Disclaimer: Harry Potter is belongs to JK Rowling
Warning: AU, some OOC, some Typo(s), etc
.
.
Enjoy!
.
.
Cranberry Hollow
12 September
Pertengahan Musim Gugur..
Aku segera melipat sapu tanganku lalu menyimpannya ke saku. Berbaring di atas hamparan dedaunan musim gugur selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan bersama teman-teman. Kakiku melangkah ke sisi ruang tamu rumah dimana Ginny dan Luna tengah menungguku seraya mengemil biskuit kenari.
"Apa kalian terlalu lama menungguku?"
"Tidak. Ayo pergi, Hermione!" seru Luna padaku. Mama berseru dari dalam dapur, "Jangan terlalu jauh!"
"Baik, Mama." Balasku lalu segera keluar menuju hutan.
Kami bertiga menelusuri sungai kecil yang terletak dekat beberapa rumah pertanian yang berseberangan dengan pemakaman di Narcissus Meadow dan setelah melewati beberapa pepohonan, kami sampai di tempat bermain kami.
Tempat bermain kami terletak di bagian dalam hutan yang tidak jauh dari sungai kecil tadi, pada musim gugur, kami sangat sering membuat rangkaian dedaunan maple yang gugur dan cantik yang diikat dan dihubungkan dengan tali di masing-masing ujung daunnya. Kami juga pernah membuat satu ayunan gantung yang sekarang jarang dipakai.
"Mari membuat rangkaian daun maple lagi!" ajak Ginny. Aku menggeleng pelan, "Jangan. Kita sudah membuat banyak."
"Hermione benar." Timpal Luna seraya menikmati angin yang berhembus, rambut pirang putihnya berkibar. Ginny menjatuhkan tubuhnya ke atas tumpukan dedaunan maple, "Nyamannya." Dan mulai berceloteh.
Sementara Ginny berceloteh, aku mendengar suara langkah kaki terseret sehingga menimbulkan suara kresak setiap langkahnya dan langkah itu rasanya makin mendekat. Instingku mulai berkata bahwa aku harus sembunyi.
"Ginny, kau bisa diam sebentar?" pintaku pada Ginny yang mulai diam.
Kami menajamkan telinga untuk mendengar suara langkah berat itu dan kami bertiga segera bersembunyi di balik batu besar terdekat. Bau aneh mulai menyeruak ketika kami mencium makhluk yang berjalan ini. Luna tidak berani melihat lagi makhluk itu dan aku mengintip dari balik batu.
Mata biru kehijauan itu...
Aku tidak bisa berkedip ketika melihat sosok gadis kecil yang tengah berdiri terpaku beberapa langkah dari batu tempat kami bersembunyi. Tatapan tajamnya seolah menggerogoti setiap inci dari kulitku sehingga membuatnya merinding. Kakiku gemetaran dan aku langsung tidak bisa bergerak dari balik batu. Ginny pun sepertinya tahu siapa makhluk itu.
Rambut pirang makhluk itu sangatlah kotor dan berantakan sehingga membuat kesan seperti anak liar. Bau lemak campur tanah menyeruak dan gaun putihnya sangat kotor oleh tanah.
"Kau tahu siapa dia, bukan?" tanya Luna dengan nada berbisik yang sangat halus agar makhluk disana tidak mendengarnya. Ginny tidak berani menjawab. Aku menunduk dan bersandar di batu sehalus mungkin agar tidak menimbulkan suara.
"Aku tahu," ucapku pelan,
"Dia Lavender Brown. Dia meninggal karena tuberkulosis dua minggu yang lalu."
.
Ginny tidak sengaja menginjak dedaunan maple yang terhampar di tanah sehingga menimbulkan bunyi gesek pelan. Sontak aku dan Luna menoleh ke arah Ginny dengan tatapan yang sama kagetnya dengan Ginny. Kami pun tambah kaget ketika Lavender sudah berdiri di depan kami tanpa ekspresi.
