summary
Liburan musim panas menjadi tragedi bagi Hinata, Sakura, Ino, Gaara dan Sasuke ketika speed boat mereka terhempas badai, dan membuat mereka terdampar di pulau asing. Suatu pulau yang menyajikan teror demi teror tanpa adanya satu pun jalan keluar bagi mereka.
.
.
Malam itu hujan badai mengguyur suatu pulau di tengah perairan Jepang. Air laut terombang-ambing akibat sapuan angin, pecahan ombak di terumbu karang berderu keras, sampai sambaran kilat putih yang tak gentar menyongsong ke segala penjuru. Cuaca ekstrim ini juga turut dirasakan oleh pepohonan kelapa di tepi pantai beserta penginapan tua nan megah yang berdiri di atas tanahnya.
Namun nyatanya hal-hal seram yang terjadi di luar sana malah membangkitkan semangatnya; Semangat seorang pria yang saat ini menggenggam erat pegangan kapak penuh darah kental di bagian ujung tajamnya. Gigi-gigi putih itu berderet rapi saat dia mengumbar senyum mengerikan. Tangannya kian mengerat saat ia menjalankan kaki telanjangnya dengan langkah terseret, tak peduli apakah ia akan menginjak bercakan darah yang ada di permukaan lantai kayunya atau tidak.
"Kenapa bersembunyi? Ayo keluar..." panggilnya perlahan. "Tidak ingin melanjutkan permainan panas kita?"
Tak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara kusen jendela yang bergerak akibat badai di luar sana serta suara ribuan tetes air hujan yang menjatuhi atap penginapan tuanya. "Oh, jadi tidak mau? Kau yakin?"
Detik berikutnya terdengar suara sendi lemari yang sedikit berdecit. Pria dengan sekujur tubuh penuh cipratan darah itu menoleh pelan. Ia pandangi lemari dua pintu yang memiliki sela gelap di bagian tengahnya. Ada yang mengintip rupanya.
Dia tersenyum.
Ketemu. Sang mangsa yang bersembunyi itu telah ia ketahui di mana lokasi keberadaannya. Hanya perlu mendekat sambil terus menikmati suara napasnya yang terdengar memburu. Tak heran saat dirinya sudah berada tepat di depan lemari, muncullah isakan tangis yang kian mengencang. Semakin membuat pria itu tak sabar membuka pintu dan memberikan salam ke seorang gadis cantik dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Dia menatap sepasang iris biru itu dengan mata sembab yang telah berurai air mata.
"Selamat malam, Nona..."
Dan kemudian kapak pun ia ayunkan tepat ke ubun-ubunnya.
Suara pecah belah terdengar ngilu.
.
.
.
NO—WAY—OUT
Naruto by Masashi Kishimoto
AU—Alternate Universe
Zoccshan & Yukeh Presents...
(Sasuke—Sakura—Gaara—Ino—Hinata—Naruto)
.
.
one of six
-terdampar-
.
.
Musim panas. Musim yang ditunggu-tunggu oleh semua orang yang berstatus sebagai pelajar di negeri Bunga Sakura ini. Libur panjang membentang, penjual es krim di mana-mana, dan tak lupa, kehidupan indah di pantai menanti untuk dinikmati. dan tentu saja hal tersebut tak dilupakan oleh sekelompok mahasiswa Universitas Todai yang sedang ingin berlibur bersama teman-temannya di kawasan pantai selatan Jepang.
Berhubung letaknya tak begitu jauh dari ibu kota, dengan modal sebuah mobil SUV keluaran Chevrolet milik keluarga Uchiha beserta persediaan makanan yang sampai mengisi satu keranjang penuh, lima manusia beda fakultas itu menelusuri jalan raya yang terasa lancar ini dengan senang. Jendela dibuka setengah, alunan lagu yang menghentak isi kabin, serta obrolan yang entah kenapa tak ada habisnya dibicarakan oleh mereka semua.
Mereka berlima adalah Sakura Haruno, Ino Yamanaka dan Hinata Hyuuga. Tak lupa dengan Sasuke Uchiha yang kini sedang menyetir, dan juga Gaara Sabaku. Semua menikmati keadaan yang tercipta ini, tak terkecuali dua pemuda yang ikut serta di dalamnya, walau tak begitu ditunjukkan secara terang-terangan oleh mereka—mau bagaimanapun juga mereka bukanlah orang yang ekspresif.
