When I Was Your Man

Rated: T

Genre: Hurt/Comfort.

Length: Oneshot.

Pair: MinYoon.

Cast: Min Yoongi, Park Jimin, Jeon Jungkook.

Warning! BL! YAOI! BOY X BOY

It's BTS YOONMIN FANFICTION!

Mentioned! JEON JUNGKOOK.

Don't like, Don't read! NO BASH!

Itadakimasu~

.

.

.

"I should have bought you flower;
and held your hand.
Should have give you all my hours
when I had the chance."

Flahsback...

Jimin super sibuk dengan pekerjaannya, mengabaikan makannya, mengabaikan keluarganya, mengabaikan berbagai hal lainnya, mengabaikan segalanya, mengabaikan kekasih manisnya.

.

Jimin memijit pelipisnya, dengan tatapan tak suka ia mengerutkan dahinya ke arah seorang namja manis berambut perak yang berdiri didepan meja kerjanya.

"Apa yang kau lakukan disini?" ucap Jimin dengan nada dinginnya.

"Aku hanya membawakanmu beberapa makanan ringan yang bisa kau makan disela-sela pekerjaan—"

BRAKK

Jimin memukul meja itu keras, memotong ucapan lelaki manis dihadapannya.

"Bukankah sudah ku bilang aku sedang bekerja dan tak ingin di ganggu?" bentaknya.

"T-Tapi kau sama sekali belum makan Jim—" suara itu bergetar.

"Kan sudah ku bilang aku tak ingin di ganggu." Jimin menekankan setiap kalimat akhirnya dengan sedikit menggemerutukkan giginya.

"Aku hanya membawakanmu makanan, ap—"

"MIN YOONGI!" sekali lagi Jimin membentaknya kasar dengan nada tingginya.

Yoongi menghela nafas, menahan cairan bening dimatanya yang siap keluar kapan saja. Menatap kilatan marah dimata Jimin lalu ia membuang makanan yang ia bawa untuk Jimin di tempat sampah di sisi kiri meja kerja Jimin dan berbalik pergi begitu saja.

.

.

Selalu begitu.

Jimin selalu sibuk dengan pekerjaannya. Yoongi hanya ingin ia makan meski hanya sekali dalam sehari. Bukannya egois, tapi Yoongi hanya ingin Jimin mengisi perutnya, ia mengerti seberapa sibuknya Jimin tapi ia hanya ingin Jimin makan.

Bahkan Yoongi membawakan Jimin makanan yang bisa dimakan tanpa perlu mengotori tangannya. Tapi Jimin selalu menolaknya dengan berbagai alasan, tak mau diganggu, sudah makan diluar, padahal keluar dari ruang kerjanya itu saja tidak pernah.

.

.

Pukul delapan malam, Jimin kembali ke apartment dan langsung membersihkan diri lalu bergegas ke tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Ia bahkan lupa untuk menyapa Yoongi yang sedang memasak di dapur apartment mereka.

Yoongi datang ke kamar mereka dan tersenyum maklum, sudah terbiasa dengan kelakuan Jimin. Namun hari ini adalah hari spesial mereka, hari jadi mereka. Yoongi tak ingin menyia-nyiakan waktu Jimin yang hanya bisa bersamanya di malam hari.

"Jim..." Yoongi mengguncang lembut pundak tegap Jimin.

"Hmm..." mendengar gumaman Jimin, Yoongi masih tersenyum maklum.

"Jimin-ah, bangunlah aku membuatkanmu makanan..."

"Aku sudah makan bersama karyawan lainnya sebelum pulang tadi." Jawab Jimin tanpa membuka matanya sedikit pun untuk sekedar menatap Yoongi.

"Jimin..."

"Yoongi, simpan saja makanannya. Kan besok bisa kau panaskan kembali." Ucap Jimin cuek.

"Kau lupa ya?" Yoongi berbisik sambil menggigit bibir bawahnya.

Jimin membuka sedikit matanya menatap Yoongi, "Lupa apa?"

"Kau lupa ini hari apa?" pertanyaan Yoongi membuat Jimin terbahak.

"Tentu saja aku ingat, ini kan hari Sabtu tanggal 9, Yoongi. Aku tak mungkin lupa..." ucap Jimin kemudian kembali menutup matanya untuk tidur.