Luna berteriak ketakutan dan Ginny segera membekap mulutnya. Itu dilakukannya agar tidak menimbulkan kehebohan dari luar hutan. Kami segera berlari masuk ke dalam hutan yang kami hafal betul jalannya dan secara tak sengaja bertubrukan dengan Sharon Brown, ibu dari Lavender.
"M-mrs. Brown, tadi k-kami melihat La-La-Lav––" ucapku dengan terbata-bata dengan wajah pucat pasi. Mrs. Brown hanya menunduk dan memotong kalimatku, "Aku tahu kau melihat Lavender-ku berjalan di sekitar sini, anak-anak."
Kami bertiga langsung kehilangan kata-kata. Kutatap Mrs. Brown dari bawah sampai atas. Dia juga kotor, seolah sudah terjatuh di tanah dan di rambut pirangnya yang tersanggul sederhana, ada ranting kecil dan dedaunan kering yang tersangkut disitu.
"Berjanjilah kalian tidak akan mengatakan hal ini kepada seorangpun, aku mohon. Terutama untukmu, Luna. Jangan pernah mengatakan hal ini pada seorangpun, bahkan pada Hagrid sekalipun." Ujar Mrs. Brown dengan memelas.
"Tapi kenapa?" tanya Luna. Mrs. Brown hanya tersenyum sedih, "Suatu saat kalian akan mengerti. Suatu saat nanti..."
Dan seraya kami membalas dengan anggukan, Mrs. Brown segera berlari menuju putrinya. Kami bertiga dengan perasaan yang masih berkecamuk segera berlari menuju rumah Hagrid, sang peramal. Kami bukannya ingin melanggar janji, kami hanya ingin menanyakan suatu hal pada pria besar itu. Ginny mengetuk pintu kayu rumah Hagrid dan pria itu segera membukakan pintu untuk kami bertiga.
"Oh, kalian rupanya. Masuklah." Ucap Hagrid dan kami bertigapun segera masuk.
"Ada apa kalian kesini?" tanya pria itu seraya menawarkan pada kami sekaleng biskuit dan teh. Kami segera mengambil masing-masing satu selagi dia membuat teh.
"Aku ingin menanyakan sesuatu." Ucapku. "Tanyakan saja, Hermione."
"Ini agak sedikit aneh dan mungkin akan buruk." Timpalku. Dia memasang senyum yang membuatku ragu apakah aku harus mengatakannya atau tidak, "Tidak apa-apa, Hermione. Kau boleh mengatakannya sekarang."
Aku segera menoleh dan melihat kedua sahabatku mengangguk. Aku pun segera kembali ke Hagrid dan mengambil napas sejenak.
"Katakan padaku, bisakah seseorang yang mati hidup kembali?"
Hagrid berhenti menyeduh tehnya. Suasana hening beberapa saat dalam ruangan itu sehingga suasana kembali ketika Hagrid menuang air dari cereknya. Hagrid masih diam sehingga aku bertanya lagi,
"Bisakah itu, menghidupkan kembali seseorang?"
Hagrid segera menaruh teh dalam baki lalu berjalan menuju meja di depan kami tanpa ekspresi. Kiranya dia kecewa akan perkataanku yang baru saja kukatakan namun dia duduk dan menatap kami cemas.
"Mengapa kau ingin mengetahui tentang itu?" tanya Hagrid pelan. Aku hanya menunduk, "Kami pernah melihat yang seperti itu."
"Dimana? Dan kapan itu terjadi?" tanya Hagrid. Ginny menggeleng pelan, "Kami tidak bisa bilang. Kami sudah berjanji."
"Jangan bilang kalau yang kalian lihat adalah Lavender Brown?" tanya Hagrid meminta kepastian. Kami bertiga langsung kaget dan saling berpandangan, "Dari mana kau tahu?"
"Aku pernah melihat mayat hidup itu sehari yang lalu berkeliaran di dalam hutan ini." Jawab Hagrid lalu memakan biskuit kaleng. Kami bertiga masih tidak percaya.