Sebab pada dasarnya yang bersahabat di kelompok itu memang hanya para perempuannya saja (Sakura, Ino dan Hinata). Si pemilik rambut merah darah, Gaara, diikut-sertakan dalam acara ini oleh Ino karena Sai Himura, pacar Ino, tidak bisa ikut lantaran sibuk. Jadi Ino memilih mengajak Gaara, sahabatnya sejak kecil untuk hadir di acara ini. Dan untuk Sasuke, pria kaya nan sempurna itu memang sengaja ditarik Sakura supaya ikut. Tau sendirilah seberapa gencarnya gadis beriris mata emerald itu jika sedang melancarkan serangan PDKT ke si pemuda Uchiha yang memang disukainya. Dan untuk Hinata? Sebenarnya dia ingin mengajak teman SMA-nya, Kiba Inuzuka. Hitung-hitung sebagai partner yang bisa menemaninya jika Sakura dan Ino disibukkan oleh kedua pria tampan itu. Tapi kalau Kiba terpaksa membatalkan janji mereka di H-2 karena kecelakaan motor yang mengakibatkan kakinya patah, apa boleh buat? Untung mereka berlima sudah bisa disebut berteman baik—walau kadang Hinata mengaku masih canggung dengan dua pria es itu.
"Eh, lihat! Itu pantainya!" di bangku belakang, Ino yang senang langsung mengeluarkan kepala dari jendela kanan. Tak peduli kedua lututnya menekan paha Gaara yang langsung menyuruhnya untuk duduk tenang di tengah.
Sakura yang ada di sebelah kursi kemudi ikut memperlebar jendela, dia tersenyum leluasa dan mengiyakan. Pemandangan pantai yang biru disertai pasir putih tersedia. Manusia-manusia kecil yang hanya memakai pakaian mini bertebaran sebagai peramai. Bola voli yang terlempar ke sana-sini, benteng pasir buatan anak-anak berjejer, serta atraksi wahana bermain di pantai yang tersedia seolah dilakukan untuk menyambut kedatangan mereka.
"Wah, iya! Jadi tidak sabar ke sana!" lalu ia menolehkan wajah cantiknya ke sebelah, ke pria berkaus hitam. Kemeja putih terbuka yang ia kenakan agak terayun pelan akibat sapuan angin yang masuk lewat jendela yang dibuka Sakura. Dia Sasuke, yang masih menyetir dengan tatapan datar. "Kira-kira berapa lama lagi kita sampainya, Sasuke-kun?"
Mata hitamnya melirik Sakura, lalu ia mengulas sebuah senyum singkat di bibirnya. "Lima menit lagi."
"Akhirnyaaa!" gadis bercelana pendek itu segera berseru ke belakang. "Hinata-chan, kita jadi kan naik kapal boat?"
Benar, mereka kan bukan cuma datang dan bermain ke pantai umum saja. Mereka ingin ke pulau Ame, sebuah pulau kecil nan cantik yang berlokasi tak begitu jauh dari semenanjung pantai. Tempat yang menyimpan villa luas yang dimiliki oleh keluarga Hyuuga. Katanya di sana pemandangan pantainya jauh lebih indah, bersih dan terkesan pribadi. Di internet Sakura dan Ino sudah melihat lokasinya. Ramai pengunjung sih memang—fully booked semua, harga per malam di sana pun juga sedang melejit-lejitnya. Tapi kebetulan karena Hiashi Hyuuga, ayah Hinata, yang termahsyur itu memang terkenal murah hati kepada teman-teman putri sulungnya, mereka berlima diberikan tempat menginap selama beberapa hari di sana secara cuma-cuma, di tempat paling VIP, tanpa pungutan biaya pula. Siapa yang tidak bersorak senang jika ditawarkan menginap di villa pantai mewah? Apalagi di musim liburan seperti ini.
Hinata merapatkan jaket biru pastelnya sebentar dan mengangguk. Dia menjawab sekaligus menunjuk notes kecil yang ia pegang. "Mm, sebelumnya aku sudah menelepon bawahan ayahku untuk menyediakan satu kapal speed boat untuk kita. Katanya ada dan bisa dipakai kapan saja, asal jangan sore."
"Eh? Kenapa?"
"Mungkin... masalah cuaca? Keadaan angin juga perlu diperhatikan sih."
"Kalau begitu, pas sampai langsung aja yuk main boat..." tawar Ino dengan cengiran. "Bagaimana?"
Mata bulat Hinata memandang sekeliling. Sakura mengangguk setuju, Gaara memandang luar jendela, tak menggubrisnya, iris aquamarine Ino berbinar, dan Sasuke hanya mengangguk tanpa suara. "Baiklah, akan kuhubungi sekarang untuk segera menyiapkan kapalnya."
Gadis-gadis pun bersorak senang.
.
.
no-way-out—yu-keh
.
.
Para gadis berkumpul di sisi belakang dari speed boat yang tengah melaju sejak dua menit yang lalu. Kendaraan berukuran sedang itu tampak menjauhi bibir pantai yang tadi mereka singgahi, menjadikan pantai semakin tampak mengecil seiring dengan semakin menengahnya mereka ke perairan selatan yang tengah mereka lintasi. Mesinnya menderu halus dan membelah perairan. Beruntung Sasuke Uchiha, pemuda ningrat itu, terbiasa dengan hal-hal mewah di kehidupannya. Menjadikan speed boat sebagai salah satu dari kendaraan yang tidak asing bagi kedua tangannya untuk dikendarai.
