Just Alright

Cast : -Kim Taehyung -Other cast

-Jeon Jungkook

Rate : T+

Genre : Bromance

Disclaimer All cast is not mine, just the story's is origin from me.

+Enjoy!+

"Sudah kubilang, aku tidak kemana-mana."

"Itu bukan aku!"

"Sialan! Terserah!"

-Piip-

Disini, sambungan telepon diputuskan.

Lelaki dengan helaian surai hitam itu mematikan ponsel, lantas mengusap wajahnya kasar. Frustasi. Bercampur dongkol dan marah yang meluap-luap. Rasanya panas, dan ia butuh pendingin. Menghentakkan kakinya kuat, ia menghampiri lemari es di sudut. Membukanya dan menyambar sekaleng milo.

Lelaki yang satu –yang berambut abu-abu- memperhatikan gerak-geriknya. Termasuk ketika si rambut hitam membanting pintu lemari es dan menghempaskan tubuh, duduk di sampingnya.

Lelaki itu menunggu hingga kawannya selesai menegak rakus isi kaleng. Tangan digunakan untuk menumpu wajahnya pada lengan sofa.

"Kenapa lagi?"

Mendengus. Kaleng kosong diremas hingga tak berbentuk.

"Noona bilang dia ngeliat gue sama cewek lain di cafe. Gue jelasin kalau dari tadi gue sama lo. Tapi dia nyolot, nuduh selingkuh."

Si surai kelabu masih berwajah datar. Tenang.

"Terus?"

Tanyanya seperti biasa. Meski dalam hati sudah bisa menduga kelanjutannya.

"Lo ikut gue besok. Bantu jelasin ke dia."

Yah.

Seperti yang sudah-sudah. Sudah terlalu dihafal. Kegiatan rutin hampir setiap dua pekan sekali. Dan sama dengan yang sebelumnya, tidak ada alasan untuk menolak. Sekalipun itu berarti mengorbankan waktunya yang bebas jadwal kuliah itu besok.

"Oke."

Angguk si pemuda kelabu pelan. Mendengarnya membuat si teman cepat menoleh. Ada binar yang terlihat jelas dari kedua mata doenya yang beriris hazel. Marahnya hilang entah kemana, entahlah. Yang ada sekarang hanyalah seulas senyum di wajahnya yang tampan.

"Trims, hyung. Gue tahu bisa ngandalin lo."

Yang dipanggil hyung itu tak membalas ucapan apapun. Hanya bangkit dari duduknya, mengusak surai hitam lelaki tadi sekilas. Dan berlalu untuk membersihkan diri.

Bohong.

Bukannya tidak ada alasan untuk menolak. Tetapi ia memang tidak sanggup menolak. Diam-diam, lelaki yang lebih tua menghela nafas.

Senyum tadi masih terbayang dimatanya.

.

.

.

Kim Taehyung hanya menatap datar sepasang kekasih di hadapannya.

Tidak ada emosi apapun yang tampak di wajahnya.

Meskipun tentu saja tidak begitu. Sebenarnya ada rasa sesak di rongga dadanya. Bagaikan paru-parunya diremat kuat hingga nyeri dan rasa tertekan menjadi satu. Ia hanya tidak ingin menunjukkan ekspresi meringisnya ke permukaan. Menutupinya dengan tetap melanjutkan aktivitasnya menghisap batang nikotin yang ada di sela-sela jemari panjangnya. Masih dengan satu tangan yang lain disimpan dalam saku, dan punggung menyender acuh di dekat pintu.

"Jadi nanti mau kemana?"

"Umm, temani aku belanja, ya?"

Jungkook tersenyum. Mengelus pucuk kepala gadis di hadapannya lembut.

"Oke, sayang."

Sanggup lelaki bersurai hitam itu. Lantas sedikit merunduk, mencium bibir pacarnya lama.

Disini Taehyung memalingkan muka.

Berusaha menyamarkan gejolak perasaan muak dengan menghembuskan asap rokoknya kasar. Seandainya saja ia bukan teman Jungkook, ia pasti sudah melangkah jauh-jauh dari tempat yang menurutnya sialan itu.

Di sepanjang koridor kampus, Jeon Jungkook masih juga bersiul-siul. Salah satu gestur yang menandakan bahwa pemuda dengan rambut hitam legam itu dalam mood yang baik. Sesekali lengannya terayun, sedangkan jemarinya tenggelam dalam hoodie merah yang ia kenakan.

"Segitu senangnya?"

Jungkook otomatis menoleh. Atensinya kini beralih kepada lelaki dengan rambut abu-abu yang mencolok yang berjalan tepat di sampingnya.

"Itu tau."

Jungkook menyengir kecil.

Taehyung berdecak.

"Dasar bocah."

Mendengar selorohan itu, Jungkook ganti memberengut kesal. Ayolah, apa salahnya berusia termuda di penjuru kampus? Jungkook ingin bilang begitu, tapi urung mengingat Taehyung sendiri kakak tingkat yang berusia lebih tua 2 tahun darinya.

"Nyebat mulu. Ini rokok yang keberapa?"

Tangan Jungkook terjulur, hendak merebut paksa rokok yang dibawa Taehyung. tapi Taehyung sudah lebih dahulu mengangkat tangannya tinggi, menghindar.