"Kalian ingin tahu tentang itu?" tanyanya. Kami bertiga mengangguk dengan cepat.
"Baiklah, akan kukatakan.." dia segera mulai bercerita.
"Hal ini tidak banyak orang yang tahu, mungkin hanya segelintir. Mereka yang mengetahui cara menghidupkan orang mati akan mewariskannya kepada anak-anak atau kerabat terdekat mereka,"
"Hanya ada satu cara untuk menghidupkannya, yaitu dengan beberapa ritual dan mantra hitam. Itu juga melibatkan penyihir hitam dari suku-suku pedalaman di beberapa daerah yang tersembunyi dan kita tidak tahu. Aku sendiri pun sebenarnya tidak tahu bagaimana ritualnya,"
"Dari bisik-bisik dan kabar burung yang kudengar, itu berhasil dan sangat manjur. Orang mati itu akan hidup selama satu minggu dan setelah itu kembali ke alam tempat di mana mereka berada dan tidak akan pernah kembali lagi." Hagrid mengakhiri ceritanya dan kurasakan bulu-bulu di tubuhku merinding.
Cssssst!
"Aaarrkgh!" kami bertiga berteriak kaget ketika mendengar suara desisan keras dari arah dapur. Hagrid ternyata memasak air dan air itu mendidih dan membasahi kompor. Pria itu segera mematikan kompornya.
"Sepertinya kalian ketakutan." Ujar Hagrid. Dia benar, kami bertiga memang ketakutan.
"Jangan pernah coba-coba melakukan hal ini meskipun kau mencintai seseorang itu cukup dalam sehingga menginginkannya hidup kembali. Itu tidak setimpal." Hagrid menasihati kami.
"Mengapa?" tanya Luna.
"Biarpun kalian menginginkan si mati itu hidup, si mati tidak benar-benar si mati. Maksudku, orang yang mati itu bukanlah dia, melainkan iblis yang mendiami tubuh makhluk itu. Mayat hidup itu hanya sekedar hidup, tidak bisa berbicara juga memiliki perasaan. Tuhan-pun pasti tidak akan menginjinkan hal yang seperti itu terjadi." Jawab Hagrid.
Sepertinya Hagrid benar tentang itu.
"Hutan memang menyimpan banyak cerita di dalamnya yang seseorang pun tidak pernah tahu akan segelap apa, maka dari itu menjauhlah dari hutan pedalaman. Hal-hal buruk akan menimpa seorang gadis kecil."
"Kau persis seperti Mama." Ucapku.
"Dari mana kau tahu tentang semua itu?" tanya Ginny. Hagrid langsung terdiam sejenak. Aku tahu dia mengetahui sesuatu, dan dia berusaha menyembunyikannya.
"Hari sudah mulai gelap, sebaiknya kalian pulang sebelum ibu kalian mencari." Ujar Hagrid lalu kami segera pulang.
"Hati-hati, anak-anak!" seru Hagrid sebelum kami berjalan. "Kau tidak perlu khawatir!"
Kami segera berlari memasuki kelebatan pohon yang dipenuhi dengan misterinya...
Hutan...
.
.
.
Mama selalu melarangku bermain di dalam hutan
"Hal-hal buruk akan menimpa seorang gadis kecil jika ia bermain di dalam hutan."
Namun aku bertekad untuk mengungkap sisi terdalam hutan, sisi yang di mana Mama selalu melarangku masuk, yang penuh dengan misteri dan ceritanya...
Hingga akhirnya aku melanggar larangan Mama...
.
.
.
9 Juli
Pertengahan musim panas...
Delapan tahun semenjak penampakan mayat hidup Lavender sudah berlalu. Aku tidak pernah lagi melihat sosok kecilnya, Lavender yang malang. Segalanya sudah berubah seiring waktunya dan sekarang usiaku sudah 17 tahun. Luna 16 sementara Ginny 15.
