Bleach belong to Tite Kubo
Warning (s) : AU, OOC, misstypo (s) just for fun!
.
.
.
Setelah melewati beberapa pilihan perjodohan yang diadakan oleh keluarga Kuchiki, akhirnya Rukia mendapatkan keputusannya sendiri. Sudah lebih dari beberapa lembar foto keluarga—foto si calon pria—yang tentunya sekelas bangsawan. Eh, paling-paling di bawah dari standar mereka sedikit, tidak masalah selama mereka yang direstui oleh tetua Kuchiki memiliki daftar riwayat bersih dari yang namanya keluarga korupsi. Tentu saja dari beberapa keluarga yang disarankan ada bagian dari anggota DPR, pejabat serta perangkat kekerajaan turun menurun dari jaman edo Jepang (Rukia pasti tidak akan tertarik dengan kaum primitif dari jaman turun menurun kekaisaran Jepang, sudah cukup aturan di keluarga Kuchiki membebaninya)
Anggap saja kakaknya masih belum setuju dengan keputusan Rukia pada akhirnya, Byakuya tidak menyangka Rukia akan memulai langkah baru dengan menikah. Sebagai adik yang paling disayanginya, satu-satunya yang ia punya sekarang ini. Jika ia sudah menikah tentu saja akan dibawa oleh sang suami. Byakuya belum siap akan hal itu.
Apa dia sudah gila? Umur Rukia hampir dua puluh delapan tahun dan ini sudah cukup tua jika disandingkan dengan teman masa SD-nya dulu. Kalau harus pergi ke acara alumni, tujuh puluh persen teman wanitanya pasti sudah menggendong anak, dua puluh persen baru berumah tangga, sementara sepuluh persennya lagi—yaaa, mereka penganut ajaran golput. Golongan putih menentang pernikahan. Kaum wanita yang seperti itu cukup lumayan banyak kok, dan Rukia tidak ingin tergabung ke grup nista itu.
Ngomong-ngomong soal angka dua puluh delapan tahun, siapa yang percaya dengan itu? Oh, kadang badan pendek langsing selalu memiliki kekutan jika umur sudah cukup tua. Dan saat itu pula Rukia selalu merutuki Yuroichi yang memiliki badan—atau orang biasa menyebutnya boros fisik—Rukia boleh menang dalam hal itu. tapi, kembali pada status yang disandangnya: jomblo, kadang dikira anak SMP, kasar, dingin, tidak seksi, cowok mana yang mau mengajaknya berkencan kalau tidak melihat dari latar belakang kebangsawanannya?
"Jadi, kau Kuchiki Rukia?" mata madu Ichigo nyaris keluar karena kerutan di antara ke dua alis itu seperti ingin mendorongnya.
"Ada masalah?"
"Tidak juga." Ichigo tidak menyangka. Terkadang sepupunya Kaien selalu menjerumuskan ke hal-hal yang kurang rasional. Contohnya sekarang, anggap saja ini kencan buta yang mendadak—yang dilakukan di kantin rumah sakit tempat dirinya bekerja. Bersyukur dalam kantin ini cukup sepi. Jangan salahkan jas putih yang masih dipakainya sekarang. Ini semua ulah sepupunya yang benar-benar kurang ajar itu.
"Baguslah," Rukia membuka suara arogan seperti biasanya.
Tidak, sepertinya Rukia-lah yang bermasalah untuk sekarang ini. Diperhatikannya lagi pemuda berambut jingga mencolok di hadapannya itu. Permasalahannya bukan terletak, apakah pria itu salah masuk salon kemarin. Atau jingga memang warna favorite-nya—sehingga ia mendadak merubah warna rambut itu?
Tangannya membuka tas, mengambil sebuah foto yang pernah dipilihnya beberapa hari yang lalu. Tuh, kan memang bukan.
"Apa kau sengaja mengecat rambutmu seperti itu? Lebih cocok menurutku saat kau memiliki rambut berwarna hitam."
Dahi Ichigo berkerut. Wanita ini, apa sedang melantur? Bisa jadi ia juga salah paham. Oh kemungkinan memang begitu. "Rambutku memang dari dulu seperti ini? Ada yang salah?"
