Mother and me

.

.

Naruto milik MK sensei

story line : Shanazawa

.

Naruto Uzumaki x Hinaa Hyuuga

Romance

.

No warning

typo adalah kesalah manusia.

kata-kata gaje adalah keunikan author.

OOC adalah ciri fanfiction yang mewakili imajinasi author.

.

.

.

.

.

.

Namanya Hinata Hyuuga, dia tak pantas sebenarnya untuk dipanggil ibu. Namun...

"Naruto!" panggilnya sedikit galak namun yang kudengar masih seperti biasanya. Lembut menggelitik telinga.

Oh Tuhan, panggilannya bahkan tak bisa menakuti seekor tikus. Aku hanya mengangguk- anggukan kepala, aku tahu. Aku paham. Yang penting aku terlihat menyesal. Tak sengaja aku melirik Kiba disampingku yang melongo melihat bidadari turun dari surga. 'Sialan kau, dia ibu tiriku' batinku sembari menendang kakinya, lalu melotot tajam. "Kau pandang dia seperti itu lagi.." bisikku sembari mengarahkan jemariku memotong leher.

"Tolong maafkan anak saya, saya janji dia tidak akan mengulanginya lagi." janji Hinata pada Iruka-sensei. Dan pertemuan itu berakhir.

Cantik dan seksi. Usianya hanya terpaut 10 tahun denganku. Anaknya, tepatnya anak yang terpaksa dia asuh berusia 17 tahun. Beberapa guru pria menatap ganas pada ibu tiriku saat kami keluar ruang kedisplinan. Mau bagaimana lagi, dia buru-buru datang dari kantornya, ah harusnya hanya aku yang melihat dia dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu hitam dan rok ketat selutut yang menonjolkan lekuk tubuhnya ini.

"Naruto, aku.. Bagaimana aku harus menghadapimu huh?" ucapnya sembari melepaskan jepitan yang mengekang rambut indigonya di dalam mobil.

"Tapi Hinata-sa-"

"Mau sampai kapan kau memanggilku Hinata-san? Panggilah aku Kaa-san atau mama" potong Hinata.

"Kau fikir mudah mengatakannya, sementara umur kita hanya terpaut 10 tahun" gumamku.

"Aku bisa mendengarmu loh" ucap Hinata menaruh ujung telunjuknya di dahiku. "Dame! Aku ini sudah menjadi ibumu yang sah"

Otou-san memang menikah lagi, setahun sebelum dia meninggal. Bukannya memastikan aku dapat jodoh dan menikahi gadis kaya, dia malah memberiku, kakak rasa ibu. Dan membuat gadis semuda Hinata harus menjadi janda.

"Otou-san, Kaa-chan pasti mengutukmu dan memukulmu di alam kubur" gumamku pelan.

"Kau bilang sesuatu?" tanya Hinata yang fokus pada jalanan.

"Ah pasti mudah mengurus anak yang sudah SMA tanpa melewati fase anak-anak" ucapku sembari berpaling menatap jendela. Biasanya dia akan marah atau malah bercanda, aku menunggu itu darinya. Tapi tak ada reaksi, apa aku keterlaluan tadi? Aku kembali melihatnya.

Ctak!

Sial! Dia menyeringai merasakan kemenangan setelah berhasil menandai dahiku dengan memar kemerahan.

"Kau khawatir pada reaksiku? Khekhekhe maaf ya sayang" tambahnya.

Walaupun aku berdecih tak suka dengan kekalahan ini, entah mengapa bibirku malah tersenyum, ada rasa lega dia tak tersinggung tadi.

oOo

"Ah capenya" keluh Hinata sembari meregangkan ototnya.

"Hinata-san kau menghalangi jalanku" keluhku yang berdiri tepat dibelakangnya.

Kepalanya mendongak untuk melihatku yang bertubuh lebih tinggi. "Aah kau semakin dan semakin tinggi saja, Naruto." ucapnya sembari menggembungkan kedua pipinya yang chubby.

"Coba lihat, ibu macam apa yang malah menggoda anaknya seperti ini?" keluhku lagi sembari menahan kedua bahunya agar tak jatuh ke arahku.