"Ketiga pagi ini."

Jungkook mencebik. Kesal dengan kebiasaan buruk lelaki berambut kelabu.

"Gitu aja terus. Paru-paru lo busuk tau rasa entar, hyung."

Taehyung justru dengan sengaja menghembuskan asap rokoknya di depan wajah Jungkook yang segera mengibas-kibaskan tangannya, menghalau.

Taehyung cuek. Tapi tertawa kemudian melihat Jungkook yang melotot.

.

.

.

"Gila, muka lo belum disetrika, man?"

"Diem lo."

Ketus Taehyung lalu meneguk minumannya.

Jimin malah tertawa. Sahabat Taehyung itu menyela rambut pirangnya ke belakang, kebiasaan yang sudah mengakar pada dirinya. Jam kuliah sudah selesai, jadi Jimin beserta gerombolannya memutuskan untuk menyeret Taehyung ke tempat langganan nongkrong mereka.

"Bete tuh. Si dedek kagak ikutan kumpul gegara nemenin doi belanja."

Celetuk Hoseok yang mengundang tawa yang lainnya.

Semua. Terkecuali Taehyung –tentu saja- dan Yoongi yang tetap acuh daritadi.

"Belanja apaan emangnya?"

"Tau. Bra kali!"

"Wuih! Cuci mata tuh!"

Begitu, obrolan para lelaki di sana. Gelak tawa membahana. Kata-kata yag seenaknya.

Taehyung hanya mendengus. Memilih acuhkan candaan Namjoon, Seokjin, serta Hoseok. Hanya Jimin yang masih memberikan atensi kepadanya. Dan mungkin, sebagai orang satu-satunya yang sungguhan dekat dengan Taehyung, membuat pemuda itu yakin. Bahwa Taehyung membutuhkan teman bicara saat ini.

"Hoi! Gue cabut duluan ya!"

Jimin bangkit. Beranjak tanpa melupakan untuk menarik kerah kaus biru yang dipakai Taehyung. Peduli bodo dengan seruan protes dari Taehyung yang nyaris tercekik.

"Kemana, Chim?"

Oke, suara Yoongi akhirnya terdengar.

Jimin diam-diam tergelak dalam hati.

"Mau ngurus pasien gue. Kasian, otaknya keganggu, tuh."

Jimin menunjuk Taehyung dengan dagu, kemudian memutar telunjuk di sisi kepala. Disambut tawa dan seruan semangat receh dari yang lain.

Begitu sampai di parkiran, Taehyung langsung menepis cekalan Jimin. Pemuda sixpack itu acuh saja. Bersandar pada kap mobil rovernya, dan mengeluarkan sebungkus kotak rokok dari saku jeansnya. Mengambil satu isinya, lalu menyodorkan kotaknya pada Taehyung disampingnya.

Taehyung mendecih. Tapi diambilnya juga satu batang.

Jimin itu termasuk pelit jika sudah menyangkut nikotinnya. Jadi sekalinya ia berbaik hati menawari Taehyung, itu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Tahulah, rokok mahal, bro.

Jimin menyalakan pematik. Setelah menghidupkan miliknya, ia juga menghidupkan rokok Taehyung dengan api yang sama.

"Si Jungkook baikan lagi sama ceweknya?"

Sama seperti Taehyung. Jimin juga sudah terlampau hafal.

"...Ya."

Jimin sama sekali tidak menoleh. Keduanya sama-sama bersandar di kap mobil merah Jimin, tetapi tidak ada kontak mata. Kedua pemuda itu menatap lurus ke depan. Biarkan angin petang yang berhembus menerpa mereka.

"Jadi lo cemburu? Heh, dasar homo."

Jimin terkekeh. Taehyung mendecih keras.

"Ngaca sana. Bantet brengsek."

"Anjing. Haha..."

Sampai disini, suasana berubah hening. Hanya suara hembusan asap rokok dari kedua lelaki itu. Dan memang begitulah biasanya. Pembicaraan yang singkat, tapi berkualitas. Keduanya sama-sama bisa saling memahami pihak lain dengan baik.

Hanya begitu.

Tetapi cukup membuat Taehyung lega.

.

.

.

"Hyung, gue numpang tidur lagi ya."

Itu kata Jungkook sejam yang lalu.

Taehyung baru saja pulang. Tubuh bau alkohol dan rokok. Lalu beberapa menit kemudian Jungkook datang. Dengan wajah letih yang terlalu kentara. Taehyung bisa menduga, tenaga pemuda itu terkuras hanya demi memenuhi rengekan seorang gadis. Dan ujungnya, Jungkook akan merubah haluan ke arah apartemennya.

Jungkook bilang lebih baik begitu, daripada pulang ke apartemennya sendiri yang hanya berjarak beberapa tikungan dari tempat tinggal Taehyung tapi sepi penghuni. Jungkook tidak suka sendirian, itu alasannya.

Alasan lain, Taehyung adalah hyung terdekatnya.

Cklek.

Seorang lelaki dengan surai kelabu yang basah keluar.

Telanjang dada, hanya celana pendek yang dipakai dan handuk kecil guna mengeringkan kepalanya.

