Birunya cakrawala, ditambah mentari yang mengintip malu dari balik awan itu semakin mempercantik guguran bunga sakura yang menghujani jalanan ini. Terbebas dari belenggu sang tangkai, helaian merah muda itu pun mengalir begitu lembut—satu demi satu. Saling berkelompok—menari bersama angin, hingga kini menghilang ke angkasa yang tak terbatas.
Ini mungkin terdengar sedikit menggelikan. Tapi jika boleh jujur, semua pemandangan indah ini mengingatkanku akan adegan-adegan romantis yang umumnya ditemukan pada anime atau manga-manga shoujo.
Pertemuan yang berlanjut pada kisah percintaan dengan latar guguran bunga sakura... bukankah itu kombinasi yang cukup klise?
Bukan berarti aku membenci perpaduan cantik nan manis itu tentu saja.
Berbicara tentang bunga sakura... menurutku, keanggunan yang memabukkan adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dan seperti punguk yang menatap bulan penuh damba, tak jarang pula kudapati diriku ini berada dalam keadaan yang sama. Menghentikan segala aktivitas duniawi hanya untuk menikmati pesonanya dalam keheningan.
Sakura adalah obat penenang dalam dunia tanpa warnaku. Dan jika pada akhirnya aku harus berubah menjadi pecandu yang tenggelam dalam khayalan semu, biarlah... kupikir, rasa melakonlis yang dihasilkannya tak akan memperparah kekosongan hatiku.
Tapi tentu saja, manusia boleh berpendapat sesukanya, namun takdirlah yang akhirnya berbicara. Dan seperti sapuan angin yang tiba-tiba menggugurkan kelopak bunga sakura, hidupku yang sebelumnya hambar pun seketika mendapat warna baru yang membuatnya berbeda.
Hingga di sinilah aku akhirnya. Terjebak dalam adegan klise yang cukup sering kutemui dalam karya penuh romansa itu. Dengan patuh—mengikuti skenario Sang Maha Kuasa tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski mungkin saja, kisahku tak akan semanis fiksi-fiksi yang sering kubaca.
Kau tahu? Lucu ketika kurasa hidupku akan tenang-tenang saja—meski dengan abu-abu sebagai warna latarnya—dan semua itu hancur seketika ketika sosokmu menerjang tanpa aba-aba.
Menggelikan... ketika dirimu—yang nyatanya tak sengaja kutemui di senja kala itu terus-menerus menghantui pikiranku. Tanpa jeda, terus bersenada seiring deru napas yang selalu kujaga.
Hari berganti, minggu terlewati, hingga bulan pun berlalu dalam tahun-tahun penuh sepi.
Dan bagaikan lingkar nestapa yang tiada henti, di detik ini pun masih tetap sama. Kau yang berada di depanku, berjalan bersisian dengan temanmu itu.
Sedang aku hanya mampu terdiam di sini. Selalu mengamati punggung tegapmu dari balik tirai merah jambu yang indah ini—tanpa suara. Meski kau tak pernah menyadari keberadaanku, sekalipun kau tak tahu aku selalu mengamatimu.
Ya, tentu saja aku tahu...
Bodoh jikalau mengira teriakan jantungku yang bertalu menyebut namamu ini cukup untuk membuatmu sadar akan kehadiranku.
Begitu bodoh sampai-sampai aku hanya terdiam tanpa sedikit pun berusaha untuk menggapaimu.
Sangat bodoh. Karena memasrahkan hatiku padamu, yang bahkan tak tahu sedalam apa perasaanku untukmu.
Dan di balik topeng senyuman ini pun hatiku terus menjerit pilu akan semua kebodohanku itu.
Hingga kau tahu? Pada akhirnya rasa kosong di hatiku—yang kupikir akan menjadi satu-satunya hal yang stagnan di hidupku—pun berkembang menjadi lubang hitam akibat kepengecutanku ini.
Jujur... ini memang menyedihkan. Ketika aku lebih memilih mengagumimu dari balik bayangan ini, entah sampai kapan.