"Slalu. Slalu mengeluh seperti itu. Baiklah kakek"

"Apa, ka-kakek?!" ucapku tak terima.

"Habisnya. Kau mengeluh seperti kakek-kakek terus sih" balasnya.

"Akan aku siapkan air panas" ucapku sembari melepas tanganku dari bahunya yang mulai enak bersandar, menjadikannya tumpuan agar dia tak jatuh.

Bruk!

"Naruto!" teriaknya marah, salah siapa coba malah keenakan bersender.

"Oba-san, apa pinggangmu sakit? Apa perlu ku pijat?" godaku sembari mengerakkan sepuluh jemariku nakal kearahnya.

"Kau memang hebat, pinggangku memang terasa sakit sih"

Ah apa dia ini bodoh? Tanpa canggung tangannya menarikku untuk duduk sementara dia bertelungkup diatas sofa, inilah bahaya ibu tiri yang belum berpengalaman dengan seorang anak. Terutama anak remaja sepertiku.

"Kenapa diam saja?" tanya Hinata.

"Baiklah. Tapi Hinata-san yang harus menyiapkan sarapan untuk besok." tawarku sembari menjamah pinggangnya dan mulai memijatnya pelan.

"Kau memang anakku yang terbaik, ya disana, sedikit lebih atas" ucapnya sembari memberi perintah.

Ah tidak tahukah wanita ini bagaimana rasanya berada diposisiku. Kemeja yang belun sempat dia lepaskan tersingkap, membuatku mau tak mau menyentuh kulit pinggangnya dan semuanya harus kukendalikan secara maksimal. Aku menghela nafas berat, ayolah Hinata-san adalah saudaraku dan saudara tidak boleh melakukan hal terlarang.

"Hinata-san, kau harus mandi dahulu" omelku padanya, dia pasti sedang menuju alam mimpi.

"Hmm biarkan aku tidur sebentar." gumam Hinata,

Aku menatap wajahnya yang tak kuasa menahan kantuk bersandar pada lipatan tangannya. "Baiklah, aku bangunkan setelah satu jam"

"Hm"

Padahal sudah 27 tahun tapi kelakuannya masih seperti anak kecil, lantas kenapa otou-san menikahi wanita ini? Aku melirik pinggangnya yang terbuka. Berbaring seenaknya dengan kemeja tersingkap dan rok ketat selutut. Ini adalah rok yang kusuka, rok dengan zipper samping, hanya tinggal menariknya dan ah! Sial Naruto dimana prinsipmu tadi!

"Mama" gumamku pelan, "Mana bisa aku memanggilmu mama jika aku tak bisa menahan diri seperti ini" tambahku sembari merendahkan tubuhku dan mengecup pinggangnya yang terbuka.

"Bagaimana ini, mama.. Apakah pantas aku disebut sebagai seorang anak?"

"Maaf." lirihan Hinata membuatku tersentak kaget dan menjauh dari tubuhnya. Apa dia masih bangun, aku menutup bibirku dengan punggung tangan, sial alasan apa yang harus aku berikan atas tindakan kurang ajarku barusan?

"Maafkan aku.. Hiks"

Eh? kulirim matanya masih tertutup. Apa dia bermimpi buruk? Airmatanya mengalir sembari bibirnya terus menggumamkan kata maaf.

"Hinata-san, bangunlah? Apa kau bermimpi buruk?" panggilku sembari menguncang bahunya pelan.

"Ah, Naruto" ucap Hinata bangun dan langsung menyambar leherku, memeluknya erat sembari menangis, "syukurlah"

"Kau bermimpi buruk? Jarang sekali" komentarku, rasanya tanganku gatal ingin memeluknya juga. Namun jika kulakukan, dia pasti akan mendengar suara detak jantungku yang menggila.

"Ya, buruk sekali" ucap Hinata.

"Itu karena kau tidur sebelum mandi" aku mencoba menenangkannya dengan caraku, aku menaruh telapak tanganku diatas kepalanya dan mengelusnya pelan. "Maskaramu luntur loh,"

"Uhm tidak apa-apa. Kau kan anakku"

"Bukan itu masalahnya, apa kau mau mencuci seragamku huh? Ah pasti sulit menghilangkan nodanya."

