(Las Noches)

Disclaimer : BLEACH - TITE KUBO

Pairing : Ulquiorra S & Rukia K

WARNING : OOC, TYPO BERTEBARAN, GAJE NGGAK KARUAN, ANCUR, DLL, DSB.

IF YOU DON'T LIKE MY STORY, DON'T READ

..

..

..

..

.

Malam menghantarkan hawa dingin yang menusuk di kota Karakura. Banyak pejalan kaki yang merapatkan mantel guna menghindari angin dingin yang berhembus. Melindungi suhu tubuh mereka agar tetap stabil dan hangat. Tak terkecuali Rukia Kuchiki, gadis muda berusia 18 Tahun yang kini sedang menimba ilmu di Karakura University itu tengah merapatkan mantelnya yang sedikit tersibak karena ulah angin. Rambut hitam sebahunya tak luput di permainkan oleh angin yang nakal.

"Kau tidak apa-apa, Rukia?" tanya gadis yang mengenakan mantel berwarna coklat di sampingnya.

Menatap lawan bicaranya dengan sepasang violet indahnya. "Umn, aku tidak apa-apa. Kau sendiri bagaimana, Momo?" tanya balik Rukia sembari merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Kau tahu bukan angin dan cuaca buruk ini yang ku takutkan, Rukia." gumam gadis bercepol yang di panggil Momo, tak lupa ia menatap sekitarnya takut.

"Jangan berlebihan, Momo. Tidak akan ada apa-apa, lagipula aku akan mengantarmu pulang." hibur Rukia, senyum bertengger amat manis di bibirnya yang mungil.

"Aaaaarg! Aku jadi tak enak padamu, Rukia! Padahal jalan menuju rumah kita berbeda! Tapi aku malah membuatmu harus mengantarku sampai stasiun." sungut Momo tak lupa menyesalkan keadaan mereka.

Tersenyum. "Aku bisa lewat jalan pintas menuju Apartemen-ku nanti. Lagipula, tempatku dekat dengan Pos Polisi. Jangan khawatir, aku bisa meminta Polisi yang berjaga untuk mengantarku." hiburnya kembali. Berusaha menghilangkan rasa tak nyaman yang menyelimuti sahabatnya.

Momo hanya menatap Rukia dalam sebelum menunduk. Bukan, bukan itu yang gadis bercepol itu khawatirkan. Yang di khawatirkannya adalah 'mereka' yang bersembunyi di balik bayangan. Muncul tanpa bunyi bagai angin yang berhembus dingin menghantarkan rasa takut.

"Bukan itu masalahnya, Rukia."

"Lalu apa?"

"Inilah kenapa aku selalu memintamu untuk menggunakan ponselmu dengan bijak!" ketus Momo sembari menghela napas panjang. Yah, bagaimanapun yang sekarang sedang berdiri di hadapannya itu adalah Rukia.

"Akhir-akhir ini kasus penyerangan terhadap gadis muda seperti kita semakin marak terjadi. Bukan hanya itu, dari kabar yang ku dengar. Semua korban memiliki bekas gigitan dan kehilangan banyak darah. Kau tahu? Kabar tentang mereka itu memang benar! Mereka ada di antara kita tanpa kita sadari!" lanjutnya panjang lebar.

Rukia hanya diam mendengar tiap ucapan yang terlontar dari mulut sahabatnya. Bukannya ia tidak tahu akan hebohnya berita itu, tapi.

Apa benar Vampire itu ada?

"Jangan terlalu serius, Momo. Kita hidup di jaman yang serba modern, tidak ada Vampire di jaman ini. Lagipula, kisah tentang Vampire itu hanya fiktif belaka. Tidak nyata." sangkal Rukia mencoba berpikir lebih rasional.

"Kau ini! Aku selalu mengikuti berita yang menayangkan tentang Vampire di TV! Ada bekas gigitan di leher korban! Bahkan darah di tubuh korban mengering seperti sudah di hisap habis!"

"Pihak TV hanya mencari rating dengan menyebarkan isu tentang Vampire, Momo."

"Rukia!"

"Sudah-sudah, jangan di teruskan lagi. Kalau obrolan tentang Vampire yang kau gilai ini di teruskan, kita akan semakin lama berdiri di depan gerbang Universitas dan akan lebih larut pula kita sampai rumah."

"Tapi, Rukia!"

"Ah, aku mau mampir ke minimarket."