"Dalam gamang kau tetap kunanti. Dalam sepi kau terus kurindui. Dan dalam diam ini hanya dirimulah yang selalu kucintai."
.
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
AU, OoC, typo(s), gaje, klise dan segala kekurangan lainnya akan ada di fic ini. Author juga tidak mengambil keuntungan apapun dari cerita ini. You've been warned. xDd
.
.
Pairing:
Akashi x OC, Midorima x OC, with a little bit of Nijimura x OC.
.
.
Azalea Airys 'not' so proudly presents...
.
.
Memory
[A Story between Us]
.
.
Enjoy, please~
.
.
"A-aku menyukaimu, Aihara-senpai. Tolong jadilah pacarku!"
Suasana kantin yang sebelumnya ramai akan aktivitas siswa kelaparan pun mendadak sunyi setelah kalimat tadi terucap dengan lantang. Tak ada lagi obrolan ringan yang sebelumnya menambah hiruk-pikuk pada jam makan siang itu. Semua rutinitas seakan terhenti sejenak. Dan fokus berpasang-pasang mata itu pun mengarah pada seorang siswa berambut cokelat tua yang kini tengah berdiri gugup di depan sebuah meja—tempat di mana dua orang gadis berada.
Aihara Yuki—gadis yang baru saja mendapatkan 'pernyataan cinta' itu pun mengalihkan perhatiannya pada novel di genggamannya. Memandang sekilas pada sahabatnya yang kini sibuk tersedak, ia sodorkan chocolate milkshake miliknya yang disambut dengan gumaman, "thanks..." sebelum akhirnya menatap sang tersangka utama—seorang kouhai—yang telah membuat pernyataan menghebohkan tadi.
Helaaan napas pelan pun terlepas dari bibir gadis itu. Menutup bacaannya setelah menyelipkan pembatas buku, gadis berambut hitam itu bangkit dari duduknya. Ditatapnya sang kouhai dalam diam—yang kini terlihat makin gemetar—sebelum akhirnya berjalan melewatinya, menuju meja berisi lima orang pria yang juga tengah menatap gerak-gerik Aihara Yuki dengan perhatian. Lima orang, di mana salah satunya tengah menyandang senyum mengejek ketika gadis itu berdiri tepat di depan mejanya.
Dan kali ini bisik-bisik pun pecah mewarnai penjuru kantin sekolah.
"Jadi, ada urusan apa Ketua Komite Kedisiplinan sepertimu ini datang kemari, eh? Bukankah kau ada urusan lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu?"
Dua pasang mata berwarna kelabu itu saling menatap, satu dengan tatapan meremehkan, satu lagi dengan pandangan datar yang terlihat sedikit bosan.
"Kau tahu benar alasanku datang kemari, Haizaki-san. Jadi, tanpa perlu basa-basi lagi, bisa kuminta kau untuk mengembalikannya?"
Jeda sejenak, sebelum tawa keluar dari bibir pria bersurai abu-abu itu. "Mengembalikan? Memangnya apa yang sudah kucuri darimu, hei Kaichou-sama? Hatimu kah? Atau uangmu? Kau harus lebih jelas dalam mengatakannya. Meskipun kalau benar aku berhasil mencuri 'yang pertama' tadi, tentunya tak akan kukembalikan semudah itu. Ya nggak?" Dan kalimat barusan pun disambut dengan tawa lantang dari keempat teman semejanya.
Haizaki atau yang memiliki nama lengkap Haizaki Shougo, siswa kelas 2-7 sekaligus ketua dari geng yang 'cukup' berkuasa di sekolah—The Spades—masih menatap gadis berkuncir kuda itu dengan seringai khasnya. Menunggu bagaimana gadis berpita putih di depannya ini akan membalas perkataannya tadi.
Jika diminta untuk menggambarkan seorang Haizaki Shougo, maka tidak termasuk pengalaman yang 'menyenangkan' jika harus berurusan dengannya adalah deskripsi yang paling tepat. Dan jika deathglare bisa membunuh, tentunya tatapan tajam yang dikirimkan Aihara Yuki sudah membekukan pria—menyebalkan—dihadapannya ini sekarang.