Aku Hermione Granger, siswa di Hogwarts khususnya di asrama Gryffindor. Kami disortir berdasarkan nilai rata-rata setiap pelajaran, kepribadian dan kedisiplinan. Entah kenapa aku tersortir di Gryffindor sementara Luna jelas-jelas Ravenclaw. Seharusnya aku Ravenclaw namun mungkin itu sudah ditentukan oleh sekolahku dulu. Sekarang aku masih menikmati masa liburanku yang hanya sekitar tiga minggu dan tentunya aku sangat senang akan hal itu.
Aku masih ingat akan penampakan mayat hidup Lavender dan wajah sedih Sharon Brown ketika dia kehilangan Lavender. Mungkin kau akan mencintai seseorang cukup dalam untuk mengerti hal ini...
Kami bertiga––aku, Ginny dan Luna––tetap menjaga rahasia menghidupkan orang mati itu sampai sekarang dan aku masih ingat nasihat Hagrid. Sharon Brown sekarang sudah tua, sangat beda dengan kali aku melihatnya di hutan hari itu. Semua orang tahu penyakit wanita bertubuh subur itu adalah kecanduannya pada alkohol. Itu karena setelah hari ketujuh dari kebangkitan Lavender yang hanya dia dan kami bertiga yang tahu.
Suara desisan air yang berpadu dengan besi panas terasa berdengung di telingaku ketika aku menyiram kuah panas ke dalam panci besi yang kelewat panas dan kosong. Sementara Mama memotong sayur-sayuran, aku segera mengelap tanganku yang sedikit berlumur kuah.
"Mama, mengapa aku tidak diperbolehkan pergi menuju ke dalam hutan?" tanyaku. Mama segera mencampur sayuran tadi ke dalam sup yang lagi di masak, "Tidak boleh. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam hutan dan aku tentunya tidak ingin kau terluka ataupun mati disana."
Jawaban itu tetap saja membuatku tidak puas. Aku lupa bahwa aku juga pernah melihat penampakan mayat Lavender. Tapi itu dulu, dan aku bukanlah gadis kecil lagi. Hal-hal buruk akan menimpa seorang gadis kecil jika ia bermain di dalam hutan, dan aku bukanlah seorang gadis kecil. Aku sudah dewasa!
"Lebih baik kau tetap di rumah daripada ke hutan. Hutan menyimpan banyak cerita tersendiri yang kita tidak pernah tahu sedalam dan segelap apa, jadi lebih baik menjauh saja." Aku geram ketika mendengar kalimat terakhir.
Ada apa di hutan?
Aku kelewat penasaran akan hal itu.
"Bilang saja kalau Mama takut." Batinku.
Itu hanya perkataan orang-orang yang terlalu takut untuk menelusuri dan menjelajahi sebuah lokasi yang tidak pernah ia temui. Mereka terlalu takut karena mereka tidak pernah masuk ke dalamnya. Nanti, aku akan masuk ke hutan dan mengungkap sisi rahasianya!
Setelah berlama-lama membatin, aku segera membereskan pekerjaanku dan makan siang.
.
.
.
Tok tok tok
Aku membukakan pintu untuk Ginny yang berada di depan pintu dengan wajah antusias.
"Ada apa?" tanyaku. Ginny segera menarik lenganku, "Ayo keluar."
Aku segera berhenti di tempat, "Mama, aku pergi dulu!"
"Ya!"
"Ayo kita pergi." Tambahku. Ginny pun menarikku menuju kerumunan di mana semua orang berkumpul. Kulihat poster yang terpampang disana dan kulihat wajah Ginny yang sangat antusias.
"Pesta dansa rakyat?" tanyaku. Ginny mengangguk semangat, "Aku suka itu!"
Aku memutar bola mata, "Membosankan."
Aku tidak terlalu suka dengan kegiatan dansa terlebih lagi dansa musim panen. Aku pernah mengikuti pesta dansa Hogwarts ketika tahun keempat ketika siswa-siswi Durmstrang dan Beauxbaton datang ke sekolahku dulu. Aku setidaknya cukup senang bisa menarik perhatian Viktor Krum dan berdansa dengannya.
