A BTS Fanfiction.

Pair : Hybrid!Taehyung x GS! Yoongi (Taegi)

Rated : T (bisa berubah sewaktu-waktu)

Warn : paku-paku typo seringkali dijumpai.

Already published in WATTPAD.

Have a nice read!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ketika itu hujan turun begitu derasnya. Langit benar-benar gelap dan tiada ampun saat menangis. Satu dari sekian banyak gadis di sekolah mengeluh tidak membawa payung dan capek bila harus menunggu jemputan terlalu lama jika sudah hujan. Min Yoonji berdecak kesal. Wajah juteknya semakin terlihat jutek dan sangar. Awan hitam dan petir imajiner seolah terlihat dari atas kepalanya. Siswa-siswi yang terlihat mesra dalam satu payung bersama tak sengaja melewati gadis Min. Seketika perasaan ngeri membuat dua orang itu melangkah lebih cepat karena mereka tahu Min Yoonji yang sedang badmood adalah malapetaka.

Yoonji mengerang kesal. Ia berpikir ulang kejadian beberapa menit yang lalu ketika Jung Hoseok—cowok yang sudah lama mengincar dirinya namun tak ia gubris—menawarkan tumpangan untuk mengantarnya sampai rumah, tapi ditolak mentah-mentah dengan nada ketus dan dingin. Ia benar-benar merutuki kebodohannya. Seandainya ia mengesampingkan gengsinya sejenak, pasti tidak begini keadaannya. Pasti dirinya sudah bergelung nyaman di bawah selimut kumamon hangatnya.

Sekali lagi, Yoonji merutuki betapa bodoh dirinya.

Kelas Yoonji berada di lantai paling bawah. Ia masih kelas satu sekolah menengah atas, namun sudah banyak predikit buruk yang tertempel padanya. Beberapa kejadian tempo lalu yang kurang menyenangkan membuatnya langsung disegani kakak kelas dan teman sejawatnya. Hal tersebut malah sangat disyukuri Yoonji, sebab dengan adanya predikat buruk itu artinya tidak ada lagi yang bisa meremehkan dan mengganggunya. Memiliki wajah jutek yang sangar, hati sedingin es, mulut setajam pedang, membuat siswa-siswi mundur dengan teratur dan segan berkenalan. Jarang tersenyum juga menjadi hal yang membuat Yoonji dijauhi. Jarang sekali siswa-siswi itu melihat senyuman di bibir gadis Min itu.

Tapi Yoonji mana peduli. Ia akan tersenyum bila memang sangat dibutuhkan, jika tidak, ia tetap mempertahan wajah jutek sedatar tembok dan segalak kucing—yang sedang mengamuk, tentu saja.

.

.

.

.

.

.

.

Sedari tiga puluh menit yang lalu Yoonji masih betah berdiri di samping meja dengan pandangan menatap keluar jendela. Menjadikan dirinya sebagai satu-satu siswi yang belum keluar dari kelas, padahal sekolah telah usai sejak lama. Manik mata kelamnya memandang rinai hujan yang menangis deras, sirat menikamnya seolah berkata "Berhentilah! Berhentilah!" namun hujan seolah tidak ingin mendengarkan suara hatinya yang melolong marah. Maka ia memejamkan mata sejenak demi menetralkan hatinya yang panas. Ia teringat perkataan Ibunya yang mengatakan bahwa hujan itu rahmat, jadi Ibunya berpesan bagaimanapun keadaannya, ia harus ingat jika tidak ada hujan, ia tidak bisa memakan sayur-mayur segar. Menghirup harumnya bunga yang bermekaran dan hijaunya rumput di pekarangan rumah. Yoonji harus lebih banyak belajar bersyukur pada hujan.

Ia menghela napas panjang kemudian membawa kakinya berjalan keluar kelas. Sepanjang koridor sekolah yang sepi Yoonji memutar otaknya mencari jalan keluar dari derasnya hujan. Hari ini ia mengalami tiga kesialan; tidak membawa payung, Ayahnya tak bisa menjemput—begitupula dengan Ibunya, dan ia malas berlari menerjang hujan demi sampai di halte.