Satu lengkungan sinis akhirnya muncul pada bibir gadis berambut panjang itu. "Oh? Jadi kau tidak ingin menyelesaikannya dengan baik-baik ya? Aku sebenarnya malas melakukan ini, tapi kau tak memberiku pilihan lain, Haizaki-san..."
"Dia sedang apa?"
"Siapa yang tahu? Sudah diam saja."
Mengabaikan obrolan yang muncul dari meja di depannya—juga gumaman dari seisi kantin yang kini makin terdengar nyaring—Aihara Yuki mengambil sesuatu dari jaket blazer-nya. Dan sebuah ponsel lipat berwarna putih pun kini ada di genggaman tangannya.
"Huh? Jangan bilang kau malah ingin berfoto denganku," ejek Haizaki Shougo yang—tentu saja!—disambut tawa 'teman-temannya' lagi.
"As much as I'd love to, but no thanks..."
Masih dengan senyum sinisnya, gadis itu melanjutkan, "sebagai salah satu sekolah terbaik di Tokyo yang 'menjunjung tinggi peraturan', kupikir kau seharusnya tahu kalau bullying itu termasuk dalam pelanggaran yang cukup berat. Tapi karena aku juga tahu bahwa kau tidak terlalu peduli dengan peraturan, jadi yah... aku tak terlalu berharap banyak padamu."
Di sini pria setinggi 188 sentimeter itu harus ditahan beberapa temannya agar tak terprovokasi kata-kata Aihara Yuki barusan.
"Dan kau tahu? Aku memiliki sebuah video di ponsel ini yang berisi 'perlakuan' kalian pada seorang kouhai..."
Ia melirik kouhai yang dimaksud—yang kini terpaku di tempat ia melakukan 'pernyataan cintanya', masih menonton dengan cemas—sebelum melanjutkan, "...yang tentu saja itu termasuk bagaimana kalian mem-blackmail-nya untuk mempermalukanku saat jam makan siang berlangsung."
"Jika aku menerima pernyataannya, kau menyuruhnya untuk memutuskanku saat itu juga 'kan? Dengan alasan melakukan taruhan tentu saja. Dan jika aku menolaknya, maka paling tidak kau sudah mendapatkan hiburan gratis. Bukan begitu, Haizaki-san?"
Senyuman di bibir Aihara Yuki semakin mengembang seiring memucatnya wajah keempat teman semeja Haizaki Shougo sedangkan pria yang dimaksud masih tetap melemparkan tatapan tajam.
"Menurutmu apa yang akan terjadi kalau video itu sampai ke tangan Guru Bimbingan Konseling atau—malah—ke tangan Kepala Sekolah, hm?"
Dan ekspresi serius pun menggantikan senyum yang ia sandang sebelumnya. "Melihat raut wajah kalian, dibanding opsi barusan, kupikir kalian lebih memilih untuk berkerja sama denganku. Jadi bagaimana kalau kita buat kesepakatan dan menyelesaikan ini secara baik-baik? Kalian berhenti mengganggu kouhai tadi serta mengembalikan barang yang kalian ambil dan aku tak akan menyerahkan video tadi pada pihak berwenang."
"Hapus videonya dan aku akan menyetujuinya." Amarah masih tercetak jelas pada suara Haizaki Shougo.
"Tidak. Aku akan menghapusnya jika aku sudah yakin kalau kalian tidak akan mengganggu kouhai itu lagi."
"Lalu bagaimana aku bisa yakin kalau kau akan memenuhi kesepakatanmu tadi hah?!"
Gadis bersurai hitam itu menghela napas lelah, "kau hanya perlu percaya padaku kalau begitu. Pegang kata-kataku dan jadikan semua yang hadir di kantin ini sebagai saksi. Lagipula kau juga tidak punya pilihan lain 'kan?"