Taehyung melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Dan seperti yang ia duga, ada Jungkook disana. Tertidur di sofa.

Taehyung mendekat, menaruh handuknya diatas meja dan berdiri didekat sofa yang Jungkook jadikan ranjang dadakan. Merundukkan tubuhnya, Taehyung menaruh tangannya dibawah tengkuk dan lutut Jungkook. Dan, hup! Diangkatnya tubuh lelaki itu.

Taehyung –dengan Jungkook digendongannya– menuju kamar. Jungkook tidak terlalu berat, dan meski perawakan Taehyung kurus tinggi, ia tidak kesulitan mengangkat Jungkook.

Satu kaki Taehyung menendang pintu. Masuk dan dengan hati-hati membaringkan lelaki yang lebih muda darinya itu diatas tempat tidur. Awalnya ia bimbang, tetapi kemudian memutuskan mengambil hoodie dan sweatpants Jungkook di dalam lemari pakaiannya. Taehyung mengganti kaus merah serta jeans Jungkook dengan pakaian bersih. Cepat, tapi tidak membangunkan pemuda yang tengah terlelap itu.

Begitu selesai, Taehyung menghembuskan nafas. Panjang.

Sepasang onyx Taehyung memandangi Jungkook. Adik tingkatannya itu tidur dengan posisi janin. Bergelung. Posturnya terlihat mungil bila mengenakan hoodie dengan ukuran besar. Wajahnya terlihat begitu polos. Tak ubahnya anak kecil. Bibirnya sedikit membuka, menampakkan sepasang gigi kelinci yang menyembul malu-malu.

Taehyung tertawa kecil.

Kenapa?

Entahlah, ia hanya ingin saja.

Tetapi berikutnya tawa itu hilang. Taehyung merunduk. Ditatapnya wajah Jungkook lekat-lekat. Perlahan, Taehyung merapikan anak rambut Jungkook. Tatapannya melembut.

Dan setelahnya terjadi begitu saja.

Bibir Taehyung yang mencium bibir Jungkook. Dalam dan lama.

.

.

.

"Bisa-bisanya lo tahan sama nenek lampir itu. Bosen hidup?"

"Haha, kagaklah."

"So?"

"Yah... Soalnya, gue suka dia."

"... Suka, ya."

"Heh, iya. Hyung tahu kan, gimana rasanya jatuh cinta? Gak peduli apapun kekurangannya doi, pasti tetap pinginnya nempel mulu!"

"Sok puitis! Gila lo lama-lama bocah!"

"Hahaha..!"

Ini rokok ketujuh Taehyung siang ini.

Dia ngajakin Jimin bolos, nyebat bareng di belakang kampus. Dan asyiknya lagi, Jimin bawa persediaan bir kalengan. Okelah, yang penting nanti dia ingat buat fotocopy catatan temennya. 'Nakal boleh, tapi bego jangan.' Moto Taehyung yang bikin beasiswanya tetap lancar.

Eh, omong-omong beasiswa, Jungkook juga pakai jalur itu, kan?

"Gak usah ngajakin gue kalo cuma mau ngehayalin Jungkook, monyet."

Satu kaleng kosong yang sudah diremat menimpa dahi Taehyung yang tertutup headbag.

"Anjing! Lo mau gue hajar, Jim?!"

Geram Taehyung.

Jimin hanya menghisap rokoknya tidak peduli.

"Pengecut emang. Udah berapa lama lo diem kek patung gitu?"

Taehyung memalingkan wajah, mendesis.

"Lo kagak ngerti..."

"Keburu ke pelaminan cowok lo ama pacarnya."

"Bangsat, Jim!-"

"Kalo gitu ngomong, bego! Tembak si Jungkook! Tidurin sekalian! Buat dia tahu lo lebih sayang daripada ceweknya yang matre itu!"

Jimin membuang lantas menginjak puntung rokoknya beringas. Kesal sendiri dengan urusan asmara Taehyung. Pemuda itu membuang nafas kasar, menenangkkan diri. Taehyung butuh dorongan. Dan Jimin tahu betul itu tugasnya untuk membantu lelaki itu.

"Lo dan gue sama-sama tahu, Tae. Apa yang udah diperbuat jalang itu ke Jungkook."

Taehyung diam.

Masa bodoh dengan rokoknya yang mati sekarang.

Pengecut.

Iya, memang.

Persetan dengan apa yang ia tahu selama ini.

Karena Taehyung tidak bisa jika harus melihat binar keceriaan di manik Jungkook meredup. Hilang tergantikan kristal bening yang bisa saja turun membasahi pakaian pemuda itu.

.

.

.

Taehyung itu berbakat.

Bakat tersenyum, bakat tertawa, bakat tergelak sekalipun sebenarnya ia ingin menghantam kepalanya sendiri ke arah tembok, dan berteriak meraung-raung seperti pasien sakit jiwa.

'Bangsat, emang. Harusnya gue masuk jurusan perfilman.'

Lelaki berambut hitam di depannya itu menghela nafas. Menormalkan dirinya setelah tergelak tak terkontrol tadi. Pandangannya berubah tenang, jemarinya mengaduk milkshake vanillanya searah jarum jam dengan menggunakan sedotan.