Rukia menaruh foto di atas meja. Menggesernya ke depan sehingga si rambut jingga itu bisa melihat. For the God sake, memang wanita ini adalah teman kencan Kaien awalnya. Dan kenapa pula Kaien tidak menjelaskan ini dari awal?
"Tunggu dulu, biar aku jelaskan." Ichigo berusaha tenang, tidak mungkin saja kan, wanita bangsawan ini kecewa setelah bertemu dengan dirinya? Selama ini, Ichigo selalu sukses pada setiap kencan buta. "Aku Kurosaki Ichigo, sementara foto ini adalah Kaien Shiba, dia sepupuku. Apa kau belum tahu?"
"Loh, seharusnya aku menemui Kaien Shiba hari ini. Kenapa malah kau?"
Ini memang masalahnya. "Kaien tidak menjelaskannya?"
"Tidak."
Ichigo membatin sambil menggeram. Matilah kau Kaien, paling setelah ini memberinya satu tinjuan cukup untuk menghentikannya tertawa. "Baiklah, aku ke toilet dulu sebentar, sialahkan pesan makanan atau minuman."
"Loh, kukira kau seharusnya berterimakasih?"
"Kenapa kau tidak bilang dari awal kalau kau ikut perjodohan ini?" menelpon di dalam wc adalah pilihan singkat yang diambilnya. Memandang kaca sembari berbicara di dalam telepon, siapa juga yang peduli dengan yang dilakukan pria jingga itu di dalam sana. Dan seharusnya Ichigo tidak melakukan ini, kemungkinan ada beberapa pria menunggunya untuk menggunakan toilet juga.
"Hahaha, tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa. Dia cewek terpelajar, Ichigo. Aku tidak menyangka akan terpilih menjadi seseorang yang beruntung dalam perjodohan keluarganya."
"Oh, bagus kalau begitu. Seharusnya kau berada di posisiku sekarang." Mata Ichigo menyipit.
"Baiklah awalnya memang salahku, karena aku langsung saja setuju menerima tawaran ayahku untuk ikut perjodohan itu." Kaien mencoba menjelaskan. Mengerti atau tidak, semua sudah kepalang basah. Tidak mungkin saja kan tiba-tiba ia datang ke sana dan mengatakan: Maaf, aku hanya iseng saja ikut perjodohan ini, aku tidak menyangka anda memilih saya. Dan sebagai gantinya biar sepupuku menggantikanku. Beres, kan? Semua itu tidak semudah membalikan telapak tangan.
"Kau tahu kan, aku sudah punya pacar? Masa aku harus mengikuti perjodohan ini. Lagipula wajah kita mirip, dia tidak akan—"
"Kata siapa?" sela Ichigo cepat.
"Ya sudah, hanya mengajak dia bicara kan gampang. Tanya apa favorite-nya, bukannya kau paling ahli dalam masalah ini?"
"Tapi tidak dengan gadis bangsawan, bodoh! Ini sepertinya formal sekali. Kenapa juga kau tidak bilang dari awal?"
"Soal itu aku yakin kau pasti tidak akan setuju."
Ichigo bisa menebak, pasti di seberang sana Kaien sedang nyengir dengan lebarnya. "Pokoknya kau harus bertanggung jawab dan kesini menjelaskan semua."
"Sebenarnya aku sibuk. Kau langsung kabur saja dari sana kalau kau benar-benar tidak suka. Coba dulu buat alasan."
"Loh, ini kan salahmu. Kau harus ke sini memberikan penjelasan biar kita sama-sama keluar dari situasi ini."
"Kau mau kalau aku kesana lalu bilang: Ichigo nenek kita meninggal! Terus langsung membawamu pulang. Mustahil sekali, kan?" tawa Kaien pecah dari seberang. Iya, Ichigo tahu, terkadang selera humornya benar-benar buruk.
Belum ada lagi jawaban dari Ichigo sampai pria berselera humor jelek itu menghentikan tawanya. "Ichigo?" panggilnya lagi untuk meyakinkan sepupunya masih berada di sana. "Kau tidak benar-benar menyuruhku melakukan itu, kan?"