"Apa kau lebih mencemaskan seragammu daripada perasaan mamamu ini?" ucapnya sembari melepaskan pelukannya dari tubuhku, lihat maskaranya meleleh, dia sekarang seperti seorang harley queen.

"Ah.. Habis Hinata-san ratu drama sih" jawabku, berusaha mengenyahkan perasaan ingin tertawa melihat keadaannya.

"Sudah kubilang panggil mama atau okaa-san, kan? Ratu drama?!"

"Coba kuingat, kemarin kau menangis karena anime, kemarinnya lagi karena film yang kita tonton, kemarin-"

Aku berhenti berbicara karena tangannya mencubit kedua pipiku. Dia memandangku dengan kesal "Aku tahu itu."

Sialan sekali, wajahnya terlalu manis untuk kuabaikan. Kalau sudah seperti ini, aku tak punya pilihan. "Kalau kau seperti ini.." ucapku sembari melepaskan tangannya dari pipiku dan mendekatinya, menghubungkan dahiku dan dahinya, "Siapa yang jadi orang tua sekarang?"

Dengan pertanyaan seperti ini, "Aku benci sifatmu yang seperti ini" keluhnya sembari menjauhkan diri dariku dan meninggalkanku, sifat manja dan kekanakannya akan kalah dengan egonya.

oOo

"Sial" keluhku meninggalkan tugasku diatas meja, aku bukan tipe manusia yang belajar untuk ini. Aku sudah terbiasa jadi berandalan dan semenjak otou-san meninggal, agar Hinata tak memiliki masalah terlalu banyak aku harus berhenti menjadi anak berandalan. Walaupun aku masih sedikit berkelahi seperti kemarin.

"Kau berhenti jadi berandalan? Kau bercanda ya hah?!" ucap Kiba,

Aku berdecih kesal. Aku harusnya tidak pergi ke belakang sekolah hanya untuk menghindari mantan gengku yang berjalan bergerombol menuju kantin. "Ya begitulah" jawabku asal. Cepatlah pergi, aku malas bertarung sekarang.

"Apa karena ibu barumu itu? Dia lumayan juga, apa perlu aku melakukan sesuatu padanya agar kau menjadi berandalan lagi." ancamnya.

Hah? Sebelum kau melukainya, akan aku hajar kau hingga tak bisa bangun dari tempat tidurmu. kemudian semua berjalan begitu saja, kami berkelahi, lebih tepatnya aku memukulinya tanpa ampun. Hingga seseorang melihat kami dan melaporkannya pada Iruka sensei.

"Apa kalian berkelahi lagi? Bukan." ucapnya sembari memijit kepalanya yang mungkib ln sakit. "Sepertinya kau yang memukulinya, iyakan Naruto!" tunjuk Iruka sensei padaku,

Dengan terbata Kiba yang malah menjawab, aku yakinkan wajahnya cukup mengenaskan. "Aku juga memukulnya, tapi. Heh.. Apa.. Kau.. Bela-jar ilmu kanuragan?!"

Yah, skill Kiba memang memalukan untuk disebut berandalan, sepertinya dia malu tadi untuk kabur dan mencoba menantangku tanpa ada persiapan.

"Naruto, bukannya kau berjanji untuk tidak berkelahi lagi?" ucap Iruka sensei, anak langganan skorsing, mana mungkin dia lupa nama, kelakuan dan janjiku untuk berhenti berkelahi lagi dan lagi.

"Ah tenang saja sensei" ucapku, ini masalah kami berdua, aku dan si Kiba ini.

"Sensei tidak mencemaskanmu. Kau tidak punya orangtua sekarang. Dan walimu, kau tahu dia masih muda untuk menghadapi anak berandalan sepertimu, aku khawatir pada keselamatannya."

"Kalau saja dia bukan guruku" gumamku, menyebalkan sekali diingatkan seperti itu sementara aku baru saja berkelahi karena hal itu.

Kemudian tak lama, Hinata-san datang, terlihat berantakan kemudian membungkuk pada Iruka sensei "Maafkan anak saya"

Aku menutup mataku, "ternyata aku orang tuanya, ya? ah sial sekali!"

