A/N:

Sequel dari Cigarette and Protector

Twoshots/ Threeshots


Disclaimer:

Karakter yang dipakai pada cerita ini diambil dari Naruto karya Masashi Kishimoto

Ide dan penuangan cerita milik saya


Pair:

NaruHina (part 1)

SasuSaku (part 2)

Part 3 insidentil


ForgetMeNot09

present

.

.

.

Cigarette and Protector 2

.

.

.

Part 1

"Apa yang terjadi padamu?"

Ia mendesah, tak sedetik pun menolehkan wajah pada sosok pemuda yang tengah mengajaknya berbicara.

"Aku bertanya padamu, Dobe!"

Desisan tajam di tengah tenangnya suasana kelas Fisika Teknik itu tak jua mampu menarik perhatiannya. Tampaknya pemandangan di luar sana, yang berupa langit biru cerah dan hamparan rumput hijau mengelilingi lapangan basket, lebih menjanjikan bagi netra azurenya.

"Dobe!"

Dan teriakan penuh emosi itu nyaris membuat sang dosen killer menghentikan penjelasannya. Mata sewarna madu dosen seksi itu menatap tajam pada dua pemuda yang duduk di kursi paling belakang. Aura kemarahan jelas terpancar dari wajah awet mudanya.

Terang saja, siapa yang tidak marah, ketika ada mahasiswa yang dengan enaknya mengobrol dan mengabaikan penjelasanmu tentang selisih kecepatan dan percepatan sudut akibat gerakan roda menggelinding. Memikirkan roda menggelinding saja tidak pernah, apalagi diminta untuk menghitung kecepatannya. Sungguh Fisika itu ilmu sains yang buang-buang waktu. Dan apakabar fisikawan macam dirinya yang membenamkan diri dalam penjelasan imajiner tak berujung pangkal bahkan sekadar untuk dicari keberadaannya?

Baiklah, lupakan itu! Karena sekarang ia harus mengurus dua orang bocah ingusan yang merasa diri mereka sudah paham sepenuhnya tentang materi kuliah kali ini.

"Uchiha-san, Namikaze-san!"

Suaranya terdengar tajam. Bagi telinga para mahasiswanya, seolah ada sebilah pisau yang disisipkan pada sabda sang wanita.

Dua pemuda yang merasa namanya disebut, tentu saja ikut mendongak. Menatap wanita berumur itu dengan tatapan ketakutan.

Naruto bahkan menelan ludahnya kasar demi menetralkan kegugupan luar biasa yang menyergap.

"I-iya, Sensei," jawabnya gagap.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Sepertinya kalian sudah paham bahkan sudah pantas mendapatkan gelar profesor sampai kalian bisa mengabaikan penjelasan saya?"

Sepasang azure melirik pasang hitam yang ternyata juga tengah menatapnya. Keduanya saling menatap sebelum kembali beradu dengan manik cokelat madu sang dosen.

"Ka-kami ...,"

bahkan Sasuke ikut tergagap menerima tatapan penuh intimidasi dari Senju Tsunade.

"Tidak perlu mengatakan pembelaan apa pun. Saya tidak butuh itu. Sekarang silakan keluar dan pergilah ke perpustakaan!"

Baru saja Naruto dan Sasuke hendak menghela napas lega, ketika ternyata kalimat lanjutan sang dosen justru membuat mereka nyaris pingsan.

"Silakan kalian pinjam buku Serway-Jewett, kerjakan soal nomor 1 sampai 40 dari halaman 202!"

Berbeda dengan Naruto yang hanya mampu tercengang dengan mulut menganga lebar, Sasuke justru langsung membuka buku yang disebutkan oleh sang dosen dan membuka halaman termaksud. Onyxnya melebar tatkala mengetahui sebuah fakta.

"Tapi Sensei, separuh soalnya tentang gaya konservatif. Padahal Sensei belum membahas sama sekali, bukan?"

Naruto semakin terpana, jika saja boleh dilebih-lebihkan, dagunya bahkan hampir menyentuh meja. Pikirannya berkelana,

'Teme, kau masih sempat-sempatnya membuka buku itu?'

"Ya benar, Uchiha-san. Bukankah Anda dan Namikaze-san sudah menguasai bab itu? Buktinya kalian berdua tadi enak-enakan mengobrol padahal saya sedang menjelaskan. Jadi kerjakan saja, jangan membantah!"

"Ta-tapi ..."

"Kalau begitu tambah 10 soal lagi, jadi kerjakan sampai nomor 50!"

