Yunjae fanfiction
The Rocker That Hold Me
Remake from novel TerryAnne Browning
Genre : Romance, Drama
Desclaimer : THE GOD, THEMSELVES, THEY PARENT'S, CASSIE, SM Ent and Story by TerryAnne Browning
Warning : GS!Jae, EYD Kurang Baku, Typos, DLDR, OOC
Rate : M
Summary
Jaejoong dianggap sebagai perempuan paling beruntung karena dapat ikut keliling dunia dalam tour konser grup rock terkenal DBSK. Masa lalu yang kelam menjadi awal pertemuan mereka. Ketika sang ibu telah meninggal dan grup DBSK, Jaejoong ingin menyerahkan hidupnya pada grup rock tersebut. Apa yang akan terjadi jika Jaejoong jatuh cinta pada salah satu anggota band tersebut. Yunjae Fanfic. GS! Jae.
Prolog
Saat itu hujan. Aku suka hujan, tapi tidak dengan guntur dan kilat. Cahaya kilat tidaklah seburuk guntur yang menggemuruh. Itu mengingatkanku pada Ibuku ketika dia sedang murka, melayang karena obat terlarang, minuman beralkohol, dan laki-laki. Hari ini aku mendapat dosis ganda amukan karena ada badai yang mengamuk di luar dan monster Ibuku yang mengamuk dalam kemarahannya.
Aku berharap dan berdoa pada Tuhan bahwa dia hanya akan pergi tidur seperti yang biasa dilakukannya. Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengarkan doaku saat ini. Tampaknya Tuhan tidak pernah mendengar doaku di setiap aku berdoa kepada-Nya. Aku mulai bertanya-tanya apakah Dia benar ada? Seperti yang selalu di sampaikan pendeta yang selalu singgah berulang-ulang kali bahwa Dia ada. Ibuku sering mengutuk Tuhan, jadi aku pikir dia percaya kepadaNya.
Hujan membasahi baju kaus tipis dan celana leggingku. Aku menyelinap keluar jendela sesaat setelah ibuku selesai denganku. Hujan menyapu airmataku dan darah yang mengalir dari luka yang ditinggalkan ibuku setelah dia mengejarku dengan sebuah cambuk dan tinjunya. Air dingin menyengat tubuh berbilur dan memarku, tapi aku telah terbiasa dengan rasa sakitnya. Secepatnya setelah kaki telanjangku menginjak tanah di luar rumahku, aku berlari dengan cepat ke arah celah kecil berumput yang membatasi rumah dimana aku tinggal dengan rumah yang dianggap Yunho sebagai rumahnya. Aku berdoa semoga ibunya belum memutuskan untuk membersihkan kamarnya, semoga beliau tidak mengunci jendela kamar seperti yang selalu dibiarkan Yunho tidak terkunci untukku, sekedar untuk berjaga-jaga. Ketika aku naik pada ember tua berukuran lima galon yang kugunakan sebagai tangga, aku merintih saat menemukan bahwa benar ibunya telah berada dikamarnya. Jendela terkunci. Aku menggigil sekarang karena hujan bertambah deras, dan aku tak punya sepatu, jas bahkan tempat hangat untuk berlindung. Aku tahu tidak ada gunanya untuk mencoba berkeliling di rumah-rumah sekitar. Ayah Changmin ada dirumah dan aku tak akan pernah masuk kesana ketika ada kesempatan Ayah Changmin bisa menemukanku. Rumah Yoochun dan Junsu hanya punya jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dinaiki oleh kaki kecilku, kecuali salah satu dari mereka membantuku. Sebuah isakan kecil keluar dari bibirku saat aku menyibakkan rambut basah dan kusutku dari wajahku, hanya untuk berjengit ketika aku menyentuh pipiku yang bengkak. Ibuku seorang yang ahli dalam menampar wajahku. Dan hari ini dia tepat pada sasarannya, mengingat jumlah obat yang dipakainya dan minuman keras yang habis ditenggaknya. Terdengar suara berisik dari seberang halaman rumput kecil. Ibuku telah kembali untuk ronde kedua dan dia telah mengetahui ketidakberadaanku. Jantungku berpacu, aku melakukan hal yang hanya bisa aku pikirkan. Aku menarik drum yang terletak di sebelah rumah Yunho. Aku menarik dan menarik, mengiris tanganku saat aku melakukannya. Tapi, akhirnya dengan rintihan kemenangan aku berhasil menariknya cukup kebelakang sehingga aku bisa merangkak bersembunyi di bawah drum. Begitu aku sudah dibawah, aku mendorong drum itu kembali ke tempatnya setelah itu. Aku menahan jeritan saat aku bersandar dan tanganku menyentuh bangkai tikus. Aku mengelap tanganku di celana lembabku dan memeluk tubuhku agar aku tidak bersentuhan dengan tikus itu lagi. Kepalaku bersandar pada pondasi dan kupejamkan mata, berdoa semoga Ibuku tidak akan berpikir untuk mencariku disini. Aku pasti tertidur.