"Kumohon ikutlah denganku, Mione." Pelas Ginny padaku.
Aku memalingkan wajah menuju sembarang arah dan karena sembarangan memalingkan muka, Cormac McLaggen––salah satu pemuda (yang katanya) tertampan di Hogwarts––yang juga menatapku langsung mengedipkan sebelah matanya dengan gaya merayu kepadaku. Aku memasang wajah jijik lalu kembali ke Ginny.
"McLaggen, bukan?" tanya Ginny. Aku mengangkat bahu seraya terkekeh, "Ya, memang."
"Maaf Ginny, aku malas ke pesta rakyat." Ujarku. Ginny makin memasang tatapan anak anjingnya.
"Oh, jangan tatapan itu lagi!" batinku. Aku segera memalingkan wajah, tak apa jika beradu pandang dengan McLaggen lagi asal aku tidak melihat puppy eyes Ginny. Kau boleh mengedipkan semua matamu ratusan kali padaku kalau kau mau McLaggen asal aku tidak melihat Ginny!
"Lihat keuntungannya kalau kau ikut denganku. Kau bisa mendapatkan seorang teman cowok atau setidaknya dapat pembagian hasil panen tahun ini. Kau juga akan bersenang-senang dan aku tidak akan sendirian disana, kan ada kamu!" ujar Ginny.
"Ini simbiosis mutualisme, Mione! Coba pikirkan baik-baik apa untungnya jika ikut ke pesta rakyat. Itu akan setimpal!" tambah Ginny.
Otak encerku mulai berpikir. Pesta rakyat berkaitan dengan kerumunan, dan kerumunan itu mengurus urusan masing-masing disana. Hey! Itu akan mempermudah kesempatanku untuk kabur ke hutan! Terlebih lagi Mama juga dengan urusan masing-masing. Haha, terima kasih Ginny!
"Aku ikut." Ujarku singkat. Ginny tersenyum, "Nah, itu baru Hermione. Ayo kita susul Luna!"
Aku pun mengangguk dan pergi ke rumah Luna.
.
.
.
Pesta rakyat itu digelar di pusat desa dan diadakan lusa nanti. Mama pun sepertinya akan ikut kesana dan menyempatkan diri untuk pembagian hasil panen yang dibagi rata. Sekarang ini aku sedang membantunya memanggang biskuit.
"Mama, mengapa kau selalu melarangku masuk ke hutan?" tanyaku seperti hari itu. Mama masih dengan kegiatannya, "Ingatkah kau pada perkataan dulu? Hutan itu mengerikan dan penuh dengan misteri."
"Setiap misteri harus dipecahkan bukan? Aku tidak puas dengan jawabanmu, Mama. Beri aku kejelasan!" pintaku. Mama membanting sendok ke westafel. Aku menatapnya dengan wajah takut. Sial! Seharusnya aku tidak bertanya lagi!
"Astaga, Hermione! Mengapa kau sangat ingin pergi kesana? Tak tahukah kau peristiwa sepuluh tahun lalu?" bentak Mama dengan marah. Aku hanya tertunduk diam. Aku ingat peristiwa itu, peristiwa di mana Papa meninggal dan ditemukan di hutan dengan tubuh yang setengah terpotong. Itu pada saat aku berumur tujuh.
"Aku juga pernah melanggar ibuku sewaktu kecil dan kau tau apa yang terjadi?" tanya Mama yang mulai melunak, tapi masih mengerikan. Aku menggeleng pelan. Dia melanjutkan, "Aku hampir mati di makan serigala."
"Angkat kepalamu, Hermione!" serunya dan aku mengangkat kepalaku dengan takut-takut. Mama menyibak lengan gaunnya yang panjang dan menampilkan bekas luka gores yang cukup parah lengan atasnya.