"Gue sayang dia, hyung."

Pembahasan ini.

Taehyung menumpukan wajah pada satu tangan. Gestur mendengarkan, ada senyum tipis yang terlihat di wajahnya.

"Terserahlah orang bilang apa tentang gue yang lebih muda. Yang gue tahu, gue suka dia aja."

Taehyung terkekeh.

"Yo'i. Lo yang menjalani, Kook. Bodo amatlah yang diluar itu. Gue seneng kalo lo seneng."

Tulus.

Semua kata-kata Taehyung jujur. Sungguhan ia lakukan dan ia rasakan. Walau harus 'makan ati', bagi Taehyung bukan apa-apa. Hanya sesekali ia menyayangkan, 'Kenapa Jungkook harus jatuh hati sama cewek fake itu?'

"Trims, hyung."

Jungkook tersenyum. Begitu manis. Terlampau polos. Terlampau senang ada seseorang yang selalu di sampingnya, mendukungnya.

Taehyung juga tahu betul itu.

Dia hanyalah sebatas kakak laki-laki di mata Jungkook. Yang akan memberi perhatian, tertawa bersama saat senang, menghibur saat sedih, mengejeknya karena alasan konyol, membantunya mengerjakan paper, menemaninya saat senggang dan menatapnya penuh afeksi ketika ia bercerita.

Taehyung mematikan rokoknya yang baru separuh habis. Meletakkannya diatas asbak yang tersedia. Mendadak hilang selera pada candu itu. Diraihnya minumannya yang mulai hangat. Bukannya mendingan, Taehyung justru merasa lebih buruk.

Kopinya, walau full cream dan ditambah susu, tetap saja pahit.

Tidak semanis senyum pemuda di hadapannya.

.

.

.

Orang bilang, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mereka bilang, bohong itu pasti akan tetap terkuak suatu hari nanti.

Benarkah?

"APA MAKSUDNYA INI?!"

"Ju-jungkook!"

"Bangsat! Ini balasan lo buat semua perhatian gue?!"

Disini, gigi Jungkook bergemeletuk. Tangan mengepal kuat, rahang yang mengeras menahan emosi. Berikutnya, dengan langkah lebar-lebar, dihampirinya lelaki di samping sang kekasih.

BUAK!

Telak. Satu tinju dari Jungkook.

Si lelaki tersungkur. Mendecih, tapi segera bangkit guna memberi balasan. Yang tentunya tidak akan membuat Jungkook diam begitu saja. Semakin tersulut amarah, pergulatan tak terelakkan.

"Stop! Stop! Aaah! BERHENTI, JUNGKOOK!"

Gadis itu menarik punggung kaus yang Jungkook pakai. Menimbulkan celah di antara dua pihak yang berseteru.

"Cukup, Jungkook! Jangan lo hajar dia lagi!"

Jungkook serta merta terperangah.

"Gue capek! GUE CAPEK NGURUSIN LO YANG KAYAK ANAK KECIL! BOSEN GUE! Jadi lebih baik lo pergi. KITA PUTUS!"

Begitukah?

Jadi ini salahnya?

Atau, siapa? Jungkook hanya berlaku seperti yang seharusnya. Seperti yang seharusnya dilakukan ketika melihat kekasihmu berpelukan begitu erat, berciuman, bercumbu di depanmu bersama orang lain. Salahkah perbuatannya?

Bahkan hingga siluet kedua orang tadi menjauh, Jungkook masih diam.

Berdiri dengan kepalan yang memerah, pipi memar, dan sudut bibir yang berdarah. Ditambah sekarang sebuah tetesan terasa meluncur di wajahnya.

"Ah? Bego, bisa-bisanya gue nangis."

Jungkook abaikan pandangan orang-orang di jalan kota yang gelap namun penuh gemerlap itu. Menghampiri motornya yang terparkir sembarangan, dan segera menginjak gas. Berlalu pergi.

Dipacunya mesin itu dengan kecepatan tinggi. Persetan dengan rambu-rambu yang ada. Yang ia pedulikan adalah bagaimana ia bisa ada di tempat itu secepat mungkin. Sebelum air matanya kian menderas. Satu lagi lampu merah yang Jungkook abaikan.

Ia hanya ingin melihat Taehyung saat ini.

.

.

.

"Hyung, apa semua perempuan itu munafik?"

Tidak ada jawaban.

"Apa mereka memang bunga yang mau menerima kumbang mana saja yang menghampiri?"

Masih diam. Hanya suara sendok yang mengaduk minuman.

"Hyung pernah bilang, kalau eomma Tae-hyung seperti itu. Dan dia juga. Jadi itu benar?"

Segelas susu ditaruh di atas meja.

"Minum."

Suara berat, datar dan penuh perintah dari Taehyung.

Taehyung duduk di sofa di samping Jungkook. Ada jarak sekian jengkal antara keduanya, tapi tidak ada yang benar-benar peduli. Tidak Taehyung, tidak pula Jungkook. Pemuda bersurai hitam itu hanya menatap kosong minuman yang dibuatkan dibuat Taehyung untuknya. Minuman yang sudah dihafal Taehyung bahwa Jungkook penggemar cairan penuh kalsium itu.