Tanpa persetujuan Kaien, sambungan telepon pun terputus. Ya, sudahlah, Ichigo akan ke sana saja untuk memenuhi tawaran Kaien yang terbilang cukup nekat ini. Ichigo sebenarnya sadar diri, sebenarnya ia atau siapapun tidak pernah mendaftarkan dirinya ke perjodohan yang dibuka oleh bangsawan Kuchiki. Lagipula kalau mau dilihat apa yang dipunyanya saat ini—oh, sungguh ia hanya rakyat biasa yang tidak kaya, tidak juga miskin. Ichigo paling anti jika dibilang miskin.
"Oh, kau suka kopi ternyata."
Basa-basi yang dikeluarkan Ichigo setelah menarik lagi kursi tempat duduknya ternyata tidak membuat Rukia menarik senyumnya. Kepala Rukia hanya terangkat menatapnya biasa saja. Ah, dia sudah kembali dari toilet—Rukia sempat berfikiran pria ini kabur meninggalkannya. Eh, laki-laki mana yang tega melakukan itu untuk dirinya?
"Semua orang suka kopi."
"Kalau aku tidak terlalu," Ichigo memanggil pelayan yang kebetulan sedang membersihkan meja makan di samping mereka. Kebetulan dirinya belum memesan, ichigo maklum sih Rukia tidak memesankan sesuatu untuknya. "Aku pesan jus strawberry."
Mendengar itu, salah satu sudut bibir Rukia berkedut. Oh, wajar saja. Arti namanya juga tidak jauh-jauh dari kata strawberry.
"Jadi, kau bukan Kaien?" Rukia hanya meyakinkan untuk sekali lagi.
"Maafkan atas kesalahpahaman ini," ujar Ichigo, sementara otaknya mencerna kata apa yang pas untuk dijadikan sebagai alasan yang rasional tentunya. Siapa tahu jika ia salah bicara mungkin masuk penjara?
"Tetua menyuruhku memilih sendiri dan menemui orang yang kupilih langsung, dan aku juga meminta agar kegiatan ini dilakukan tidak seformal mungkin. Sepertinya aku salah mengambil pilihan."
Rukia sudah mengerti dengan keadaan ini. Paling pria yang mengaku dokter di depannya ini mempermainkan keluarganya. Tangannya menutup tas dan mengalungkannya ke bahu, bersiap akan berdiri. Seharusnya juga pertemuan ini tidak dilakukan di sini. Oh, memalukan sekali. "Aku ke toilet sebentar, silahkan pesan makanan dulu."
Ichigo kira Rukia akan menyiramnya dengan isi yang ada di dalam cangkirnya.
"Ini pertama kalinya aku ikut perjodohan, dilakukan di tempat umum, lalu tidak dihargai. Apa kata nii-sama kalau dia sampai tahu?"
Kini giliran Rukia menggunakan toilet kantin rumah sakit untuk menelpon pelayan pribadinya. Semua ini sebenarnya terjadi atas dukungan si pelayan itu. Bodohnya ia mengikuti dan sekarang harus menunggu sang pelayan untuk menjemputnya.
"Rukia-sama memangnya apa yang sudah terjadi?" Shirayuki belum mengerti, seharusnya tadi ia menunggui saja sang nona di sana dan mengintai setiap momen yang ada. "Bukankah kau sudah setuju awalnya?"
"Jemput aku sekarang, ini benar-benar memalukan. Pria itu!" Rukia mengacak rambutnya setengah frustasi, "Pria itu sudah mempermainkanku!"
"Berani sekali dia!"
"Yang menemuiku hari ini bukan Kaien Shiba, dasar pria tidak tahu terimakasih."
"Memangnya siapa yang datang? Pelayannya?"
"Siapa yang peduli siapa dia? Pokoknya aku minta dijemput sekarang. Aku tunggu lima menit."
Beberapa detik Shirayuki terdiam, ia sebenarnya belum bisa menjemput sang nona karena baru saja mobil mereka sampai ke mansion, dan lagipula sang sopir sudah pergi entah kemana. Sementara situasi di luar toilet ada seorang perempuan yang hampir kesal karena Rukia tak kunjung keluar.
"Apa masih lama?"
Rukia mengabaikan pertanyaan dari luar toilet. Tsk, mentang-mentang toilet gratis.