Slalu dan slalu seperti ini. Sejak otou-san mengenalkannya dengan tiba-tiba tentunya, aku dibuat heran dengan kecerobohannya. Tidak teliti. Kikuk. Dan awam dalan mengurus orang lain, mengurus dirinya sendiri saja dia kerepotan.

Akupun terpaksa membantunya, slalu terpaksa karena kondisi kesehatan otou-san yang semakin lemah karenanya. Penyakitnya sendiri sampai aku lupa karena terlalu sibuk mengurus ibu baruku.

Perasaan yang harusnya tumbuh diantara kami adalah perasaan kasih sayang keluarga. Tapi hatiku malah merasakan perasaan aneh ini, yang mungkin orang lain menyebutnya sebagai cinta. Cinta pria untuk wanita.

"Naruto?" panggil Hinata dari balik pintu.

"Eh. Ah. Ada apa?" jawabku gelagapan, astaga aku memikirkannya terus terusan hari ini.

"Makan malamnya sudah siap"

"Aku akan segera keluar."

Perasaan apapun itu, akan aku abaikan untuk saat ini.

oOo

Lagi aku menghela nafas. Berat sekali rasanya. Sengat matahari begitu menyakitkan dikulit tubuhku.

"Ada apa?" Tanya Kiba. Sikapnya lebih baik hari ini. Apa karena kami sedang dihukum ya? Dan lagi kolam renang sekolah ini mana bisa bersih kinclong dalam sehari huh?! Dasar Iruka sensei.

"Maaf untuk yang kemarin, aku memikirkan kata-kata Iruka sensei mengenai walimu dan memang sedikit menakutkan jika aku yang ada diposisimu."

"Hm" andai saja aku bisa berubah seperti dia dengan mudah, atau dia berniat untuk menjadi otou-san baruku? "Kau membuatku iri saja"

"Eh? Aku bahkan tidak pandai berkelahi." ucapnya dengan malu-malu.

"Itu bukan pujian. Baka.."

"Aku tahu tapi tetap saja aku senang."

"Senang?!" apa dia ini maho? Aku segera memeluk tubuhku ngeri. Atau dia M(Masokis? Jenis yang bergairah jika disiksa atau merasakan sakit) kah?

"Ah! Kau salah paham?!" teriaknya panik. Yah untung saja dia menyangkalnya. "Lalu, kenapa kau menghela nafas sejak tadi? Kelihatannya ada masalah besar."

Ah memang masalah besar semalam, besar sekali sampai aku dibuat insomnia olehnya. Beberapa menit setelah panggilan Hinata, aku keluar kamar dan.

Boing! Seperti itu memanjakan mata dan menggerogoti imanku. Tuhan, bisa kirimkan aku sabit milik malaikat kematian? Aku ingin membantai setiap setan yang sedang berbisik dikepalaku sekarang. Serang. Serang. Happy. Fan service.

"Ah aku memasak hamburger hari ini. Bagaimana?" Boing! Dia mengangkat piring dan berisi mungkin jelly? "Dan pudding bundar ini sebagai penutupnya."

Ya dan itu sangat boing-boing bersama milikmu dan cobaan ini kembali menguncang diriku, "Apa-apaan dengan pakaian lusuh itu?!"

"Lusuh?" jawabnya dengan suara meninggi.

Aku menepuk jidatku sendiri. Salah bukan seperti itu bicara pada mama Hinata. "Apa kau berniat menggoda anakmu sendiri, janda genit?"

"Akh janda genit?! Dasar!!" suaranya tercekat tak percaya dengan apa yang aku katakan dan puding boing-boing itu melayang menghantam tubuhku tanpa sempat baik aku maupun dirinya menyadari boingan itu melayang dan mengotori tubuhku.

"Ti-tidak ada makanan penutup hari ini" teriaknya, aku sempat melihatnya kaget saat melemparkan puding ini. Untungnya dia tak memegang pisau.

Dan kemudian, dia memakai sweater hadiah dariku saat tahun baru. Dengan pipi menggembung persis ikan fugu, dia makan sembari sesekali melirikku.

"Kau marah, lalu kenapa kau curi-curi pandang padaku?"