Berkali-kali Ino menggumamkan betapa segarnya angin siang hari yang berembus. Menerpa wajah dan tubuh, serta mengayunkan helai dan sebagian dari pakaian tipis yang mereka kenakan. Sedangkan Sakura tak henti mengatakan betapa antusiasnya dia untuk sampai di tujuan, dan rencana-rencana apa saja yang ingin ia lakukan selama liburan mereka, yang mana tentu saja Sasuke Uchiha menjadi objek utama dari semua rencana yang dikatakannya. Hinata yang mengamati teman-temannya hanya tersenyum, sesekali menimpali ucapan Ino dan Sakura. Kalau ia menjawab dengan kalimat panjang pun kedua sahabatnya tak akan menanggapi lama. Toh, Ino dan Sakura lebih sibuk mencari celah perhatian dari dua pemuda yang mereka sayangi itu. Hinata menggigit bibir. Dia jadi benar-benar menyesal tidak membawa Kiba Inuzuka ke sini.
Dilatar-belakangi oleh obrolan teman-temannya, Hinata menyempatkan diri memandang atas. Kedua mata lavendernya sedikit menyipit khawatir tatkala menatap hamparan langit luas yang digantungi awan kelabu yang tebal. Meski waktu baru lewat tengah hari, suasana mendung yang tercipta ini seperti menjelang petang. Gelap. Membuatnya sejenak lupa bahwa sekarang adalah musim panas.
Ke mana pula larinya matahari yang barusan mereka banggakan itu?
"Apa akan ada badai?" gumamnya tanpa sadar menyuarakan pikiran dan kegelisahannya.
"Yang benar saja, Hinata?" ucap Ino, merapikan beberapa rambut pirangnya yang jatuh berantakan di sekitar wajahnya akibat sapuan angin. "Ini kan lagi liburan musim panas; jangan merusak suasana dengan bicara yang tidak-tidak lah."
Sakura ikut mendongak. "Tapi Hinata benar, mendungnya tebal sekali," gadis itu menatap ke arah Sasuke yang masih dengan tenang mengemudikan speed boat tersebut. "Ne, Sasuke-kun, Pulau Ame sudah dekat, kan?"
Alih-alih Sasuke, Gaara yang terduduk di samping Sasuke lah yang menyahut pertanyaan Sakura. "Kita sedang menyeberang antarpulau. Jadi kira-kira dua puluh menit lagi," ia mengulurkan life-jacket ke arah gadis merah muda itu. "Cepat pakai."
"Heeee..." Ino memberikan senyum geli dan mengerlingkan tatapannya ke arah Gaara. "Kenapa hanya Sakura? Aku kan juga tidak memakai life-jacket."
Gaara hanya men-tsk, sementara Sakura yang melemparkan pelototan ke arah Ino. Ino terkikik, pun Hinata yang hanya tersenyum geli melihat ketiganya.
Terkadang Gaara-kun cukup blak-blakan dalam menunjukkan perhatiannya, ya—pikir Hinata.
Bukan lagi rahasia di antara mereka berlima bagaimana rumitnya hubungan antara satu dan yang lain. Mereka semua bersahabat—tentu. Tetapi Gaara jelas memandang Sakura lebih dari sekadar sahabat. Sedangkan di lain sisi, gadis bermata emerald itu hanya memberikan perhatiannya pada si bungsu Uchiha, yang bahkan tidak menanggapi perasaan Sakura secara terbuka. Tidak ada yang tau apa isi pikiran Uchiha introvert itu. Di luar itu semua, Ino mungkin yang paling beruntung dari mereka semua. Telah dua bulan ini ia menjalin hubungan romansa dengan salah satu senior di kampus, Sai. Sayang orang itu tidak bisa mengikuti liburan kali ini karena tugas praktikum akhir yang harus ia kerjakan.
Sisa perjalanan diisi dengan obrolan yang didominasi oleh Sakura dan Ino, sesekali Hinata turut menyumbang. Udara terasa semakin dingin. Lautan terlihat semakin luas, air tak lagi tampak biru, namun kini sudah menggelap akibat memantulkan langit yang semakin kelabu. Angin berhembus semakin kencang, terdengar menderu-deru di telinga.
Sepasang mata bulat milik Hinata kembali mendongak ke atas, kali ini ekspresi cemas itu benar-benar tersirat jelas. Awan gelap menggantung begitu rendah, bergemuruh. Rasanya tak mungkin jika hujan tidak datang mengguyur segera. Kali ini bukan Hinata yang pertama menyuarakan kecemasan terhadap hal tersebut.
"Kupikir sebentar lagi akan benar-benar hujan," Sakura mendesah, memandang ke sekeliling, cuma ada lautan yang luas di sepanjang matanya memandang. "Kuharap bukan badai..."
