar kataku. Perang semakin membuat posisiku terjepit dan aku butuh semua bantuan yang kupunya."
"Bantuan katamu? Ini penganiayaan! Perbudakan! Penjajahan! Lepaskan aku sekarang juga! Biarkan aku bebas!"
Dia mengacungkan bambu runcingnya padaku, aku diam saja, hanya menatapnya dengan mata yang kosong. Tampaknya ini membuatnya makin marah dan dia bergerak untuk menyerangku. Dengan gerakan yang cepat dan terlatih, aku berhasil merampas bambunya dan melemparnya ke pojok ruangan. Aku mengunci kedua lengan Indonesia dibelakangnya dan menahan tubuhnya ke meja kerjaku dengan memegangi kepalanya. Sekarang air mata sudah mengalir bebas, membasahi permukaan meja.
"Maaf Seruni-san. Tapi kau tak bisa menang melawanku. Adik-adikmu sudah kutahan. Saudara-saudaramu seperti Malaysia, Singapore, Kamboja, Vietnam, semuanya sudah jatuh ke tangan negara Eropa. Kau sendirian. Kau takkan bisa mengalahkanku. Kau kalah."
Dia meronta-ronta dan berteriak-teriak. Akhirya aku melepas kedua tangannya dan Indonesia kembali berdiri tegak dengan air mata berlinang dan mata yang berkilat penuh amarah.
"Padahal... Padahal... Kukira kau berbeda dengan semua laki-laki Eropa itu! Kalian memberiku janji manis... Tapi semuanya bohong! Kalian semua sama saja! Pembohong! Penipu!"
"Maafkan aku, Seruni-san. Tapi negaramu sudah dibawah kekuasaanku. Aku bebas melakukan apa saja di tanah ini karena KAU adalah milikku. Kau harus menurut pada perintahku."
"Tidak! Aku menolak! Aku tidak mau! TIDAK MAU! TIDAK MAU! Kikkun bodoh! Kikkun bodoh! Ki-"
PLAK!
...
...
...
...
...
Mataku dan matanya melebar karena shock. Tangan kananku yang kupakai untuk menamparnya langsung gemetar. Wajah Indonesia terpaling ke kanannya. Bekas bewarna merah terlihat jelas di pipi kirinya. Aku bisa merasakan telapak tanganku basah karena air matanya. Indonesia mengangkat tangannya dan menyentuh pipinya yang telah kutampar dan menatapku. Bisa kulihat dimatanya dengan jelas, ketakutan, keterkejutan, kebingungan, amarah, dan... kesedihan.
"Seruni-"
"BODOH! BODOH! IDIOT! JELEK! JEPANG SUDAH BENAR-BENAR KELEWATAN! Padahal... Padahal aku... JEPANG BODOH!"
Dia berbalik dan berlari keluar dari ruangan sementara aku hanya bisa terdiam. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku terasa berat dan aku tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan sakit. Suaraku tidak mau keluar. Ruangan menjadi terasa dingin sekali. Aku tahu, bahwa aku telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Dan Indonesia tidak lagi memanggilku 'Kikkun.'
Entah kenapa, itu membuatku merasa lebih merana lagi. Perasaan hangat yang hanya kurasakan saat bersama Indonesia pun tiba-tiba hilang.
Tak lama setelah itu, Hiroshima dijatuhi bom atom oleh Amerika dan Nagasaki menyusul. Dua kota penting Jepang telah hancur dan prajurit-prajurit kami telah kewalahan. Anak kecil pun tahu kalau Jepang tak bisa lagi bertempur dan itu berarti aku harus menyerah dan...
Melepaskan Indonesia
Saat aku mendengar hal itu dari bosku, sesuatu didalamku hancur. Aku harus melepaskan wanita itu. Kalau aku melepasnya, negaraku tidak perlu berperang dengan negaranya. Aku bisa fokus memulihkan negaraku dan Indonesia akhirnya mendapat kemerdekaan yang didambakannya. Semua orang senang.
Tapi kenapa aku merasa lemah dan lebih berat lagi daripada sebelumnya?