Ucapan otoriter dari sang dosen ditambah suara tawa tertahan dari teman-teman sekelas semakin membuat Sasuke meradang. Jiwa Uchihanya mendadak timbul, merasa tak tahan telah diperlakukan semena-mena. Namun, belum mampu ia membantah kembali, Naruto menahan lengannya dan langsung berdiri. Menghalangi pandangan pemuda berambut model pantat bebek itu dari sosok dosennya.

"Ba-baik, Senju-san. Kami akan mengerjakan itu," ucap Naruto sambil membungkukkan badan.

Dengan gerakan cepat Naruto menarik tangan Sasuke dan pergi meninggalkan kelas. Sesekali masih didengarnya suara tawa mengejek dari teman-teman sekelas.

Sasuke tampak memberontak, meronta untuk melepaskan genggaman jemari Naruto pada pergelangan tangannya.

"Lepaskan, Dobe!"

Naruto menurut. Tentu saja ia telah mempertimbangkan jarak mereka saat ini yang telah cukup jauh dari ruang kelas.

"Kenapa kau menurut saja? Kau ini bisa jadi bulan-bulanan Tsunade tua itu kalo selalu menurut."

Sasuke mengeluarkan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Rasanya deretan kata saja bahkan tidak cukup. Sasuke ingin sekali menjambak rambut kuning berantakan sahabat dobenya.

"Sudahlah, Teme. Kau lihat sendiri tadi Tsunade tua itu sudah hampir meledak. Kau membantah sedikit saja langsung ditambah 10 soal untuk tugas kita. Bagaimana jika kau membantah lagi? Mau mengerjakan berapa soal kita? 100?"

Sasuke terdiam. Sebenarnya dalam hati mengiyakan perkataan Naruto. Tapi pemuda itu mendecih sebagai balas. Merasa gengsi untuk mengakui kebenaran ucapan orang lain.

Biasalah.

Gengsi Uchiha.

"Ya sudah, sekarang ayo kita ke perpustakaan," ujarnya sambil berlalu meninggalkan Naruto yang masih terengah-engah setelah berjalan cepat sambil menarik Sasuke.

Pemuda pirang itu mengekori langkah sahabatnya.

"Yosh! Mari kita taklukkan tugas Fisika Teknik ini," teriaknya lantang, menggema di sepanjang selasar bangunan fakultas.

"Kau kerjakan sendiri, Dobe. Jangan berharap aku akan memberikan contekan untukmu," ucap Sasuke sengit.

"E-eh? Tapi Teme."

Naruto berlari kecil, mengejar ketertinggalannya dari langkah Sasuke. Sambil menangkupkan kedua tangannya, memasang tampang memelas, khas orang yang sedang memohon. Manik azurenya bahkan membulat sempurna. Ya, sedikit dimirip-miripkan mata kucing.

"Apa?" Sasuke memandang aneh pada sahabatnya.

"Tolonglah, Teme," balas Naruto.

"Tidak."

"Please ..."

"Tidak."

"Jus tomat?"

"Tidak."

Langkah kedua pemuda itu diiringi dengan perdebatan kecil yang sama sekali tidak penting. Dan semakin Sasuke meneriakkan kata "tidak", semakin bulat pula mata biru Naruto. Tak lupa pula jari pemuda berambut kuning itu menoel-noel lengan Sasuke.

"Kau menjijikkan, Dobe."

...

"Kau yakin, Hinata?"

Gadis berkulit putih itu mengangguk. Tangannya tak berhenti dari kesibukan membereskan tumpukan buku tebal di atas mejanya. Setelah beres, gadis yang dipanggil Hinata itu menatap temannya.

"Ayo Sakura-chan," ajaknya.

"Sebenarnya aku malas, Hinata."

Hinata menyipitkan matanya, memandang curiga pada gadis berambut permen kapas itu. Lalu menggeser pandangan pada gadis berambut pirang pucat di sebelahnya.

"Ja-jangan katakan kau lebih memilih ta-tawaran Ino dari pada aku, Sakura-chan?"

Yang ditanya hanya menggeleng cepat dan bergerak-gerak gelisah. Hinata semakin curiga. Pasalnya tidak seperti biasa, gadis bubble gum itu salah tingkah. Lihat saja, ia meremas-remas pinggiran rok yang ia pakai. Apa-apaan ini? Sejak kapan gadis kapten karate di Institut Teknologi Konoha ini menjadi feminin dan malu-malu?

"Huft ... aku tidak percaya jawabanmu. Tapi baiklah jika kau mau ikut Ino ke mini market itu. Aku pergi dulu, jaa."