"Tidak kok"

"Hooh?!" masa huh? Gerak gerikmu itu terlalu jelas, tahu. "Apa yang mau kau bicarakan padaku?"

"Hmm itu... Anu..."

Kan? Kan? Dasar cewek. Salah, dasar wanita.

"Besok aku akan keluar kota beberapa hari, tidak apa-apa kan?"

Yah jika aku balita atau batita atau anak TK tentunya aku akan merengek dan menangis ditinggal sendirian. Tapi aku sudah besar. Tinggiku bahkan lebih dari tinggi badannya.

"Pergilah" ucapku singkat, padat, dan tepat sasaran membuatnya tersedak.

"Kalau kau menjawab seperti itu aku malah tidak tenang! Kau pasti tidak mau aku pergi"

'Lalu aku harus menjawab apa?! Ah kepalaku.' Aku memegang kepalaku yang sedikit berdenyut-denyut. "Dengar, Hinata-san. Aku bukan anak TK, masa itu sudah berlalu tepatnya. Kau hanya perlu meninggalkan uang dan beberapa kepentingan yang harus kulakukan selama kau pergi."

"Hiks.. Kau anak yang pintar. Naruto-chan"

"Jangan nangis Gaje!! Dan jangan pakai CHAN!!"

"Hey Naruto, kok malah ngelamun?" panggil Kiba.

"Aku tak tahan lagi!" ucapku sembari melempar sikat lantai ditanganku dan menggenggam bahu Kiba.

"Aku masih normal!" teriak Kiba tidak terima. Dia remaja normal, demi Tuhan atau apapun itu.

"Pokoknya aku bebas untuk beberapa hari kedepan! Yosh! Game center, warnet, dan nonton anime sampai pagi! Kau mengertikan kiba?"

Kiba malah menggeleng dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca. Reputasinya.. semoga tak ada yang melihat mereka sekarang.

oOo

Aku membuka pesan dari dokter Sai. "Jangan lupa cek up terakhirmu aku yang tangani langsung ya, Naruto-kun. Ah aku kangen sekali pada pasienku yang satu ini. [emot : muanch]"

Astaga, dokter ini memang slalu bikin merinding. Sebenarnya selama 6 bulan ini aku harus cek up dan mengonsumsi obat-obatan penurun imun. Dokter Sai mengatakan kasusku langka karena sempat terjadi penyempitan arteri yang mensuplai ginjal baruku dan untuk itu aku harus menjalani operasi kecil. Dari semua hal, tak ada satupun yang mengetahuinya.

"Lama tak bertemu, Naruto-kun. Bagaimana keadaanmu?" tanya dokter Sai melihatku masih berdiri diam dipintu masuk.

"Kurasa mulai membaik." Jawabku sembari melangkah masuk dan duduk dihadapannya.

"Ahahaha, aku kan baru kembali dari Jerman, rasanya tak puas melihat perkembangan pasienku hanya lewat laporan orang lain" ucap dokter Sai basa basi, "jangan dingin begitu. Seingatku kau melakukan donor waktu umur 12 tahunkan?" tanya dokter Sai melihat berkas milikku, melihat kembali riwayat kesehatanku.

"Infeksi ginjal kanan" ucapku. "Refluks vesicoureteral" padahal operasinya sudah lama berlalu tapi aku masih ingat nama penyakitku itu.

"Ingatan yang bagus." puji doktet Sai.

Mana mungkin aku lupa, hari itu adalah hari dimana aku masuk rumah sakit dan hari kecelakaan kaa-chan sekaligus hari kematiannya.

"Soal Minato-san, aku turut berduka cita"

"Tidak apa-apa. Sama seperti Kaa-chan, dia meninggalkanku ketika aku tak berada di sisinya." jawabku, aku sejujurnya sangat marah padanya, saat kondisinya kritis aku malah sedang berada di camp musim panas yang dia rencanakan, walau sudah kutolak tapi dia tetap saja memaksaku pergi. Orang tua itu tahu caranya membuat aku menderita.

"Sulit bagi orangtua tunggal meninggalkan anaknya seorang diri, kau tahu itu. Apalagi dengan musibah yang tidak wajar. Tentu saja dia tidak mau kau melihatnya sedang menderita"

Cih, nasehatnya sama seperti dokter dan suster yang merawat otou-san.