Yoongi mengangguk dalam diam. Ia beranjak dari tempat tidur dan kembali ke dapur. Sesampainya di dapur ia membuang semua makanan favorit Jimin yang baru saja ia buatkan dengan susah payah. Ia tak tahu Jimin akan jadi seperti ini. Mengabaikannya. Melupakannya.

Yoongi berjalan kembali ke kamar dan mendapati Jimin duduk bersandar di bedpost sambil memejamkan matanya. Yoongi perlahan merebahkan tubuhnya, menarik selimut hingga ke batas dagunya dan menutup matanya, mengabaikan Jimin yang tak bergeming dari posisinya.

Yoongi jatuh tertidur saat Jimin mengecup pelipisnya,

"Maafkan aku, aku benar-benar lupa Yoongi."

.

.

Yoongi sangat senang hari ini, pasalnya Jimin diberikan hari libur seharian penuh. Ia tak henti-hentinya tersenyum saat mereka berjalan keluar dari salah satu restoran yang sudah menjadi langganan mereka sejak awal mereka berpacaran.

Yoongi menggandeng lengan Jimin yang terlihat jelas sedang malas untuk meladeni Yoongi berjalan-jalan. Ini hari liburnya, dia ingin istirahat tapi Yoongi malah mengajaknya jalan-jalan.

"Yoongi, kau mau kemana lagi? Aku ingin pulang, aku capek." Keluh Jimin pada Yoongi yang masih sibuk mengitari beberapa toko bunga. Yoongi tampak tidak memperdulikan keluhannya.

"Jimin..." panggil Yoongi sambil berhenti ke salah satu toko bunga yang menampilkan beberapa deret rangkaian bunga di meja depannya.

"Ada apa lagi?" Jimin mendengus sambil ikut melihat ke arah bunga yang Yoongi lihat.

"Aku ingin itu..." ucap Yoongi sambil menunjuk rangkaian mawar putih yang diikat dengan pita cantik berwarna merah.

"Astagah Yoongi! Kau itu lelaki! Lagipula aku sudah sering membelikanmu bunga dulu." Yoongi seperti tertohok mendengar ucapan Jimin. Sering katanya? Dia hanya membelikan Yoongi bunga sekali saat dia berulang tahun, setahun yang lalu.

Dan Yoongi memang lelaki! Tapi apa salahnya?

Yoongi melepaskan genggamannya pada tangan Jimin.

"Baiklah, sebaiknya kita pulang saja ya..." gumam Yoongi lalu bergegas ke mobil mereka diseberang jalan, Jimin mengikutinya sambil memutar kedua bola matanya dengan malas.

.

.

Dua hari yang lalu Yoongi menerima undangan dari kediaman Jeon. Jeon Jungkook, putra tunggal mereka akan mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran di salah satu club mewah di Seoul. Kabarnya mereka menyewa keseluruhan dari club mewah itu dan seluruh fasilitas di gratiskan bagi tamu undangan.

Hari ini adalah hari yang tertera di undangan itu. Yoongi tersenyum lebar. Hari ini dia akan pergi ke party bersama Jimin, dan karena ini ulang tahun salah satu sahabatnya maka sahabatnya yang lain pasti akan datang juga.

"Jimin apa kau sudah siap?" tanya Yoongi. Yoongi sudah siap dengan bajunya; sesuai dengan dresscode untuk pesta malam itu.

Dan Jimin masih bergelung di bawah selimut.

"Aku malas pergi, Yoongi. Kau pergilah sendiri..." ucapnya malas.

"Tapi Jimin, ini ulang tahun Jungkook..." ucap Yoongi

"Ya, aku tahu Yoongi! Aku malas pergi, aku capek. Kau bisa pergi sendiri kan? Lagipula kau membawa mobil." Ucap Jimin lagi sambil merapatkan selimutnya.

"Kalau begitu aku takkan membawa mobil."

"Lalu kau mau berjalan kaki, begitu? Terserah kau saja."

Yoongi langsung membalikkan badannya dan pergi begitu saja. Ia lelah jika harus berargumen panjang dulu dengan Jimin.

Ia menghubungi Hoseok; sahabatnya, untuk menjemputnya dan mereka pergi bersama.

Sesampainya disana Yoongi disambut meriah oleh teman-temannya yang lain. Karena ia satu-satunya yang selalu menolak jika diajak berjalan-jalan dengan berbagai macam alasan, padahal alasannya hanya satu; Jimin.

