Semua karakter yang ada dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto

Terinspirasi dari film The Pirates Of Caribbean

.

.

.


SUSANO'O


Prolog

Sebuah kapal besar menepi di dermaga sebelum pagi beranjak di kota kecil pesisir pantai. Matahari masih bersembunyi di balik barisan bukit hijau yang semalaman terselimuti kabut. Kapal bergerak perlahan, merapat di satu tempat kosong di antara barisan kapal lain yang entah sudah sejak kapan berlabuh. Hening yang panjang terpecahkan oleh teriakan-teriakan kepala kelasi mengomandoi anak buahnya; gulung layar, turunkan jangkar, bereskan kapal.

Beberapa saat kemudian ketika warna langit mulai berubah lembayung, bangunan-bangunan kecil di sekitar dermaga sudah dipenuhi orang. Segala hasil tangkapan laut dari kapal-kapal nelayan―termasuk kapal besar yang belum lama berlabuh―sudah digelar, mulai berpindah tangan dari para nelayan ke pedagang-pedagang ikan. Segala penghuni laut; mulai dari ikan-ikan kecil yang biasanya menjadi makanan penguasa lautan, teripang, cumi-cumi dan gurita, udang serta lobster, kepiting, ikan pari, tuna, salmon, bahkan sampai hiu yang ukurannya tiga kali lebih besar dari para awak kapal berbadan sekal. Semuanya diserbu. Tawar-menawar terlempar ramai ke langit-langit bangunan, seramai aroma anyir yang mengepung udara. Pelelangan ikan. Segala aktivitas kota ini dimulai dari sini.

Begitu matahari merangkak naik, hiruk-pikuk kesibukan berpindah ke sudut lain kota. Di sini jauh lebih ramai lagi. Bukan hanya hasil tangkapan ikan di pelelangan ikan tadi yang kini dipajang di lapak para pedagang, namun tentu saja barang-barang kebutuhan pokok lain. Semua tumpah ruah. Ramai. Jalanan yang diapit lapak-lapak kecil para pedagang hanya serupa gang sempit. Becek, lumpur mudah saja terciprat menodai pakaian. Penuh orang. Harus berhati-hati saat berjalan-jalan di sana. Bandit-bandit kecil bekerja dengan gerakan gesit dan cekatan, dompet di dalam tas maupun saku celana bisa lenyap sebelum disadari. Pasar. Pergerakan ekonomi kota kecil ini bertumpu di sini.

Jauh terpisah dari pasar dan dermaga, di lereng bukit pemerintahan kota ini berpusat. Kantor sekaligus kediaman dinas gubernur kota, kantor para pejabat, pengadilan, pusat kesehatan, kantor pelayanan masyarakat. Semuanya terpusat di sini. Termasuk juga rumah-rumah mewah para bangsawan. Serentak dengan bangunan bergaya klasik setengah modern. Pelataran luas yang dihiasi air mancur bertingkat, lantainya ditutupi keramik mahal nan mengilap, beranda berpilar, bangunannya bertingkat-tingkat dengan banyak jendela. Gedung-gedung dan rumah yang indah.

Kontras dengan bangunan rumah-rumah penduduk yang menghampar dari kaki bukit hingga ke pinggir laut. Hanya bangunan bata-bata sederhana, tidak ada halaman apalagi pelataran, rapat berjajar mengapit jalan-jalan kecil. Pemukiman itu dipetak-petakkan oleh aliran kanal buatan yang sumber airnya mengalir dari sungai di hutan atas bukit dan bermuara ke laut. Jika sedang berada di puncak bukit lalu mengedarkan mata ke bawah, kota kecil ini kelihatan sungguh indah.

Kota kecil pesisir pantai ini bernama Konoha. Kota yang tenang, setenang ombak-ombak kecil menggulung yang menjilat-jilat pasir putih nan lembut di bibir pantai. Penduduknya hidup damai dan tentram. Keamanan terjamin. Tindak kriminal dan kejahatan kecil mungkin terjadi, namun hanya seperti buih di lautan yang menghilang dalam hitungan detik, cepat diberantas dengan penegakkan hukum yang tegas dan adil. Sungguh kota impian yang sempurna, bukan?

Tapi... (tentu saja selalu ada tapi), kota kecil yang tenang ini menyimpan legenda mengerikan. Legenda Kapal Hantu. Setiap malam bulan purnama terakhir di satu tahun―Desember―tepat tengah malam, suasana kota berubah mencekam. Tidak ada angin bertiup, tidak ada ombak menggulung, tidak terdengar suara-suara penghuni hutan di atas bukit. Tidak ada suara apapun. Sunyi. Senyap. Menegangkan.