Ketika aku bangun, aku mendengar Yunho dan Changmin memanggil namaku. mereka terdengar panik.
"Jaejoong?" Yunho tepat disampingku di sisi lain dari drum.
"Jae?"
Aku meraih drum dan menariknya kebelakang cukup untuk melihat keluar. Pada awalnya mereka tidak memperhatikanku. Yunho berdiri bersama Changmin, keduanya memakai baju band mereka yang aku bantu untuk mendesainnya. Changmin memegang stik drum di tangan kirinya sementara yang satunya terkepal. Yunho terlihat khawatir.
"Dia tidak akan pergi jauh. Dasar pelacur sialan! Jika saja mereka tidak akan membawa Jaejoong dari kita seperti yang kupikirkan, aku akan segera langsung menelpon polisi," omel Changmin
"Tapi mereka akan melakukannya, Minnie. Dan kemudian dia akan berada di tempat yang lebih buruk dari sebelumnya. Setidaknya kita bisa menjaganya," ujar Yunho padanya
Ini adalah topik pembicaraan yang sama yang selalu mereka bahas setelah kejadian penganiayaan. Jika mereka menelpon polisi, dinas sosial akan membawaku pergi. Tempat penampungan tidak lebih aman dari Ibuku. Mungkin lebih buruk. Aku berumur 7 tahun dan aku mengerti maksudnya. Yunho dan yang lainnya telah menjelaskan padaku berulang kali.
Aku menarik drum itu lebih mundur lagi dan perlahan merangkak keluar. Aku kaku dan terluka. Lumpur menempel di bekas luka cambukan dan goresan di tanganku dari pondasi. Aku lebam dan memar. Dan aku mulai merasakan gatal di tenggorokanku yang akan berakhir dengan radang tenggorokan. Tiba-tiba ada lengan kuat yang menarikku keluar. Begitu ujung kakiku terlihat, aku segera dipeluk Yunho.
"Sial!" seru Changmin.
"Diam, Min," Yunho membentaknya sembari mempererat pelukannya padaku. Aku bisa melihatnya berpikir keras. Dia sedang berpikir kemana harus membawaku, menyembunyikanku.
Aku mendengar suara tawa dari rumahku—Ibuku pasti sedang kedatangan salah satu teman lelakinya, dan terdengar suara televisi—jika Ibunya melihatku seperti ini, beliau akan langsung menelpon polisi, tidak ada pilihan lain.
"Ayahku sudah pergi," Changmin telah mulai berjalan menuju rumahnya.
"Ayo Yun!"
Aku menggigil sesampainya kami di kamar Changmin. Aku kedinginan, sungguh kedinginan dan terluka parah.
"Kita harus membuatnya hangat," ujar Yunho.
"Mulailah menyalakan air panas supaya aku bisa memandikannya".
Changmin tidak berkata apa-apa saat dia meninggalkan kamar dan aku mendengar bunyi air menyala dari ruangan sebelah. Yunho mengajakku berdiri di kakiku dan mulai melepaskan baju basahku. Aku tidak membantah saat dia melepaskan celana leggingku bersama dengan celana dalamku. Dia menarik napas panjang saat dia melihat memar luka yang menganga di kaki dan tanganku, satu dipunggung dan sepanjang perutku.
"Maafkan aku, Joongie," bisiknya.
"Aku sangat menyesal."
