Lensa itu terfokus. Sasuke menahan napas. Diam-diam, seperti kebiasaannya bertahun-tahun belakangan, jemari itu menekan tombol pengambilan gambar. Tidak ada suara. Foto hasil jepretannya muncul di layar kamera. Sasuke merasakan frekuensi degup jantungnya sedikit meningkat, kala oniks hitam itu menatap sosok gadis yang ada di dalam foto.

Senja itu di sisi kanan jembatan penyeberangan.

Matahari terbenam. Helai rambut merah muda yang berkibaran.

.

a Naruto fanfiction written by GinevraPutri:

Photograph

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Alternate Universe [AU]

Rating T

.

[S-Savers Contest: Banjir TomatCeri 2016]

Kategori: Best SasuSaku AU

Prompt #18

.

"Kamu sendiri, memangnya punya mimpi yang nggak bisa dipenuhi kenyataan?" —Senja itu di sisi kanan jembatan penyeberangan. Matahari terbenam. Helai rambut merah muda yang berkibaran. [S-Savers Contest: Banjir TomatCeri 2016]

.

Sakura menghembuskan napasnya keras-keras. Saat ini, ia kira tidak masalah meluapkan kekesalannya. Toh di sini tidak akan ada yang menemukannya— sedang mencengkram kuat-kuat palang jembatan penyeberangan, mengomel dalam hati pada senja. Tidak seorang pun akan meledeknya karena bertingkah macam kanak-kanak, terutama pemuda yang menjadi alasannya bertingkah macam kanak-kanak itu sendiri.

Sakura menangkupkan kedua tangannya ke wajah.

Sebenarnya memang bukan urusan Sakura, mau Sasuke bolos sekolah, mau Sasuke tidak mengerjakan tugas, mau Sasuke tidak naik kelas— sebenarnya memang bukan urusan Sakura. Sakura bukan siapa-siapa. Oh, ya, sudah rutinitas Sakura untuk mengingatkan diri sendiri kalau ia bukan siapa-siapa. Tapi tetap saja, waktu pemilik netra emerald itu tahu alasan Sasuke menghilang dari sekolah selama satu minggu terakhir benar-benar sepele, ia jadi jengkel sendiri. Pasalnya, Sakura sudah menduga hal yang tidak-tidak terjadi tiap kali ia mengetuk pintu rumah Sasuke untuk berangkat sekolah bersama dan tidak ada jawaban. Ayah ibunya bilang orang tua Sasuke sedang mengunjungi saudara ke luar kota, tapi bocah sialan itu ada di rumah.

Dan, yang paling parah, Sakura jadi tidak bisa tidur karenanya.

"Sakura?"

Menyumpah dalam hati, jantungnya melonjak. Sakura mengalihkan pandangannya dari matahari terbenam ke arah datangnya suara. Vokal itu sudah sangat dikenalnya— selama ini, bertahun-tahun, kesan tidak peduli yang ditinggalkan dalam nada bicaranya itulah yang dahulu kala menggugah Sakura untuk mencari tahu.

Saat itu pertengahan musim panas, waktu Sasuke pertama kali menempati rumah sebelah.

.

"Sakura?"

Ibunya memanggil, menyuruhnya berganti baju. Ayo pergi ke tetangga baru mengalun lembut diiringi tawa sewaktu Sakura mengerjap curiga. Mengangguk mengiyakan— baju panjang selutut warna merah muda, khas Sakura sekali.

Ada anak kecil, cerita ibunya. Teman bermain baru, pikirnya.

Sakura tersenyum lebar. "Perempuan?"

Ibunya tertawa kecil. "Laki-laki."

Waktu itu benak kecilnya belum mampu menampung pertanyaan tentang bagaimana ia bisa bermain dengan anak laki-laki, tapi begitu ia mendengar Uchiha Sasuke bicara untuk pertama kali—

"Jadi benar, semua anak perempuan itu penggila merah muda?"