"Kau ini!"

...

"Terimakasih, Rukia!"

"Ya, dari sini kau sendiri tak apa?"

"Umn! Toushiro akan menjemputku di stasiun berikutnya. Tapi, apa kau tak apa berjalan sendirian? Maksduku, kau bawa jimat atau semacamnya? Atau-"

"-Hentikan, Momo. Aku akan baik-baik saja. Sampai jumpa besok pagi."

Pamit Rukia, kini mereka sudah berada di stasiun kereta. Tak ingin terlalu lama berada di stasiun, Rukia memilih untuk mengakhiri obrolannya dengan Momo agar bisa lekas pulang ke apartemen-nya yang nyaman dan hangat. Ya, angin malam ini memang tidak bersahabat hingga membuatnya merasa mantel saja tak cukup membuat tubuhnya hangat, ia ingin berbaring di bawah kotatsu hangat miliknya.

"Hmm, apa aku lewat jalan memutar saja agar cepat sampai?" gumamnya pada diri sendiri sembari memutar ke arah yang berbeda.

Berjalan menyusuri jalan setapak di bawahnya, Rukia memikirkan banyak hal tentang apa yang sudah di katakan Momo. Ia memang menyukai film bertema Vampire tapi makhluk seperti itu mana mungkin eksis di dunia nyata selain di dalam film? Kalaupun ada, apa mereka tinggal di rumah kaca yang indah dan mengendarai mobil super mewah saat pergi ke sekolah? Atau tubuh mereka akan bersinar seperti berlian saat terkena sinar matahari seperti film Vampire yang di agung-agungkan oleh sahabatnya Momo? Yang benar saja!

Tertawa, Rukia tertawa menyadari isi pikirannya yang mulai teracuni ucapan Momo. Vampire tidak ada, mereka tidak eksis di dunia ini! Kalaupun yang di sampaikan berita Tv benar, tentang mayat korban yang memiliki bekas luka gigitan dan kehabisan darah. Itu pasti ulah seseorang yang butuh di obati, Psycho!

Terus berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya, sepasang violet indah Rukia terpaku pada siluet seseorang yang tengah berdiri di bawah lampu taman. Penerangan yang sedikit minim membuat Rukia sedikit kesusahan melihat sosok yang kini sedang berjalan pelan menuju arahnya, sampai sebuah suara yang ia kenali menyapa gendang telinganya dan membuatnya menghembuskan napas lega.

"Yo, Rukia." sapa sosok yang lebih tinggi dari Rukia tersebut pelan.

"Yylfordt-senpai? Sedang apa disini?" tanya Rukia tanpa basa-basi. Bagaimanapun, pria blond itu tidak seharusnya berada di taman dekat apartemen-nya malam-malam begini.

"Aku tidak sengaja lewat. Ah, kau sendiri kenapa baru pulang?" balas Yylfordt tak henti menatap Rukia yang berdiri di depannya.

Rukia yang merasa dirinya ditatap sedemikian merasa jika seniornya di Universitas itu terlihat berbeda dari biasanya. "Aku baru kembali dari mengantar Momo." jawab Rukia berusaha terlihat sebiasa mungkin.

"Benarkah? Kau tidak pergi dengan Ishida?" tanya Yylfordt yang membuat sebelah alis Rukia terangkat heran.

"Apa maksud, Senpai?" ungkap Rukia memuntahkan keheranannya.

"Aku dengar kau dekat dengan Ishida, apa kau berpacaran dengannya?"

"Hah? Kata siapa?"

"Seisi Universitas membicarakanmu dengannya, apa itu benar?"

Rukia tak habis pikir dengan gosip yang beredar, beberapa hari ini ia memang dekat dengan pemuda berkacamata itu, Ishida Uryuu. Namun itu semata karena masalah tugas, tidak lebih. "Ano, Senpai—" ucapan Rukia terpotong oleh pertanyaan Yylford.

"—Apa kau pacaran dengannya?"

"Kami hanya—"

"—Kau tidak bisa berpacaran dengannya."

Lagi, ucapan Rukia kembali di potong dan itu sedikit membuatnya kesal. Namun rasa kesalnya berubah menjadi rasa takut saat tatapan sang senpai berubah dingin terhadapnya.

"Tidak ada yang boleh memilikimu."

Lanjutnya dan untaian kalimat itu mau tak mau semakin membuat rasa takut Rukia muncul ke permukaan.