Tokoh utama pesta ini; Jeon Jungkook langsung merengkuh pinggang Yoongi setelah memeluknya lama, memberikan segelas champagne pada Yoongi lalu mengangkat gelasnya di hadapan semua tamu undangan dan melakukan cheers secara bersamaan.

Yoongi tersenyum senang dan rengkuhan hangat Jungkook dipinggangnya membuatnya merasa nyaman.

Pesta pun dimulai dengan meriah, disc jockey didepan sana memainkan mixer nya dengan lincah. Jungkook berbisik ditelinga Yoongi, untuk menanyakan kabarnya. Yoongi tersenyum ke arahnya dan balas membisikinya bahwa ia baik-baik saja.

Namun saat Jungkook bertanya tentang Jimin, Yoongi hanya diam.

Jungkook tersenyum tipis, "Kau harus belajar melepaskan sesuatu yang sama sekali tak menginginkanmu, Yoongi."

Yoongi tertegun sebentar lalu tertawa. Namun matanya tak sanggup lagi untuk menahan cairan bening yang turun membanjiri pipinya. Jungkook segera memeluk Yoongi, menyembunyikan wajah menangis itu di dadanya, Yoongi meremat kuat jas Jungkook.

Sekali lagi Jungkook menarik perhatian para tamu undangannya, menyuruh mereka menikmati pestanya, lalu ia membawa Yoongi keruangan VVIP dilantai tiga.

Yoongi masih sesenggukan didalam pelukannya.

"Berhentilah menangis, Yoongi. Tak ada gunanya kau menangisi Jimin." ucap Jungkook lembut sambil mengelus pundak Yoongi dan sesekali mengecup puncak kepalanya.

"Kau tak pantas bersamanya. Kau pantas mendapatkan yang lebih dari si brengsek itu, Yoongi." Yoongi mendongak menatap wajah tampan Jungkook yang balas menatapnya penuh kasih sayang.

.

"Kalau si brengsek itu menyakitimu lagi, kau masih memiliki aku, Yoongi. Datanglah padaku, aku menyayangimu lebih dari apapun di dunia ini. Aku takkan membiarkanmu dilukai siapapun, termasuk Jimin."

.

Yoongi tak pulang dari pesta malam itu.

.

.

.

Flashback end.

Jimin mengusak rambutnya saat mengingat tatapan dingin dan tajam itu tertuju padanya saat ia tak sengaja melayangkan tamparannya di pipi sehalus sutra itu. Jimin marah besar saat mendapati Yoongi pulang keesokan paginya dari pesta Jungkook.

Jimin hanya tak tahu, Yoongi ingin membicarakan hubungannya dengan Jimin untuk yang terakhir kalinya, apa ia masih ingin bersama Yoongi atau memilih jalan lain. Dan Jimin hanya menamparnya. Yoongi marah, sedih, semua perasaannya bercampur aduk.

Jimin juga tidak tahu jika di depan apartment mereka ada Agera berwarna hitam mengkilap menunggu Yoongi. Mobil lelaki yang telah berstatus sebagai kekasihnya; Jeon Jungkook.

.

Jimin berjalan keluar dari restoran langganan mereka, lalu ia mendapati toko bunga yang pernah ia lewati dengan Yoongi, ia membeli seikat mawar putih dan kembali ke apartmentnya.

Namun tak ada siapapun disana. Ia menyimpan mawar putih itu di atas meja makan.

"Jika Yoongi melihat ini dia pasti senang." Gumam Jimin.

Namun ini sudah 6 bulan semenjak kepergian Yoongi dari hidup Jimin. Yoongi telah mendapatkan seseorang yang pantas dicintai olehnya. Jimin tak menyangka bahwa Yoongi adalah pengaruh terbesar dalam hidupnya.

Bisnis Jimin semakin maju. Namun apa gunanya itu semua jika ia hanya menikmatinya sendirian? Yoongi juga bukan tipikal kekasih yang matre. Jimin baru menyadari bahwa Yoongi hanya menginginkan sedikit waktunya.

Jimin menempelkan post-it berwarna merah pada seikat mawar putih itu.

I hope he bought you flower.
I hope he hold your hand.
Give you all his hours when he had a chance.
Take you to every party
and do all the things I should've done
when I was your man.

.

.

END

.

.

When I Was Your Man