Sakura mengangkat alis keheranan. Sasuke lebih tinggi dan lebih angkuh dari Sakura. Sorot matanya tajam dan lidahnya juga tajam. Rambutnya berantakan. Sebuah kamera dengan tali menggantung dari lehernya. Ia sama sekali tidak tersenyum waktu Sakura menyebutkan namanya.

Menangkap tatapan oniks hitam itu bolak-balik mengarah pada baju dan rambutnya yang senada, ingin hati Sakura mendebat, memangnya kenapa? Tapi niatnya urung karena sang ibu sudah selesai bercakap-cakap dengan Nyonya Uchiha. Sakura tidak sempat bicara, jadi ia memutuskan untuk bicara pada pertemuan selanjutnya, percakapan selanjutnya, perdebatan selanjutnya.

Ia mengetuk pintu rumah sebelah keesokkan harinya.

.

"Apa?"

Balasan itu kelewat garang, dan Sasuke perlu menghela napas mendengarnya. Tangannya sudah gatal ingin menyentuh kamera yang menggantung di dada itu, begitu tahu matahari terbenam pasti epik untuk dijadikan objek foto. Ini momen penting yang tidak boleh dilewatkannya— tapi Sakura juga hal yang penting. Jadi ia mendekat satu dua langkah, menyejajarkan tubuhnya di samping palang jembatan, menatap Sakura lekat-lekat.

Mengabaikan senja untuk sementara waktu.

"Besok aku masuk sekolah," ia perlahan angkat bicara.

Yang diajak omong diam saja.

"Kita berangkat sama-sama, ya? Aku yang jemput."

Sekali itu Sakura mendengus, melempar pandang jengkel ke arah kamera Sasuke. "Kameramu sudah berfungsi, memangnya? Nanti kalau tiba-tiba rusak lagi, terus kamu memutuskan bolos sekolah satu minggu buat memperbaikinya, dan nggak kasih kabar apa-apa—"

Sasuke terlihat sedikit merasa bersalah. "Maaf deh, Sakura."

Hening.

"Nggak apa-apa," Sakura membalas pelan. "Toh aku nggak berhak marah-marah soal apa pun."

Kalau sudah begini, Sasuke jadi benci diri sendiri. Ia tidak suka Sakura menyalahkan kecemasannya, apalagi kalau yang sebenarnya salah adalah Sasuke.

"Oh, kamu berhak, kok."

Gadis itu tampaknya mau mendebat, tapi akhirnya hanya bungkam. Sasuke jadi merasa berhutang penjelasan.

"Sas?"

Tertegun, memiringkan kepalanya, mengikuti arah pandang Sakura yang menunduk. "Ya?"

"Maaf ngerepotin," netra emerald itu mengerling ragu, "tapi lain kali kasih kabar, ya?

Sasuke mengacak rambut Sakura pelan— nyengir sekilas. "Kalau kangen nggak usah segitunya, dong."

Semburat merah menjalar ke pipi Sakura. Merah muda itu membuang muka. "—sok tahu kamu."

Sasuke tertawa. Selalu begitu, untuk hal-hal kecil tentang Sakura yang sanggup membuatnya tergila-gila.

"Ngomong-ngomong," Sakura masih belum mau kembali menatap Sasuke, "segitu pentingnya ya, kamera itu?"

Sasuke mengangguk singkat, tidak berkomentar apa-apa. Kemudian menambahkan sedetik kemudian, "Ada foto yang penting. Itu saja."

Sakura menggumamkan 'oh'-nya dengan sedikit tak rela. "Foto apa?"

Sasuke sempat menyampirkan senyum samar sekilas.

"Rahasia."

.

Sakura balas tersenyum getir.

Sakura kadang sebal sendiri kalau Sasuke menyembunyikan sesuatu darinya. Selama mereka saling mengenal, Sakura selalu cerita apa adanya dan Sasuke juga selalu cerita apa adanya. Setidaknya Sakura kira begitu. Kendati ada satu hal yang tidak bisa ia sangkal— Sasuke dan kamera sialan itu punya lebih banyak cerita untuk dibagi bersama. Ini gila, untuk cemburu pada benda mati, tapi Sakura benar-benar jengkel. Kamera itu selalu menempel dengan Sasuke kemana pun ia pergi. Kamera itu pula yang selalu Sasuke genggam apa pun yang ia lakukan. Kamera itu selangkah di depan Sakura— satu-satunya yang lebih dekat dengan Sasuke dari dirinya.