"Nah karena kau tidak senang aku membahasnya, sebaiknya kita mengecek ginjalmu untuk yang terakhir kali. Kau mungkin bosan mendengarnya, tapi tolong jaga kesehatanmu dengan baik."

"Ya aku mengerti." lagipula, aku harus mengurus Hinata-san, jadi setidaknya aku harus hidup sedikit lebih lama lagi.

Aku menutup pintu setelah memberi hormat pada Dokter Sai. Hari ini karena Hinata tidak ada dirumah, aku bebas melakukan apapun.

"Hinata-san. Silahkan menuju ruangan dokter Sai" panggil suster yang bertugas.

"Hai"

Suara lembut itu tak mungkin aku tak tahu. Dia tepat dibelakangku, entah mengapa aku merasakan ketegangan yang tak biasa, untuk apa dia bertemu dokter Sai?

"Ano permisi" ucapnya lembut, aku tepatnya menghalangi jalannya.

"Kau bilang akan pergi keluar kota, kenapa kau malah ada disini?!" tanyaku sembari berbalik dan menangkap tangannya.

"Naruto-" ucapnya dengan nada kaget, semua berkas ditangannya terjatuh, termasuk buah yang telah ditata dan dihias didalam keranjang. "A-aku.."

Aku merasakan ketakutannya digenggamanku. Namun aku tak bisa menahan setiap luapan emosi yang mendadak menyerangku, pantulan diriku dibola matanya sungguh mengerikan. "Mama Hinata, katakan untuk apa kau menemui dokter Sai?"

"Naruto-kun, aku.. Aku.."

"Apa dia pasien gawat darurat?" tanyaku pada suster yang tadi memanggil Hinata. Karena aku butuh penjelasan sekarang juga.

"Ah, Hinata-san tidak-"

Tanpa peduli lanjutannya, aku segera menarik Hinata pergi dari sana, hari ini. Aku ingin penjelasan yang sedetailnya, apapun itu!

oOo

Bibir Hinata terus mengaduh, sampai di apartemen kami, aku ingin sekali melemparkannya ke sofa dan menghakiminya, tapi aku melepaskan genggamanku dan berbalik, menatapnya sekali lagi, apa dia juga akan meninggalkan aku? Sama seperti otou-san? Sama seperti Kaa-chan? Aku baru saja mendapatkan kekuatanku kembali, dan dia ingin aku terpuruk.

Jelas kuingat pelukannya saat aku kembali dengan tergesa-gesa dan yang kulihat hanya altarnya saja? Tanpa melihat wajah tuannya yang pergi meninggalkan aku bersama ibu tiriku.

"Apa kau berniat pergi tanpa memberitahuku? Sama seperti kedua orang tuaku?!"

"Tidak, tidak seperti itu" ucap Hinata. "Aku... Aku.."

"KATAKAN YANG JELAS!?!" hardikku

Tanpa aku duga, suara itu keluar begitu saja, tubuh Hinata bergetar dan isakan tangis mulai terdengar. "Maaf. Maafkan aku. Akulah yang menyebabkan orangtuamu meninggal."

"Apa?!"

"Aku slalu melarikan diri. Tak mampu menghadapi apa yang telah ku perbuat. Harusnya dulu, bukan Kushina-san yang mengalami kecelakaan, tapi aku!" ucap Hinata. "Kushina-san menggantikan aku yang seharusnya ada di tim itu. Aku, aku terlalu takut menghadapi kantor cabang yang bermasalah. Sebagai seniorku, Kushina-san akhirnya yang mengemban tugas itu tapi.. Tapi.. Kecelakaan itu terjadi!"

"Rasanya aku menjadi orang berdosa.. Kemudian kabar lain datang, putra kushina-san masuk rumah sakit dan membutuhkan donor ginjal. Demi.. Demi.. Penebusan dosaku, walau aku tak mampu membawa Kushina-san kembali aku mendonorkan satu ginjalku yang ternyata cocok dengan putranya. Setelah itu aku pergi sangat jauh tapi mimpi-mimpi buruk terus mengikutiku selama bertahun-tahun."