"Dia bilang, 'seperti anak kecil'. Haha, benar juga, ya?"

Taehyung tak menjawab apapun. Membiarkan Jungkook yang terus berceloteh.

"Cowok tadi benar-benar jantan mungkin, ya? Lebih dewasa daripada bocah ini. Makanya noona memilih putus."

Jungkook tertawa kecil. Dengan nada perih yang begitu transparan.

"Haha, pantas. Semua cewek juga pasti begitu, kan? Siapa yang tahan berpacaran dengan anak-anak? Hahaha...!"

Taehyung menggeram.

Telinganya terasa panas mendengar Jungkook merendahkan diri sendiri seperti itu. Masa bodoh dengan kelaziman, tangan Taehyung cepat menarik Jungkook mendekat. Membawanya dalam dekapan.

"Nangis saja, bocah! Untuk apa sok kuat?"

Itu perintah.

Ya, perintah Taehyung yang tidak mungkin Jungkook sangkal.

Dalam sekejap, air matanya tumpah membasahi kemeja Taehyung. Jungkook meluapkan semua emosi yang ada. Ia kecewa, sungguh. Ia sedih, ia marah pada diri sendiri, ia kesal, dirematnya bahu Taehyung kuat-kuat.

Ia menangis.

Dan Taehyung tahu, Jungkook membutuhkan dirinya untuk mengadu.

.

.

.

Susunya sudah habis setengah.

Tangisnya sudah berhenti. Menyisakan mata yang membengkak dan masih memerah. Tapi setidaknya ia sudah lebih baik. Berkat pemuda bersurai kelabu yang sekarang tengah menelepon layanan delivery untuk makan malam keduanya.

Jungkook mengangkat kepala guna melihat Taehyung.

Taehyung tidak bertanya, tetapi yang ia pesan pasti sesuai dengan selera Jungkook. Lelaki itu terlalu mengerti dirinya.

Sekilas, Jungkook teringat Taehyung yang mengecup pucuk kepalanya beberapa saat yang lalu. Ketika ia menangis. Rasanya aneh. Ganjil. Tetapi entah kenapa Jungkook tidak menolak, justru membiarkannya dan makin menenggelamkan diri di pelukan pemuda itu. Nyaman. Jungkook merasa diperhatikan, mendapat rasa peduli.

"Diantar 15 menit lagi, katanya."

Taehyung mematikan ponsel. Pemuda itu duduk, lalu menyela helaian surai kelabunya yang nyaris menutupi separuh mata. Karena itulah ia lebih sering mengenakan headbag jika pergi keluar.

"Hyung gak nyebat lagi?"

"Gak dulu-lah. Lo gak suka rokok, kan?"

Lagi.

Jungkook merasa diistimewakan di dekat Taehyung. Tebersit rasa iri dihatinya jika nanti seorang gadis beruntung menjadi pacar Taehyung. Pasti kisahnya indah sekali. Tidak seperti ceritanya yang remuk.

Jungkook meringis dalam hati.

"Hyung,"

"Hm?"

Taehyung sedikit menolehkan kepala.

"Hyung gak mau punya cewek?"

"Gak. Buat apa?"

"Pacaran lah. Hyung gak mau pacaran?"

"Mau."

"Terus? Hyung suka sama seseorang?"

"...Iya."

"Siapa?"

"Lo."

"Ap-"

"Gue suka lo, Jungkook."

Hening disini.

Posisi yang tidak berubah. Duduk bersampingan di sofa dengan jarak sekian jengkal. Bedanya, sekarang mereka sama-sama menatap. Sama-sama beradu pandang yang sulit diartikan.

"Lupakan."

Taehyung beranjak. Bangkit dari duduknya dan hendak memasuki kamar jika saja suara Jungkook tidak mencegahnya.

"Tunggu, hyung!"

Taehyung menoleh. Melihat bagaimana ekspresi Jungkook saat ini.

"A-apa tadi benar? Se-serius?"

-'Buat dia tahu lo lebih sayang daripada ceweknya yang matre itu.'-

Tangan Taehyung terkepal disisi badan.

Kalau ia harus jujur, mungkin sekarang waktu yang tepat.

"Gue serius. Lo boleh jijik, atau merasa gue bohongin selama ini. Tapi gue gak akan tarik kata-kata tadi. Gue suka lo. Gak masalah lo mau gimana. Paling nggak gue udah jujur sama diri sendiri. Dan jujur sama lo."

Entah bagaimana Taehyung merasa lega luar biasa.

Bagai semua beban di pundaknya diangkat begitu saja.

Setelah ini mungkin Jungkook akan langsung berlari pergi. Merasa mual dengan pernyataan yang diterimanya dari sesama laki-laki. Tapi mungkin itu lebih baik daripada terus-menerus mengantungkan harapan seperti selama ini. Jika memang 'selesai', maka lebih cepat lebih baik.

"Jadi... Itu alasan hyung nolak semua cewek selama ini?"

Dijawab anggukan samar.

"Sejak... Kapan?"

"Awal lo masuk universitas."

"Selama itu?"

"Ya."

Taehyung mengeryit melihat reaksi Jungkook saat ini. Kepala yang ditundukkan, tangan terkepal diatas kedua paha. Gemetar.