Oh, ia sudah bilang kalau ia gila, kan?

Sakura tahu ini tidak rasional, tapi Sakura benci kamera itu. Benciii sekali.

"Kenapa suka fotografi sih, Sas?" sudah puluhan kali meluncur dari bibirnya dengan nada yang berbeda-beda.

Tapi jawaban yang didapat selalu sama— "Dunia kelihatan sempurna di dalam foto."

Itu sih, tidak membantu apa-apa. Sakura tetap saja tidak mengerti apa maksudnya, atau dari sebelah mananya dunia kelihatan sempurna— argh. Terserah, deh. Belum sempat bertanya lebih lanjut, Sasuke sudah kembali sibuk memotret sana-sini. Tidak salah kan, kalau Sakura bilang kamera bodoh itu mencuri momen-momen mereka?

"Sas," kali ini ia menyeletuk lagi.

Sasuke menurunkan kameranya dari depan mata. "Ya, Ra?"

"Berhenti sebentar, bisa?" Sakura menghela napas. "Kamu sudah ngambil foto matahari terbenamnya tiga kali."

"Oh—" Menggaruk tengkuk, mengangguk. "oke."

"Memang mataharinya kelihatan sempurna banget, ya?" Sakura mengerling sekilas. "Kamu bilang, dunia kelihatan sempurna kalau dalam foto."

Sasuke mengangkat alis. Jari-jemari menyentuh sisi kanan-kiri kepala Sakura dan memiringkannya ke arah bawah jembatan penyeberangan, supaya ia bisa melihat jalan raya di bawah sana.

Kendaraan berdesakan memenuhi aspal, klakson berbunyi di sana-sini, asap knalpot membumbung tinggi.

Kemudian Sasuke kembali mengarahkan kepala Sakura ke matahari yang terbenam.

"See?" Pemuda itu melepaskan tangannya dan mengangkat bahu. "Di dalam foto, yang mereka lihat cuma mataharinya. Nggak akan ada yang tahu gimana bisingnya suasana sekarang ini."

Sakura mengangkat alis. "Itu yang kamu maksud sempurna? Karena mereka nggak akan lihat cacatnya?"

"Mereka cuma lihat ketenangan," Sasuke meneruskan, "cuma lihat segala sesuatu yang ingin mereka lihat dan nggak perlu repot-repot diganggu oleh kenyataan."

Jeda.

"Tapi kenyataan bagian yang penting, kan?" Sakura mengucap. "Maksudku, kita nggak bisa— membiarkan diri kita tertipu oleh selembar foto, dan menyamakan keadaan seperti imajinasi kita. Kenyataan selalu penting, karena kita nggak hidup dalam imajinasi."

"Masalahnya, kenyataan nggak pernah memberi celah kita untuk melihat dunia dari sudut pandang lain," komentar Sasuke. "Nggak akan pernah membiarkan kita mengubah situasi semau diri sendiri."

"Maksudnya?"

"Kenyataan akan terus berjalan, seperti itu saja, dan mimpi-mimpi kita yang terlalu muluk untuk terkabul itu bakal cuman jadi sekedar mimpi. Selamanya. Nggak ada cara untuk mengubah sesuatu yang sudah terlanjur terjadi, kecuali beranggapan semuanya sempurna."

Sakura menggumam pelan. "..kecuali kita menipu diri sendiri untuk melihat semuanya sebagai sesuatu yang indah— sebagai sesuatu yang kita impi-impikan."

"Tepat, Sakura." Oniks hitam itu menghangat.

"Kalau gitu, kenapa nggak mengubah kenyataannya saja?"

Sasuke tertawa singkat. "Mungkin mereka nggak pernah punya cukup keberanian, dan mimpi-mimpi itu cuma jadi sebatas deretan foto yang bisa dilihat kesempurnaannya kapan pun mereka mau."