"Kita belum sampai ke Pulau Ame, tapi di dekat sini ada pulau lain. Apa mau menepi dulu di sana?" Sasuke sibuk memperhatikan peta yang sempat diberikan bawahan Hinata kepadanya, juga sesekali mendongakkan kepala. Sepintas ekspresi cemas itu terlukis di wajahnya yang biasa datar; sadar akan betapa kontrasnya mendung yang ia lihat dengan prediksi cuaca yang ia lihat di berita pagi tadi sebelum berangkat. "Mau menunggu di sana sampai hujan reda?"
"Mana? Dari sini tidak ada pulau yang terlihat dekat tuh."
"Bisa kau percepat speed boat-nya, Sasuke?" tanya Gaara. "Kita harus segera sampai. Kupikir hujan deras akan datang."
Ino melipat tangannya di dada. "Bagus sekali, aku akan kehujanan di tengah laut begini. Keren..." gerutunya sarkastis.
"Padahal kemarin prediksi cuaca akan cerah dan hangat," Hinata menggigit sebelah ujung bibirnya, merasa bersalah. "Kenapa jadi begini—ah."
Kalimat Hinata berhenti karena cipratan air ombak ya menyapu sisi wajahnya. Bertetes-tetes air memasuki kabin kapal yang bercatkan putih. Matanya pedih, dia berdesis. Sasuke yang mendengar keluhan pelannya pun segera menatap Hinata sekilas, lalu kembali fokus ke pemandangan depan. Angin kencang di tengah laut seperti ini memang sudah tak lagi bersahabat. Speed boat mereka pun terombang-ambing.
"Aku sudah menambah kecepatan—kalian semua pegangan," intonasi Sasuke mengeras di antara deru angin yang berhembus. Gaara mengambil beberapa life-jacket dan melemparkan ke orang-orang yang belum mengenakannya. "Sasuke, laju speed boat kita berlawanan dari arah angin datang."
"Oh, Tuhan sedang bercanda dengan kita," desis Ino saat ia duduk di bagian belakang kapal sambil merapatkan belt di life-jacket-nya. Ia menangkupkan telapak kanannya di depan matanya untuk melindunginya dari hembusan angin.
Keadaan semakin memburuk. Angin berhembus semakin cepat. Derunya terdengar semakin keras. Tak hanya memberantakkan rambut mereka dan menampar wajah mereka, namun juga menyentuh permukaan air laut dan merubah laut yang semula tenang menjadi berombak. Speed boat yang semula melaju tenang dan cepat kini harus melambat—mengalah. Disertai petir yang menyambar daratan, sapuan ombak pun makin keras menghantam sisi kapal.
"Apa yang terjadi!?" teriak Ino ketika speed boat terasa oleng ke samping.
"Kumohon jangan terbalik di sini! Kumohon!" Sakura ikut panik. Tangannya tak bisa lepas dari kursi kemudi Sasuke dan juga tepi kapal.
Siapa yang tidak ketakutan jika berada di tengah laut dengan kondisi cuaca yang demikian ganas? Sasuke hanya terdiam, namun ekspresi pemuda itu mengeras, berusaha sebisa mungkin mengendalikan speed boat untuk terus seimbang, sehingga dapat lanjut mendekati pesisir pantai dari pulau yang kini mulai tampak.
"H-Hujan!" pekik Hinata ketika menyadari tetes air yang terjatuh di udara sekitarnya. Awalnya tetesan air turun dengan laju yang pelan, namun tidak membutuhkan waktu yang lama hingga tetesan gerimis itu berubah menjadi guyuran yang deras. Seakan air dari langit ditumpahkan seketika saat itu juga.
"Sial, aku tidak bisa melihat ke depan!" Tak ada pilihan, Sasuke kembali menjalankan speed boat sekalipun pandangannya memburam, baik oleh hujan, ataupun laut terpercik ke wajahnya . Jarak pandangnya berkurang drastis.
"Kenapa bisa jadi begini…?" gumam Hinata, perasaan takut itu kentara sekali ada di wajah putihnya. Namun tak ada yang mendengar suaranya, ia cuma bermonolog dengan bisikan. Deru angin dan suara hujan hanya satu-satunya yang bisa terdengar.
Para gadis memekik ketika speed boat terbanting ke kiri—beberapa air laut masuk ke kapal membuat beberapa barang plastik milik mereka mengambang—namun bisa kembali tegak. Tubuh mereka basah kuyup, sedangkan hujan masih mengguyur deras. Waktu masih menunjukkan pukul satu siang, tetapi keadaan sekitar seakan mengatakan bahwa matahari sudah tenggelam dan datanglah malam. Ombak menggulung, beberapa kali menerpa, dan tak hanya membuat mereka semakin basah, namun juga menyeret speed boat itu tak tentu arah.
"Aku semakin tidak yakin di mana posisi kita saat ini."