Udara tiba-tiba berubah dingin, menusuk hingga ke tulang, membangkitkan bulu-bulu kuduk. Di ujung lautan, di bawah rembulan yang membulat sempurna, muncul siluet sebuah kapal tua. Kapal besar yang mengerikan. Layar raksasanya terkoyak di banyak bagian. Di ujung tiang kapal terpasang bendera berwarna latar hitam, tergambar besar sebuah kipas dua warna―merah-putih―berkibar-kibar menimbulkan suara bagai kepak sayap gagak. Bergerak menuju daratan. Meluncur anggun yang tak lazim. Bagai melayang di udara, karena tidak meninggalkan jejak riak di permukaan air. Kapal tua tanpa awak yang namanya tidak boleh disebut... Susano'o.

Lalu di mana mereka? Para awak itu? Apakah kapal itu bergerak sendiri? Tenang, ini bagian paling seru. Kapal itu tentu saja tidak bergerak sendiri. Tentu saja ada yang mengendarainya―tapi semuanya adalah hantu. Para orang mati. Sosok-sosok yang melayang di udara, seringan debu, bergerak secepat angin. Mereka turun dari kapal. Berburu. Tahu apa yang mereka incar? Jiwa manusia! Mereka berkeliaran ke seluruh penjuru kota. Mencuri jiwa siapa saja yang mereka temui. Siapa saja―tapi mereka paling suka jiwa yang tak berdosa. Tidak akan berhenti sampai mereka puas. Sungguh mengerikan, bukan? Belum, itu belum seberapa. Ada yang lebih mengerikan lagi. Jika bertemu dengannya, kau tidak akan pernah tahu nasib akan seperti apa―yang jelas lebih buruk dari sekadar jiwa yang dicuri. Dia adalah sang kapten kapal. Uchiha Bermata Darah.

Legenda ini turun-temurun dipercaya. Entah berawal sejak kapan, dan masih hangat kengeriannya hingga detik ini. Terwariskan dari generasi ke generasi. Terkisahkan dari setiap dongeng malam sebelum tidur. Tapi semua penduduk Konoha percaya ini bukan hanya dongeng pengantar tidur.

Demi terhindar dari kesialam malam bulan purnama di akhir tahun, demi menyelamatkan jiwa-jiwa penduduk yang tak berdosa, para rahib suci dari Kuil Myoboku di puncak bukit membuat ritual persembahan nyawa. Mengorbankan jiwa perawan suci dari gadis-gadis yang dipilih. Tidak peduli berdarah bangsawan atau rakyat jelata sekalipun. Hanya perawan suci, yang sudah mencapai usia dua puluh tahun di bulan itu. Gadis yang menjadi tumbal akan dilempar ke laut dari tebing karang di pesisir barat tempat terbitnya sang rembulan.

Tidak satupun yang pernah menentang ritual ini. Para gadis yang hendak menjadi tumbal dan orangtua serta keluarganya justru merasa bangga. Karena mereka dipilih oleh dewa. Melepas jiwa mereka yang suci demi melindungi seluruh penduduk Konoha. Terbukti selama ritual ini dijalankan, tidak pernah ada malam mencekam setiap bulan purnama terakhir. Susano'o tidak pernah lagi mendatangi pulau mereka. Setiap orang bisa tidur dengan nyaman tanpa perlu ketakutan memikirkan jiwa mereka yang terancam dicuri selagi terlelap. Namun setiap kali dikisahkan, Legenda Kapal Hantu tetap saja terdengar mengerikan dan terasa nyata.

Kecuali seorang gadis. Dia penentang besar ritual persembahan ini.

Pemilik mata indah sewarna batu zamrud. Usianya sembilan belas tahun, bernama Sakura. Gadis paling cantik di kota ini. Namun sayang, seluruh kecantikannya tertutupi oleh penampilan lusuh selayaknya kemiskinan hidup yang dia jalani. Tidak ada gaun anggun untuk membalut tubuhnya yang molek; selain baju terusan sepanjang lutut yang sudah butut, usang termakan usia, ditambal di beberapa bagian karena uang untuk membeli pakaian baru hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Tidak ada bedak untuk memoles wajahnya yang jelita; selain coreng-moreng debu yang didapatnya setiap hari di pasar, cipratan lumpur, atau malah darah ikan dagangannya yang tidak sengaja terlukis oleh usapan tangannya. Dengan semua itu, dia hanyalah gadis biasa. Tidak seberuntung gadis-gadis lain yang terlahir berdarah biru dalam keluarga bangsawan yang terhormat. Dia hanya gadis sederhana yang lebih terlihat kumuh. Tak ada yang menarik darinya untuk dipandang. Kecuali sepasang matanya. Ya, mata indah sewarna batu zamrud itu.

Sakura sangat membenci ritual persembahan. Bagianya ritual macam itu hanyalah sebuah pembunuhan konyol. Terutama karena dia tidak sedikitpun percaya dengan Legenda Kapal Hantu. Tidak lebih dari sekadar dongeng sebelum tidur baginya―meskipun ayahnya tidak pernah mendongeng kisah mengerikan macam itu untuk mengantarnya terlelap. Jiwa para gadis yang dijadikan tumbal tidak lebih dari melayang sia-sia. Dan kebenciannya ini sama sekali bukan karena dia termasuk dalam barisan gadis yang sedang menunggu giliran untuk dijadikan tumbal. Tidak. Kematian bukanlah hal yang paling ditakutkannya. Tapi baginya, persembahan nyawa satu orang atas nama menyelamatkan jiwa manusia lain tidak akan pernah terdengar adil. Tidak akan pernah.