Sakura menimbang-nimbang ucapannya sebelum menoleh ke arah Sasuke. "Kamu sendiri, memangnya punya mimpi yang nggak bisa dipenuhi kenyataan?"

Sasuke mendadak terdiam.

.

Sasuke suka mengamati wajah Sakura kalau gadis itu sedang melihat ke arah lain. Paduan rambut merah muda terangnya di atas kulit putih, ditambah netra emerald yang selalu terlihat bersinar— apa lagi yang kurang? Sasuke pernah menanyai diri sendiri kenapa harus Sakura, kenapa harus gadis cemerlang itu yang mendiami rumah sebelah rumahnya, kenapa sekolah mereka harus selalu sama. Separuh diri Sasuke bilang itu hanya kebetulan, tapi separuhnya lagi mendengus tak percaya. Konyol kalau Sasuke bilang ini takdir, tapi seperti yang semua orang sembunyikan diam-diam di dasar hati mereka, ia percaya takdir. Mungkin Sakura adalah satu-satunya orang yang bisa menghadapi semua ketidakpeduliannya, berbagi tawa yang jarang disuarakannya, bahkan mengerti masalah-masalahnya. Mungkin Sakura memang sengaja ditakdirkan untuknya.

Sasuke kadang memikirkan hal ini. Semalam suntuk— kalau ia tidak bisa tidur gara-gara memandangi lembaran foto yang sudah dicetak dari kameranya. Soalnya foto-foto itu punya objek yang sama— objek yang hanya bisa Sasuke pandangi saja. Ia bilang pada Sakura alasannya jatuh cinta pada fotografi. Ia bilang dunia kelihatan sempurna di dalam foto. Memang, Sasuke mendesah, dunia kelihatan sempurna— karena ia tidak perlu berbuat apa-apa. Apalagi kalau pada hakikatnya, objek fotonya ini sudah sempurna..

Berlebihan sih, kalau Sasuke bilang gadis itu sempurna. Tapi sayangnya, ia tidak bisa menemukan pilihan kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan Sakura. Sasuke menghela napas, mengusapkan jemarinya ke lensa kamera. Kamera ini sudah seperti tempat persembunyiannya yang paling dapat diandalkan. Tempat rahasianya disimpan, diproyeksikan, dalam deretan foto-foto di setiap momen, rasanya gambar yang tampil di layar itu bisa bercerita sendiri— tentang Sakura, atau mungkin juga tentang perasaannya pada gadis itu.

"Kamu tahu, Sakura.." Sasuke perlahan melepaskan tali kamera yang menggantung di lehernya. "—aku punya satu mimpi yang nggak bisa dipenuhi kenyataan."

Kamera itu disodorkan cuma-cuma, dari tangan ke tangan.

Sasuke berdoa diam-diam.

.

Rambut merah muda, baju merah muda. Tubuh kecil ramping tapi tinggi. Matanya bersinar.

Foto itu hanya memperlihatkan bagian belakang tubuh Sakura pada pertengahan musim panas bertahun-tahun lalu, saat ia mengucap nama dan Sasuke malah menuduhnya penggila warna merah muda.

Dia datang lagi. Bajunya biru, tapi rambutnya masih merah muda. Senyumnya ternyata lucu.

Rasanya foto kedua ini diambil dengan buru-buru, dari balik jendela kusam di lantai dua, ke arah pintu depan rumah. Gadis mungil mengetuk pintu. Sakura memanggil namanya.

"Sasuke-kuuunn, ayo main!"

Dia memakai seragamnya pertama kali. Kelihatan gugup. Manis sekali.

Sakura membetulkan dasinya yang miring. Diambil di lapangan sekolah, tepat sebelum upacara dimulai. Di barisan perempuan kelas satu itu, ia yang paling cantik.

Nilainya turun. Dia sembunyi di bawah meja waktu menangis, tapi tetap saja suaranya kedengaran.