"Akan sangat tidak sopan jika anda pulang begitu saja."
"Bukannya dia yang lebih tidak sopan?"
"Sebenarnya kami bisa menjemput anda, mungkin sekitar tiga puluh menit lagi, saya harap anda mengerti."
Lebih baik ia matikan saja telepon itu daripada emosi bertambah lagi.
"Apa kau tidak memesan sesuatu?" Ichigo hanya menawarkan karena dilihatnya sedari tadi Rukia hanya menyesap kopi. Apa wanita itu biasa mengkonsumsi kopi? Apa ia tidak susah tidur setiap malam?
"Aku tidak lapar." Sesekali ia melirik jam tangan. Lama sekali Shirayuki menjemput. Sementara di sini ia masih harus terjebak dengan seseorang yang salah.
"Apa kau marah pada keluarga kami? Aku minta maaf kalau begitu."
Rukia memiringkan kepalanya. Memang kata itu yang sedari tadi ia tunggu. Kenapa telat sekali? "Entahlah, kurasa jika keluargaku tahu akan hal ini mereka pasti merasa tersinggung."
"Kalau begitu aku benar-benar menyesal."
"Baguslah kalau kau menyesal. Tapi tenang saja, aku terlalu sibuk untuk menuntut kalian"
Selain pendek dia juga dingin, ok. Dari dulu tidak ada satupun wanita yang bersikap dingin padanya. Sekalipun itu Orihime perawat seksi di rumah sakit ini. "Oh, kalau begitu aku harus berterima kasih." Entah kenapa nada suara Ichigo merasa tidak senang dengan keangkuhan yang dimiliki gadis itu.
Kalau tahu jadinya akan begini—akan saling berperang dingin, lebih baik Ichigo setuju saja dengan tawaran Kaien yang mengharuskannya—ia lari kemari sambil teriak: Ichigo, nenek kita meninggal! Kan selesai urusannya sekarang.
"Aku doa kan semoga perjodohanmu untuk ke depannya lebih baik dan berjalan lancar."
Rukia belum segera menjawab doa yang terdengar sarkastik itu, ia memandangi pria itu di kedua iris mata besarnya. Sebenarnya ia tidak terlalu buruk. Berhubung mood ini sudah jatuh ke dasar, yang ada hanyalah kekesalan. Setampan apa sih pria yang dipilihnya itu—yang bernama Kaien. Cih, paling-paling pria yang mengaku sok keren saja.
"Terima kasih," Rukia membuka suara pada akhirnya. "Kalau kau ingin kembali ke ruanganmu sekarang, aku tidak masalah."
Apa wanita ini sedang mengusirnya? "Bagaimana denganmu sendiri?"
"Sudah aku bilang, aku tidak masalah. Aku sedang menunggu Shirayuki. Dia akan menjemputku segera." Ini sudah menit kesepuluh dari Rukia menutup telepon tadi. Masih ada dua puluh menit yang harus dilewatinya di sini. benar-benar terasa lama.
Tentu saja Ichigo harus merutuki dirinya sendiri, menggantikan peran si sepupu yang humornya jelek sekali itu. Tidak seharusnya ia memperlakukan wanita seperti ini. Ini salah. Seharusnya dalam kondisi apapun wanita haruslah dihormati. Pasti senang, kan kalau ibu kita bisa dihormati orang lain? Kalau saja Kaien punya saudara perempuan, siap-siap saja ia kena hukum karma.
"Atau aku antar saja kau pulang?"
.
つ づ く
.
(A/N)
Awalnya cerita ini mau aku updet pas ada event #Bleach Movie Festival dan mengambil salah satu scane dari film di youtube punya Raditya Dika yang berjudul Malam Minggu Miko. Awalnya keseluruhan ceritanya mirip banget sama episod yang berjudul: Hari Penembakan Sasha. Tapi, karena eventnya udah lewat, ceritanya belum kelar. Mending aku ubah saja dan hanya mengambil kata : Mik, nenek lo meninggal! Terkadang Kaien koplak juga, kan? *getoked*
Okay, setelah aku rombak dan baca lagi, pfft yes yes, i know what reders think XD
Thanks for reading dan tulislah sesuatu untuk saya gahahah!
Salam.
Fidy.