"Seharusnya kau membawa kompas!" kata Gaara, berpegang erat pada tepian speed boat yang beberapa kali oleng. "Atau paling tidak, harusnya kau membawa kami lebih cepat sampai ke Pulau Ame!"
"Speed boat juga punya batas kecepatan, bodoh! Kau kira mengendarai benda ini mudah!?"
"Jika tau begini aku tidak akan menerima ajakan kalian untuk liburan!" balas Gaara, emosi.
"Mengapa kalian jadi saling menyalahkan di saat-saat seperti ini!?" Ino berteriak melerai.
Sasuke tak merespons, karena sekali lagi angin dan ombak menghantam speed boat mereka. Awalnya kapal agak tertahan, namun di serangan kedua hantaman terkeras terjadi. Speed boat itu seketika oleng untuk kemudian terbalik. Semuanya berteriak terkejut, untuk kemudian teriakan mereka berhenti ketika tak ada satu pun dari mereka yang bisa menghindar untuk tidak terjatuh ke dalam permukaan air laut.
Hinata secara insting menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Air laut terasa begitu dingin, bagaikan ribuan jarum tak kasat mata yang menusuk pori-porinya dari segala arah. Berwarna begitu gelap, di dalamnya ia tidak bisa melihat apapun selain warna biru kehitaman dan juga buih-buih udara yang melayang ke permukaan. Paru-parunya terasa teremas, udara menyusut dari dalam tubuhnya.
Ia ingin bernapas.
Hinata berusaha berenang ke atas, namun perairan yang terus bergerak membuatnya kesulitan. Laut seakan menariknya, seakan menjaganya agar tetap berada di bawah permukaannya; tak peduli sekalipun ada life-jacket yang terus berusaha membuat dirinya terapung. Tiap kali ia akan menarik napas pun selalu ada air ombak yang mengguyurnya. Ada air asin yang tertelan—cukup banyak, dan hal itu mengubah kepanikannya ke rasa takut dan teror.
Ia tidak ingin mati. Tidak sekarang, tidak di sini, dan tidak dengan cara seperti ini.
Sekonyong-konyong ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Tak bisa ia lihat dengan jelas karena matanya terasa pedih dan panas. Yang Hinata tau sesuatu itu melingkari pinggangnya dan menariknya.
"Bwah!" seketika gadis itu menghirup napas dalam-dalam ketika kepalanya muncul kembali ke permukaan. Terbatuk-batuk, memuntahkan air laut yang tanpa sengaja telah ia telan. Tubuhnya menggigil, kepalanya pening. Hinata memandang ke depan, di balik tirai hujan yang masih deras, ia bisa melihat sosok familiar yang berenang di depannya, dengan sebelah tangan yang menariknya.
"Sasuke-kun!?" teriak Hinata, ia segera menoleh ke sekitar. Seketika teringat kembali di mana ia berada dan mengapa acara mereka yang tersusun rapi ini bisa hancur sedemikian rupanya.
Ino, Sakura, dan Gaara… di mana mereka?—Hinata tidak dapat melihat apapun kecuali guyuran hujan dan sedikit kabut yang melingkupi jarak pandangnya.
"Kau tak apa?" tanya Sasuke yang masih berusaha menyeretnya berenang. "Berenanglah, di depan kita ada pulau. Kita istirahat di sana."
Kepala berhelai ungu gelap itu mengangguk, kemudian turut menggerakkan tangan dan kakinya yang serasa kebas dan kaku. Air laut begitu dingin. Bisa ia lihat, ternyata entah sejauh mana ombak telah menyeret mereka tadi, hingga kini tepat di hidung mereka terdapat sebuah pulau kecil.
"Ayo cepat, Hinata..." Sasuke kembali menarik pergelangan tangannya. "Inilah gunanya mengapa pemandu wisata laut menyarankan kita untuk memakailife-jacket."
Butuh perjuangan untuk tetap berenang dan tidak terbawa arus atau angin. Jarak antara mereka dan pulau yang sebenarnya hanya beberapa meter terasa seperti berkilometer kilometer jauhnya. Terbawa arus air, mereka kembali berenang. Terseret angin, mereka tetap berusaha. Hingga pada akhirnya mereka sampai di tepian, dan barulah Hinata melihat tiga sosok yang berdiri di tepian pulau berbatu kecil warna cokelat keputihan itu.
Seperti ada beban yang berat yang seketika itu terlepas dari dalam dada Hinata ketika melihat ketiga temannya yang lain, berdiri di tepi pulau. Mereka selamat—mereka semua selamat.
Gaara, Ino, dan Sakura segera mengulurkan tangan dan membantu Sasuke dan Hinata untuk segera mencapai tepi pulau. Begitu telapak kaki mereka akhirnya mendarat di daratan berkerikil, mereka membungkuk dengan lutut dan tangan yang menyangga tubuh. Mengambil napas dalam-dalam dan terbatuk, dengan tubuh yang bergetar kedinginan akibat air laut dan hujan yang masih mengguyur.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sakura, membantu Hinata untuk berdiri.