"Se—senpai?"

Bergerak mundur ke belakang, Rukia berusaha sedikit membuat jarak namun langkah demi langkah yang ia ambil juga di ambil sang senpai hingga jarak mereka tidak berubah.

"Aku sudah menahan diri, Rukia. Tapi saat mendengar kau bersama si mata empat itu rasanya aku ingin marah." ucap Yylfordt dengan senyum miring yang bertengger di wajah tampannya.

"Aku harus segera pulang, Senpai. Maaf tidak bisa menemanimu mengobrol lebih lama—"

"—Kau milikku."

"Ekh?"

Rukia membulatkan violet-nya dengan sempurna karena terkejut. Bukan karena klaim yang sudah di ucapkan Yylfordt secara sepihak terhadapnya, namun rasa terkejutnya berasal dari sepasang iris pemuda yang berada satu tingkat diatasnya itu menyala bak darah.

"A—aku harus pergi!" sergah Rukia cepat namun sebelum ia sempat berbalik arah, tiba-tiba Yylfordt sudah berdiri tepat di hadapannya dan Memegang dagunya. Bagaimana bisa?

"Tatap aku, Rukia." bisik Yylfordt seraya mengangkat dagu Rukia dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

Menurut, Rukia hanya bisa merutuk dalam hati karena tubuhnya yang sama sekali tak bisa ia gerakkan. Bahkan saat ia mencoba menutup matapun percuma karena tubuhnya benar-benar mengkhianatinya hingga akhirnya violet dan ruby bertemu pandang.

"Aku sudah lama memperhatikanmu, Rukia. Dari kali pertama kau mengikuti ujian masuk di Universitas hingga sekarang, aku tetap memusatkan tatapanku padamu. Kau tidak tahu rasanya saat keinginan untuk menjangkaumu itu muncul, aku ingin sekali mengurungmu dalam dekapanku seutuhnya, memilikimu hanya untuk diriku sendiri. Tapi aku sadar aku tidak bisa melakukannya tanpa harus melukaimu."

Takut, Rukia merasa takut akan sosok di depannya. Iris hitam yang sering dilihatnya itu berubah warna seperti darah segar yang baru menetes. Siapa sosok di depannya itu sebenarnya? Sosok itu berbeda dengan Yylfordt yang Rukia kenal, entah kenapa sosok Yylford yang kini berada tepat di depannya itu berubah layaknya monster yang siap menerkamnya. Tunggu! Monster?

Meneguk ludah dengan susah payah, Rukia memberanikan diri membuka suaranya meski susah. "Aku..."

"Sssh~ kemarikan tanganmu." pinta Yylfordt seraya memegang tangan Rukia pelan.

Dingin! Rukia berani bersumpah kalau tangan yang menyentuhnya itu sangat dingin bahkan lebih dingin dari sebongkah es dalam mesin freezer!

"Kau merasakannya? Bahkan disini seperti berdegup jika itu berkaitan dengamu." lanjut Yylfordt.

Rukia hanya bisa diam, bahkan saat tangan kanannya kini berada di dada bidang pria blond tersebut, ia sama sekali tidak melawan. Bukannya ia pasrah akan keadaannya saat ini, namun Rukia tidak berani melakukan apapun karena rasa takutnya semakin menjadi. keringat dingin membanjiri pelipis Rukia, tidak ada, degup apa yang di maksud seniornya saat tangan Rukia sama sekali tidak merasakan apapun yang berada di balik dada bidang tersebut.

"Aku mencintaimu."

Deg!

Detak jantung itu semakin bertalu kencang layaknya genderang perang. Bukan karena untaian kalimat yang biasanya akan terdengar manis saat di dengar itu, bukan. Melainkan dengan violet-nya sendiri Rukia melihat sepasang taring mencuat dari balik celah bibir tipis yang tersenyum miring di depannya. Ia harus pergi, harus! Jika benar apa yang di katakan Momo padanya tadi, saat ini mungkin dirinya sudah berada dalam masalah antara hidup dan mati!

"Le—lepas..."

"Rukia..."

"KU BILANG LEPAS!"

Plakkk!

Dengan sedikit tenaga, Rukia menepis kedua tangan dingin yang menyanderanya. Secapat mungkin ia berusaha lari dari sosok itu namun belum ada satu meter ia berlari tubuhnya membentur dada bidang yang seharusnya ia tinggalkan di belakangnya.