Selama 3 hari itu, aku hanya bisa menyaksikan bosku dan Indonesia mendiskusikan tentang pelaksanaan proklamasi dan sebagian adik Indonesia menekan Indonesia untuk mempercepat proklamasi. Aku hanya melihat Indonesia dari jauh dan dia menolak untuk melihatku. Aku bisa menyentuhnya diam-diam saat ia tertidur ditengah pekerjaannya. Aku masuk ke dalam kantornya dan mendapati wanita itu tertidur di mejanya. Aku hanya mengelus pipinya dan entah kenapa itu membuatku hatiku sedikit ringan. Setiap malam aku membisikkan maaf kepadanya dan kata-kata manis lainnya, untuk mengisi kekosongan dihatiku. Tetapi saat aku mendengar proklamasi kemerdekaannya, aku sadar...
Aku harus merelakannya...
Malam harinya, aku berdiri di depan rumahnya dengan koper besar disampingku dan sebuket bunga krisan ditanganku. Aku akan naik kapal dan kembali ke Tokyo, sudah tak ada alasan bagiku untuk tinggal disini. Tapi sebelum itu...
"Seruni-san? Kau ada didalam? Ini aku, Kiku."
Tidak ada jawaban, tapi aku bisa melihat sepasang mata hitam milik seorang adik Indonesia memandangku dari balik jendela dan anak-anak lain ikut bergabung.
"Aku akan berangkat ke Tokyo malam ini dengan kapal. Aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan denganmu. Aku akan pulang ke negaraku." Aku tersenyum sedih. "Aku membawakan hadiah perpisahan untukmu. Sebuket bunga krisan. Bunga krisan itu arti nama kita berduakan? Aku sudah memeliharanya di kebunku dengan baik dan syukurlah, mekar disaat yang tepat." Betapa senangnya hatiku, saat aku melihat siluet seorang wanita di dekat jendela. "Aku mengikatnya dengan pita warna merah dan putih. Keduanya warna benderamukan? Keduanya warna benderaku juga. Lagi-lagi ada kebetulan diantara kita, ya Seruni-san?" Senyumku bertambah lebar.
"Aku... Aku minta maaf karena sudah menamparmu tempo hari... Aku tak taku apa yang merasukiku saat itu. Aku tidak mau menyakitimu tapi ini zaman perang... Aku..." Aku mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu apakah kau akan memaafkanku setelah apa yang telah kuperbuat terhadapmu dan negaramu. Kalau kau memang tidak mau memaafkanku, aku mengerti. Tapi tolong ingat dua hal ini, Seruni-san. Pertama, aku benar-benar bersyukur telah bertemu denganmu. Aku tak mau menjalani hidup tanpa mengenalmu. Aku tidak bohong. Dan kedua..." Aku kembali mengambil napas panjang.
"Walaupun hanya untuk tiga setengah tahun, aku menikmati hari-hariku bersamamu. Aku tidak menyesal. Walau pun terisi dengan kekerasan perang, aku tidak menyesal berada disisimu. Aku tidak tahu kemana takdir akan mengarahkan kita berdua tapi aku yakin kalau kita berdua akan berusaha di jalan masing-masing. Dan kalau takdir mempertemukan kita kembali, aku akan sangat senang." Aku membungkuk dan menaruh buket bunga krisan di kesetnya. Senyum pahit terlihat jelas diwajahku saat kusadari semua adi-adik Indonesia memandangku dari balik jendela.
"Aku takkan pernah melupakanmu, Seruni-san."
Aku pun melangkah, melangkah pergi dari rumah Indonesia dengan hati yang tersayat-sayat dan perasaan dingin menjalar seluruh tubuhku.