Hinata mengangguk dan menerima uluran tangan sang sahabat. Giginya bergemerutuk ketika ia paksa mulutnya untuk membuka dan menjawab. "S-Sedikit lelah dan pusing."
"Setidaknya kau tidak terluka—di sini banyak terumbu karang," sahut Sakura, lantas merangkul Hinata dan mengajaknya untuk berjalan, berteduh di bawah pepohonan di pinggir pantai. Awalnya dia niat bantu membasuh wajah Hinata, tapi dirinya terlebih dulu menoleh ke arah Ino yang sedang meneriaki Sasuke dengan wajah panik.
"Apa yang kau pikirkan, Sasuke? Tadi kau bisa mati, tau—sudah sampai ke tepi bersama kita bertiga, tapi malah tiba-tiba terjun lagi ke laut?"
"Jika tidak demikian Hinata yang bisa mati," ucap Gaara datar, memberikan jawaban untuk Sasuke yang masih terdiam. "Hal terakhir yang kita inginkan di saat begini adalah salah satu dari sahabat kita, atau diri kita sendiri, mati."
"Ayolah Gaara, jangan bicara menyeramkan begitu," menghela napas, Sakura yang telah mendudukkan diri di bawah pohon besar mencoba menenangkan. Tetes-tetes air yang terjatuh dari dedaunan pohon memang tetap membuat mereka basah, gatal dan tak nyaman, namun setidaknya tidak sederas jika mereka tanpa perlindungan apapun juga.
"Aku hanya menyampaikan pendapatku," jawab Gaara, mendudukkan diri di depan Hinata yang tengah terduduk dan menekuk lututnya.
Hinata melirik Sasuke yang juga terduduk di sebelah Ino di bawah dedaunan lebat pohon yang sama dengan mereka semua. "S-Sasuke-kun, t-terimakasih," ucapnya, gemetar oleh rasa dingin yang belum hilang ia rasakan dari tubuhnya.
Sasuke terdiam dan tidak menjawab.
Ino menatap ke sekeliling pulau yang mereka singgahi. Tepian pantai yang penuh oleh pasir basah dan juga kerikil putih, lembut, dan kecokelatan. Pepohonan lebat tumbuh berjajar di sana-sini, dan hanya itu yang bisa tampak di pandangan dua mata aquamarine-nya.
"Perasaanku saja apa memang ini bukan Pulau Ame—tujuan kita?"
"Tentu bukan," sahut Gaara. "Speed boat kita terbawa arus, ingat? Sepertinya ini pulau lain."
"Bicara soal speed boat..." ucap Sakura, seakan mengingat sesuatu. Tampaknya mereka berlima selamat namun speed boat mereka hilang terbawa ombak. "D-Dengan apa kita kembali jika tidak memiliki kendaraan?"
"Mungkin kita bisa meminta bantuan warga pulau ini untuk menolong kita," gumam Sasuke sembari memandang ke sekeliling, lantas menunjuk ke arah di balik pepohonan. "Mungkin di balik hutan sana ada desa."
"Kalau tidak ada?"
Ino melirik cemas ke sekitar. "Ada yang ponselnya masih hidup?"
"Tasku terbawa air—semua barangku ada di sana, termasuk ponsel," ucap Sakura, agak merengut.
Gaara mengangkat kedua tangannya. Ia cuma memegang dompet yang basah—sedangkan ponsel yang ia juga taruh di saku raib. "Aku cuma ada dompet. Tasku hilang saat kapal terbalik. Dan mungkin barang kalian semua mengalami hal serupa."
"Well, kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa," Dengan berat hati Sakura berkata. "Ombak itu menghantam speed boat kita tanpa pemberitahuan agar kita bersiap."
"Ya, paling benda yang tersisa cuma yang melekat di badan kita saja," Ino menahan duka saat ia kehilangan tas selempang kecil yang ia bawa—ada dompet, kotak make up dan ponsel—mungkin hilang saat tadi ia tenggelam. Koper ungu berisi baju-baju musim panas terbarunya pun harus ia relakan.
Kemeja putih yang Sasuke kenakan ia lepas. Pria itu bertahan dengan kaus hitamnya. Duduk sendirian dan agak menjauh dari kerumunan. Sakura menatap pasrah Sasuke. Sepertinya pria itu juga frustasi—namun tidak begitu mempermasalahkan barang-barang mahalnya yang hilang.
"Ah, a-aku—" Hinata merogoh saku bagian dalam dari jaket tebal yang ia pakai, dan ia berucap syukur ketika merasakan benda persegi panjang yang ada di dalam sana. "Ponselku masih ada."
Semua menatap terkejut bercampur lega.
"C-Coba hubungi keluargamu atau nomor darurat nasional—pokoknya siapa pun yang bisa membantu kita, Hinata!" Sakura berkata cepat dan antusias.