Greb!

Lengannya kembali di tangkap tangan dingin yang tadi di tepisnya. Kembali menghantarkan rasa takut yang merasuk dalam nadinya. "Se—senpai... Tolong lepaskan aku..." ada nada bergetar ditiap kata yang Rukia ucap. Dan itu tentu saja di sadari Yylfordt.

"Aku tidak akan menyakitimu. Kau tahu? Aku berusaha keras agar aku tidak menyakitimu hingga aku selalu melampiaskan semua pada wanita lain di luaran sana." ungkap Yylfordt pelan.

Rukia menatap mata merah itu dengan sorot mata tak percaya, melampiaskan? Wanita lain? Apa maksudnya?

"Vampire..."

"Hm?"

"Se—senpai... Kau... Vampire, bukan?" Mata merah itu menyorot tajam pada Rukia yang baru saja menyesali ucapannya.

"Vampire atau manusia, apa bedanya? Mereka sama-sama menyimpan monster dalam diri mereka seperti anak kecil yang menyembunyikan mainan kesukaanya agar tidak ada yang bisa melihatnya." jawab Yylfordt tenang.

"Tapi kau benar, aku Vampire." imbuhnya yang langsung saja membuat Rukia berjengit takut.

"Sssh~ kau tidak perlu takut padaku, Rukia. Aku tidak akan menyakitimu, karena itu aku lebih memilih membunuh mereka yang ku jadikan pelampiasan dan menyalurkan hasrat yang ku pendam padamu pada mereka agar kau aman." ucap Yylfordt mencoba menenangkan Rukia meski nyatanya itu tidak berhasil.

Rukia bergerak gelisah, semakin gelisah saat sebelah tangan Yylfordt yang bebas kembali terangkat untuk menyentuhnya. Ia harus segera pergi dari tempat itu!

"Le—lepas..."

"Rukia..."

"Le—lepaskan aku, Senpai..."

"Apa kau tidak suka saat bersamaku dan lebih suka saat bersama Ishida? Apa kau juga meminta pada Ishida seperti kau meminta padaku untuk melepasmu? APA BEDANYA AKU DENGAN ISHIDA?!"

"Ti—tidak..."

"Kau... Menyakitiku, Rukia."

"Bukan..."

"Aku sangat mencintaimu, apa kau tidak bisa melihatnya?"

Bukan, bukan masalah kebenaran tentang sosok Yylfordt yang membuatnya semakin ketakutan. Namun kenyataan kalau pria di depannya itu sudah membunuhlah yang membuat Rukia ingin cepat pergi dari tempat itu. Bahkan saat nanti Rukia selamat, ia berjanji tidak akan mengungkap kebenaran tentang seniornya itu pada siapapun. Tapi kalau begini bagaimana mungkin ia bisa selamat? Apa ini akan menjadi akhir dari hidupnya? Mati di tangan senior yang menjadi idolanya? Senior yang selama ini selalu tersenyum ramah dan bersikap baik padanya?

'Kami-sama...'

"Dan kau sendiri, apa kau tidak bisa melihat kalau gadis itu ingin pergi darimu?" ujar sebuah suara bariton nan datar dari balik pohon besar yang berada di tengah taman.

"Pengganggu." geram Yylfordt yang merasa terganggu akan hadirnya sosok lain diantara dirinya dan Rukia.

Mendapati sepasang ruby milik Yylfordt yang semakin diselimuti amarah, Rukia tentu saja menyadari hal itu tidak akan baik untuknya juga pada sosok yang baru saja menginterupsi mereka. Bukan hanya dirinya yang mungkin akan kehilangan nyawa, tapi sosok di belakangnya juga mungkin akan kehilangan nyawa karena dirinya.

"Aku memberimu kesempatan, kalau kau sayang nyawamu. Lekaslah pergi dari sini."

"Onna." panggil suara bariton nan datar itu pada Rukia, sama sekali tak memperdulikan peringatan yang di tujukan padanya hingga mengundang tatapan sadis dari sepasang ruby terkunci pada sosoknya yang masih terlindung di bawah bayang awan.

"Tutup matamu kalau kau ingin selamat, jangan pernah membukanya sampai aku meminta."

"Cih! Kau tidak tahu siapa yang ingin kau lawan."

"Sekarang!"