Tampilan Haizaki Shougo dengan rambut jabrik dan mata tajamnya sama sekali tak membantu, terlebih ketika ia sedang emosi.
Ia taruh benda yang menjadi awal mula 'perdebatan' itu di atas meja dengan kasar—sebelum bangkit berdiri, "camkan kata-kataku! Kau akan menyesali semua ini, Aihara Yuki. Lihat saja nanti!" Dan ia pun berjalan dengan marah melewati gadis itu, menghilang di balik tikungan pintu masuk kantin diiringi keempat kawannya tadi.
Berpasang mata masih menatap punggung sang gadis dari kejauhan. Penasaran akan apa yang akan dilakukannya setelah ini.
Mengambil benda berwarna jingga di hadapannya, Aihara Yuki segera berjalan menuju sang kouhai yang sempat ia tinggalkan tadi.
"Lain kali tolong jaga barang milikmu dengan lebih baik, terlebih jika itu berharga untukmu."
Kelabu bertatapan dengan cokelat tua dan kegembiraan pun terpancar kuat pada ekspresi siswa yang lebih muda saat menerima barang miliknya.
"T-terima kasih banyak, Aihara-senpai!"
Lengkung kecil menghiasi sudut bibir Aihara Yuki, kali ini tanpa kesan negatif dan lebih tulus dari sebelumnya.
Melirik sahabatnya yang kini—tentunya—terlihat baik-baik saja dan sudah menyelesaikan makan siangnya, ia ambil novel yang sebelumnya ia telantarkan untuk kemudian pergi—kembali ke kelas mereka berdua.
Namun, belum sempat ia melewati sang kouhai tadi, ia melanjutkan, "oh iya. Ngomong-ngomong, membawa PSP ke sekolah itu dilarang lho(1). Kali ini kau hanya kuberi peringatan. Tapi jika lain kali kutemukan kau membawa 'benda itu' ke sekolah, maka dengan-sangat-terpaksa aku akan menyitanya."
Dan wajah kouhai itu pun memucat setelah mendengar kalimat barusan.
"Satu lagi. Jika suatu saat The Spades berulah lagi, atau ada yang mengerjaimu, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku atau anggota Komite Kesiswaan lainnya. Dan hal ini berlaku untuk semuanya tentu saja." Kalimat terakhir sengaja ia ucapkan dengan sedikit keras, mengetahui kalau fokus pengunjung kantin masih tertuju padanya.
Dan tanpa menunggu balasan dari kouhai di depannya, ia segera pergi melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda—mengabaikan teriakan sahabatnya, "tunggu, Yuki-chan!" yang akhirnya berhasil menyamai langkah, sebelum menghilang bersamaan dari pandangan. Meninggalkan seorang kouhai yang masih speechless juga antusiasme pengunjung kantin yang tengah sibuk membicarakan kejadian barusan.
Sekaligus, melewatkan seringai yang kini mewarnai bibir seseorang yang juga menjadi spektator di sudut ruangan.
"Menarik..."(2)
.
.
»»««
.
.
"Jadi itu alasanmu mengajakku makan siang di kantin? Pantas saja. Kupikir tadinya kau sedang kesurupan atau naksir seseorang lho. Ternyata untuk urusan 'organisasi' lagi. Aku jadi kecewa..." Lirikan Natsumi Hana hanya di balas senyuman kecil oleh sahabat berambut panjangnya itu.
"Kau berbicara seakan aku ini anggota mafia saja." Dan tatapan geli pun terpancar pada kelabu Aihara Yuki.
"Dengan semua 'misi rahasia' yang kau lakukan? Siapa yang tahu?"
Memutar mata cokelatnya dengan bosan, Natsumi Hana melanjutkan, "seriusan deh, kau dapat dari mana sih semua informasi itu? Mengetahui semua yang terjadi di sekolah, bahkan sampai hal terkecil sekali pun... bukankah itu sedikit mengerikan? Atau jangan-jangan, kau meng-hack kamera keamanan sekolah ya?!" Ekspresi ngeri pun terpancar dari wajah manisnya saat mengucapkan kalimat terakhir tadi.