Hinata mengangguk, ia buka flip case ponsel ungunya dan menekan beberapa tombol. Sebelum ekspresi lega yang ia tampakkan bertahan lama, lekungan bibirnya kembali menurun saat ia lihat layar ponselnya menghitam, tidak bisa menyala—tak peduli berapa kali ia menekan-nekan tombol power untuk menghidupkannya.
"Tak bisa menyala," gumamnya, kecewa. Apa karena tenggelam terlalu lama di air? Hinata sesak sendiri. Padahal seingatnya tadi siang baterai ponselnya masih penuh. "Tak bisa menyala. Tetap tak bisa."
Ino dan Sakura mendesah frustasi, namun si gadis berambut permen karet menepuk pundak Hinata, menenangkan. "Ya sudah, mau bagaimana lagi?"
"Sekarang apa?" Ino mengerang lirih, antara kecewa dan lelah. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Tunggu sampai badai berhenti, lalu kita cari pertolongan," jawab Gaara, menggeleng-gelengkan kepala untuk mengibaskan air dari helai merahnya. "Kupikir cuma itu yang bisa kita lakukan."
"Gaara benar," jawab Sasuke. "Kita tunggu cuaca buruk ini selesai dulu baru setelahnya bergerak ke balik hutan untuk mencari pertolongan."
.
.
no-way-out—zo-cc-shan
.
.
Rintik hujan mulai sedikit reda saat malam menjelang. Bersamaan dengan udara lembab ala tropis dan bau tanah yang menguar, Sakura Haruno terbangun karena perasaan tidak tenang. Mata hijau daunnya terbuka, dan menatap samar bahwa awan mendung yang sebelumnya menutupi angkasa perlahan-lahan menyingkir. Sinar sunset yang indah membentang di cakrawala. Belum sempat dia terkagum-kagum dengan pandangan yang tersuguh, gadis itu terlebih dulu dikagetkan oleh serangkaian nyamuk yang mengerubuni tubuh mereka berlima—ya, sebelumnya saat masih badai, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di sini, tidur terlentang hanya dengan tumpukan daun pisang yang barusan dikumpul.
Sakura pun menjerit geli sambil berdiri, tangannya terkibas agar dapat mengusir segala macam serangga parasit yang menempeli teman-temannya. Dimulai dari Sasuke, Ino, Gaara lalu Hinata terbangun serentak. Pandangan mereka masih berat.
"Ada banyak nyamuk! Kalian tidak gatal?"
Ino langsung pucat seketika terutama saat paha putih mulusnya kini dihiasi bentol-bentol merah. Baru ia sadari bahwa hutan memanglah habitat para serangga menyebalkan. Segeralah dia bangun dan menepuk-nepuk kotoran yang menempel di hotpants basahnya. "Kuharap kita semua sudah punya tenaga untuk menjelajah. Kita harus cari penduduk untuk minta bantuan..."
Disertai oleh anggukan kompak mereka semua berdiri. Tujuan utama mereka kali ini adalah menembus hutan. "Tunggu," Sakura menggigit bibir. "Apa kita tak punya plan B—maksudku, selain ke hutan? Apa tidak bahaya masuk ke hutan saat menjelang gelap seperti ini?"
Hinata mengangguk setuju. Dirinya yang dari tadi berjalan paling belakang terus memasang wajah tertekuk saat melihat penampilan hutan lebat yang kini tak jauh di depan mereka. "Kemungkinan ada binatang buas."
"Ya, selain itu belum ada kepastian kalau ada penduduk di sana," Sasuke berkomentar. Pandangannya kembali menelaah pesisir pantai. "Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Tak ada perahu, sampah plastik, atau apa pun."
"Tsk, seandainya badai tadi cepat berlalu," Gaara berdecih. Ia usap rambut merahnya yang sudah agak mengering dan kemudian melirik sebuah kepulan asap kelabu di tepi hutan timur—tak seberapa jauh dari tempat mereka kini berpijak. Apa itu tandanya ada orang lain yang membakar sesuatu di sana?
"Menurut kalian itu apa?" Ino yang memperhatikan arah pandang Gaara menunjuk asap di bagian barat pantai. "Mau ke sana dulu?"
"Kau yakin, Ino? Kupikir Hinata benar, jangan masuk hutan saat malam. Sudah lain soal kalau kita bertemu singa, lintah, tumbuhan beracun atau yang lainnya."
"Tapi bagaimana caranya kita bisa selamat kalau kita tak bergerak? Kau mau kita berlima mati kering di sini?"
"Iya, kita akan bergerak, tapi maksudku jangan sekarang. Kita bisa mencoba menjelajah hutan saat pagi tiba."
"Kalau tidak cepat ke sana asap akan hilang dan semakin sulit kita mencari jejak—taruhan, di sana pasti ada penduduk."