Mendengar kalimat bernada perintah tersebut, spontan saja Rukia menutup kedua matanya serapat mungkin layaknya anjing kecil yang menuruti perintah majikannya. Ia tidak mengerti namun tubuhnya begitu saja menuruti kalimat yang di ucap orang asing tersebut. Sedetik, hanya sedetik setelah Rukia menutup matanya. Tubuhnya terhempas karena terjangan angin yang berhembus kencang dari arah belakangnya berdiri.

Bruk!

"Ugh..."

Rukia meringis menahan nyeri yang menyerangnya, bukan karena tubuhnya yang jatuh terjerembab di tanah. Namun ujung bibirnya terluka karena sapuan benda tajam yang tadi melewatinya bersamaan dengan datangnya angin kencang tadi.

Tidak ada yang bisa Rukia lihat, hanya gelap yang menemaninya. Seperti sebuah mantra, kedua mata Rukia sama sekali tak mau terbuka, bahkan saat keinginan untuk melihat apa yang sedang berlangsung, kedua matanya enggan untuk menurutinya. Hanya suara benda terjatuh dan bunyi sebuah ledakan yang mampu di dengarnya, jauh, semakin jauh suara-suara itu terdengar di telinganya.

...

Gedebuk!

Gedebum!

"BRENGSEK! KAU SAMA DENGANKU! JADI JANGAN SOK MENJADI PAHLAWAN! RUKIA! RUKIA ADALAH MILIKKU! AKU BISA MENJAGANYA, SIALAN!"

"Mungkin itu memang benar, kau bisa menahan diri untuk tidak meminum darahnya. Tapi kau melampiaskan rasa haus darahmu pada wanita lain dan melepaskan hasratmu pada mereka sebelum akhirnya kau bunuh."

"DIAM KAU!"

"Hanya tinggal menunggu waktu sampai kau tidak bisa menahan hasratmu pada gadis ini, setelah itu kau mungkin akan membuatnya mati di tanganmu."

"Aku... Aku tidak akan pernah melakukannya. Tahu apa kau? Aku bahkan selalu melukai diriku sendiri saat hasrat itu datang. Aku tidak akan menyakiti Rukia. Dia milikku, aku yang selalu memusatkan perhatianku padanya. Selalu berusaha menahan monster di dalam diriku agar tidak menyakitinya, KAU TAHU APA TENTANGKU, BRENGSEK!"

"Hollow dan Manusia tidak bisa bersama."

"DIAM!"

Dhuak!

"Guh! Dari dulu tidak ada cara bagi Hollow dan manusia untuk merajut kasih tanpa harus menyakiti manusia itu sendiri."

"KEPARAT! KU BILANG DIAM!"

Buk!

"Kau harus menyadari tempatmu. Hollow dan manusia tidak akan pernah bisa bersatu."

"KUBILANG DIAM! TUTUP MULUT SIALANMU ITU, BRENGSEK!"

Zrasss!

"Gah!"

"Tidak ada tempat bagimu... atau bagiku di dunia ini. Kita hanya monster menjijikkan yang tidak sepatutnya hidup."

...

Tap. Tap. Tap.

Bunyi langkah kaki yang samar terdengar menyapa gendang telinga Rukia yang kembali ketakutan. Apa itu langkah kaki milik seniornya? Lalu bagaimana dengan keadaan pria yang tadi menolongnya? Apa dia tidak selamat?

"Si—siapa?" tanya Rukia sedikit terbata.

Tap. Tap. Tap.

Makin dekat, suara langkah kaki itu semakin dekat menuju tempatnya yang sedang terduduk di tanah hingga akhirnya Rukia dapat merasakan pemilik langkah kaki itu tengah berada tepat di hadapannya.

"Buka matamu." ujar suara datar tersebut. Meski Rukia tidak tahu siapa pemilik suara tersebut, namun Rukia tahu suara itu milik pria yang menolongnya.

Perlahan namum pasti, Rukia membuka kelopak matanya hingga menampakkan sepasang iris indahnya.

Violet dan Emerald.

Kedua iris berbeda warna itu bersiorobok menatap satu sama lain seakan tengah menujukkan keindahannya masing-masing. Saling mengunci, saling memandang hingga violet itu tidak menyadari kalau dirinya sudah terjatuh pada pesona lautan emerald yang menghipnotisnya.

((TBC))

Untuk kesenangan pribadi..

See ya! :)