"Ck!" Yoonji menggeram kesal sekali. Matanya memandang lurus ke jalan dan kakinya dihentak kuat agar angin dan hujan tahu bahwa dirinya saat ini tengah kesal karena hujan tak kunjung memberi tanda-tanda ingin reda. Tiga menit ia sudah berjalan lalu langkahnya tiba-tiba terhenti. Ada suara anjing menggonggong entah pada siapa. Hal itu cukup membuat atensinya teralihkan dan benaknya penasaran. Kepalanya menoleh ke sumber suara. Suaranya berada di dekat semak-semak. Itu gonggongan anjing dan geraman kucing. Langkahnya mendekati sumber suara. Ketika dilihat ternyata ada seekor anjing menyalak marah pada seekor kucing berbulu lebat warna putih dan ada garis-garis hitam di tubuh kecilnya. Kucing itu menggeram marah sambil memperlihatkan deretan gigi kuat dan tajam miliknya.

Yoonji terdiam di tempatnya. Manik matanya memperhatikan dengan seksama perkelahian antara anjing dan kucing itu. Matanya memindai tempat di sekitar anjing dan kucing itu berada dan ia menemukan seekor burung merpati sudah berlumuran darah. Burung itu mati dan anjing kucing itu memperebutkan merpati mati terebut. Yoonji menerka; pasti kucing bertubuh kecil itu akan mati. Makhluk manja itu tidak sebanding dengan tubuh besar si anjing.

Mata Yoonji masih memperhatikan—menaruh perhatian lebih banyak—pada kucing berbulu putih tersebut yang tidak terlihat seperti kucing biasa.

Lalu Yoonji terhenyak di tempatnya melihat anjing besar itu melompat untuk mengambil mangsanya—merpati yang telah mati. Namun kucing kecil itu tak mau kalah, kucing tersebut menggeram semakin nyaring dan kaki-kaki kecilnya mengibas-ngibas—memperlihatkan kuku-kuku runcing dan tajamnya. Sang anjing kembali mundur sambil menggonggong tidak terima, lalu anjing itu melompat ke kucing putih tersebut. Menerkamnya dan mencakar si kucing putih. Kucing putih tersebut mencoba melawan, tapi perbedaan tubuh yang besar membuat dirinya lebih banyak terkena cakaran dan gigitan sehingga menimbulkan luka yang dalam.

Yoonji yang melihat itu langsung panik. Ia ingin lari dan melerai perkelahian kedua hewan tersebut, namun disatu sisi ia tidak ingin kehujanan dan berakhir basah.

"Argh!"

Ia geram. Matanya tak kuasa melihat si kucing putih yang berusaha berdiri gagah dan melawan sekuat tenaga, padahal sekujur tubuhnya sudah penuh luka dan berlumur darah, "Arrgh, sial! Kalian merepotkan!" Pada akhirnya gadis Min itu melompat keluar. Derasnya air mata langit langsung membasahi seragamnya. Yoonji sempat terdiam sebentar di tempat sebab tubuhnya menggigil kedinginan. Kemudian berlari cepat dan mengusir anjing tersebut agar tidak menyiksa si kucing putih lebih jauh.

"Hush! Hush! Pergi kau anjing jelek! Huuuuusshh!" Teriaknya segalak mungkin. Berkali-kali ia menghentak-hentakan kakinya dan mengibas-ngibaskan tangannya, "Pergi! Hush! Hush!" Anjing tersebut menghentikan aksinya menyerang si kucing dan menggeram marah sebentar, lalu pergi dengan membawa burung merpati dalam mulutnya.

Dengan cekatan Yoonji mendekati kucing putih tersebut. Tangannya merengkuh tubuh mungil si kucing. Bola matanya menatap khawatir tubuh si kucing yang terkena cakaran lumayan parah. Suara geraman rendah sarat kesakitan seolah mengadu pada Yoonji betapa sakitnya tubuh kucing itu. Yoonji tak kuasa melihat kucing tersebut menggeram sakit, "Manis, tahan sebentar ya. Aku akan membawamu ke dokter hewan. Tahan sebentar lagi, oke? Jangan mati..." Lirih Yoonji.

Ia langsung menggendong kucing putih itu dan mendekapnya erat untuk menghangatkan tubuh si kucing yang kedinginan. Kakinya berlari cepat menembus derasnya hujan. Gadis Min itu tidak peduli pada udara dingin yang semakin menusuk ke tulang-tulangnya. Membuatnya menggigil hebat dan bibirnya bergetar. Namun tak sedikitpun Yoonji memperlambat larinya. Kakinya semakin cepat membawanya ke dokter hewan. Rengkuhannya semakin erat dan beberapa kali Min Yoonji selalu merapalkan kalimat,

"Bertahanlah! Jangan mati! Jangan mati! Jangan mati!"

.

.

.

.

.

.

.

A/n : Ada yang suka sama Taegi fiksi ini? Give me your response please! Thank you!