Sejak saat itu, aku hanya bertemu Indonesia pada saat World Conference, itu pun tempat duduk kami saling berjauhan. Kami tak pernah saling menyapa, hanya melirik. Setiap kali aku melihatnya, dia bertambah cantik dan disaat yang sama, terlihat lelah sekali. Dari yang kudengar dari Thailand, negara yang dekat Indonesia, banyak pemberontakan dan praktik korupsi di negaranya, belum lagi ada kasus negara lain mengeksploitasi kekayaan alamnya secara ilegal dan diam-diam berlayar di perairan Indonesia. Lalu ada kasus bom di salah satu provinsinya yang bernama Bali dan menewaskan banyak orang termasuk turis luar negeri, membuat posisi Indonesia terjepit karena banyak negara menyalahkan dia. Thailand juga menambahkan, terjadi debat seru tentang wilayah Indonesia yang diklaim milik Malaysia. Tampaknya masalah demi masalah datang menerpa Indonesia. Aku mau tak mau merasa simpati padanya, adik-adiknya itu banyak sekali dan kudengar ada adiknya yang melepaskan diri dan menjadi negara tersendiri bernama Timor Leste dan itu membuat seorang adik yang lain bernama Aceh juga ingin melepaskan diri.
Aku bisa melihat kecapaian yang luar biasa di wajahnya yang cantik itu. Aku tahu, kalau ia ingin menangis tapi tidak bisa. Tubuhnya juga makin kurus. Amerika dan Cina sudah banyak membantunya tapi sepertinya Indonesia tetap dibuat kewalahan.
Aku sering dapat berita kalau Indonesia sering dilanda gempa dan angin topan tapi tak ada yang lebih parah daripada hari itu...
Aceh, 26 Desember 2004
Gempa bumi tektonik sebesar 8,5 SR terjadi di dalam laut Samudera Hindia dan disertai gelombang tsunami yang menyapu beberapa negara lain dan melayangkan ratusan ribu nyawa. Aku tidak tahu secara pasti berapa jumlah penduduk Indonesia yang tewas tapi aku tahu, Indonesia membutuhkan semua bantuan yang ada. Karena aku berada di kawasan Asia, aku termasuk yang paling cepat sampai disana.
Hatiku merasa miris saat aku melihat kekacauan di daerah Aceh. Bangunan rusak atau sudah benar-benar habis, genangan air dimana-mana, puluhan ribu mayat yang terdiri pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi terserak dimana-mana. Teriakan minta tolong dan raungan tangis terdengar di segala penjuru. Rasanya seperti melihat kekacauan Hiroshima tempo dulu setelah dijatuhi bom atom. Orang-orangku langsung bergerak dan menolong orang-orang yang masih hidup dan sebagian membawa mayat korban ke tempat lain. Aku dan Jawa yang sudah beranjak remaja menyusuri puing-puing, mencari Indonesia dan Aceh. Aku bisa melihat negara-negara lain dan adik Indonesia yang lain ikut bergabung membantu korban bencana.
Selagi aku dan Jawa berjalan, aku memikirkan apa yang akan kukatakan pada Indonesia pada saat aku bertemu dengannya. Kata 'halo' sama sekali tidak mungkin, dilihat dari situasi ini. Kata 'apa kabar' juga tidak mungkin. Kalau pertanyaan baik-baik saja atau tidak mungkin bisa...
"Kak Jepang! Itu dia Kak Nesia dan Aceh!"
Ah!
Didepan kami terbaring seorang wanita di tanah, memeluk erat seorang anak laki-laki yang balik memeluk erat tubuhnya yang berlekuk. Rambut hitam panjangnya tergerai kemana-mana. Ada luka-luka berat dikeduanya. Aku dan Jawa spontan berlari kearah mereka. Jawa menarik anak laki-laki itu, Aceh dan langsung pergi membopongnya ke posko terdekat. Aku berlutut di sebelah Indonesia dan dengan hati-hati mengangkat tubuhnya yang gemetaran. Kupeluk ia ke pangkuanku dan dengan lembut menyingkirkan rambutnya yang berantakan dari wajah cantiknya. Kapan terakhir kali aku sedekat ini dengannya?