"Imajinasimu terlalu berlebihan. Dan aku, tidak sepandai itu."
"Kalau begitu, bagaimana caramu memperoleh semua 'pengetahuan' itu?"
Kini giliran senyum misterius yang terlukis pada wajah Aihara Yuki.
"Anggap saja aku punya seorang informan yang bisa diandalkan."
"Lama-lama kau terdengar semakin menyeramkan, sumpah." Tatapan tak percaya kini menghiasi wajah Natsumi Hana.
"Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran. Jika mengabaikan semua pengetahuan abnormalmu itu, apa pendapatmu tentang pernyataan cinta kouhai tadi? Maksudku, dia itu cukup manis lho! Tak buruk juga untuk dijadikan pacar, jika kautanya pendapatku, tentunya." Dengan senyum menggoda, gadis bersurai cokelat itu pun melirik sahabat di sampingnya.
"Aku tak tertarik berpacaran dengan yang lebih muda. Lagipula, tanpa 'pengetahuan abnormalku'—seperti yang kausebut tadi—dari sekali lihat pun sudah ketahuan kalau pernyataan cintanya tidak natural. Pupil mata yang membesar—pertanda ia sedang ketakutan—dan badan yang selalu gemetar bukanlah ekspresi yang normal untuk seseorang yang sedang menyatakan cinta."
"Y-yah... bisa saja 'kan karena terlalu gugup dia jadi seperti itu?" balas Natsumi Hana. Masih sedikit speechless dengan jawaban sahabatnya tadi.
"Lagipula auramu itu lumayan mengintimidasi tahu," tambahnya singkat.
Mengabaikan pernyataan terakhir sang sahabat, Aihara Yuki membantah, "gugup dan takut sekilas memang hampir sama. Tapi seperti yang kubilang, mata tak bisa menipu. Dan dari yang kulihat tadi, tak ada sedikit pun rasa cinta yang terpancar dari ekspresi matanya. Makanya aku bisa bilang kalau pernyataan cinta dia itu palsu."
"Kau mengatakannya seakan kau pernah ditembak saja. Mengingat kau yang tidak pernah pacaran sampai saat ini dan tidak peduli apapun selain buku dan pelajaran... bukannya pernyataanmu tadi invalid?"
Aihara Yuki hanya membalas pertanyaan sang sahabat dengan senyum misterius—lagi.
Dan kali ini Natsumi Hana hanya bisa tercengang melihat ekspresi mencurigakan dari gadis berambut hitam itu.
"Lebih baik kita bergegas, bel tanda istirahat selesai akan berbunyi lima menit lagi." Dan Aihara Yuki pun meninggalkan sahabat berambut cokelatnya itu tanpa menunggu balasan darinya.
"H-hei!"
.
.
»»««
.
.
"Kebiasaan deh. Kau nggak bisa ya, jalan lebih lambat sedikit?" Dengan napas tersengal, Natsumi Hana mendudukkan diri di samping sang sahabat—yang kini tengah tenggelam dalam dunia bacaannya.
Melirik sekilas ke penjuru kelas, ia menambahkan, "ngomong-ngomong, tumben Harasawa-sensei belum datang."
"Kalau aku berjalan lebih pelan lagi, bisa-bisa aku terlambat masuk kelas. Kau beruntung karena masuk tepat waktu. Lima menit lewat dari bel peringatan kedua, aku akan menuliskan surat detensi dengan namamu sebagai penghiasnya."
"Dan untuk Harasawa-sensei, sebentar lagi juga dia akan memasuki kelas." Tanpa melepas fokus dari novel di depannya, ia menjawab semua itu dengan lancar.