Hinata pergi meninggalkan sahabatnya yang masih berdiri kaki. Ada selintas roman merasa bersalah dari Sakura, tapi Hinata mengabaikannya. Sejak beberapa hari lalu, Sakura memang lebih sering mendekat pada Ino. Hinata tak tahu pasti apa sebabnya. Hanya saja dia merasa curiga, sepertinya hal ini terjadi semenjak Sakura mengenal bungsu Uchiha dari Teknik Mesin. Gadis bermanik hijau emerald itu benar-benar tergila-gila padanya. Kemudian mulai mencari informasi tentang pemuda itu dan mengorek tips-tips untuk mendapatkan cintanya.

Tentu saja Yamanaka Ino, si Ratu Kecantikan lah yang menjadi tempatnya berguru. Terang saja, gadis pirang itu berhasil menaklukkan salah satu ice prince ITK, Shimura Sai. Sejak saat itulah, Sakura lebih suka menghabiskan waktu bersama Ino.

Hinata tidak masalah dengan itu sebenarnya, dia hanya merasa sedikit kesepian. Terlebih dirinya tak punya teman dekat wanita selain Sakura dan Ino. Jadi saat seperti ini dia benar-benar merasa sendiri.

Bukan hanya Sakura yang sedang mengalami pubertas, Hinata pun juga. Gadis keturunan bangsawan Hyuuga itu juga tengah memendam perasaan yang sama dengan si gadis Haruno. Bedanya, jika Sakura menaruh perasaan cinta pada penerus Uchiha Corp, Hinata justru jatuh hati pada sahabat pemuda itu. Namikaze Naruto, putera tunggal walikota Konoha.

Inginnya ia menarik perhatian pemuda itu juga, tapi apalah daya, Hinata bukan tipe gadis yang suka membeberkan perasaannya dan sibuk ke sana kemari untuk cari perhatian. Hinata lebih memilih diam dan memendam perasaannya di dalam hati. Meski tidak sepenuhnya terpendam, karena Ino dan Sakura telah mengetahuinya.

Lagipula ada satu kejadian yang membuatnya malu dan tak bisa melupakannya hingga saat ini. Kejadian memalukan yang bermula dari saran sesat Ino untuk menarik perhatian Namikaze muda. Saran sesat yang herannya, ia dan Sakura lakukan begitu saja tanpa memikirkan dampak sampingnya.

Mengingat itu, Hinata menggelengkan kepala kuat-kuat. Rasa panas menjalar cepat menyepuh pipi pucatnya.

"Me-memalukan," gumamnya.

Gadis itu berjalan menunduk demi meredam rona pipinya yang ia yakini sudah memerah pekat. Langkah kakinya semakin laju membawanya menuju perpustakaan. Tanpa sadar bahwa ia telah sampai di depan pintu perpustakaan, Hinata masih menunduk, hingga ...,

brukkh !

"Kyaaa ...," teriaknya pelan.

Tiga tumpuk buku tebal yang ia bawa lantas terjatuh begitu saja. Satu buku bersampul kuning emas dengan ketebalan 7 cm mengenai kakinya.

"Aduh," ia mengerang kesakitan. Terduduk dan mengusap kakinya yang terasa sakit.

"Ma-maaf, kau tidak apa-apa?"

Hinata menggeleng. Mata ametisnya terpusat pada ruam merah di punggung kakinya. Ia tak peduli pada sosok yang telah menabrak dan menyebabkan terjadinya insiden ini. Pun ketika sosok itu berjongkok di dekatnya, tangannya terulur untuk meraih kaki Hinata.

Saat jemari besar itu menyentuhnya, barulah Hinata tersadar. Dengan cepat ia mendongak, matanya bertemu pandang dengan azure yang sedang mengamati luka di kakinya.

Manik pias sang gadis seketika membola. Napasnya tercekat dan sel darah merah kembali tersaturasi di pipi gembilnya.

"Sepertinya cukup sakit, biarkan aku membawamu ke klinik."

Pemuda itu mendongak pula, menatap wajah ayu yang sedang memandangnya cemas. Cemas dan ...,

... malu?

"Ka-kau ...," terbata si pemuda menyapanya, sembari mengacungkan telunjuk ke wajah Hinata yang semakin pekat.

"GADIS PENGGILA ROKOK!"

Teriakan membahana di pintu masuk perpustakaan, diikuti tepukan putus asa di dahi pemuda Uchiha dan ...,

blukk!

Ambruknya tubuh mungil sang puteri Hyuuga.

.

.

.

TBC