Kali ini dua sahabat bersurai kontras itu cekcok. Suara yang cukup ribut itu sampai-sampai membuat mereka semua tak sadar kalau sudah ada kapak besi yang tertanam di tubuh pohon kayu yang telah ditebang setengah—tepat di puncak silindernya. Dengan detak jantung yang sama-sama berdentum, mereka menoleh ke arah suara dan menemukan siluet seorang pria dewasa berkulit tan yang berdiri tegap di ujung hutan.
"Ada apa ribut-ribut?"
Semua menatap lurus ke pemilik suara bariton itu, meneliti penampilannya lewat pandangan mata. Dari jarak sepuluh meter seperti ini, sudah dapat diketahui bahwa pemuda di sana memiliki usia yang tak jauh berbeda dari mereka. Tubuhnya terlihat tegap dan rambutnya jabrik kepirangan. Baju tanpa lengan yang ia kenakan memperlihatkan otot-otot kekar yang seolah terlatih di gym. Tangan kanannya menyentuh ujung kayu kapaknya yang menancap, sedangkan tangan kirinya memegang lentera minyak yang tak terlalu terang, membagikan keremangan cahaya jingga ke lima manusia di depannya yang kini memandangnya penuh makna.
"Suara ribut kalian terdengar sampai ke tempatku," pria itu mendekat dan kemudian baru mereka ketahui pemuda itu memiliki iris safir yang indah, dan senyum tiga jari yang menawan. "Tapi tak apa. Mungkin kalian butuh bantuan..."
Semua orang mendesah lega, tak terkecuali Sasuke dan Gaara. "Kami butuh petunjuk arah... dan penginapan."
Dia tertawa ramah. "Kalian bertemu dengan orang yang tepat. Aku membuka usaha penginapan tak jauh dari sini. Mau lihat-lihat atau mungkin coba menginap semalam? Hari mulai larut."
Sakura dan Ino buru-buru meringis bahagia. Setelah runtutan kesialan yang mereka alami akhirnya datang juga harapan yang diberikan oleh Tuhan. Berkali-kali mereka ucapkan terima kasih ke pria yang kini menjadi petunjuk arah menuju penginapannya, melewati celah hutan bertanah basah. Paling tidak nantinya mereka memiliki tempat yang layak untuk beristirahat dan mengeringkan diri.
Tapi baru saja Hinata akan menyusul memberikan ucapan terima kasih—karena teman-temannya sudah—bertepatan dengan itu si pirang di depan sana menoleh ke belakang. Tatapannya lurus ke Ino dan Sakura yang berisik di belakangnya. Ia merilis separuh senyumannya, yang singkat namun dingin. Lalu tiba-tiba tatapan matanya mendadak lebih terbuka dan hanya terarah padanya. Sudut bibir orang itu memanjang.
Hinata tersentak.
Tampan, tapi terkesan mengerikan; ada makna di baliknya.
Sedetik berikutnya si pemuda misterius itu memalingkan wajah. Ia unjuk gigi, membagi paras ramah, dan kemudian ia berucap pelan.
"Oh, ya. Maaf terlambat memperkenalkan diri. Namaku Naruto. Uzumaki Naruto. Salam kenal."
Dan satu per satu tragedi akan bermula dari sana.
.
.
see you
.
.
our notes
(Y) Ini kolab dengan Zoccshan. Kolab dalam artian gue yang nulis sebagian besar words, gue yang bikin judul, gue yang bikin summary, dan Jo yang ngetik beberapa, ngasih nama chapter, dan nge-publish #bacoked.
(Z) Abaikan kalimat yukeh di atas dan biarin aku yang jelasin ulang. Jadi ini adalah fict collab pertamaku (Zoccshan) dengan Yukeh (Uchiha Yuki-chan). Kami memilih tema ini murni karena kesedengan si Yukeh yang lagi kambuh (karena dia pencetus ide awal—tapi kupangkas agar singkat dan bisa dikelarin). Padahal jujur aja di awal-awal aku ngga begitu minat ngetikin, tapi apa daya kalo emang udah naksir sama plot yang kita bangun rame-rame ini haha. Buatku sih kesannya menantang aja buat diketik. Soalnya kita berdua seringnya ngetik romance ala-ala FTV atau ngga humor preman sih. Jadi ya mohon maklum juga, ya. Oh, sama sekedar pemberitahuan. Ini kami numpang publish di akun Pieree (my lil bro). Si Pieree-nya mah ngga ngetik apa-apa :b
(P) Gapapa kok, santai aja. Walopun aku tau niat awal kalian numpang publish di sini; pasti biar kalian ngga dibombardir sama readers, kan? Toh, kalian masih punya banyak fict lama yang masih in-progress, masa iya udah buat fict baru lagi? :)
(Y) & (Z) #gebukinpieree.
Intinya, kami berdua (bertiga, ehm, sama Pieree) berharap agar kalian menikmati cerita baru ini. Kritik dan saran sangat ditunggu loh, ya. Thankyou :)
.
.
warm regards,
Yukeh & Zoccshan...