"Kau ini, tanpa ampun bahkan pada sahabatmu sendiri, eh? Benar-benar kejam—"
"Yo, gadis-gadis cantik! Kudengar ada kejadian menggemparkan yang melibatkan kalian saat istirahat tadi ya? Sayang sekali aku harus menemani Shin-chan menemui guru biologi yang membosankan itu. Jadi, aku tak bisa menyaksikannya dengan langsung deh." Dan rajukan Natsumi Hana pun terpotong pendek berkat sapaan remaja bersurai hitam ini.
Tidak terima dengan perkataan Takao, pria bersurai hijau di belakangnya menyahut sebal, "bukannya kau sendiri yang memaksa ikut denganku?!"
"Oh? Halo, Takao-kun, Midorima-kun! Sebenarnya aku tak terlibat apapun sih... Tapi yah, seperti biasa. The Spades melawan Yuki-chan."
"Kali ini mereka menggunakan seorang kouhai untuk menganggu Yuki-chan. Meskipun akhirnya semua aman terkendali sih... Takao-kun, kau harusnya lihat bagaimana kerennya Yuki-chan saat berbicara dengan Haizaki-kun tadi!" jelas Natsumi antusias.
Menghiraukan Takao dan Natsumi yang kini sibuk bergosip soal kejadian saat istirahat tadi, Midorima Shintarou mengalihkan perhatiannya pada gadis yang menjadi topik pembicaraan.
"Aku sebenarnya tak tertarik mencampuri urusanmu. Tapi sebagai sesama anggota Komite Kesiswaan, aku berkewajiban untuk memperingatkanmu. Ada baiknya kau lebih berhati-hati lagi mulai sekarang. Haizaki adalah orang yang penuh dengan kebanggaan—mustahil ia akan diam saja setelah kau permalukan seperti tadi."
Melepas fokus dari novel di depannya, Aihara Yuki tersenyum singkat, "aku paham kalau tindakanku tadi cukup beresiko, Midorima-san. Tapi, terima kasih atas peringatanmu itu." Kelabu bersitatap dengan hijau, dan warna yang lebih cerah itu pun segera mengalihkan pandangan—menyembunyikan keindahannya di balik kilau lensa yang dikenakannya.
"Hn."
Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, Midorima segera berbalik menuju mejanya. Tepat saat seorang pria berambut ikal memasuki ruang kelas dengan tergesa.
"Sebelumnya sensei minta maaf karena datang terlambat. Tolong kembali ke tempat duduk masing-masing supaya kita bisa melanjutkan materi sebelumnya."
Dan pelajaran pun terus berlangsung tanpa interupsi sampai bel pulang sekolah berbunyi.
.
.
»»««
.
.
"Aihara-senpai!"
Gagal pulang cepat deh. Menghela napas lelah, Aihara Yuki menaruh kembali sepatu luar ruangannya pada loker. Paham jika apapun penyebab namanya dipanggil akan memakan waktu yang cukup lama.
"Ya?"
"Aku tadi melihat seorang siswa serta beberapa anggota The Spades memasuki gudang penyimpanan sekolah. Ekspresi siswa tadi cukup ketakutan, senpai. Dan aku tak tahu harus melakukan apa." Gadis berparas manis itu terlihat cukup kelelahan. Bisa ditebak jika ia terus berlari sampai bertemu dengan Aihara Yuki.
Nah 'kan...
"Aku akan segera ke sana untuk mengeceknya. Terima kasih atas informasinya." Selesai melemparkan senyum kecil untuk menenangkan sang kouhai, ia segera bergegas menuju gedung yang dimaksud.
Untuk sepenuhnya melewatkan senyum sinis yang kini mulai mengotori wajah gadis yang ia tinggalkan itu.
...
Aihara Yuki menatap pintu masuk gudang penyimpanan di depannya dengan curiga. Terlalu sepi... Dan ini satu-satunya gudang penyimpanan di Teiko, jadi kemungkinan salah tempat adalah nol persen.
Cukup pastikan kebenaran cerita kouhai tadi dan kau bisa cepat pulang, Aihara.
Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit dengan logikanya yang terus berteriak—mencurigakan!—ia buka pintu di depannya dengan perlahan. Melangkah lebih dalam, retinanya segera memindai sekeliling. Memastikan tidak ada seorang siswa yang terikat di sudut ruangan atau pun tertimpa alat-alat olahraga.
Dan waktuku terbuang sia-sia karena lelucon konyol ini. Tapi paling tidak, tak ada siswa yang terluka atau dikerjai.
Tanpa membuang waktu lagi, ia putuskan untuk segera keluar dari gudang itu...
...hanya untuk mendapati pintu ruangan terbanting dengan sendirinya.
THE HELL?!
Sedikit tergesa, ia putar kenop pintu mahogani tersebut dengan hati berdebar. Tapi tentu saja—dugaan terburuknya harus menjadi nyata karena pintu itu tak bergerak barang seinchi pun.
Dan dengan ini Aihara Yuki dinyatakan resmi terkunci di gudang penyimpanan sekolah.
"Just my luck, huh?"
Berteriak sekeras mungkin pun percuma karena letak gudang penyimpanan yang berada di samping sekolah ini jarang dilewati siswa. Dan tentunya ia tak mau buang-buang tenaga hanya untuk memaki orang yang mengerjainya.
Meraih ponsel yang—untungnya—masih tersimpan di saku blazer, ia pencet beberapa tombol setelah membuka lipatannya. Namun jangankan wallpaper, respon yang menunjukkan tanda-tanda 'kehidupan' pada sang ponsel pun tak ia dapat.
Baterai habis disaat seperti ini? Kayak situasinya masih kurang menyedihkan saja!
Rasanya... Aihara Yuki ingin membenturkan kepalanya ke pintu saat itu juga.
Ia edarkan pandangan ke sekeliling sambil memijit pelipisnya yang mulai berdenyut sakit. Untuk saat ini, ia harus tetap tenang tanpa kehilangan fokusnya. Kepanikan tak akan menghasilkan apapun. Dan terjebak di tempat itu lebih lama bukanlah pilihan yang ingin ia ambil secara sukarela.
Kelabu terus memindai pemandangan di sekitarnya... Hanya ada beberapa keranjang berisi bola, lemari, matras, dan perlengkapan olahraga lainnya—tipikal gudang penyimpanan biasa.
Tak ada yang menarik perhatian atau yang sekiranya bisa ia gunakan untuk keluar dari tempat itu.
Hingga satu objek di sudut ruangan berhasil mencuri fokusnya sedikit lebih lama. Dan kali ini, sebuah seringai pun muncul di wajah gadis bersurai hitam itu.
Jangan panggil aku Aihara Yuki jika hal seperti ini saja bisa menghentikanku.
...
"Bukannya aku ingin protes atau apa sih. Tapi Aka-chin, kenapa waktu latihan kita dipotong lebih cepat?" Remaja bersurai ungu—Murasakibara Atsushi, memandang sosok di sampingnya dengan malas. Masih sibuk mengunyah keripik kentang di sela-sela perkataannya.
"Benar! Padahal aku masih ingin mengalahkan Aominecchi dalam one-on-one lho!" Mata sewarna madu Kise Ryouta berkilat antusias menanggapi perkataan remaja tinggi itu.
"Terlalu cepat seribu tahun untukmu bisa mengalahkanku, Kise!"
"Bukankah tadi pelatih sudah menjelaskan? Kita diminta untuk istirahat sebelum latihan mati-matian di training camp nanti," sahut Midorima. Sepenuhnya mengabaikan pernyataan narsis remaja berkulit tan itu.
"Selain itu... sudah berapa kali kubilang untuk tidak makan sambil jalan, Murasakibara?!"
"Hah? Tidak mau ah."
"Kau ini—"
"Tapi bukankah ini sedikit aneh? Biasanya sebelum babak kualifikasi Inter High latihan kita akan digandakan berkali-kali lipat—meski kita bakal mengikuti training camp sekalipun. Nah ini, kita malah disuruh istirahat. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak," sela Aomine horor, tanpa sadar memotong perkelahian yang mungkin berlanjut antara sang center dan shooting guard Teiko itu.