Dan pada ritual persembahan tahun ini, nama gadis yang disebut-sebut menjadi pilihan para dewa adalah nama terakhir yang ingin didengar Sakura―Tenten. Gadis itu sahabatnya. Mereka sudah berteman sejak kecil. Tenten yang satu tahun lebih tua darinya sudah dianggapnya seperti kakak sendiri.

Tenten yang dulu menolongnya saat tercebur di kanal gara-gara mengejar seekor kucing yang mencuri satu-satunya ikan makan malamnya dengan sang ayah. Tubuhnya yang kurus basah kuyup. Tenten memberikannya pakaian ganti―pakaian yang jauuuh lebih bagus dari pada baju terusan butut yang sudah kekecilan di badannya. Keluarga Tenten bukan bangsawan, namun taraf ekonominya bisa dibilang dua tingkat lebih baik dibandingkan keluarga para pencari kerang dan perajut jala ikan di pondok-pondok kecil tepi pantai seperti Sakura. Ayahnya pembuat roti. Keluarga mereka satu-satunya pembuat roti di Konoha. Memiliki toko bakery yang besar di pusat kota. Malam itu Tenten memberinya sebongkah roti yang besar untuk dibawanya pulang, sebagai ganti ikan yang dibawa lari kucing. Sakura tak tahu bagaimana harus membalas budinya.

Mendengar nama Tenten yang akan menjadi gadis persembahan berikutnya sungguh menohok hati Sakura. Dia tidak ingin kehilangan sahabat. Tidak ingin kehilangan sosok seorang kakak. Seperti halnya penduduk lain, Tenten juga berhak memiliki kesempatan hidup yang sama. Tidak seharusnya Tenten mati dengan cara dipaksa berkorban nyawa. Ritual itu seharusnya tidak ada.

Apalah daya, sebagai gadis miskin―anak penjual ikan yang kesibukannya membantu ayahnya berdagang di pasar―Sakura tidak punya kuasa apa-apa untuk menghentikan ritual itu. Terlebih lagi dia seorang perempuan.

Di Konoha, tidak banyak yang bisa dilakukan jika kau seorang perempuan. Kau tidak akan dapat jabatan apa-apa di segala instansi pemerintah. Tidak ada kesempatan untuk berkarir cemerlang, selain mengurus rumah tangga. Hanya wanita bangsawan yang mendapatkan sedikit keberuntungan. Boleh menimba ilmu, boleh menyuarakan pendapat, terlepas dari tugas mengurus rumah tangga―tentu saja, karena pekerjaan itu diambil alih semuanya oleh para pelayan yang bisa mereka bayar berapapun. Tapi di antara para lelaki bangsawan, mereka tetap tidak punya kewenangan apa-apa. Meski hak asasi dan perlindungan dari tindak kekerasan dijamin oleh hukum, wanita Konoha tetaplah menjadi warga kelas dua. Lebih-lebih di atas laut. Tidak boleh ada wanita, itulah peraturannya. Karena telah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa segala kesialan yang menimpa mereka di lautan adalah sebab keberadaan wanita di atas kapal.

Hati Sakura berkeras, bagaimanapun harus melakukan sesuatu demi menyelamatkan Tenten. Mungkin inilah saat baginya untuk membalas budi. Bukan hanya untuk sebongkah roti lezat waktu itu. Tapi untuk semuanya. Untuk bantuan-bantuan kecil Tenten yang telah meringankan kesulitan hidupnya. Untuk persahabatan mereka. Untuk persaudaraan mereka.

Tapi apa yang bisa dilakukan gadis miskin seperti dia?

bersambung


a/n

Halo, minna!

Senangnya, akhirnya bisa publish di akun ini untuk pertama kali. Proyek tulisan kolab pertama kami! Semoga disukai. Harapan kami bisa menyelesaikan ff ini tanpa jangka panjang. Maksudnya, supaya nggak stuck di tengah jalan yang bikin hiatus berkepanjangan :"3

Tadinya untuk chapter satu ini bukan prolog. Berhubung setelah ditulis jadinya puanjang suekale, kami split saja. Cerita intinya akan dimulai di chap depan, insya Allah di-update nggak lama dari ini. Hitung-hitung, prolog ini buat pemanasan. Makanya dikasih pendek dulu :P

Kami mengharap banyak pendapat dan masukan dari teman-teman pembaca untuk ff ini. Apapun itu, silakan tulis di kotak review. Feedback teman-teman akan sangat banyak membantu kami untuk bersemangat meneruskan cerita ini. Terima kasih sudah mampir :))

Salam tembem!