"Oh, Seruni-san... Entah apa yang harus kukatakan padamu sekarang..." Aku mendekapnya lebih dekat lagi, menempelkan pipiku didahinya. Sedikit demi sedikit perasaan hangat itu kembali, membuatku tersenyum kecil. "Syukurlah kau baik-baik saja... Aku takut sekali terjadi apa-apa padamu..." Aku menutup mata, menghirup wangi tubuhnya yang seharum bunga.
"Aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi..."
"...aku juga, Kikkun..."
Mataku langsung terbuka dan melebar. Mata Indonesia terbuka dan menatapku penuh dengan kasih sayang. Aku membuka mulut hendak berbicara tapi suaraku tidak mau keluar. Aku hanya termangu menatap wajah cantik Indonesia. Seulas senyum muncul di wajahnya yang sekarang terlihat damai.
"...Kikkun..."
Tangan kecilnya yang berdarah menyentuh pipiku untuk beberapa detik. Mata kami saling menatap. Mata Indonesia kini berkaca-kaca dan setitik air mata jatuh ke bajunya yang sudah terlanjur basah oleh genangan air. Tiba-tiba saja kedua tangannya melingkari leherku, mendekapku lebih dekat kepadanya.
"Aku sangat sangat sangat rindu padamu, Kikkun..."
Aku terdiam sebentar sebelum memerutnya lebih erat lagi. Dalam detik itu juga, seluruh dunia menjadi putih dan tidak terdengar suara apa pun, hanya bunyi detak jantung kami terdengar olehku. Mataku melebar lagi ketika kusadari ada kepangan kecil di rambut tebalnya yang diikat dengan pita putih dan merah. Hatiku langsung terasa 'melayang' Indonesia meyimpan kedua pita itu selama ini... Aku tersenyum dan mengecup kepalanya.
"Watashi mo jissai ni wa, Seruni-san...*"
Kami terus berpelukan sampai Jawa memanggil kami. Jawa menggoda Indonesia saat aku menggendongnya bridal style ke tenda darurat terdekat, disambut oleh nation lain. Semua orang terlihat kaget sekali saat kami tiba. Adik-adik Indonesia dan Amerika langsung menggoda kami. Bisa kulihat kalau pipi Indonesia langsung memerah karena malu dan aku tertawa kecil.
Semuanya akan baik-baik saja. Indonesia akan kembali pulih dengan bantuan dan dukungan semua orang. Aku bersumpah, aku akan ada disisinya saat masalah datang dan akan memeluknya saat itu juga. Aku takkan membiarkan apapun menyakitinya. Takkan lagi kubuat dia menangis. Perasaan hangat itu telah kembali dan jauh lebih kuat lagi. Kalau sekarang aku harus berperang melawan dunia, aku pasti bisa melawan dan mengalahkan mereka semua. Lagi dan lagi dan aku pasti akan menang.
Karena sekarang Indonesia telah menerimaku kembali.
Kalau sampai aku menyakitinya lagi, biarlah ribuan katana menebasku...
To be continued...
Yay! Fic Hetalia pertamaku selesai! Maaf kalau ada pengetikan yang salah dan kalau Japan agak OOC... Saya sudah berusaha agar sebisa mungkin mendekati timeline sejarah... Di fic ini Jawa, Aceh dan provinsi lainnya kubuat personifikasinya walau masih belum kutentukan mana laki-laki dan mana perempuan (Jawa dan Aceh cowok). Disini Indonesia takut dengan ulat karena... Yah, akhir-akhir ini banyak ulat bulu merusak tanaman di negara kita ini... Sepertinya reader sudah mengerti dengan pemboman, masalah pemisahan diri Timor Leste, pemberontakan, korupsi dan masalah lainnya yang disebutkan Jepang ya? Zaman Orde Lama - Reformasi benar-benar heboh ya?
Saya berencana untuk membuat fic ini twoshot atau threeshot (Saya berharap twoshot sih) tapi itu tergantung dengan review yang saya terima. Di chapter berikutnya adalah saat Jepang terkena gempa dan Kiku menyadari sesuatu...
*Aku juga sangat merindukanmu
TUNE IN! Tolong tunggu update saya!
Dan tolong REVIEW!
No flame please! QAQ