Kaus kaki dan sepatu hitam yang nampak menyembul dari bawah meja kelas. Sasuke perlu hati-hati mengambil foto yang satu ini, ada banyak pasang mata yang memerhatikan. Bisa-bisa mereka mengadu pada Sakura— nanti berimbas Sasuke kehilangan objek foto favoritnya.

Hampir ketahuan. Dia marah waktu aku pura-pura memotret langit— padahal aku mau memotretnya tadi. Aah, ngapain menoleh sih, sudut pandangnya sudah bagus juga.

Yang ini kabur lagi gambarnya, kepala bersurai merah muda dalam gerakan menoleh. Di sebelahnya ada foto langit— tidak spesial, tidak sespesial yang sebelumnya.

Waktu dia tanya kenapa aku tidak mengerjakan tugas, aku bilang pensilku hilang. Malamnya dia datang ke rumah, mengantar satu pak besar pensil mahal. Dia memang sangat baik.

Satu pak pensil yang belum diraut di atas meja belajar memenuhi layar.

Dia dapat seratus di ulangan matematika kemarin. Aku bilang selamat, lalu dia memelukku. Bilang terima kasih. Aku mau bilang sama-sama tapi tidak bisa. Tidak tahu kenapa, gugup sendiri.

Foto hasil nilai ulangan harian yang ditempel di mading. Haruno Sakura paling atas, nomor satu, nilai seratus. Dari dulu Sakura memang selalu pintar.

Kakak kelas mengajaknya jalan-jalan. Aku bilang aku tidak enak badan. Dia mengantarku pulang— mengabaikan ajakan kencan. Aku jadi merasa bersalah.

Termometer. Suhunya normal— padahal.

Aku baru sadar rambutnya sudah panjang. Lehernya jenjang. Penampilannya tambah menawan— dan tentu saja kami masih berteman.

Jaket kulit dan celana jeans yang kini membalut tubuh Sakura. Figurnya dari belakang selalu sama di mata Sasuke, selalu cantik.

Dia terlihat seperti malaikat.

Senja itu di sisi kanan jembatan penyeberangan. Matahari terbenam. Helai rambut merah muda yang berkibaran.

.

"S-sasuke?" Tercekat, jemari itu gemetar begitu sampai di foto terakhir.

Sakura lupa caranya bernapas.

"Mungkin mereka nggak pernah punya cukup keberanian, dan mimpi-mimpi itu cuma jadi sebatas deretan foto yang bisa dilihat kesempurnaannya kapan pun mereka mau."

"Ini.. maksudnya apa?"

Sasuke memandang matahari yang kini nyaris sepenuhnya menghilang, langit berangsur-angsur mulai gelap. "Mimpi yang nggak bisa dipenuhi kenyataan, karena pemiliknya nggak pernah punya cukup keberanian. Mimpi yang selalu kelihatan sempurna, karena di foto itu— di semua foto itu, Sakura, yang aku lihat cuma kamu."

Hening.

"Cuma kamu— dan bukannya kenyataan kalau aku setengah mati jatuh cinta untuk gadis yang nggak bisa kuraih."

Sakura menutup mulutnya dengan satu tangan. Matanya memanas. Ia pasti salah dengar.

Mungkin Sakura memang sengaja ditakdirkan untuknya.

"Dan karena sekarang keberanian itu sudah muncul," Sasuke memejamkan matanya, "aku harus mengubah kenyataannya, kan?"

Sakura menghambur— berjinjit, merengkuh leher itu dengan segenap kekuatan. Kamera bodoh yang selama ini ia benci digenggamnya kuat-kuat di punggung Sasuke.

"Ra?"

Jeda.

"Pacaran, yuk."

.

.

.

[f i n]

.

.

.

a/n:

Heh. Kenapa jadi garing gini T_T Berniat setor ficlet, kok malah kepanjangan. Entri kedua dari saya untuk Banjir TomatCeri 2016. Walaupun tidak cukup bagus, tak apalah ikut meramaikan. Bantu saya memperbaiki karya ini dan karya selanjutnya lewat kolom review, oke? Thanks a bunch.

-GP.