Ada apa?

Perasaan khawatir seketika menyerang Taehyung. Jangan-jangan ucapannya menyakiti Jungkook? Jangan-jangan pemuda itu hendak menangis lagi?

"Jungkook?"

Tangan besar Taehyung menepuk pucuk kepala Jungkook. Dan secepat itu Jungkook mengangkat wajahnya. Wajah yang diselimuti warna merah yang ketara.

"A-hyung,"

Canggung.

Benar-benar canggung dengan Taehyung yang terpaku.

Jungkook pelan-pelan kembali tertunduk. Suaranya yang biasanya lantang kini terdengar lirih.

"Nggak. Ma-maksudnya, hyung bebas memiliki perasaan itu. Tidak apa-apa..."

Taehyung total blank.

Perlu beberapa detik sebelum pemuda itu menerima informasi yang datang di otaknya.

"Hah?"

Yang pertama keluar adalah ungkapan tak percaya.

"Lo gak bercanda, kan?"

Gelengan pelan adalah jawabannya.

Taehyung tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia juga tidak tahu bagaimana yang patutnya ia rasakan. Sedih, tentu tidak. Senang, tapi bagaimana cara mengekspresikannya? Tidak percaya? Iya, masih.

Taehyung menelan ludah.

Memberanikan diri mendekat, duduk lagi di samping Jungkook. Kali ini tanpa jarak, hingga sisi tubuh mereka bertemu. Jungkook masih menyembunyikan muka, Taehyung meremas jemarinya sendiri gugup.

Taehyung memandang Jungkook dari samping. Pelan-pelan, tangannya terjulur, meraih wajah Jungkook agar menghadap kearahnya. Lantas menangkup kedua pipinya. Posisi keduanya berubah duduk menyamping.

Jungkook menutup mata rapat-rapat. Wajahnya memerah keterlaluan. Taehyung kembali menyakinkan diri dalam hati. Perlahan, ia mendekatkan wajah. Jelas gemetar.

Cup.

Detik berikutnya jarak kembali tercipta.

Sama-sama memalingkan muka. Wajah memerah menjalar sampai ke telinga. Lagi-lagi hening. Tetapi masing-masing bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang memburu. Serasa jutaan kupu-kupu beterbangan di dasar perut mereka.

Aneh.

Rasanya aneh, tapi... Menyenangkan.

Taehyung melirik lelaki di sampingnya. Dan jantungnya seakan hendak meloncat dari tempatnya mendapati Jungkook yang tengah menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari. Bangsat, respon Jungkook manis luar biasa.

"Jungkook,"

Suara Taehyung mendadak berubah semakin serak. Jari merayap mencari jari Jungkook.

"Mau coba belok?"

Pertanyaan itu tanpa jawaban.

Hanya Jungkook yang perlahan membalas tautan jari yang diawali Taehyung. Meremasnya lembut.

.

.

.

Awalnya benar-benar kikuk.

Penuh ucapan gugup, gestur salah tingkah, wajah tersipu, dan gemetar dalam setiap interaksi. Tetapi baik Taehyung maupun Jungkook cepat belajar. Cepat beradaptasi dengan status baru diantara keduanya. Dan semua kecanggungan itu hilang, pergi lenyap entah kemana.

"Nyebat lagi. Gak ada bosennya, ya?"

Taehyung mengelak. Menjauhkan lengannya guna melindungi batangan rokok yang hendak direbut Jungkook.

"Gak. Gak bosen. Sama kayak ngeliat kamu."

Jungkook tertawa kecil. Memukul lengan Taehyung pelan.

"Kalau ngomong aja pinter."

Taehyung terkekeh. Kembali menikmati rokoknya.

"Ini yang terakhir hari ini."

"Janji?"

"As you wish."

Jungkook tersenyum, puas. Kali ini meyandarkan kepala di bahu tegap Taehyung. Yang disambut lelaki itu dengan satu kecupan di ubun-ubun.

"Nanti siang ada kelas?"

Tangan Taehyung yang satu beralih merangkul pinggang Jungkook. Keduanya diatap kampus, sehingga cukup aman untuk berlaku intim. Sesekali Jungkook memang merasa risih, tetapi dicobanya untuk menikmati perlakuan dan setiap perhatian spesial Taehyung kepadanya.

"Ya. Sampai jam setengah tiga."

"Oke, kutunggu."

"Gak apa-apa?"

"Iya, sekalian nongs ama Jimin dan yang lain."

Jungkook mengangguk.

Memejamkan mata dengan posisi yang masih sama. Indera penciumannya bisa menangkap bau tubuh Taehyung. Bau citrus yang berpadu dengan senyalir rokok. Terasa begitu maskulin dibandingkan dengan dirinya sendiri yang berbau buah.

Tapi Jungkook menyukainya.

Dengan Taehyung, Jungkook selalu dimanja. Diperlakukan lembut. Dibuat merasa berharga disisi pemuda itu. Merasa diperhatikan. Merasa disayang. Merasa dicintai. Tiba-tiba saja gender tak berarti apa-apa lagi dimatanya. Selama itu Taehyung, selama itu Taehyung yang bersamanya, Jungkook merasa semua akan baik-baik saja.