"Bagaimana dengan otou-san?"

"Karena kondisiku yang tidak stabil, aku mengalami gagal ginjal. Saat melakukan cuci darah aku bertemu dengannya. Dia bilang dia menderita kanker stadium akhir dan mencemaskanmu. Jika saja ada seseorang disampingmu, dia bisa mati dengan tenang."

"Jadi kau.."

"Minato-san membuatku berjanji agar aku terikat bersamamu, saat dia mengirimmu ke camp musim panas selama itulah kami menjalani operasi transplantasi ginjal"

"Itu sebabnya aku diberitahu setelah dia dimakamkan?! Kalian memang?!" aku bahkan tidak bisa lebih marah dari sekarang.

"Dia menangis!" ucapnya cepat memberanikan dirinya menatapku. "Dia berulang kali minta maaf! Aku ingin mengatakannya, tapi aku tak punya keberanian untuk itu"

"Kau! Ini pertanyaan terakhir. Apa kau sungguh menikah dengan otou-san?"

"Aku-"

"Jangan mencoba membohongiku"

"Tidak. Kami tidak menikah, semuanya hanya sandiwara"

Hinata side.

Aku ketakutan, cara Naruto menatapku dan bagaimana dia menggunakan suaranya untuk mengintimidasiku.

"Tidak pernah ada pernikahan." ucapku, inilah. Inilah kebohongan yang tak bisa dimaafkan.

Minato-san apa yang harus aku lakukan? Saat kami sedang bersiap menjalani operasi, aku melihat wajahnya yang tak lagi bersemangat, bibirnya membiru dan kantong mata menebal. Tubuhnya tak lagi dapat bergerak. Selama ini dia menahannya. Dihadapan Naruto dia masih bisa menampakan semangat hidupnya, sekarang Naruto tak ada disini.

"Minato-san?" tanyaku, sungguh aku cemas. "Tak perlu transplantasi ginjal, sebaiknya kita lanjutkan kemoterapinya, ya?" dalam hati terselip rasa tidak suka dengan ide ini. Aku siap, siap menjaga putra mereka berdua. Walau harus menunggu donor lain dan menghabiskan uang warisan serta tabunganku untuk cuci darah setiap minggunya. Kalau Minato-san yang jadi pendonor, aku tak bisa menatap Naruto dengam tenang. Aku telah merenggut kedua orangtuanya. Ah tidak tidak.

"Dan kau akan meninggalkannya juga setelah dia dekat denganmu, seperti kedua orangtuanya? Anak itu bisa bunuh diri" ucap Minato lemah. Tangannya bergerak lemah menyuruhku untuk menggenggamnya. "Kami tak punya kerabat lain, aku lihat matanya mulai hidup kembali saat melihatmu. Dia sedang jatuh cinta"

"Aku. Aku tak pantas mendapatkan itu, Minato-san."

"Apa kau mencintainya juga?"

Aku mengangguk pelan, namun aku tak pantas mendapatkan cintanya.

"Katakan padanya. Aku minta maaf." aku mendengar isak kecil dari bibir seorang pria dewasa. Minato-san menangis. "Aku tak bisa membiarkannya melihatku seperti ini. Aku ingin sekali dia berada disini menemaniku hingga ajal menjemputku. Tapi kenangan ini pasti akan terus dia ingat seumur hidupnya."

"Minato-san"

"Aku bangga padanya. Aku mencintainya. Harta kami satu-satunya. Hinata, kau harus menjaganya, inilah permintaanku"

"Tapi.."

"Jangan pernah tinggalkan dia"

Minato-san tahu aku akan menghilang lagi, tentu saja. aku sangat berdosa pada Naruto, mana bisa aku berdiri nyaman disampingnya dan berbahagia.

"Operasinya akan segera dimulai, kau yakin Minato-san? Operasi ini bisa saja merenggut nyawa anda?" ucap dokter Sai.

Minato-san hanya tersenyum kecil. "Tidak ada bedanya aku mati hari ini ataupun besok"

Dihari itu, dosaku semakin besar. Atas permintaannya aku menghubungi camp Naruto seminggu setelah kematiannya. Dia nampak terpukul, dengan kekuatan yang kupunya aku memeluk tubuh itu dan mengatakan ini keinginannya agar Naruto tak melihat wajahnya setelah meninggal.