Aku terdiam sebab aku tak mengerti mengapa dia meminta maaf. Bukan dia yang memukulku. Ini bukan salahnya. Aku mungkin seorang gadis kecil, namun aku tahu dia takkan bisa selalu melindungiku. Dia punya band, dan hari ini mereka bermain music di sebuah pesta untuk beberapa orang anak dari sekolahnya. Aku berharap dia mengajakku, tapi aku sadar seorang anak berumur 7 tahun di pesta anak SMA bukanlah ide yang bagus. Junsu mencoba menjelaskannya padaku dan aku hampir yakin aku mengerti alasan tersebut.
"Yunh!" Changmin memanggil dari kamar mandi.
"Aku kurang yakin apakah ini terlalu panas atau tidak. Kemarilah dan periksa ini."
Yunho menuntunku dengan tangannya ke kamar mandi kemudian membungkuk untuk mengetes suhu air.
"Ini kelihatannya sudah pas,"
dia mengangkatku dan menempatkanku di air. Aku merengek ketika air menyentuh lukaku. Itu sakit namun panas dari air terasa enak di kakiku yang dingin. Tak lama kemudian aku berhenti menggigil. Yunho membersihkanku, berusaha bersikap lembut saat dia membersihkan luka di tubuhku. Rahangnya mengeras dan kurasa ada air mata menggenang di matanya.
Kemudian setelah rambutku bersih dan wangi, dia mengangkatku keluar dari air, membungkusku dengan handuk. Changmin memegang sekotak plester luka dengan gambar putri kecil di atasnya yang sangat kusukai. Tapi ada juga sebuah salep lengket di tangannya yang lain dan aku menggelengkan kepalaku.
"Tidak, itu sangat perih."
Yunho menggosokkan handuk ke seluruh tubuh basahku, masih berusaha untuk lembut. Beberapa luka berdarah lagi dan perih saat terkena gosokan handuk. Ketika dia selesai dia mengambil salep dariku dan aku menjauh
"Tidak, Yun," rengekku.
"Aku tidak mau itu."
"Aku tahu, Joongie. Aku tahu ini pasti sakit, tapi kau tidak mau terinfeksi, kan?"
Dia berkedip-kedip dan kurasa dia sedang menahan diri untuk tidak menangis.
"Jika kau terinfeksi, maka kau harus ke dokter dan mereka akan menyuntikmu."
Itu kata-kata ajaibnya. Aku benci disuntik ! Aku benci dokter ! Jadi aku duduk di bak cuci kecil dan membiarkannya mengoleskan salep ke seluruh tubuhku, mencoba bertahan untuk tidak merintih karena sakit ini. Tak lama setelah dia selesai, salep itu hampir habis. Changmin menolongnya memasang plester luka. Setelah selesai, mereka mencium luka itu dan mengatakan hal yang selalu mereka katakan.
"Semoga lekas sembuh."
Changmin memakaikan salah satu kemejanya untukku. Tapi karena kebesaran mereka menyimpulnya, sehingga aku tidak akan jatuh terjerembab saat berjalan.
Ketika aku telah berpakaian, Yunho mengangkatku dan membawaku kembali ke kamar Changmin. Mereka menempatkanku di tempat tidur kecil yang berlawanan dengan dinding dan memakaikan selimut yang beraromakan seperti Changmin.
Yoochun dan Junsu memasuki ruangan. Junsu menjinjing tas dari Wal-Mart dan mengeluarkan sekotak obat-obatan. Mereka memberiku sedosis besar Tylenol dan kemudian menyuapiku. Yoochun telah mampir di McDonalds dan membelikanku paket chicken nugget.
Perutku berbunyi dan aku sadar aku belum makan sejak kemarin. Perutku sakit saat kunyahan pertama. Aku duduk dan memegang perutku hingga sakitnya hilang kemudian melahap habis sisa nugget dan kentang goreng. Aku tidak minum Sprite yang mereka beli sampai aku selesai makan. Ini sungguh enak. Akhirnya aku meraih mainanku, boneka binatang dengan rambut aneh dan baju kaus. Aku mendekapnya erat di dadaku saat Yunho menyisir rambut kusutku.
Rambutku saling menarik, karena jarang disisir, tapi aku tak mengeluh dan dia berlaku lembut. Selama sisir itu bekerja di rambutku, mataku semakin berat. Tak lama aku pun tertidur...