Cup.

Satu kecupan mendarat di pipi tirus Taehyung. Dan wajah lelaki itu sontak memerah samar.

"Untuk apa tadi?"

Jungkook menggeleng. Dan kembali bersandar di bahu Taehyung.

"Ingin saja."

Taehyung mengusak surai hitam Jungkook gemas. Yang diperlakukan begitu sontak tertawa. Dan berakhir terhenti karena sebuah ciuman yang terjadi diantara kedua kaum adam itu.

.

.

.

Taehyung bungkam seribu bahasa.

Tubuhnya kaku, ingin melangkah pergi namun saraf motoriknya enggan mengikuti. Sedangkan di depannya, gadis itu datang lagi. Berurai air mata, raut sesal dipermukaan.

"Pikiranku kacau saat itu. Aku dipaksa. Maaf, maaf, tapi... aku ingin kita balikan lagi.."

Jungkook diam.

Menilik gadis dihadapannya yang menutupi wajah setelah bicara begitu.

Taehyung –seperti yang sudah-sudah bila dua orang itu bertemu– maka ia hanya akan menyandar di tembok, menyulut rokok. Meski kali ini ia pikir akan lebih baik untuk menarik Jungkook pergi, namun niat itu urung dilakukannya.

"Noona, gue..."

"Aku akan lakuin apa aja, Jungkook. Aku akan ngerubah sikapku. Aku cuma ingin sama kamu..."

Jungkook terdiam. Sekilas ia nampak menelan ludah. Ekor matanya melirik Taehyung dibelakangnya. Satu tangan mengusap tengkuknya sendiri gugup. Keresahan jelas terlihat di sepasang netranya.

"Gue terlanjur kecewa. Maaf."

Isak cewek itu berhenti. Serta-merta mendongak, menatap tak percaya. Raut sedih berganti kilat marah.

"Kamu nolak aku?!"

"Noona -"

"Kalau dia nolak lo, emang kenapa? Itu hak dia, kan?"

Suara berat Taehyung menginterupsi. Persetan. Dia tidak tahan melihat perempuan di hadapannya. Rokok dijatuhkan, lantas diinjak sniekers biru gelap. Kedua tangan disimpan dalam saku. Wajah tenang –datar– luar biasa.

"Gak usah munafik lagi, deh. Gue sering lihat kok, lo yang jalan gandeng cowok yang beda-beda tiap hari. Ngajak balik? Haha, pelacur kek lo cuma pingin duitnya Jungkook, kan?"

Taehyung tergelak. Sinis.

Wajah cantik didepannya merah padam. Emosi naik ke ubun-ubun.

"Sialan! Cowok homo diem aja lo!"

Gelak Taehyung terhenti. Merasa tertohok terlalu tepat. Dadanya nyeri. Dan rahangnya mengeras seketika.

"Jaga bicara lo."

Taehyung mendesis tajam.

"Kenapa?! Mau bantah?!"

Perempuan itu menggertak, makin menentang.

"GAK NORMAL! Jijik gue ngeliatnya! Emang ya, cowok jadi-jadian lo itu! Banci! Lihat aja, gue bisa sebar luasin,kok. Bakal gue bikin pamflet, biar semua orang tahu kalau kalian ho-"

Plak!

Tamparan keras di pipi.

Baik gadis itu maupun Taehyung sama-sama terperangah.

"LO-"

"Apa?"

Jungkook bertanya datar. Sama sekali tidak terlihat menyesal dengan perbuatannya tadi.

"Lo bilang gue cowok jadi-jadian. Jadi gue gak harus ngerasa segan kan, buat nampar nenek lampir semacam lo?"

Jungkook memalingkan muka, menyambung ucapannya.

"Mending lo pergi. Liat muka pelacur sekarang bikin gue eneg."

Mata si gadis melotot.

"Gue akan sebarin-"

"Sebarin aja. Bodo amatlah, lo mau ngapain juga."

Jungkook menampakkan wajah acuh. Kembali memandang datar. Masih dengan ekspresi yang sama ia menautkan jemarinya dengan Taehung di sampingnya. Diremasnya kuat.

"Kita berdua gak akan peduli."

Penegasan akhir.

Kecupan Jungkook mendarat dibibir Taehyung. Lembut dan lama. Dibalas pemuda yang satu dengan lumatan di bilah bibir bawah. Saling tersenyum kasih disela-selanya. Acuh tak acuh pada ekspresi perempuan didepan mereka. Yang tersulut emosi tapi kehabisan kata-kata.

"TERSERAH! MAU MUNTAH GUE, DASAR GAY!"

Dan secepat itu dia berlalu. High heels dihentakkan, siluet segera menjauh dengan rasa marah dan jijik bercampur menjadi satu. Mata memerah, berkaca-kaca. Akan tetapi tidak ada yang merasa harus peduli.

Taehyung menoleh, menatap Jungkook.

"Yakin gak mau ngejar mantan?"

Jungkook buru-buru menggeleng.

"Gak mau. Buat apa?"

Taehyung tersenyum. Ada rasa lega, ada rasa bahagia. Terpancar dari kedua mata kelamnya. Tapi yang muncul di wajahnya kini sebuah kerlingan jahil.