Aku merasakan pelukan erat pada tubuhku yang masih bergetar ketakutan. Saat ini, Naruto memeluk tubuhku erat, dia tak lagi menahan dirinya.

"Syukurlah. Syukurlah" gumamnya, nafasnya berhembus lega.

"N-Naruto-"

"Takdirlah yang membuatnya seperti ini. Tidak ada dosa yang kau pikul, orangtuaku setidaknya memilihkan pasangan yang tepat untukku"

"Aku tak pantas-"

Dengan cepat Naruto menghentikan perkataanku. Aku mencoba menatapnya lagi, wajahnya tak lagi menyeramkan.

"Dengar, aku mencintaimu" ucapnya sembari menarik tanganku. Jemariku yang terselip cincin perak dikecupnya sebelum dia menarik cincin itu hingga lepas. "Cincin ini hanya perlambang kebohongan. Tapi cincin yang kuselipkan adalah kenyataan"

Aku ingin menarik tanganku dari genggamannya, apa dia sedang melamarku? "Usia kita-" kalau saja.. kalau saja aku terlahir setahun lebih tua darinya, penyesalan yang tak pernah bisa siapapun perbaiki.

"Persetan dengan usia kita. Aku mencintaimu dan aku akan menyematkan cincin yang lebih baik saat kita menikah nanti" ucapnya, tangannya merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan cincin emas sederhana "Aku baru melihatnya dan entah kenapa aku ingin membelinya, ternyata inilah maksudnya. "

"Naruto" astaga hatiku melambung bahagia.

"Will you marry me?"

"Kau masih sekolah dan aku masih walimu"

"Ah Hinata!" suaranya terdengar sangat kecewa dengan jawabanku.

Aku mendekat ke arahnya dan berbisik "I will"

Lagi, Naruto memelukku dan membisikan janji baru dihidupku. Aku senang, aku sangat berterima kasih pada takdir yang mempertemukan aku dan kedua orangtua Naruto. Tentang semua yang terjadi dihidupku.

Minato-san.

Kushina-san.

Bolehkah aku menebus dosaku seperti ini?

Epilog.

"Ah, untuk apa kau bertemu dokter Sai?" tanya Naruto melepaskan pelukannya, dokter itu spesialis bedah. Apa ada masalah dengan ginjal barunya? Yang dulu terlintas, Hinata menderita kanker sama seperti otou-san.

"Ah, aku hanya ingin mengucapkan salam dan terima kasih."

"Hanya itu?!" tanya Naruto tak percaya.

"Memangnya apalagi?" tanya Hinata heran.

"Tidak apa-apa sih"

"Dan kau juga, kenapa kau ada dirumah sakit?"

"Hmm rahasia"

"Kenapa rahasia?!" tanya Hinata tak puas, tangannya memukul dada Naruto pelan.

Tanpa Hinata duga, Naruto menarik ujung kemejanya hingga perutnya terlihat jelas, dan hampir saja boing-boingnya tumpah. Wajah Hinata matang sempurna. Tidak sopan! Tapi teriakan itu tertahan ditenggorokannya, Naruto tidak berniat apapun selain melihat perutnya dan meraba bekas operasi ginjalnya.

"Bagaimana kau menyembunyikannya?" tanya Naruto, bekasnya kelihatan melintang, kasar. Aneh Naruto tidak pernah menyadarinya selama ini.

"Yah aku pakai trik khusus sih" jawab Hinata, dia tahu pasti akan ada momen dimana dia tak sengaja menampakkan perutnya dihadapan Naruto, jadi pencegahan itu sangat penting.

"Ohoho begitu ya." tanggap Naruto, tangan nakalnya merayap memegang zipper tang terpasang di jahitan samping. Ini rok favorit Naruto sejak dulu dan dia ingin melakukan ini juga sejak dulu.

SRAK!.

"Kyaaa Naruto!" teriak Hinata.

Terima kasih adegan berikutnya telah disensor KPI :v dan tergantung kekuatan imajinasi readers masing-masing.

.

.

owari, silahkan tinggalkan jejak.