"Itu yang terjadi waktu aku kecil, dan kalau kau memang tidak ingin mati sebaiknya menjauhlah dari hutan." Tutup Mama lalu meninggalkanku.
Namun entah mengapa rasanya aku makin penasaran, seakan cerita Mama itu menantang. Apakah aku pergi ke sana atau menuruti Mama saja?
.
.
.
11 Juli
Pesta dansa rakyat...
"Lebih keras lagi!" seru Ginny setengah berteriak lalu menghembuskan napas lega. Aku dan Luna yang sedang mengencangkan korset Ginny langsung jatuh terduduk.
"Lelahnya setengah mati." Ucap Luna. Ginny hanya menyengir. Selagi kami menunggu Ginny memakai gaunnya, aku sibuk berceloteh dengan Luna. Tak sampai setelah satu menit, Ginny selesai dengan segala keanggunannya.
"Kita hanya pergi ke pesta rakyat, bukan ke pesta dansa kerajaan!" ujarku ketika melihat penampilannya yang kelewat heboh. Ginny hanya tersenyum, "Menurutku ini cukup."
"Terserah kau saja lah." Timpal Luna. Aku segera pergi ke kaca dan melihat bayanganku. Rambut coklat ikal yang diikat model ponytail sederhana dengan gaun biasa berwarna coklat muda dengan motif daun maple. Sempurna.
Tidak perlu dandanan heboh hanya untuk ke pesta rakyat, bukan?
"Ayo pergi!" seru Ginny dan kami segera pergi menuju pusat desa.
Sesampainya disana, aku segera berbaur dengan orang-orang disana. Pasanganku di pesta dansa kali ini adalah Harry, sahabatku sementara Ron bersama Luna. Ginny sendiri bersama Dean.
"Aku tidak tahu kau bakalan datang setelah kau sendiri mengatakan 'entahlah' ketika kali pertama aku mengajakmu dansa, Mione." Ujar Harry seraya menepuk kedua tangannya dan tangan kami saling beradu, salah satu gerakan dansa. Aku hanya terkekeh pelan pada sahabatku itu, "Kau sudah tahu."
Setelah dansa pembukaan selesai, kami yang berdansa segear berkumpul di sekeliling api unggun memulai tarian musim panen dengan lagu musim panen yang dinyanyikan satu sama lain.
Demeter telah memberkati kita
Dengan kekuatannya dia menyuburkan pangan
Dan disinilah kita bersuka cita
Memperingati hari dalam musim panen pangan
Oh Demeter terima kasih
Oh Demeter terima kasih
Aku segera berputar, melakukan pirouette yang biasa dilakukan penari balet dengan baik sehingga Harry menarik lenganku dan jatuh ke pelukannya, itu juga merupakan salah satu gerakan dansa. Ini merupakan favoritku ketika semua berkumpul di sekitar api unggun dan bersuka cita. Setelah ada jeda, aku teringat akan tujuanku ke pesta ini.
"Harry, aku haus. Aku ingin mengambil minum sebentar." Ucapku dan Harry mengangguk. Leherku terasa tercekat ketika mengatakan dusta itu pada Harry namun segera kutepis semua itu dan kabur menuju hutan.
Aku berlari memasuki pedalaman hutan yang diterangi cahaya keperakan, melupakan semua apa yang dikatakan Mama dan semua cerita penduduk desa tentang hutan. Hari ini, aku akan mengungkap semuanya yang ada di dalam hutan...
.
.
TBC
Satu lagi fic mutlichapter yang aku bikin...
Entah kenapa aku kepikiran buat fanfic dengan genre fantasi. Setting yang aku pakai disini kira-kira abad pertengahan lah. Aku suka desa-desa juga sejarah abad pertengahan, so I made it. Sebenarnya aku masih ragu-ragu buat nge-publish fic ini tapi karena udah terlanjur di publish, ya sudah.
Lanjut atau discontinued nggak ya fic ini?
Jangan lupa review ya...