"Kali aja mau balikan lagi. Dulu katanya suka?"

"Amit-amit. Keliatan boroknya sekarang."

"Heh, siapa yang dulu bilang pingin punya cewek seksi dada besar?"

"Yah, cowok seksi dada bidang kayaknya juga gak masalah."

Jungkook mengangkat bahu acuh. Biar begitu ada rona samar dipipinya. Sementara Taehyung tertawa. Rasa gemas mendorongnya untuk memberi usakan sayang dikepala lelaki yang lebih muda.

"Hyuung!"

Jungkook menyerukan protes. Akan tetapi Taehyung malah tertawa makin keras. Semakin brutal mengacak-acak surai kelam Jungkook. Disela-selanya berkali-kali memberi kecupan dipermukaan wajah pemuda itu. Dipipi, dikening, didagu, dibibir, peduli setan mereka masih di lorong kampus yang berisiko dilihat orang lain.

Taehyung jelas menyayangi Jungkook.

Jungkook bisa merasakannya. Karena itu, ia sama sekali tidak menyesal dengan keputusan yang ia ambil. Ia biarkan matanya terpejam dan terbuai, tawanya berderai bersamaan dengan setiap interaksinya dengan Taehyung. Ia percaya pada hyung-nya itu.

"Jungkook,"

Tangan Taehyung disisi wajah Jungkook. Ibu jari mengelus pipi lelaki itu perlahan.

"Sayang kamu."

Jantung Jungkook berdegup kencang. Memang tidak wajar, tapi ia menerima perasaan yang datang itu dengan tangan terbuka. Membawanya untuk melakukan hal yang sama. Jemari mengelus pipi tirus lelaki yang lebih tua. Senyum kelinci terukir begitu manis di bibirnya.

"Sayang hyungie juga."

Taehyung tersenyum. Mendekatkan wajahnya, memiringkannya bersamaan dengan mata keduanya yang terpejam dan jarak yang terhapus.

Yang terdengar di lorong itu berikutnya hanyalah suara kecupan.

.

.

.

"Hari ini jadwal kosong?"

"Ya! Ke game centre yuk, hyung! Kosong juga, kan?"

"Boleh aja sih. Tapi bisa nambah rokok sebatang lagi, kan?"

"Gak. Nyebatmu udah cukup hari ini, titik."

"Cih. Gak asik ah. Kalau gitu, cium aja deh –Aduh! Kok aku dijitak?"

"Mulut kamu dijaga makanya."

"Gini-gini sayang,kan? –Aduh! Kok kena lagi?"

"Bodo lah."

-FIN-

Annyeong!~

Kembali juga akhirnya ke dunia ff! Yeay!

Oke, jadi book ini akan berisi cerita2 yang belum sempat kupublish sebelumnya. beberapa adalah folder lama, karena itu maaf aja ya, kalau nanti sebagian kejadian sudah lewat dan beberapa deskripsi mereka masih era lagi, book ini menitik beratkan Taekook sebagai pairing utama.

Dan, beberapa cerita juga ada yang sudah kupublish di wattpad dengan akun cari saja book 'Still Young ; KTH x JJk', kalian bisa membacanya juga disana karena ada beberapa cerita yang berbeda.

Karena aku terhitung author baru, saran, kritik dan komentar sangat kutunggu.

Pai pai!~

Bonus,.. Hehe

Side Story

Jimin mengeryit melihat satu bungkus kotak rokok yang disodorkan di depannya. Mata pemuda bersurai blonde itu memicing curiga. Menatap lekat lelaki berambut kelabu yang masih menyengir kotak dihadapannya.

"Kesambet apa lo?"

Taehyung menggeleng, masih nyengir. Wajah konyol, kalau Jimin boleh berkomentar. 'Tipikal Kim Taehyung sekali.'

"Tanda terima kasih, elah. Gak mau? Ya uda-"

"Siapa bilang gak mau?"

Tangan Jimin lebih dulu menyambar sebelum diambil Taehyung kembali. Pemuda itu tertawa, lalu duduk dibangku disamping Jimin. Jamkos. Nongkrong di kelas gak masalah, kan?

"Bahagia sekarang?"

Taehyung mengangguk. Masih tertawa sambil menghembuskan asap rokok.

"Gila lo. Gimana si Jungkook?"

"Makin nempel, kampret emang. Manis banget dia."

Jimin menepuk bahu Taehyung, memberi selamat.

"Lo sendiri gimana ama Yoongi-hyung?"

Pertanyaan tiba-tiba Taehyung membuat Jimin tersedak rokoknya sendiri. Pemuda itu terbatuk beberapa kali. Taehyung tidak menaruh khawatir. Malah terkekeh. Ia tahu Jimin salah tingkah.

"Apanya yang gimana?"

"Tau lah. Udah tidur?"

Jimin serta merta menabok kepala Taehyung. Yang malah membuat pemuda itu tertawa masokis.

"Anjing. Ngaca sana."

"Heh, gue kan pelan-pelan. Nanti juga ada kok, timenya."

"Brengsek! Tapi bener."

Dan gelak tawa terdengar keras dari keduanya.

~FINALLY END~