"Kupikir, ini ada hubungannya dengan persiapan sebelum training camp itu sendiri, Aomine-kun. Bukankah kita harus berada dalam keadaan terbaik jika ingin tetap 'hidup' selama pelatihan itu berlangsung?"
"Bisa-bisanya kau mengatakan itu dengan ekspresi datar, Kurokocchi..." gumam Kise lemas. Membayangkan 'seberat' apa training camp yang harus ia ikuti cukup membuat model bersurai pirang itu mengernyit ngeri.
"Dan training camp kali ini dilakukan saat masa-masa Golden Week(3) lagi! Gagal deh rencana liburanku," lanjutnya gusar.
"Semua ini demi kepentingan tim, Kise-kun. Lagipula, kegiatan kali ini juga diadakan untuk mengakrabkan diri dengan murid kelas satu. Bukan begitu, Akashi-kun?"
Kuroko Tetsuya memandang remaja bersurai merah dihadapannya dengan datar. Sedikit heran akan sikap diam sang kapten tim Teiko itu.
"Akashi—"
Belum sempat ia memanggil marga sang kapten untuk kedua kalinya, suara yang sarat akan wibawa itu akhirnya terdengar mengudara. Namun, bukan dirinyalah sasaran kata yang dilontarkan seorang Akashi Seijuurou itu.
"Oh... Aku tidak tahu kalau kau memiliki hobi yang cukup unik, Aihara..."
Serempak, berpasang mata beda warna itu mengikuti arah tatapan Akashi Seijuurou. Dan pemandangan tak biasa berupa seorang gadis yang terduduk(?) di bingkai jendela—sambil menenteng sepasang uwabaki-nya(4) lah yang mengisi fokus mereka.
Seakan dalam gerak lambat, kelabu sang gadis mengarah pada sosok yang menyebut namanya tadi. Hingga sepasang manik berwarna ruby itu menawan kelabunya dalam hening yang cukup mencekam.
Mati aku.
To be Continue
Author's Note:
Hisashiburi, minna-san~ Sebelumnya salam kenal ya?
Saya newbie yang—akhirnya—memberanikan diri untuk menulis di fandom tercinta ini.
Sebenernya agak takut juga sih karena cerita yang agak-agak klise. Tapi ya, mau gimana lagi. Saya udah jatuh cinta duluan sih sama karakter-karakter di KnB ini. :")))
Special thanks to Ann and Aunty Lya... yang udah mau diajak diskusi soal plotting cerita ini. Terutama kamu Ann. Makasih lho udah mau kugangguin selama ini... xDD
Oh iya, sifat GOM di sini memakai sifat mereka saat di Teiko Arc. Jadi Akashi masih tetap bokushi, dan sikap Aomine nggak bakal separah saat di Touo. :'v *slaps*
Dan tentunya, saya mohon maaf jika karakter yang saya tulis di sini bakal rada-rada OOC. :'v
Anyway, kritik dan saran dari senpai-tachi sangat diharapkan demi berkembangnya cerita ini. :D
See you next time!
Sign,
Airys
Catatan Kecil:
1. Di sini peraturan sekolah di Teiko kubuat sedikit lebih ketat. Jadi membawa ponsel masih diperbolehkan, tapi untuk PSP termasuk kategori yang dilarang. Maklum, Teiko di sini termasuk sekolah elit yang mementingkan nilai pelajaran—selain prestasi di bidang olahraga tentunya. Hampir mirip Rakuzan gitu deh.
2. Ada yang bisa nebak siapa yang ngomong ini? :D
3. Golden Week : Libur nasional Jepang. Berlangsung dari tanggal 29 April sampai 5 Mei. (Source: Google)
4. Uwabaki : Sepatu rumah. Uwabaki ini biasanya dipakai selama kegiatan dalam kompleks sekolah. Tapi untuk di ruang olahraga, ada sepatu khusus yang disebut Taikukan Shuzu. (Source: Wikipedia)
